Anda di halaman 1dari 4

MIMPI

Oleh Rosaini

Aroma hujan serta percikan air yang tak kunjung berhenti sebenarnya membuatku lebih
takut dari ular yang datang tiba-tiba. Lorong yang Panjang tak kunjung ada ujungnya, aku mulai
panik. Aku berusaha mengingat namaku dan hal-hal lainnya agar tidak terpengaruh.

“Namaku Vira, Vira, aku bisa melewati Lorong ini.” Aku mengucapkan kalimat ini
berulang-ulang karena aku terjebak di dalam mimpi.

Aku terjebak dalam mimpi setiap aku tertidur. Mimpiku selalu menyampaikan pesan
yang tidak ingin ku ketahui. Aku bahkan bingung bagaimana cara keluar dari mimpi ku sendiri.
Hal ini mulai terjadi sejak aku berumur 17 tahun, kini usia ku sudah 25 tahun. Selama 8 tahun
aku terjebak di setiap mimpi, mimpi tentang kematian orang tuaku, kematian kakakku, adikku,
dan bahkan teman-temanku. Aku sudah pergi ke orang pintar dan ustad, hanya tetap saja, mimpi-
mimpi itu datang menghantuiku.

Hari ini aku bermimpi tersesat di sebuah Lorong, aku takut rintik hujan yang tak kunjung
reda ini berarti tangisan orang-orang yang akan mengalami kedukaan. Aku berusaha mencari
jalan keluar hanya saja semuanya buntu. Aku terdiam sejenak dan berusaha mencari suara yang
kiranya dapat membantuku keluar.

“Kriiinggggg” suara telpon rumah berbunyi, aku pun langsung terbangun, hingga kudapati diriku
keringat basah kuyub, aku pun mengangkat telpon dan benar, kematian kembali datang.

Aku akan berangkat menuju Wonosari, Yogyakarta karena mendapati kabar bahwa pamanku
sudah tidak ada, dia mengalami kecelakaan di jalan wonosari, sehingga tidak terselamatkan. Aku
merasa hancur, kenapa aku lambat sekali untuk mengetahui, Paman Aji adalah adik Ayah, dia
satu-satunya orang yang kumiliki sekarang, ternyata dia juga meninggalkanku. Aku menelpon
Dirga pacarku untuk mengantarku ke Wonosari. Jarak Solo dan Wonosari bisa ditempuh 1,5 jam,
tapi rasanya lama sekali perjalanan ini, tanpa tersadar aku kembali tertidur selama perjalanan.

Aku menyadari bahwa ternyata aku Sudah berada di alam mimpi, aku merasa suasana
mimpi sangatlah seram. Aku sedang berjalan di perempatan yang hanya disinari satu lampu
jalan. Aku bahkan tidak bisa melihat lebih jauh, hanya perempatan itu saja. Aku ingat bahwa aku
bersama Dirga, aku berusaha berteriak memanggil Dirga. Nyatanya aku tidak terbangun sama
sekali, hanya suara gema yang terdengar, aku pun tidak bisa hanya diam untuk kematian
berikutnya.

Aku berjalan ke arah kanan tempat aku berpijak, aku yakin mendengar suatu hal disana.
Tak lama sebercak sinar cepat datang ke arahku, aku terbangun tiba-tiba, lalu aku bilang pada
Dirga, aku mimpi hal yang sama. Dirga menenangkanku agar tidak terlalu percaya dengan
mimpi.

Sesampainya di Wonosari, aku melihat sekelilingku, aku merasa ada yang kurang disini,
tetapi aku tidak tahu apa itu. Aku merasa hampa, aku langsung datang pada Pamanku yang sudah
dibungkus kain kafan, aku tak bisa berkata apa-apa, aku menangis sejadi-jadinya, Dirga berusaha
menenangkanku, aku memeluk Bibi Indah tetapi dia sangat syok dan duduk terdiam. Aku
mengajak Dirga ke belakang rumah, Dirga Nampak bingung juga karena orang-orang terlalu
banyak datang namun mereka terlihat kebingungan. Seperti mencari informasi namun tidak ada
yang pasti dari informasi tersebut.

“Ga, aku harus apa sekarang ga, Paman Aji sudah ga ada, aku bingung harus apa.” Aku
duduk di pendopo halaman belakang sambil tertunduk. Aku bahkan sudah lupa tentang mimpi
barusan. Aku sudah sangat Lelah dengan mimpi ini. Sebenarnya mimpi itu sudah ada beberapa
hari sebelumnya, seperti gigiku lepas tiba-tiba, atau ada upacara perkawinan, aku langsung tahu
bahwa akan ada yang meninggal, bahkan jika aku sudah menemui tempat sepi dan gelap maka
arti mimpi itu adalah tepat orang itu dinyatakan meninggal. Hanya saja aku kesulitan untuk
mencari tahu siapa yang akan meninggal, aku sangat tidak menghapal kebiasaan orang lain.
Seperti Paman Aji, aku tidak tahu kalau dia sangat menyukai suara rintik hujan, hingga akhirnya
itu merupakan tanda.

