Anda di halaman 1dari 64

Bab 1

Giarti menatap sendu ijazah di tangannya. Bahagia dan sedih tiba-tiba menggenang di ceruk hati.
Setelah menamatkan SMP, ia sudah bisa memastikan tak mungkin bisa melanjutkan sekolah ke
SMA. Betapa ingin gadis 15 tahun itu menyambung pendidikan ke kota, seperti teman-teman
sebayanya. Namun, apa hendak dikata. Jangankan biaya sekolah, untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari saja susah. Tanpa disadari, air matanya mulai membasahi pipi.

Sumirah—ibunya—seorang penjaja gorengan keliling, penghasilnya hanya cukup untuk


mengepulkan asap dapur. Sedangkan sang ayah ..., sudut hatinya terasa nyeri jika mengenang lelaki
itu. Giarti anak ketiga dari empat bersaudara. Kakaknya telah berumah tangga dan telah diboyong
sang suami ke kampung halamannya. Sementara itu, dua orang adiknya masih duduk di bangku SD.
Dwi kelas lima dan Ayu kelas enam.

Diperhatikannya surat tanda kelulusan itu dengan fokus. Ternyata usahanya untuk mendapatkan
nilai yang baik, tidaklah sia-sia. Nyaris semua mata pelajaran mendapat nilai delapan. Bibirnya
menyunggingkan senyum puas, tetapi hanya sebentar. Sejurus kemudian, ia duduk di dipan tua yang
nyaris reot. Tatapan menerawang jauh lewat jendela kecil di kamarnya. Seandainya ada sekolah
setingkat SMA di desanya, tentu ia bisa melanjutkan pendidikan dan menggapai cita-cita. Namun
sayang, jenjang pendidikan tertinggi hanyalah SMP tempatnya bersekolah. Anak-anak yang ingin
menyambung ke sekolah menengah atas, terpaksa harus merantau ke kota. Saat itu juga cita-cita
menjadi seorang guru, harus disimpannya dalam angan belaka.

Giarti tak menyadari kedatangan ibunya. Kemudian wanita lima puluh tahun itu duduk di samping
putrinya.

“Ibu mengerti apa yang kau pikirkan, Nduk.”

Sumirah mengusap punggung gadis itu dengan segenap perasaan. Sementara manik matanya tertuju
pada ijazah di tangan sang anak. Giarti hanya menunduk dalam, tak menjawab ucapan wanita
terkasih.

“Ibu ada usul. Gimana kalau kau temui ayahmu dan bicarakanlah hal ini dengannya.”

Mendengar perkataan sang ibu, batin gadis itu tergugah, setitik cahaya harapan tiba-tiba hadir di
sudut hatinya.

“Tapi apa Ibu yakin, ayah bisa membantu?” manik matanya menatap lekat kepada Sumirah.
Giarti seolah kurang yakin ayahnya bisa memberi solusi. Masih terpatri di dalam ingatan gadis itu,
beberapa bulan yang lalu saat ia membutuhkan uang untuk melunasi SPP.

Ketika itu, Giarti mendatangi rumah ayahnya. Sekadar meminta hak sebagai anak. Namun, lelaki itu
malah menyuruhnya meminta kepada sang ibu tiri. Nasib si bocah malang, bukannya mendapat apa
yang diinginkan, tetapi umpatan dan cacian yang diterimanya. Detik itu juga ia berjanji dalam hati,
tak akan lagi menjejak rumah itu. Giarti tak ingin lagi mengemis pada perempuan yang telah
merebut ayahnya itu.

“Tapi, apa salahnya kalau dicoba dulu, Nduk. Ini Ibu ada uang sedikit, cukup untuk ongkos ke tempat
tinggal ayahmu.”

Wanita berbadan kurus itu mengangsurkan uang dua puluh ribu kepada anaknya. Giarti
menerimanya dengan nelangsa. Gadis itu membayangkan perjuangan ibunya demi mendapatkan
uang yang kini di genggaman. Pagi-pagi sekali beliau mencampur tepung dengan air. Dicelupkannya
buah pisang kepok yang telah matang ke dalam adonan itu, lalu menggorengnya. Setelah usai,
wanita itu menjajakan pisang goreng buatannya itu berkeliling kampung. Begitulah setiap hari sang
ibu mengais rezeki demi menghidupi ketiga anaknya.

Dahulu mereka adalah keluarga bahagia dan hidup berkecukupan. Semuanya berubah sejak Rianto
tergoda Seruni—gadis dari desa sebelah. Meski dengan berat hati, Sumirah terpaksa harus
menerima nasib. Suaminya menikahi Seruni, setelah perempuan itu meminta pertanggungjawaban
atas bayi yang dikandungnya. Betapa hancur hatinya saat itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa,
selain pasrah walau harus dimadu. Banyak orang yang menyarankan kepadanya agar melaporkan
perselingkuhan suaminya, tetapi ia tak punya keberanian untuk melakukan hal itu. Dirinya hanyalah
wanita desa yang polos. Tak tega rasa hatinya jika Rianto sampai dipecat dari pekerjaannya sebab
telah menghamili anak gadis orang.

Sejak menikahi Seruni, Rianto jarang pulang ke rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan
istri mudanya itu. Lelaki itu membeli rumah di kota dan melimpahi perempuan itu dengan materi.
Sedangkan nafkah terhadap anak-anak dari istri pertama diabaikannya. Selama bertahun-tahun, ia
hanya pulang sebentar ketika anak sulungnya menikah.

Terdorong oleh keinginan melanjutkan sekolah yang begitu kuat, Giarti terpaksa menyingkirkan rasa
malu. Dengan uang pemberian ibunya, ia berangkat ke kota untuk menemui sang ayah. Dari rumah
ia berjalan menuju pangkalan ojek. Tampak deretan sepeda motor yang mengantri menunggu
penumpang. Giarti menyewa salah satunya untuk sampai ke terminal bus.
Perjalanan ditempuh selama lima jam menggunakan bus, akhirnya ia sampai di tujuan.

Gadis itu turun di pinggir jalan, kediaman ayahnya yang besar dan megah langsung terlihat. Ia
menyeret langkah dengan ragu. Hatinya diliputi rasa harap dan cemas, ia hanya berdiri di teras.
Lantai keramiknya terlihat mengkilap dan bersih. Tanaman hias mahal tampak tertata apik dalam pot
pada rak besi berukiran antik.

Giarti mengumpulkan segenap keberanian untuk mengetuk pintu rumah besar itu. Tak lama
kemudian, seorang wanita berwajah sadis membukakan pintu. Sang gadis mengangguk pelan sambil
mengulas senyum. Namun, perempuan itu malah memasang raut wajah masam, tanda tak suka.

“Siapa yang datang, Dik?”

Terdengar suara bariton dari dalam rumah, yang tak lain adalah Rianto—ayah Giarti.

“Ini, anakmu Mas. Ntah mau ngapain dia ke sini,” sahut Seruni dengan sinisnya.

Bibir bergincu merah itu mencebik, tangannya berkacak pinggang.

“Oh, kamu Giarti. Ada perlu apa?” tanya lelaki itu datar.

“Apa lagi kalau bukan minta uang,” tukas sang ibu tiri itu.

Mendengar perkataan Seruni, tiba-tiba Giarti merasa tersudut. Namun dikuatkannya perasaan
dengan mengulurkan tangan kepada ayahnya. Ia menatap lelaki itu penuh haru dan kerinduan.
Rianto membalas uluran tangan putrinya dengan ragu sebab segan pada istri mudanya.

“Halah! Udah deh. Jangan kebanyakan drama. Bilang saja mau minta uang. Iya, kan?”

Seruni melotot ke arah gadis itu, seketika menciutkan nyali anak tirinya.

“Sssstttt. Udahlah, Dik.” Lelaki itu meletakkan telunjuknya di bibir.

“Ayo masuk dulu, Giarti,” titahnya kemudian.


Dituntunnya tangan gadis lima belas tahun itu menuju sofa di ruang tamu. Seruni mengikuti langkah
lelaki dan anak itu dengan perasaan dongkol.

Rianto menatap iba kepada sang putri. Ingin rasanya ia memeluk gadis itu dan menumpahkan
kerinduan yang bergolak di dada. Namun entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada istrinya.
Pandangannya lekat menyusuri tinggi tubuh anak itu. Rasa berdosa, sesal dan malu seketika
berkecamuk di otak mana kala bayangan masa lalu berkelebat di pikiran. Giarti berusia lima tahun
saat ia tinggalkan. Matanya terpejam. Kelebat bayangan masa lalu menari-nari di sana.

Wanita berbadan kurus itu mengangsurkan uang dua puluh ribu kepada anaknya. Giarti
menerimanya dengan nelangsa. Gadis itu membayangkan perjuangan ibunya demi mendapatkan
uang yang kini di genggaman. Pagi-pagi sekali beliau mencampur tepung dengan air. Dicelupkannya
buah pisang kepok yang telah matang ke dalam adonan itu, lalu menggorengnya. Setelah usai,
wanita itu menjajakan pisang goreng buatannya itu berkeliling kampung. Begitulah setiap hari sang
ibu mengais rezeki demi menghidupi ketiga anaknya.

Dahulu mereka adalah keluarga bahagia dan hidup berkecukupan. Semuanya berubah sejak Rianto
tergoda Seruni—gadis dari desa sebelah. Meski dengan berat hati, Sumirah terpaksa harus
menerima nasib. Suaminya menikahi Seruni, setelah perempuan itu meminta pertanggungjawaban
atas bayi yang dikandungnya. Betapa hancur hatinya saat itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa,
selain pasrah walau harus dimadu. Banyak orang yang menyarankan kepadanya agar melaporkan
perselingkuhan suaminya, tetapi ia tak punya keberanian untuk melakukan hal itu. Dirinya hanyalah
wanita desa yang polos. Tak tega rasa hatinya jika Rianto sampai dipecat dari pekerjaannya sebab
telah menghamili anak gadis orang.

Sejak menikahi Seruni, Rianto jarang pulang ke rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan
istri mudanya itu. Lelaki itu membeli rumah di kota dan melimpahi perempuan itu dengan materi.
Sedangkan nafkah terhadap anak-anak dari istri pertama diabaikannya. Selama bertahun-tahun, ia
hanya pulang sebentar ketika anak sulungnya menikah.

