Anda di halaman 1dari 3

Candala Lie

Oleh Najwa Frida Herdiana

Lie, sebutan yang diberikan oleh masyarakat untuknya.Nama ini berarti lusuh, sama
dengan keadaannya kini. Lie tinggal bersama adik perempuannya,Genta. Kedua gadis itu tak
pernah diharapkan ada di sekitar masyarakat .Jauh sebelum itu, sebenarnya Lie adalah gadis
yang begitu disayangi kedua orang tuanya,begitu pula adiknya.Sejak awal, mereka memang
terlahir tidak mampu. Namun, hal miris seolah melengkapi potongan hidup mereka. Tepat
pada usia Lie yang ke 12 tahun, kedua orang tuanya menghembuskan napas terakhir karena
kecelakaan

Mendengar kabar kedua orang tuanya meninggal, Lie hanya bisa memandang mayat
orang yang disayanginya itu dengan tatapan kosong. Air matanya lolos meluncur dan dia
terdiam. Dia hanya dapat mendengar sebuah teriakan yang rupanya berasal dari mulutnya
sendiri. Kini, tinggallah dia seorang diri, dengan adiknya yang saat itu hanya tertawa
menyaksikan sekeliling, tanpa tahu hal apa yang terjadi.

Dua tahun berlalu sejak kejadian itu. Genta kecil tumbuh dengan baik dibawah asuhan
sang kakak. Berat rasanya harus menghidupi adiknya dalam usia yang masih belia. Lie
memendam harapannya dalam-dalam. Bersekolah,melihat dunia,hanyalah sebuah embun pagi
sekarang. Menyejukan, namun telah hilang. Lie berusaha memenuhi semua kebutuhannya
bersama Genta dengan berjualan korek api. Berbanding searah dari pekerjaan yang
ditekuninya, gaji yang dia peroleh sangatlah minim.

Terkadang, Lie memandang marah pada sang adik,ini akan jauh lebih mudah jika
Genta tidak ada. Ia bisa saja mengakhiri hidupnya karena tak ada lagi yang dapat ia lakukan,
namun adiknya ini tidak dapat hidup sendiri. Ia bisa saja menangis, dan dia melakukannya.
Genta hanya dapat menertawakan kakaknya tanpa mengetahui beban hidup yang saat itu
dirasakan Lie. Lie masih bertahan dan tidak menceritakan apapun kepada Genta.

Suatu hari, Genta mencemooh Lie karena tidak bisa membenarkan radio di rumah
mereka. Pastinya ini hanya gurauan belaka yang dilontarkan anak berumur 4 tahun itu.
Karena Lie sudah cukup tertekan, iapun memarahi Genta dengan tidak sabaran. Dia mulai
melontarkan kata-kata yang menyakiti hati Genta. Genta berlinangan air mata dan ini
menyadarkan Lie dari apa yang sudah diperbuatnya. Amarah Lie mulai mereda dan
digantikan rasa bersalah. Lie mendekap Genta untuk menenangkan sang adik. Berulang kali
Lie meminta maaf kepada Genta. Genta pun tertidur dalam dekapan sang kakak.

Hari berlalu dengan cepat. Lie mulai berhati-hati untuk tidak mengulang lagi
perbuatannya. Bagaimanapun, Genta adalah satu-satunya anggota keluarga yang dimilikinya
sekarang. Genta tidak bersalah, sudah sepatutnya sebagai kakak, dia memikirkan masa depan
sang adik. Genta harus mendapatkan masa depan yang cerah, inilah tujuan yang ingin
diwujudkannya sekarang.

Tetapi, hingga ke sini, hatinya semakin memperlonggar ikatan harapan itu. Suatu saat,
harapan itu sudah benar-benar terlepas. Di kedinginan malam yang membungkus tubuh
mereka, Lie menarik selimut menutupi tubuhnya dan Genta .Genta hanyalah gadis kecil yang
pastinya tak tahan akan udara dingin. Semua orang menolak keberadaan mereka. Ia tak ingat
terakhir kali ia makan. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah cahaya yang mau menariknya
dan Genta dari kematian.

Lie menahan lapar demi sang adik. Disuapkannya roti yang diperolehnya dari menjual
korek. Hanya sepotong, dan adiknya begitu lapar. Lie tidak menghiraukan dirinya yang
semakin melemah, ia akan kenyang dengan melihat adiknya kenyang.

Lie senang melihat sang adik tumbuh dengan baik. Melihatnya berlarian membuatnya
bahagia. Hingga suatu hari, untuk pertama kalinya Genta meminta sesuatu kepada sang
kakak.