Dirga duduk termenung, ia merasa ada yang janggal dengan kematian Paman Aji. Dia
berusaha mencari tahu bahkan diabaikan oleh orang-orang. Mereka sibuk dengan handphone
mereka tapi Dirga tidak berusaha melihat handphone orang-orang tersebut. Mungkin orang-
orang ini berusaha mencari informasi tentang anak-anak Paman Aji yang belum datang.

“Vir, sayang, kamu gak apa-apa?” tanya Dirga menghampiriku.


“Gak apa-apa, kamu istirahat dulu, capek kan nyetir.” Aku meremas tangan Dirga karena
Lelah.

“Vir, aku kok ngerasa aneh ya, keluarga semua histeris di depan, lalu mereka sibuk
dengan handphone nya, entah apa yang terjadi, aku sudah coba cari tahu tetapi mereka sampai
tidak menghiraukanku.” Dirga duduk disampingku lalu memintaku menyenderkan kepalaku di
bahunya.

“Ga, capek ga sih jadi aku, bisa tahu kapan orang mati.” Suaraku berat karena melihat
Paman Aji sedang menangis di samping istrinya.

“Vir, mati itu urusan Tuhan, jika memang waktunya, kita ga bisa menghindar.” Dirga pun
melihat arwah Paman Aji, sampai akhirnya Paman Aji mendatangi kami.

“Ga, kamu lihat gak? Paman Aji.” Kata-kataku membuat Dirga menggenggamku erat
karena dia juga melihat Paman Aji.

“Dirga, Vira…” Paman Aji mendekati kami lalu memeluk kami erat.

“Paman, bagaimana bisa paman melihat kami?” Aku kebingungan tetapi memeluk Paman
dengan sangat erat.

“Vira, paman tidak tahu mengapa, tetapi orang-orang mengatakan bahwa kalian sudah
meninggal saat perjalanan menuju kemari.” Paman Aji menangis, tetapi kami tidak bisa
mengatakan apa-apa.

Aku mencoba mencari informasi, aku mulai mendatangi setiap orang lalu menanyai
mereka, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak bisa berkomunikasi dengan mereka.
Mereka bahkan tidak menyadari bahwa aku ada. Aku melihat Dirga dan menangis aku tidak tau
apa yang terjadi, tetapi nyatanya dunia kami tak sama.

Dirga mendekatiku lalu mengatakan bahwa terakhir dia melihat seperti cahaya lalu suara
keras, tetapi kita tetap berjalan seperti biasanya, Dirga hanya merasa hampa namun tidak
terpikirkan olehnya bahwa dia akan meninggal. Aku mengingat mimpi ku tentang cahaya lalu
mimpiku tiga hari yang lalu tentang perkawinan aku dan Dirga dilaksanakan beberapa bulan lagi.
Aku memeluk Dirga dan bilang, mimpiku Sudah berakhir, aku tidak akan bermimpi lagi,
aku akan bahagia sekarang, tidak sakit lagi. Dirga melihatku dan menatapku dalam.

“Vir, apapun itu, baik kita hidup atau mati, itu semua takdir, anugrah yang diberikan
padamu bukan suatu kesalahan tetapi agar kita tetap bisa mengatakan selamat tinggal pada orang
yang kita ketahui akan meninggal.” Aku dan Dirga berpelukan lalu Paman Aji mendekati kami
lalu mengatakan bahwa sudah waktunya untuk pergi. Kami bertiga pun menghadapi kematian
kami dengan lapang dada, tidak ada yang salah.

PROFIL

Rosaini, S.Pd, M.Pd, kelahiran Samarinda, 19 September 1994. Guru Matematika SMPN 1
Kayan Selatan sejak 2019. Pemilik Jasa 247 tentang terjemahan dan statistik yang berdiri pada
tahun 2018. Lulusan S1 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2016 dan
S2 Pasca Sarjana Pendidikan Matematika tahun 2019. Saya senang sekali jika teman-teman
dapat membaca cerita saya. Email : rosainirosaini@gmail.com, IG : Rosaini_iyos, Twitter :
IyosRosaini, FB : Rosaini, Youtube: Rosaini Kingdom

Anda mungkin juga menyukai