Terdorong oleh keinginan melanjutkan sekolah yang begitu kuat, Giarti terpaksa menyingkirkan rasa
malu. Dengan uang pemberian ibunya, ia berangkat ke kota untuk menemui sang ayah. Dari rumah
ia berjalan menuju pangkalan ojek. Tampak deretan sepeda motor yang mengantri menunggu
penumpang. Giarti menyewa salah satunya untuk sampai ke terminal bus.

Perjalanan ditempuh selama lima jam menggunakan bus, akhirnya ia sampai di tujuan.
Gadis itu turun di pinggir jalan, kediaman ayahnya yang besar dan megah langsung terlihat. Ia
menyeret langkah dengan ragu. Hatinya diliputi rasa harap dan cemas, ia hanya berdiri di teras.
Lantai keramiknya terlihat mengkilap dan bersih. Tanaman hias mahal tampak tertata apik dalam pot
pada rak besi berukiran antik.

Giarti mengumpulkan segenap keberanian untuk mengetuk pintu rumah besar itu. Tak lama
kemudian, seorang wanita berwajah sadis membukakan pintu. Sang gadis mengangguk pelan sambil
mengulas senyum. Namun, perempuan itu malah memasang raut wajah masam, tanda tak suka.

“Siapa yang datang, Dik?”

Terdengar suara bariton dari dalam rumah, yang tak lain adalah Rianto—ayah Giarti.

“Ini, anakmu Mas. Ntah mau ngapain dia ke sini,” sahut Seruni dengan sinisnya.

Bibir bergincu merah itu mencebik, tangannya berkacak pinggang.

“Oh, kamu Giarti. Ada perlu apa?” tanya lelaki itu datar.

“Apa lagi kalau bukan minta uang,” tukas sang ibu tiri itu.

Mendengar perkataan Seruni, tiba-tiba Giarti merasa tersudut. Namun dikuatkannya perasaan
dengan mengulurkan tangan kepada ayahnya. Ia menatap lelaki itu penuh haru dan kerinduan.
Rianto membalas uluran tangan putrinya dengan ragu sebab segan pada istri mudanya.

“Halah! Udah deh. Jangan kebanyakan drama. Bilang saja mau minta uang. Iya, kan?”

Seruni melotot ke arah gadis itu, seketika menciutkan nyali anak tirinya.

“Sssstttt. Udahlah, Dik.” Lelaki itu meletakkan telunjuknya di bibir.

“Ayo masuk dulu, Giarti,” titahnya kemudian.


Dituntunnya tangan gadis lima belas tahun itu menuju sofa di ruang tamu. Seruni mengikuti langkah
lelaki dan anak itu dengan perasaan dongkol.

Rianto menatap iba kepada sang putri. Ingin rasanya ia memeluk gadis itu dan menumpahkan
kerinduan yang bergolak di dada. Namun entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada istrinya.
Pandangannya lekat menyusuri tinggi tubuh anak itu. Rasa berdosa, sesal dan malu seketika
berkecamuk di otak mana kala bayangan masa lalu berkelebat di pikiran. Giarti berusia lima tahun
saat ia tinggalkan. Matanya terpejam. Kelebat bayangan masa lalu menari-nari di sana.

Bab 2

Sepuluh tahun yang lalu. Ada debar aneh di dada Rianto saat manik matanya beradu pandang
dengan murid yang duduk di bangku paling depan. Seruni nama gadis itu. Sesuai dengan namanya,
perempuan enam belas tahun itu laksana bunga seruni yang sedang mekar. Warnanya cerah
memesona dengan aroma lembut membuat kumbang tertawan oleh kemolekannya. Begitu pula
dengannya, lelaki itu terbuai oleh tatapan sorot pandang sayu dengan bulu mata lentik bak bidadari
negri kahyangan. Dari hari ke hari perasaan di hatinya semakin menjadi. Hingga suatu ketika, rasa
cinta yang membuncah di angan, memaksa untuk diungkapkan.

Semua penghuni sekolah sudah pulang. Hanya Seruni yang tetap tinggal, sebab gadis berambut
legam dan panjang itu giliran piket. Seharusnya ia berdua dengan rekan saat tugas menyapu kelas
siang itu. Namun, temannya pulang lebih dulu di awal jam pelajaran karena sakit. Inilah momen yang
selalu dinantikan Rianto, bisa berbicara empat mata dengan gadis berkulit putih itu.

Pak Guru yang telah beristri itu berterus terang menyatakan cintanya pada sang murid. Seruni
menyambutnya dengan suka cita, ternyata ia pun mempunyai perasaan yang sama. Benar kata
orang-orang, cinta tidak mengenal perbedaan usia. Sejak itu mereka semakin akrab sebagai
pasangan kekasih, tetapi merahasiakan hubungan terlarang dari semua orang.

Suatu ketika, Rianto mengajak kekasih gelapnya berjalan-jalan di taman wisata. Lelaki itu menyewa
vila kecil di atas bukit. Hujan yang mengguyur deras di luar sana, seolah menjadi saksi atas
pengkhianatan janji suci perkawinannya. Dua insan Tuhan yang berlainan jenis, lepas kendali dibuai
iblis, lalu terperosok pada jurang dosa.

Tiga bulan setelah kejadian terkutuk itu, terjadi banyak kejanggalan pada Seruni. Gadis itu berubah
lemah dan lesu. Kerap kali muntah-muntah dan ia senang sekali memakan buah mangga muda. Sang
ibu curiga, lalu membawanya ke bidan desa. Terbelalak mata perempuan itu setelah mendengar
hasil pemeriksaan. Seruni hamil. Tak ingin aib itu menyebar luas, kedua orang tua Seruni mendatangi
Rianto dan meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dengan persetujuan istri pertama,
mereka pun akhirnya dinikahkan.
“Ayah, Giarti butuh uang, Yah ....”

Ucapan lirih sang anak membuyarkan lamunan Rianto. Kenyataan membuat hatinya menciut. Ia tak
lebih dari seorang suami yang takut Istri, bahkan sekadar ingin melampiaskan kerinduan kepada
anak pun tak bisa. Sebegitu dominannya pengaruh Seruni dalam rumah tangganya.

“Giarti ingin melanjutkan sekolah ke SMA, Yah,” lanjut Giarti masih dengan kepala tertunduk.

“Sudah kuduga, setiap datang ke rumah ini selalu saja minta uang. Kalau memang ibumu itu nggak
sanggup biayai, ya udah. Nggak usak sok pingin sekolah!”rutuk si ibu tiri dengan kesal.

“Seruni! Tolong beri kesempatan aku untuk bicara dengan anakku!” seru Rianto tegas.

Matanya sedikit melotot ke arah sang istri. Ia tak mau kehilangan harga diri di depan anaknya.
Wanita itu pun pergi ke kamarnya. Meninggalkan ayah dan anak yang duduk berdampingan di sofa
ruang tamu.

“Giarti ..., tolong mengerti keadaan Ayah, Nak. Untuk saat ini Ayah pun tak punya uang. Gaji Ayah
hanya cukup untuk makan sehari-hari saja, sebab sudah terpakai untuk membayar segala cicilan dan
hutang.”

Lelaki itu menunduk, tak sanggup menatap wajah polos anaknya yang penuh harap. Istri mudanya
terlalu banyak keinginan dan tuntutan. Keuangan rumah tangganya lebih besar pasak dari pada
tiang.

“Maafkan Ayah, Nak.”

Lagi-lagi Giarti terpaksa harus menelan kekecewaan. Namun, gadis itu bisa sedikit lega sebab bisa
bertemu dengan ayahnya dan mengetahui keadaan lelaki itu. Rindu yang ditahannya selama ini, kini
telah terobati.

Tak menunggu lama, ia pamit untuk pulang. Hatinya mencelos saat bersalaman dengan sang ayah.
Separuh jiwanya serasa hilang. Langkahnya gontai meninggalkan rumah itu dengan perasaan hampa
dan putus asa.

Sesampainya di rumah, Sumirah baru saja pulang dari menjajakan goreng pisang. Wajah tuanya
terlihat lelah dengan peluh membasahi gamis murah yang dikenakan. Giarti menatap wanita terkasih
dengan penuh rasa iba. Dalam hati ia berbisik, “kumohon Allah, jadikanlah aku orang kaya agar bisa
membahagiakan ibuku.”

“Gimana, Nduk? Apa ada solusi dari bapakmu?” tanya wanita itu penuh harap.

“Mungkin Allah mentakdirkan Giarti hanya bisa merasakan bangku SMP, Bu.” Ada aura kepasrahan
di balik ucapannya.

“Apa kata ayahmu, Nduk?”

Giarti hanya menggeleng lemah. Ibunya paham apa maksudnya. Tangan lelah wanita itu merengkuh
bahu putrinya dan menenggelamkan dalam dekapan. Titik bening pun luruh begitu saja.

Rahma menghidangkan hasil masakan yang masih mengepulkan asap tipis di meja. Aroma sedap
seketika menguar melewati indra penciuman Firman—suaminya. Wanita itu menyendok nasi ke
dalam piring, lalu menyiramnya dengan kuah gulai. Sepotong ikan Gurame diletakkan di atasnya.
Sang suami menerimanya dengan jakun naik turun penuh selera. Tak lama kemudian, lelaki itu
menyantap makan siang yang dihidangkan dengan lahap.

“Mas, ada yang perlu aku bicarakan denganmu,” ucap Rahma setelah suaminya selesai makan.

“Tentang apa?”

“Begini, Mas. Sekarang ini sudah memasuki tahun ajaran baru ..., jadi aku ingat adikku di kampung.
Di sana belum ada sekolah tingkat SMA, bagaimana kalau Giarti kita ajak tinggal di sini dan kita
sekolahkan di kota ini?”

Mendengar permintaan istrinya, raut wajah Firman berubah seketika. Dahinya mengkerut, matanya
menyipit sinis.

“Apa? Menyekolahkan adikmu? Yang benar saja, Rahma! Tanggunganku sudah cukup banyak.
Memikirkan biaya kuliah adikku, nafkah ibu sehari-hari dan keperluan kita tiap bulan saja aku nyaris
kelabakan. Ini kamu pingin nambah beban dengan membawa Giarti ke rumah ini. Rasanya nggak
mungkin bisa.”
Ada rasa pilu yang tiba-tiba menancap di sudut hati anak sulung Sumirah saat mendengar jawaban
suaminya.