“Bukankah bulan itu indah Genta?”ujarnya kepada sang adik

“Iya, sungguh indah,”jawab Genta tersenyum sembari mendongakan kepala menatap


kakaknya

“Besok, genta akan berulang tahun, Genta sudah besar sekarang,”raut bahagia terukir di
wajah Lie. Lie sangat menyesal tidak dapat memberikan kehidupan yang cukup untuk
adiknya itu

“Lie,”ucap Genta menghamburkan Lie dari lamunanya

“Iya sayang, ada apa?”tanyanya

“Temanku pernah berulang tahun dan ibunya memberikan sebuah kue besar dan banyak
hadiah. Mmm.. Lie, maukah kamu membelikannya buatku? Aku tidak mau hadiah, aku hanya
mau es krim,sebuah es krim dan sepotong kue, di hari ulang tahunku,”ujarnya merunduk
sambil mengedipkan matanya

Melihat ekspresi adiknya yang lucu, Lie tidak dapat menahan tawanya. Dia
mengangguk kepada Genta tanda dia akan memenuhi keinginannya. Genta sangat senang
dengan itu.Di sisi lain, Lie berpikir keras,darimana dia mendapatkan uang untuk mewujudkan
hal itu.

Di pagi buta, diambilnya sandal sebagai alas kaki. Ditentengnya tas berisi korek api.
Sebuah ide gila memang, menjual ini tidak akan bisa mengubah hidup mereka. Namun, Lie
tetap optimis, dia harus mewujudkan keinginan kecil adiknya tersebut. Dia berpamitan dan
mencium adiknya itu. Biasanya, ketika Lie tidak di rumah, Genta akan bermain bersama
temannya.Lagipula, Lie tidak terlalu lama bekerja.

Lie mulai menjajakan dagangannya ke beberapa warung dan pengendara yang


lewat.Tidak satupun membeli dagangannya. Hari semakin panas dan Lie tidak mendapatkan
uang sepeser pun. Muncul keinginan untuk pulang dan memeriksa keadaan Genta, namun,
diurungkan niatnya itu karena takut sang adik kecewa tidak mendapatkan yang dia mau. Lie
berusaha menjajakan koreknya ke tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah dia datangi.
Sampailah Lie di kota, tempat ayah dan ibunya bekerja.
Untuk pertama kalinya Lie sampai di sini. Biasanya, dia hanya akan sampai di
perbatasan desa. Lie berkeliling dengan wajah nampak sangat lelah. Dia baru menjual
beberapa batang korek api. Belum cukup untuk membeli sepotong kue.Dia berkeliling dan
merasa takjub dengan keindahan kota. Tempat ini sangat ramai dan dipenuhi makanan enak.
Andai, Lie dapat membelinya.

Terbenamnya matahari menyadarkan Lie. Sudah setengah hari dia meninggalkan


Genta di rumah sendirian. Lie harus pulang, Genta pasti mencarinya. Rupanya, dia terlalu
jauh pergi dan tidak dapat keluar dari kota. Pengetahuan mengenai tempat ini sangat minim,
bahkan dia tidak tahu sama sekali. Lie berlari dengan sisa tenaga yang dia punya.
Pandangannya mengabur. Dilihatnya rel kereta di depannya dengan kereta yang melintas. Lie
segera menyebrang menghindari kereta itu. Alas kakinya terjatuh.

Ditemani udara dingin, Lie berjalan dengan sebelah alas kaki. Dia menyeret kakinya
dan memaksa dirinya untuk tetap sadar. Dia begitu lapar dan sangat lelah. Ketika dia tiba di
depan restoran, Lie terjatuh. Dia terjungkal dan tidak mampu lagi berdiri. Dia mencoba untuk
tetap dalam kesadarannya.

Lie mengambil sebatang korek api, digoreskannya pada dinding dan didapatkannya
kehangatan sejenak.Di kejauhan, Lie melihat sebuah cahaya yang sangat terang. Di sana,
berdiri kedua orang tuanya,tersenyum pada Lie.

“Ayah,tolong bawa saya,”ucapnya pada mereka

Kedua orang tuanya meregangkan tangan mereka dan menarik Athlie ke dekapannya.
Lie tersenyum, disudahinya semua kemelut kesengsaraan. Dia meminta maaf pada kedua
orang tuanya karena tidak dapat mewujudkan keinginan Genta.

Kedua orang tuanya menggeleng, Lie sudah cukup mengemban kewajibannya, kini
saatnya Lie untuk beristirahat. Ketika cahaya korek api mulai padam, ia rasakan matanya
yang begitu berat, mau tak mau ia menuruti tubuhnya untuk memejamkan matanya. Lie tahu,
setelah ini, dia tidak akan bisa membuka matanya lagi.

“Maaf, Genta”

Anda mungkin juga menyukai