“Tapi, Mas. Aku ingin membantu adikku untuk melanjutkan sekolahnya. Dia anak yang baik dan
pintar. Boleh ya, Mas. Kumohon, Mas,” pinta Rahma dengan memelas. Firman masih bergeming,
hanya memainkan pinggir gelas dengan jarinya.

“Mas nggak usah khawatir. Nanti akan kusuruh dia berjualan, sehingga mandiri dan tidak terlalu
membebani, Mas,” pungkasnya kemudian.

“Halah! Ya sudahlah, terserah kamu saja. Tapi ingat kalau ada masalah dengan adikmu itu, aku nggak
mau dilibatkan, apa lagi bertanggung jawab. Seharusnya ayahmu yang memikirkan hal ini, bukan
kita.”

“Iya, Mas. Kan Mas tahu sendiri. Sejak menikah lagi, ayah tak pernah menghiraukan kami,” imbuh
Rahma.

Bab 3

Meskipun ucapan Firman terdengar ketus dan tak rela, tetapi Rahma tetap pada keputusannya. Ia
akan menjemput sang adik di kampung dan membawanya ke rumah itu. Menurutnya, ia hanya harus
berpandai-pandai mengatur jatah uang bulanan dari Firman, sehingga bisa menyisihkan untuk
membantu biaya sekolah adiknya.

Pukul tujuh pagi, Rahma telah rampung menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Kondisi rumah
pun telah rapi dan bersih. Setelah sang suami berangkat ke kantor dan anak semata wayangnya
pergi ke sekolah, ia mematikan aliran listrik dan mengunci pintu utama.

Rahma berjalan ke rumah mertua, yang berlokasi hanya sekitar empat ratus meter dari tempat
tinggalnya. Bangunan besar itu tampak lengang, sebab penghuninya hanya dua orang, ibu dan adik
Firman yang kuliah di perguruan tinggi favorit.

“Assalammualaikum.”

Rahma berdiri di pintu. Tak lama kemudian, wanita berbadan subur muncul tanpa menjawab salam
darinya. Ia memaklumi, sebab sejak awal hubungan antara dirinya dan mertua kurang baik.

Mak Lastri—ibunya Firman—tak menyukai dirinya. Rahma bukanlah menantu yang diinginkan.
Selama berumah tangga dengan Firman, sering kali sang mertua menabuh genderang perang.
Namun, Rahma menyikapi dengan senyum kebijaksanaan. Ia sadar, walau bagaimanapun Mak Lastri
adalah perempuan yang telah bertaruh nyawa melahirkan suaminya ke dunia. Jatuh bangun ia
mengejar ridonya, tetapi hati wanita tua itu tak pernah luluh. Apapun yang dilakukan Rahma, tetap
salah di matanya.

“Mak, Rahma pamit mau ke rumah Ibu di kampung. Ini kunci rumah, Rahma titip sama Emak saja,
ya.”

Rahma mengangsurkan kunci kepada Mak Lastri. Tujuannya agar suami dan anaknya tak kesulitan
masuk ke rumah saat siang nanti.

“Sudah izin sama Firman?”

Wanita berumur itu bertanya dengan nada ketus penuh selidik.

“Sudah, Mak. Tadi Rahma udah minta izin sama Mas Firman,” ujar sang menantu dengan ramah.

“Mau ngapain ke kampung?” tukasnya sinis.

“Rencananya mau menjemput adik, Mak. Supaya bisa melanjutkan sekolah di sini. Di kampung
belum ada SMA.”

“Apa katamu? Rahma, apa tidak terpikirkan bagaimana Firman yang sudah banyak beban
tanggungannya, malah kamu akan membawa adikmu tinggal bersama kalian!”

Mak Lastri berbicara penuh penekanan. Jarinya teracung, gelang di tangannya gemerincing saling
bergesekan. Dadanya yang dihiasi liontin emas bermotif bunga naik turun menahan emosi. Rahma
menanggapinya dengan tenang, sebab ia sudah menduga kata-kata itu akan terucap dari lisan sang
mertua.

“Semoga Allah menambah dan memberi keberkahan pada rezeki yang dititipkannya kepada Mas
Firman, Mak.”

“Halah! Emak sudah tua, nggak perlu diceramahi begitu, Rahma. Kamu pikir saja pakai logika. Gaji
suamimu itu Cuma tiga juta, belum lagi biaya kuliah Retno yang tidak sedikit, apa dia mampu
membiayai sekolah adikmu? Sedangkan kamu saja hanya ibu rumah tangga biasa yang tak
menghasilkan uang,” tambahnya lagi sambil mengelus cincin yang berderet di jemari yang gendut.

Sudut hati Rahma terasa ngilu kala mertuanya menyinggung soal dirinya yang hanya seorang ibu
rumah tangga. Namun, perempuan itu tidak mau berdebat lebih panjang lagi dengan wanita
berkepala enam di hadapannya. Ia pun segera berpamitan.

“Baik, Mak. Rahma pergi dulu, ya.”

Perempuan dengan balutan gamis biru lembut itu mengulas senyum sambil membungkuk pelan,
kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan Mak Lastri yang menceracau tak jelas.

Dalam hati Rahma berpikir, memang benar gaji suaminya hanya tiga juta per bulan, tetapi ia yakin
Allah akan memberi kemudahan bagi hambanya yang bersungguh-sungguh menolong saudara.
Sederet rencana telah tersusun di otaknya. Agar tidak terlalu membebani suami, ia bermaksud
membuat camilan atau kue-kue kemudian akan meminta Giarti menitipkannya di sejumlah warung.

Tanpa terasa langkahnya sudah sampai di jalan besar. Deretan angkot tampak mengantre di sisi
jalan. Rahma memilih yang hampir penuh, karena pasti akan berangkat lebih dulu. Ia duduk
berdesakan bersama para penumpang lainnya. Tak lama kemudian, kendaraan pun melaju
membelah ramainya lalu lintas kota. Hanya beberapa menit, ia sudah sampai di kawasan terminal
bus.

Rahma turun, lalu membeli tiket di loket.

Disempatkannya membeli buah tangan dari pedagang asongan, dua kotak dodol untuk wanita
terkasih. Ia tak sabar ingin segera tiba di rumah masa kecilnya.

Rahma menumpang bus yang akan membawanya ke kampung halaman. Ia memilih duduk di dekat
jendela, agar leluasa menikmati pemandangan. Terik matahari yang menembus kaca berpadu bising
suara knalpot, ditambah aroma bahan bakar kendaraan, membuatnya sedikit merasa pusing. Ia
rebahkan kepala ke sandaran kursi mobil, sampai akhirnya ia tertidur.

Sejak tamat SMP, Giarti makin konsisten dalam ibadah. Salat tahajud, hampir tiap malam
dikerjakannya, begitu juga dengan salat duha, nyaris tak pernah absen. Al-Qur’an pun sudah menjadi
bacaan rutinnya setiap waktu. Gadis itu meyakini, semua amalan yang dilakukannya bisa
mendekatkan dan mendatangkan rida-Nya. Jika Allah sudah mencintainya, maka harapan Giarti
menjadi guru PNS akan terkabul. Harinya kini disibukkan membantu ibunya berjualan.

Seperti biasa, siang itu Giarti membelah pisang kepok yang sudah dikupas, lalu meletakkannya pada
sebuah baskom. Rima mencelupkan pisang-pisang itu ke dalam adonan tepung yang telah dibubuhi
vanili dan sejumput garam. Aroma khas menyapa hidung ketika pisang dimasukkan ke dalam wajan
yang dipenuhi minyak panas. Ibu dan anak itu terlihat cekatan mengerjakannya.

Panas nyala api dari tungku, membuat wanita itu sering menghapus peluh yang mengucur di dahi.
Raut wajahnya kusam akibat sering terpapar matahari saat berjualan. Pisang goreng yang
dijajakannya sangat digemari dan ditunggu banyak orang. Itu karena rasanya yang manis dan renyah.

Giarti berinisiatif menggantikan ibunya berjualan. Ia tak tega membiarkan bidadari sepuh itu
kelelahan, sebab berjalan sepanjang hari.

“Kamu yakin mau menggantikan Ibu? Apa ndak malu kalau nanti ketemu teman di jalan?” tanya
Rima dengan logat Jawa yang khas.

“Nggaklah, Bu. Wong jualan kok malu.”

Giarti menyusun pisang goreng yang masih panas di atas wadah anyaman bambu. Usai salat Zuhur,
ia menjunjung nyiru itu di kepalanya. Dengan optimis, Giarti berjalan sambil setengah berteriak
menawarkan dagangan.

“Pisang goreng kriuk! Pisang goreng kriuk!”

Namun, tak seorang pun yang membeli. Gadis itu terus melangkah, hingga sampai di sebuah pos
ronda. Tampak olehnya seorang nenek sedang duduk di sana, ia pun mendekat. Sepotong pisang
goreng terletak dalam bakul milik wanita sepuh itu. Sang gadis mengulas senyum ramah, si nenek
pun membalas tak kalah semringah.

“Numpang duduk, Nek.”

“Silakan, Cu.”
“Nenek mau pisang goreng buatanku?”

Giarti mengangsurkan nyiru yang berisi penuh dagangannya.

“Terima kasih, Cu. Nenek juga jualan pisang goreng. Tuh sisa satu biji.”

Si Nenek menunjuk ke bakul dengan memonyongkan bibir.

“Alhamdulillah, baru hari pertama jualan, dagangan Nenek laris manis,” imbuh Si Nenek.

“Oh, berarti para langgananan Ibu telah membeli kepada Si Nenek, sehingga daganganku tak dibeli
orang,” pikir Giarti.

Tidak. Sisi lain hatinya membantah, tentu saja ia tak boleh menyalahkan wanita tua itu. Mungkin
hari ini Allah tidak menggerakkan hati orang-orang untuk membeli kepadanya. Atau Dia ingin
mengujinya dengan kesempitan rezeki. Ia teringat pada ceramah ustaz di tempatnya mengaji,
“bahwa Allah melapangkan dan menyempitkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”

Bab 4

Setelah rasa penatnya hilang, Giarti melanjutkan perjalanan menuju desa sebelah. Begitu besar
harapan agar makanannya terjual habis. Sepanjang jalan ia terus berseru menawarkan dagangannya.

Tiba-tiba dari arah belakang, sepeda motor berkecepatan tinggi hampir menabrak kucing.
Pengemudinya panik, lalu oleng ke kiri mengenai Giarti. Spontan nyiru di kepalanya terjun bebas,
isinya berserakan di jalan desa yang belum beraspal itu. Malang nian nasib si gadis, lelaki bersepeda
motor langsung tancap gas tanpa menghiraukan nasib korbannya.

Giarti menatap dagangannya dengan nelangsa. Batinnya menjerit pilu membayangkan ibu dan
kedua adiknya di rumah. Ia telah gagal menciptakan senyum pada wajah-wajah orang yang
dikasihinya.

Matanya berkaca-kaca, titik air kesedihan pun mulai membasahi pipi. Setelah termenung beberapa
saat, tanpa semangat Giarti menyeret langkah untuk pulang. Sepanjang jalan ia menunduk,
menyembunyikan kepedihan dari orang-orang yang berpapasan dengan
Sesampainya di halaman rumah, ia mendengar suara gelak tawa dari dalam. Terdorong rasa
penasaran Giarti mempercepat langkah. Cepat ia membuka pintu, manik matanya seketika
terbelalak melihat kakak sulungnya—Rahma—sedang bercengkrama dengan ibu dan kedua adiknya.
Gadis itu serta merta menghambur ke pelukan sang kakak. Rasa haru menyeruak di batin keduanya.

Giarti menceritakan kejadian yang menimpanya. Bukannya bersedih, Rima dan Rahma serta adik-
adiknya menanggapi dengan candaan. Tawa mereka pecah memenuhi ruangan. Momen ceria
seperti ini sangat jarang terjadi. Sejak menikah, Rahma jarang pulang, sebab ia tak bisa pergi tanpa
izin suami.

Rahma mulai menyadari, ia tak boleh terlalu lama di kampung. Ada tanggung jawab yang lebih besar
di rumah suaminya. Ia menceritakan tujuan kedatangannya kepada sang ibu. Alangkah bersuka cita
Rima mendengarnya.

Begitu pun dengan Giarti. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke SMA akhirnya akan
terwujud. Batinnya bersorak merayakan kegembiraan. Ingin rasanya ia berlari memberitahukan
keberuntungan ini kepada semua orang. Spontan remaja lima belas tahun itu menyungkur sujud
syukur.

Tanpa mengulur waktu, Giarti berkemas memasukkan pakaiannya ke dalam tas. Dua saudara itu
berpamitan kepada ibu mereka. Suasana haru mencekam mana kala kedua anak itu bergantian
merangkul pintu surganya. Sungguh berat hati Rima melepas kepergian anak tercinta. Harapan dan
doa dilangitkan dengan tetesan air mata.

“Berpandai-pandailah di rumah kakakmu, Nduk,” ucapnya tulus.

Giarti mengangguk pelan. Sang ibu pun mengiringi langkah kedua anaknya hingga sampai di
pangkalan ojek. Tak ketinggalan pula Dwi dan Ayu—anak Rima yang duduk di kelas lima dan enam
SD.

Di ruang tengah, seorang lelaki berbadan tegap duduk bersandar di kursi. Jarinya asyik menekan
tombol remot dalam genggaman, memindah-mindah channel TV.

“Assalamualikum!” seru Rahma ketika masuk ke rumah.

“Walaikumsalam!” jawab lelaki berkulit sawo matang itu datar.


Mata lelaki itu menatap tak bersahabat ke arah istri dan adik iparnya. Giarti memindai dengan sudut
mata sosok pria di hadapannya, nyalinya menciut. Jantungnya berdebar menahan rasa takut. Ia
ulurkan tangan, lelaki bercambang lebat itu menyambut dengan biasa saja, tanpa ekspresi.

Dari bahasa tubuh Firman, Giarti bisa merasakan aura penolakan kehadiran dirinya. Namun, secapat
kilat ditepisnya pikiran itu.

“Mungkin kakak iparku hanya ingin menjaga jarak, sebab bukan mahram,” bisik batinnya.

Rahma membawa sang adik ke bilik yang sudah dibersihkannya sejak kemarin.

“Ini kamar untukmu, Dik. Semoga kamu betah menghuninya,” ujarnya sembari tersenyum.

“Wahhh! Bagus banget, Mbak. Aku pasti betah.”

Giarti mengitari ruangan itu dengan pandangannya. Sebuah kasur di atas ranjang kecil dengan seprei
bunga-bunga menjuntai indah ke lantai. Di sebelah kanan ada lemari kayu tempat pakaian. Sepasang
kursi dan meja belajar sederhana menyambutnya di sudut kamar.

Seorang anak kecil dengan rambut dikepang dua, datang menghampiri.

“Horeeee! Bulik Gia datang!”

Ia melonjak kegirangan.

Gadis kecil itu terbiasa memanggil adik ibunya dengan sebutan Bulik, artinya tante. Giarti pun
memeluk bocah kelas dua SD itu penuh rindu. Maklum mereka bersua hanya ketika Lebaran saja.

“Bulik Gia mau tinggal bersama kita, Ma?” tanya anak itu dengan tatapan polos.

“Iya, Sayang. Jadi mulai sekarang Sifa tidurnya sama Bulik, ya. Nanti kalau ada PR bisa juga nanya
Bulik.” Rahma mengusap poni gadis kecil itu.
“Ya sudah. Kalian beristirahatlah. Besok Sifa ke sekolah, Bulik Gia juga harus mendaftar ke SMA.”

Rahma menutup pintu bilik, kemudian ke dapur. Ia paham betul kebiasaan lelaki berkulit sawo
matang itu. Tak lama kemudian, ia menghidangkan secangkir kopi dan peyek kacang yang dibeli di
perjalanan. Perempuan muda itu menangkap isyarat mimik tak biasa di wajah suaminya.

“Katakan kepada adikmu itu, jangan sampai bertingkah di luaran apa lagi mencemarkan nama baik
keluarga kita,” ujar lelaki itu dingin, sedangkan tatapannya lurus ke TV.

Tak perlu banyak bicara, dari situ Rahma bisa menyimpulkan, Firman tak menghendaki adiknya
tinggal di sini. Ia sangat mengerti jalan pikiran suaminya, tetapi perempuan itu akan terus
meyakinkan bahwa rezekinya tidak akan berkurang sebab memungut seorang adik.

Sebelum Azan subuh, Rahma sudah terjaga dari tidur. Ia berjalan lambat ke arah kamar adiknya.
Pintu tak terkunci, sehingga dirinya langsung masuk. Dengan pelan ia menepuk-nepuk lengan Giarti
yang tertidur pulas dekat Sifa.

“Gi ..., bangun, Gi.” Giarti mengerjap-ngerjapkan mata sambil menghimpun kesadaran.

“Ouhh.” Gadis itu menggeliat, lalu duduk sambil mengucek mata. Rasa kantuk masih bergelayut di
matanya.

“Ayo bantuin Mbak di dapur,” ucap Rahma lembut.

Kemarin setelah mendaftarkan adiknya sekolah, ia berbelanja keperluan untuk berjualan. Pagi ini ia
berencana membuat contoh dagangan yang akan dititipkan ke warung-warung.

Mereka pun beranjak menuju dapur untuk membuat pisang goreng.

Dengan sigap Giarti mencampur sebungkus tepung beras dengan air secukupnya ke dalam baskom.
Agar gorengan terasa renyah, ia membubuhkan sedikit air kapur sirih. Putih telur, garam dan vanili
tak lupa ditambahkan pula. Setelah adonannya kalis, ia memasukkan buah pisang yang telah disayat
mennyerupai kipas, persis seperti yang biasa dilakukan ibunya. Rahma memerhatikan betapa
cekatannya sang adik bekerja.
Resep itu diperoleh ibu mereka dari majikannya di masa muda. Dahulu wanita itu bekerja sebagai
pelayan di kedai kopi milik orang Padang. Di tempat itulah Rianto biasa nongkrong. Sampai akhirnya
hati sang pemuda tertambat kepada gadis manis pelayan kedai itu—Rima.

Tak lama kemudian, azan berkumandang dari pengeras suara di sebuah masjid. Giarti dan Rahma
bergantian menunaikan salat subuh. Berbahaya jika meninggalkan kompor yang menyala dengan
minyak panas berisi pisang goreng di atasnya.

Jam di dinding dapur menunjukkan pukul 06.00 pagi. Pekerjaan mereka telah selesai.

“Gi, kamu mandi, gih! Terus siap-siap ke sekolah. Nanti Mbak anterin, sekalian mencari warung yang
mau kita titip pisang goreng,” ucap Rahma sembari mengaduk kopi untuk suaminya.

“Iya, Mbak,” jawab Giarti patuh.

“Dandan yang rapi, hari pertama sekolah harus semangat!” seru ibu satu anak itu lagi.

“Iya, iya!” sahut sang adik tak kalah riang.

Rahma memasukkan gorengan itu ke dalam beberapa kotak. Sifa diantar sekolah oleh ayahnya,
sekalian pergi ke kantor. Giarti menjinjing kotak yang sudah disatukan menggunakan taplak meja.
Gadis itu mengekor langkah sang kakak, singgah dari satu warung ke warung yang lain. Tidak semua
pemilik kedai yang bersedia dititipi jualannya.

“Maaf, Neng. Nggak bisa nitip di sini, soalnya ntar dimakanin anak-anak saya gorengannya.
Pengunjung mah jarang beli, paling Cuma minum kopi segelas,” kata seorang penjaga warung kopi.

Dua beradik itu tak menyerah, dicarinya warung lain yang bersedia menampung pisang goreng.

Bab 5

Pagi itu, Rahma sibuk menyiapkan sarapan pagi, lalu menghidangkannya di ruang keluarga. Sang
suami menyantapnya dengan lahap. Si kecil Sifa tampak mengaduk segelas susu di hadapannya.

Lain halnya dengan Giarti, usai membuat pisang goreng, ia segera mandi, kemudian mengenakan
seragam sekolah. Jilbab putih segi empat menutupi rambutnya yang bergelombang. Tak henti-
hentinya gadis itu mengucap syukur pada Allah, sebab bisa bersekolah di SMA Plus Islam. Letaknya
hanya satu kilometer dari rumah sang kakak.

Giarti berjalan melewati ruang keluarga, tempat Firman—kakak iparnya sarapan. Lelaki itu
menatapnya dengan pandangan tak bersahabat. Remaja lima belas tahun itu menunduk,
menyembunyikan rasa gugup dan segan di hatinya. Bukan sekali ini suami Rahma bersikap demikian,
membuat Giarti tak nyaman. Meskipun begitu, gadis itu selalu berusaha untuk mengambil hati sang
kakak ipar. Semua pekerjaan di rumah itu, ia bantu; mencuci piring, mencuci pakaian, menyetrika
dan membersihkan rumah serta halaman.

Sebelum ke sekolah, seperti biasanya ia ambil kotak berisi pisang goreng yang masih hangat dari
dapur. Sembari berjalan menuju sekolah, gadis itu akan mengantarkan dagangannya. Sebagian ia
titipkan di kantin sekolah, selebihnya dimasukkan dalam tas. Saat jam istirahat tiba, ia menawarkan
jajanan itu kepada teman-temannya.

Bu Mita—Guru Matematika—menuliskan soal-soal aljabar di papan tulis. Murid-murid menyalinnya


ke dalam buku catatan masing-masing. Fikri belum sempat sarapan di rumah, perutnya berdendang,
ususnya serasa dipilin. Ingin rasanya ia pergi ke kantin untuk mengusir rasa lapar, tetapi ia malu
walau sekadar meminta izin kepada Bu Guru.

Tiba-tiba ia teringat kepada Giarti yang selalu membawa pisang goreng dalam tasnya. Maka, remaja
itu menulis di atas secarik kertas:

“Gi, masih ada pisang gorengnya? Kasih satu. Perutku keroncongan nih.”

Dikepal-kepalnya kertas itu hingga membulat, lalu dilemparkannya ke arah Giarti yang duduk di
bangku paling depan. Sungguh nahas, lemparannya terlalu kuat hingga kertas itu salah sasaran
mengenai kepala Bu Mita. Spontan wanita berkaca mata tebal itu membalikkan badan. Ia
membungkuk memungut benda itu, lalu membuka dan membaca sebaris kalimat di atasnya. Guru
penyabar itu menggelengkan kepala sembari mengurut dada.

“Siapa yang melempar kepala saya dengan kertas ini?”

Suara Bu Guru terdengar menggema di ruang kelas yang hening. Para siswa saling menoleh satu
sama lain. Tak satu pun yang mengakui.

“Baik. Jika tak ada yang mengaku, saya akan menyuruh kalian semua hormat di bawah tiang
bendera.”
Suasana kelas mendadak riuh. Tak mau menjadi bulan-bulanan teman-temannya, Fikri terpaksa
mengacungkan tangan.

“Sa ..., saya, Bu,” ucapnya terbata.

Bu Guru memberi isyarat kepada remaja berambut cepak itu agar berdiri di depan kelas. Ia pun
bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke depan.

“Baca ini dengan nyaring!”

Wanita paruh baya itu menyodorkan kertas tadi kepadanya. Dengan malu-malu anak itu menuruti
perintah sang guru.

“Huuuuuu!”

Seisi kelas mendadak bising seperti suara ribuan lebah. Usai membaca tulisan di hadapan teman-
temannya, anak itu menunduk menahan rasa malu.

“Bagaimana , Fikri? Masih lapar perutnya?”

“Ma ..., masih, Bu,” jawab anak itu jujur.

“Kalau begitu, silakan beli pisang gorengnya, lalu makan di luar.”

“Baik, Bu.”

Anak itu berjalan ke arah Giarti, lalu membeli jajanan darinya, kemudian melangkah ke luar.

“Ibu harap, kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Sebelum ke sekolah, sebaiknya kalian sarapan
dahulu, agar berkonsentrasi dalam belajar. Giarti, nanti pulang sekolah temui Ibu di ruang kantor.”
Bu Guru berkata lirih pada Giarti.

“Baik, Bu.”

***
Giarti menepati janjinya. Ketika pulang sekolah, ia mendatangi guru Matematika itu di kantor.
“Assalammualaikum.”

Bu Mita mengulas senyum, lalu menjawab salam gadis itu.

“Silakan duduk, Giarti,” kata Bu Mita. Murid kelas satu itu pun duduk di kursi yang berhadapan
dengan gurunya.

“Jadi, begini, mengenai kejadian di kelas tadi ..., Ibu sebenarnya tidak melarangmu berdagang,
tetapi berjualan di dalam kelas itu sungguh tidak tepat, sebab bisa mengganggu konsentrasi belajar
teman-temanmu. Cukuplah dititipkan saja di kantin sekolah,” papar Bu Mita. Gadis itu mengangguk.
“Maafkan Giarti, Bu. Giarti tidak akan mengulanginya lagi.”

“Baik. Kali ini Ibu maafkan,” ujar Bu Guru. Setelah itu, gadis penjual pisang goreng pun undur diri.
Dalam hati ia sangat menyayangkan perbuatan Fikri. Hati remaja putri itu mencelos, sebab besok ia
tak bisa lagi membawa pisang goreng di dalam tasnya. Otomatis penghasilannya berkurang.

Bab Enam

Usai mengerjakan salat zuhur di musala sekolah, Giarti melangkah pulang. Terik matahari pukul dua
siang, menembus kulit di balik seragam yang dikenakan gadis itu. Berkali-kali punggung tangannya
mengusap keringat di pelipis. Sekujur tubuh pun terasa basah oleh peluh. Rasa dahaga menbuatnya
mempercepat langkah. Tak lama kemudian, gadis itu sampai di rumah. Seperti biasa, rumah itu
selalu dalam kondisi terbuka.

Gadis itu memasuki pintu utama dan hendak ke dapur sekadar untuk minum. Terdengar Rahma dan
Firman sedang berdebat alot di ruang keluarga. Ia pun mengurungkan niat dan pilih menguping dari
ruang tamu yang hanya disekat dinding papan.

Kekesalan Firman bermula dari sang istri yang meminta uang kepada suaminya. Lelaki itu keberatan,
sebab baru dua minggu yang lalu ia memberi jatah bulanan kepada Rahma. “Tentu saja uang yang
kuberi cepat habis, sebab kau pakai membeli keperluan sekolah adikmu. Sudahlah, Rahma! Kalau
memang nggak sanggup, buat apa harus memaksakan diri!”

“Seorang istri tidak wajib membantu saudaranya, Dan seharusnya adikmu adalah tanggung jawab
ayahnya, bukan kita,” cetusnya kemudian. Lelaki itu telah puas mengeluarkan unek-unek di hati.
Sejak awal dirinya memang tidak setuju pada keputusan istrinya. Namun, Rahma memaksakan
kehendaknya.

Firman mengambil sebatang rokok dari bungkus yang masih utuh, lalu membakarnya dengan korek
api. Ia mengisap benda bernikotin itu dalam-dalam, kemudian mengembuskan asap tipis ke udara.

Mendengar perkataan sang suami, ada rasa perih yang tiba-tiba menggores di batin Rahma. Ia
merasa terseret pada dua pilihan yang sama berat. Ingin menenggang suami sebagai imam, tetapi di
sisi lain rasa sayang dan tanggung jawab pada seorang adik begitu besar. Tanpa sadar, matanya
mulai berkaca-kaca.

Begitu juga dengan Giarti, sudut-sudut matanya mulai menitikkan air mata, hatinya sedih tak
terperi. Gadis itu mengabaikan rasa haus dan lapar yang mendera. Ia berjalan pelan menuju ke luar.
Dengan nelangsa, diseretnya langkah menuju kedai Mpok Midah--tempat ia menitipkan jajanan.
Gadis itu meminta uang, hasil penjualan pisang gorengnya. Uang kertas dua puluh ribuan
diterimanya dari wanita paruh baya itu. “Besok titip di sini lagi ya, Gi,” pinta Mpok Midah. Giarti
mengangguk sembari menerima uang itu. Ucapan terima kasih tak pernah luput dikatakannya.

Ketika Giarti hendak pergi ke warung yang lainnya, Mpok Midah menahannya pergi.

“Tunggu bentar, Gi. Yuk kita makan dulu.”

“Kebetulan Mpok masak banyak hari ini, ada gulai ayam juga loh” ajaknya kemudian. Mendengar
kata gulai ayam, air liur gadis itu terbit. Perut yang sejak tadi keroncongan, meronta-ronta minta
diisi.

“Yuk.” Mpok Midah refleks meraih tangan Giarti, lalu menuntunnya ke ruang makan.

“Duduklah, Gi,”titah perempuan berbaju daster itu. Gadis itu menarik sandaran kursi, lalu duduk.
Tampak di atas meja bermacam-macam hidangan. Ada sambal tempe balado, sayur, goreng ikan dan
gulai ayam. Gadis berkerudung putih terheran-heran, tidak biasanya Mpok Midah menjamunya
makan.

“Kalau boleh tau, makanan segini banyak buat apa, Mpok?”

“Oh. Tadi Mpok nerima arisan. Makan-makan bareng ibu-ibu komplek. Jadi masih sisa banyak,” kata
Mpok Midah dengan suka cita.

“Ohhh gitu.” Giarti menyendok nasi, lalu menambahkan sepotong gulai ayam di atasnya. Aroma
karinya menggoda selera gadis itu. Ia pun menyantapnya dengan lahap.

“Ayo, Gi. Tambah nasinya, jangan malu-malu.”

“Makasih, Mpok. Udah kenyang nih.” Dengan perasaan terharu, Giarti memasukkan suapan terakhir
ke mulutnya. Setelah selesai makan, gadis itu berterima kasih, kemudian pamit kepada Mpok Midah.
Dalam hati terselip doa, semoga Allah menambah rezeki dan memberkati perempuan paruh baya
itu. Gadis itu pun melangkah pulang ke rumah sang kakak.

Dengan menahan rasa segan, Giarti memasuki rumah kakaknya. Rahma yang sedang menyapu
lantai, merasa heran sebab adiknya pulang terlambat.

“Kok baru pulang, Gi?”

“Iya, Kak. Maaf. Tadi pulang sekolah langsung ke warung-warung ngambil uang jualan. Nah, di kedai
Mpok Midah, aku dijamu makan sebab dia baru nerima arisan katanya.”

“Oh. Gitu.” Rahma melanjutkan kembali pekerjaannya. Giarti langsung masuk ke kamarnya,
kemudian mengerjakan salat asar. Setelah itu membantu sang Kakak melipat pakaian dan
menyetrika. Tanpa terasa, hari pun mulai senja, lalu berganti petang.

Malam semakin larut, tetapi mata gadis itu belum bisa terpejam. Perkataan Firman tadi siang masih
terngiang di telinganya. Tubuhnya menelentang, sementara pandangannya hampa menatap langit-
langit kamar itu. Sebenarnya ia mulai tidak betah tinggal di rumah sang kakak. Namun, selalu
dikuatkannya untuk bertahan meskipun tak enak hati oleh iparnya.

Tak ada pilihan lain baginya. Jika memilih pulang kampung, maka impiannya menjadi seorang guru
hanya sebatas angan saja.
***

Sementara itu di rumah besar miliknya, Mak Lastri mengintip-ngintip dari balik tirai jendela kaca.
Pandangannya mengamati rumah sederhana milik Firman—anaknya.

“Ibu nggak suka sama tindakan si Rahma itu. Hidupnya saja numpang ke suami, eehhh malah pake
bawa adik ke rumah mereka. Keduanya sudah menjadi benalu buat anakku. Kasihan sekali Firman.”
Perempuan gemuk itu mencebik, sambil mencomot kacang goreng, lalu memasukkannya ke mulut.
Retno yang sedari tadi memelototi TV, hanya diam tak menanggapi. Merasa diabaikan, perempuan
tua itu meradang.

“Kamu itu ya, orang tua ngomong kok diam saja. Mbok ya o dijawab.”

“Lah Retno mesti jawab gimana to, Mak.”

“Adduh biyung! Disekolahin tinggi-tinggi kok yo bodohnya nggak ilang,” umpat Lastri kesal.

“Pikirkan bagaimana cara menyingkirkan gadis itu,” hasutnya kemudian.

“Tak baik berpikiran begitu, Mak. Dosa.”

“Heh. Bukannya ngebela Emak, malah belain orang lain. Durhaka loh.”

“Mak, biarkan saja Giarti tinggal bersama kakaknya. Mas Firman itu bukannya rugi, malah untung lo,
Mak. Allah itu menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

“Halah! Orang tua kok diceramahi.” Lagi-lagi Mak Lastri mencebik.

Bab Tujuh

Usaha pisang goreng yang dijalani Giarti semakin lancar. Setiap hari jajanannya itu habis terjual.
Dirinya sudah banyak mengenal para pemilik warung di kota itu. Giarti melebarkan sayap dengan
menambah tempat penitipan. Terlebih lagi ia sudah pandai mengemudikan sepeda motor, sebab
Rima mengajarinya.

Warung-warung yang berdekatan dengan sekolah, adalah tempat paling menguntungkan. Di sana
Giarti banyak menitipkan dagangannya.

Lantaran sibuk mengurus usahanya, gadis itu tidak sempat lagi membantu pekerjaan sang Kakak.
Ketika hari minggu, selain menitipkan gorengan ke sejumlah kedai, ia juga menjajakan sendiri jajanan
itu. Wisata tepi laut menjadi pilihan untuk menggelar jualannya, sebab di hari minggu lokasi itu
dipadati para pengunjung. Untuk sampai ke pantai, gadis itu mengendarai sepeda motor milik
kakaknya.

Minggu pagi yang damai. Matahari tersenyum cerah seolah memberi semangat. Giarti sudah
bersiap akan berangkat menuju pantai. Tak seperti biasanya, kali ini Sifa ingin ikut pula. Setelah
meminta izin pada Rahma, sang gadis pun membonceng keponakannya. Sekeranjang penuh pisang
goreng ditutupi plastik besar, diletakkannya pada bagian depan di bawah setang motor matic itu.

Jarak dari rumah ke pantai, kira-kira tujuh kilometer. Giarti menjalankan motornya dengan
kecepatan sedang. Sepanjang jalan Sifa menyanyi dengan riang. Tampak olehnya pemandangan tata
kota yang rapi. Sesekali bocah itu bersorak kagum mana kala melihat mobil-mobil berukuran
raksasa. Ada mobil tengki pertamina, bus antar provinsi, truk pengangkut sawit dan kendaraan
lainnya.
Giarti menyalakan lampu sen hendak berbelok ke kanan, secepat kilat sepeda motor berkecepatan
tinggi menabraknya dari belakang. Detik itu juga tubuhnya terhempas ke tengah jalan. Sedangkan
gadis kecil berponi terbentur ke trotoar dan pingsan. Pengendara motor yang menabraknya terjatuh
dan hanya luka ringan saja. Ia segera bangkit, lalu kabur. Sebagian pengguna jalan memarkirkan
kendaraannya, lalu berkerumun di lokasi kejadian.

Giarti merasakan sekujur tubuhnya sakit semua. Lengannya pedih sebab tergores aspal. Yang
pertama kali diingat adalah keponakannya. “Di mana Sifa?” gadis itu bergumam panik. Dengan sisa-
sisa tenaga, ia mencoba bangkit, lalu menoleh ke kanan dan kiri. Tampaklah Sifa tertelentang di atas
trotoar. Giarti tertatih-tatih menyeret langkah ke arahnya. “Sifaaa! Sifaaa!” jeritnya histeris.
Diraihnya pergelangan tangan bocah itu. Urat nadinya berdenyut. “Tolong, Pak ..., Tolong, Bu ....”
Suaranya terdengar menyayat hati dan penuh harap. Seseorang memberhentikan mobil yang
kebetulan melintas. Pak Herman –pemilik kendaraan itu menghentikan mobilnya. Ia pun bersedia
menolong. Orang-orang menaikkan Giarti dan Sifa ke atas mobil itu. Si pemilik mobil membawa
korban ke arah rumah sakit. Melihat darah yang mengucur dari telinga Sifa, perasaan giarti
berkecamuk. Ia cemas luar biasa. Berharap kejadian itu hanya mimpi.

Giarti menatap bocah dipangkuannya dengan rasa pilu. Ia menyesali mengapa bukan dirinya saja
yang mendapat bagian lebih parah. Sesaat ia terkejut, Sifa membuka mata perlahan, tatapannya
nanar, lalu kepalanya terkulai. “Tidaaak!” Giarti menjerit histeris, bahunya berguncang, ia menangis
sejadi-jadinya.

Mendengar teriakan gadis itu, Pak Herman menghentikan kendaraannya di pinggir jalan. Ia menoleh
ke belakang. “Kenapa, Dik?” Giarti tak menjawab, hanya tangisnya yang semakin menyayat hati. Si
pemilik mobil pun turun, lalu membuka pintu belakang. Dirabanya pergelangan tangan bocah di
pangkuan Giarti.

“Innalillahi wa innailaihi rojiun,” ucap lelaki itu. Ia kembali masuk ke mobil, lalu menanyakan tempat
tinggal gadis itu. Giarti menyebutkan alamat, kemudian ia memutar arah kendaraan menuju tempat
yang disebutkan.

Setelah sampai di tujuan, lelaki itu turun membopong jasad Sifa. Dengan pakaian bersimbah darah,
Giarti turun dari mobil dan berjalan gontai memasuki rumah. Rahma yang kebetulan sedang di ruang
tamu, berteriak histeris kala melihat anaknya dibopong orang asing.

“Apa yang terjadi, Gi?” Sang kakak memegangi bahu adiknya yang berwarna merah, sebab terkena
darah Sifa. Giarti tak menyahut, seluruh persendiannya terasa lunglai. Ia pun menggelosor di lantai.
Pak Herman yang membopong jasad Sifa menerangkan kronoligis kecelakaan kepada Rahma. Ibu
satu anak itu tak kuasa menerima kenyataan. Ia meraung memanggil nama anaknya.

Firman yang sedang menonton TV, segera menuju ruang tamu. Lelaki itu kaget melihat putrinya
bersimbah darah.

“Mas, anak kita sudah pergi,” kata Rahma dengan suara parau di sela isak tangis.

“Apa?” Bola mata Firman terbelalak mendengar perkataan istrinya. Diambilnya tubuh Sifa dari
tangan lelaki itu, seketika wajahnya memerah, air mata mulai menitik dari dua sudut matanya. Giarti
mengambil kasur kecil dan kain jarik, lalu meletakkannya di tengah ruangan. Firman membaringkan
jasad Sifa di atasnya, kemudian menutupinya dengan kain itu.

Mobil yang terparkir di halaman rumah Firman mengundang rasa penasaran Mak Lastri dan Retno.
Mereka pun bergegas menghampiri. Setelah masuk, Mak Lastri mengitari ruangan itu dengan
pandangannya. Jantungnya berdegup kencang melihat sosok terbujur di tengah ruangan. Di bukanya
kain jarik penutup jasad itu, seketika ia meraung, berteriak menyebut nama cucu sematang
wayangnya.

“Apa yang terjadi dengan cucuku?” Mak menatap tajam Firman, Rahma dan Giarti secara
bergantian. Giarti dan Rahma tak sanggup berkata-kata, mereka menjawab dengan isak tangis yang
makin menjadi. Meski dengan suara bergetar, Firman menguatkan diri berbicara menerangkan
kejadian naas yang menimpa putrinya. Sekonyong-konyong emosi perempuan gemuk itu tersulut.

“Ohhh. Jadi kamu penyebab kematian cucuku heh! Sejak awal aku memang nggak setuju kamu
tinggal di rumah anakku. Dasar pembawa sial!” Lastri menudingkan telunjuk ke arah Giarti,
kemudian meratap dan memukul-mukul lantai. Retno mengusap-usap punggung emaknya, sambil
berbisik, “Sabar, Mak. Sabar..., jaga sikap Emak. Ini sudah menjadi kehendak Allah. Kita semua akan
pergi menghadap kepada-Nya. Hanya waktu dan caranya saja yang berbeda.”

Mendapat perlakuan begitu, batin Giarti makin tersudut, Ia merasakan seolah-olah semua orang di
rumah itu menyalahkan dirinya. Hanya mbaknya saja yang tidak.

Herman mulai tidak enak hati dengan sikap Lastri. Lelaki itu berpikir tugasnya telah selesai, ia pun
pamit undur diri.

“Mohon maaf, Pak, Buk. Saya akan kembali melanjutkan perjalanan.” Herman memandangi Lastri,
Firman dan Rahma bergantian.

“Semoga almarhumah mendapatkan tempat yang layak, keluarga diberikan ketabahan dan
kesabaran,” pungkasnya kemudian. Firman bangkit dari duduknya, kemudian menyalami lelaki itu
seraya mengucapkan terima kasih. Firman mengantarkan Herman sampai di halaman. Ia menatapi
lelaki yang telah mengantarkan jasad anaknya hingga memasuki mobil.

Tak lama kemudian, para tetangga pun datang berduyun-duyun untuk melayat. Kaum Hawa
menjinjing kresek kecil berisi beras, untuk diberikan kepada keluarga yang berduka. Mereka
menyatukan beras- beras itu pada sebuah karung besar dan menempatkannya di sudut rumah.
Sebagian pelayat ada juga yang memberikan uang, dengan cara dimasukkan ke dalam baskom yang
disiapkan oleh salah seorang di antara mereka. Sementara itu, beberapa orang lelaki memasang
tenda, para pemuda meminjam kursi dari kelurahan untuk menampung banyaknya pelayat yang
datang ke rumah Firman. Mereka pun menyiapkan keranda bertuliskan kalimat Innalillahi wa
innailahi rajiun pada kain penutupnya. Beberapa orang membuat tempat pemandian jenazah, empat
buah tonggak dipancangkan di tanah, kemudian tiap sisinya ditutupi terpal sehingga menyerupai
dinding. Di dalamnya ada meja panjang khusus untuk meletakkan mayat yang akan dimandikan.
Meja panjang, keranda dan tenda adalah milik masyarakat di komplek itu. Mereka menyimpan
benda-benda itu di mesjid. Semua warga berhak memakainya. Untuk tim memandikan jenazah,
sudah ada orang-orang tertentu yang biasa melakukannya. Mereka tidak mematok harga, hanya
amplop berisi uang sekadar tanda rasa terima kasih dari keluarga yang berduka.

Tiga orang pria mengangkat jasad Sifa, lalu membawanya ke tempat pemandian. Beberapa wanita
menyambutnya dan telah siap sedia dengan berember-ember air, bermacam wewangian, sabun
serta kapur barus. Mereka pun segera memandikan jenazah sesuai tuntunan syari’at.

Setelah itu, jasad Sifa diangkat kembali untuk dikafani. Rahma tak kuasa memandangi
penyelenggaraan jasad anaknya. Sedari tadi ia hanya menunduk dan tak henti-hentinya menangis.
Matanya telah memerah, kepalanya pun merasa pusing. Sebenarnya bukan kematian anaknya saja
yang membuatnya bersedih, perlakuan mertua terhadap dirinya pun ikut memicu keterpurukan
jiwanya. Hanya Sifa lah yang mampu membuat ia bertahan. Lalu kini sang gadis kecil telah pergi
untuk selamanya.

Begitu juga dengan Giarti, batinnya sangat terpukul dengan kejadian ini. Rasa sesal yang sangat
dalam meliputi jiwanya. Beribu andai berkelebat di benaknya. Andai ia tidak bersedia dijemput
Rahma saat di kampung, mungkin peristiwa ini tak akan ada.

Lain halnya dengan Firman, meski rasa kehilangan mendera hatinya, tetapi ia bisa
menyembunyikannya dari orang-orang. Lelaki itu tampak tegar dan masih mampu menyalami
pelayat yang datang.

Usai menjalani proses penyelenggaraan jenazah, jasad Sifa dimasukkan ke dalam keranda. Beberapa
orang lelaki menggotongnya, lalu membawanya ke Mesjid untuk disalatkan. Kemudian diantarkan ke
pemakaman.

Bab 8

Firman hendak beraktivitas seperti biasa. Pagi-pagi ia telah bangun dan membersihkan diri. Lelaki
itu telah rapi dengan seragam dinas yang dikenakannya. Biasanya sepagi ini Rahma sudah
menghidangkan sarapan untuknya di meja, tetapi kali ini tidak. Firman memaklumi, mungkin istrinya
masih berkabung atas meninggalnya anak mereka. Akhirnya ia memilih untuk mengisi perut di luar
saja.

Sejak kematian putrinya, banyak perubahan yang terjadi pada Rahma. Wanita itu sering melamun
seorang diri, sedikit berbicara dan aura keceriaan pun tidak tampak lagi di wajahnya. Ia tak lagi
berhasrat melakukan apa pun di atas rumah itu. Cucian yang telah menumpuk di dalam ember, tidak
digubrisnya. Sapu yang biasa akrab dengannya, kini dilihat pun tidak. Kondisi rumah dan halaman
yang kotor tidak dihiraukannya.

Giarti bisa merasakan kesedihan yang dialami sang kakak. Gadis itu menulis surat kepada gurunya
yang ia kirimkan melalui seorang teman. Dalam surat itu dirinya meminta izin tidak masuk sekolah
selama dua hari ke depan, sebab ingin menghibur dan membantu kakaknya yang sedang berduka.

Semua pekerjaan yang biasa dilakukan Rahma, mulai diambil alih sang adik. Ia menyapu rumah,
mencuci pakaian dan mengolah bahan-bahan makanan yang tersedia di dapur. Setelah memasak
nasi, ia membuat tempe balado dan sayur bayam, kemudian meletakkan semuanya di meja.

Giarti berjalan menuju ke kamar Rahma. Pintunya terbuka, ia pun langsung masuk. Wanita itu
duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong menerawang.

“Mbak. Aku sudah masak tempe goreng sama sayur. Ayo kita makan bareng."

Wanita muda itu diam tak menyahut. Hanya air mata yang berlinang dari kedua sudut matanya.

“Ayo, Mbak. Nanti Mbak bisa sakit kalau nggak makan.” Rahma menggeleng pelan. Melihat reaksi
sang kakak, gadis itu menjadi sedih dan bingung, tak tahu apa yang harus diperbuat.

Bukan hanya tidak mau makan, Rahma pun mulai tidak peduli pada penampilan dirinya. Rambutnya
dibiarkan kusut, ia juga enggan mandi. Rahma lebih suka berdiam diri di kamar sambil membuka-
buka buku tulis Sifa. Dipandanginya jejak goresan tangan sang anak pada buku itu. Sesekali ia
tersenyum, ada kalanya menangis seorang diri.Terkadang dipeluknya juga boneka mainan milik sang
anak.
Giarti merasa iba dengan perubahan sikap dan perilaku kakaknya. Perasaan bersalah seketika
hinggap di batinnya. Berurai air mata gadis itu saat mengingat detik-detik terakhir peristiwa yang
merenggut nyawa keponakannya. Namun, sekuat tenaga ia bangkit dan berpikir bahwa itu sudah
suratan dari Yang Maha Kuasa.

***

Sore itu, Firman baru saja pulang dari kantor. Didorong rasa lapar, ia pergi ke dapur, tetapi hanya
ada nasi, tempe dan sayur di meja. Ia sama sekali tidak berselera untuk memakannya. Lelaki itu
menginginkan gulai ikan gurame yang sering dihidangkan istrinya. Ia pun bergegas ke kamar untuk
menyuruh Rahma memasak ikan. Namun, alangkah terkejut dirinya saat mendapati sang istri sedang
meracau sambil tertawa, sedangkan air mata menitik di kedua pipinya.

“Rahma, apa yang terjadi denganmu?” Lelaki itu merengkuh istrinya ke dada, tetapi perempuan itu
tidak merespon. Dia berontak ingin melepaskan diri dari pelukan suaminya “Siapa kamu? Kamu yang
sudah menabrak anakku? Jangan mendekat! Jangan mendekat!” Rahma mengacungkan telunjuk dan
menggoyangkannya ke kiri dan kanan dengan mimik wajah mengancam.

“Rahma ..., sabar Sayang. Anak kita sudah beristirahat dengan tenang di alam sana. Ikhlaskan
kepergiannya, Sayang.” Firman meraih tangan wanita itu, lalu menggenggamnya dengan erat
mencoba mengalirkan ketabahan kepada istri tercinta.

“Ssttttt. Jangan keras-keras bicaranya, Mas, nanti anak kita bangun.” Perempuan itu melepaskan
genggaman tangan Firman, lalu menempelkan telunjuknya di bibir, kemudian mendorong tubuh
Firman ke luar. Setelah itu, ia menutup pintu kamar.

Batin Firman terguncang dengan perubahan sikap istrinya yang tidak wajar. Ia terduduk di sofa,
mencoba mencerna apa yang terjadi. Sedikit ia mengetahui tentang ilmu kejiwaan. Lelaki itu
menyimpulkan Rahma sudah kehilangan akal sehat.

Mak Lastri memasuki rumah Firman sekadar ingin tahu keadaan. Wanita itu mendapati anaknya
sedang termenung di sofa.

“Man, sudah enam hari kepergian Sifa. Apa kamu sudah memikirkan penyelenggaraan untuk
menujuh hari anakmu?” Lastri duduk di sofa yang berhadapan dengan Firman. Lelaki itu mengusap
wajah yang terlihat tegang dan bingung. Namun, ia tak menjawab pertanyaan emaknya.

“Loh. Kok malah diam, Man?” Lastri bertanya penuh selidik.

“Entahlah, Mak. Firman sama sekali nggak kepikiran hal semacam itu. Lagi pula acara semacam itu
nggak wajib hukumnya.”

“Maksud kamu apa, Man? Ini pasti kamu sudah termakan hasutan si Rahma ya?” sindir Lastri
dengan geram.

“Mak, bisa nggak sih Emak hargai istri Firman sekali ..., saja. Dalam keadaan berduka, Emak sempat-
sempatnya menyalahkan adiknya. Sekarang Firman nggak mau ngadain acara nujuh hari, emak juga
nyalahin dia. Firman pusing, Mak. Pusing ....”
“Loh, loh, kok kamu nyalahin Emak sih. Tujuan Emak itu baik, mau bantuin kamu untuk acara tujuh
harian. Ya sudah, kalau kamu nggak mau biar Emak adakan di rumah Emak saja.” Wajah perempuan
itu terlihat kecut menahan emosi.

“Tinggal kamu serahkan saja uang untuk membiayai acaranya,” pungkasnya kemudian.

Firman tak menyahut ucapan emaknya. Matanya menerawang jauh ke depan.

“Kalau bisa siapkan uangnya sekarang, Man. Besok sudah tepat menginjak tujuh hari,” desaknya
lagi. Firman memandangi wanita itu dengan lekat.

“Untuk saat ini, Firman nggak mikirin acara tujuh hari atau apapun itu. Yang Firman pikirkan istri
Firman, Mak.” Lelaki itu berkata dengan suara bergetar.

“Memangnya kenapa istrimu, Man?”

“Emak lihat saja sendiri. Dia ada di kamar.” Firman menunduk, tanpa disadari air mata menitik di
kedua sudut matanya.

Lastri berjalan ke sebuah bilik, lalu ia membuka pintu. Tatapannya nanar, tangannya refleks
menutup mulutnya yang menganga. Ia tercengang menyaksikan adegan di hadapannya. Rahma
terlihat mengusap-usap punggung boneka Dora milik Sifa. “Tidurlah Sayang ..., Tidurlah Sifa ..., kalau
tidak tidur digigit nyamuk.” Menantunya bernyanyi lirih sambil tersenyum getir. Bahu wanita itu
bergidik, spontan ia menutup kembali pintu kamar. “Menantuku telah gila,” batinnya bergumam.

Tubuhnya yang gempal tergopoh-gopoh menghampiri Firman.

“Istrimu sudah gila, Man. Ayo kita antarkan ke rumah sakit jiwa.” Nafas Lastri terengah-engah sebab
kepanikannya belum hilang.

“Nggak. Rahma nggak gila, Mak. Dia Cuma butuh ketenangan,” sela Firman.

“Kalau bukan gila apa namanya? Dia ngomong sendiri, ketawa sendiri. Ihh!”

Giarti yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka dari dalam kamar, tak dapat menahan
tangis. Ia sangat terpukul dengan kondisi kakaknya. Dalam kekalutan hati, gadis itu berencana
pulang ke kampung halaman, tentunya dengan membawa sang kakak. Dihapusnya air mata yang
terlanjur membasahi pipi. Ia berjalan ke ruang tempat kakak ipar dan emaknya berbincang. Dengan
takut-takut gadis itu mendekat.

Bab 9
“Mohon maaf, Bu, Kak Firman.” Giarti berkata sambil menunduk gugup. Mak Lastri dan Firman
menoleh bersamaan ke arahnya.

“Tolong izinkan saya membawa Mbak Rahma pulang ke kampung. Kalau di sini saya khawatir
nantinya akan merepotkan Ibu dan Kak Firman. Apa lagi kalau Kak Firman sedang dinas ke luar
daerah, tentu Mbak Rahma sendirian di rumah,” pintanya kemudian.

Mendengar permintaan Giarti, Emak dan anak itu saling berpandangan. Firman mengerenyitkan
kening, dalam hati ia menbenarkan ucapan adik iparnya. Terkadang dirinya mendapat tugas ke luar
daerah dari kantor. Namun, nuraninya berbisik tak rela. Ia merasa seperti kumbang penghisap madu,
setelah puas mereguk sarinya, bunga pun tak dihiraukan lagi.

“Iya. Sebaiknya memang begitu, sebab di sini pun nggak ada yang ngurus,” kata wanita yang
tubuhnya dipenuhi perhiasan itu.

Gadis itu merasa lega mendengar jawaban mertua kakaknya.

“Iya, Bu. Malam ini saya pamit, sebab besok pagi Insyaallah akan berangkat. Terima kasih atas
kebaikan Kak Firman yang sudah menampung saya di rumah ini. Mohon maaf karena selama tinggal
di sini, saya sudah merepotkan Kak Firman,” pinta Giarti dengan sopan.

Tak ada pilihan bagi Firman selain menyetujui keinginan adik iparnya. Namun, ia tidak serta
melepasnya begitu saja. Dirinya berniat, akan sering-sering menengok sang istri.

Malam itu juga, Giarti mengemasi pakaian miliknya. Sudut hatinya terasa pilu saat mengenang
semua yang terjadi. Ia berjanji akan merawat kakaknya sepenuh hati.

***

Setelah Firman berangkat ke kantor, Giarti masuk ke kamar kakaknya. Hatinya bertambah pedih
melihat sorot mata sang kakak yang tanpa ekspresi. “Mbak, ayo mandi. Sebentar lagi kita mau
pulang kampung.” Giarti menuntun tangan Rahma dengan penuh kasih sayang, lalu membawanya ke
kamar mandi di samping bilik. Dengan sabar gadis itu mengguyur tubuh kakaknya dengan air.
Menyabuni dan membersihkan rambutnya dengan shampo. Setelah itu, dipakaikannya baju dan
jilbab yang pantas untuk kakaknya.

Pukul delapan pagi, dua bersaudara itu berjalan ke pangkalan ojek. Giarti tampak keberatan
membawa tas ransel berisi pakaian mereka. Sepanjang perjalanan, Giarti hanya bermonolog dalam
hatinya, sebab sang kakak sudah tak nyambung jika diajak bicara. Rahma hanya diam membisu
dengan pandangan kosong menerawang.

Ketika lewat di depan sebuah kedai, seorang wanita paruh baya memanggil namanya. Giarti
menoleh, ternyata Mpok Midah. Wanita itu adalah pemilik kedai, tempat gadis itu biasa menitipkan
pisang goreng.

“Mau ke mana, Gi? Itu bawa tas gede banget.” Setengah berteriak wanita itu bertanya.

“Saya mau pulang kampung, Mpok.”

“Bareng mbakmu juga?”

“Iya, Mpok.”

“Lah. Terus, gak sekolah?”


Giarti hanya bisa menunduk mendengar pertanyaan Mpok Midah. Untuk saat ini, dirinya tidak
berpikir tentang sekolah. Ia hanya ingin pulang ke kampung membawa kakaknya untuk
menenangkan pikiran di sana.

“Kok diam, Gi?” tanya Mpok Midah penuh empati.

“Nggak papa, Mpok,” jawab Giarti singkat.

Mendengar jawaban Giarti yang pendek, jiwa kepo wanita itu makin meronta-ronta. Ia meminta
gadis itu untuk singgah sebentar di kedainya. Giarti pun mengajak kakaknya memenuhi permintaan
Mpok Midah.

Kakak beradik itu duduk pada sebuah bangku di kedai. Wanita ramah itu mengeluarkan dua gelas air
teh manis kemasan dari kulkas, lalu mengangsurkannya ke hadapan mereka.

“Ayo diminum tehnya, Gi, Rahma,” pinta Mpok Midah.

“Makasih banyak, Mpok. Duh, jadi ngerepotin,” Giarti berbasa-basi. Ia pun mengangkat gelas itu
sembari memberi isyarat kepada kakaknya agar meminum teh.

Timbul penasaran pada diri Mpok Midah melihat prilaku Rahma yang tak biasa. Ibu satu anak itu
tidak bicara satu kata pun. Sejak tadi ia hanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Mpok Midah
mencoba memancingnya agar ia bersuara.

“Ada acara apa di kampung, Rahma? Kok mendadak banget kayaknya, bahkan ini bukan hari libur.”
Mpok Midah mengarahkan pandangannya kepada Rahma.

“Nggak ada acara apa-apa, Mpok. Kami hanya ingin menenangkan pikiran saja. Maklum kami baru
tertimpa musibah.” Lagi-lagi Giarti yang menjawab pertanyaan wanita itu. Sedangkan Rahma tetap
bergeming.

“Iya sih, Mpok juga ngerti, kalian masih berduka atas kepergian Sifa. Tapi kan kita nggak harus
berlarut-larut dalam kesedihan, Gi. Apa lagi sampai mengorbankan sekolahmu, Gi.”

Mendengar wejangan Mpok Midah, sudut hati gadis itu berdenyut pilu. Betapa berat hatinya
meninggalkan bangku sekolah yang ia perjuangkan selama ini, tetapi keadaanlah yang memaksanya.
Di kota itu Giarti tak punya siapa-siapa selain Rahma.

“Jangan lama-lama di kampung ya, Gi. Sayang tuh jualan pisang gorengnya, ntar pelanggan pada
lari,” saran Mpok Midah.

“Mau berapa hari di kampung? Kapan balik lagi ke sini?”

Giarti tak menjawab. Ia hanya menunduk mendengar pertanyaan wanita itu.

“Kok diam, Gi? Selidik Mpok Midah penuh empati.

Giarti tak kuasa menahan perasaan. Dengan sedih gadis itu menceritakan alasannya pulang ke
kampung. Dikatakannya pula keadaan yang menimpa sang kakak kepada perempuan itu.

“Wah! Wah, gile tu Si Firman. Saat bini sehat wal afiat, die demen. Nah sekarang giliran bini sakit
malah dibiarin pulang. Emang nggak punya hati nurani ye.” Mpok Midah mencak- mencak sebab
merasa iba atas nasib malang yang menimpa Rahma.

“Jahat bener tuh Si Firman,” umpatnya kemudian.


“Nggak, Mpok. Kak Firman nggak jahat. Ini memang kemauan saya,” sela Giarti.

“Iya sih, tapi menurut Mpok itu nggak wajar. Habis manis sepah dibuang namanya”

“Bukan begitu, Mpok. Kak Firman kan sering dinas ke luar daerah, jadi lebih baik Mbak Rahma saya
bawa pulang kampung saja, di sana ada ibu, ada adek-adek juga.”

Setelah merasa agak lama duduk di kedai, gadis itu kemudian pamit untuk melanjutkan
perjalanannya.

“Terima kasih suguhannya, Mpok.” Giarti bangkit dari duduk, kemudian By perempuan itu.

“Iya, Gi. Oh ya, kalau Gi masih niat buat sekolah, tinggal aja sama Mpok. Kan bisa bantu-bantu Mpok
di warung.”

Mendengar perkataan Mpok Midah, ada setitik harapan yang tiba-tiba hadir di palung hati gadis itu.
Namun, untuk saat ini ia ingin pulang kampung terlebih dulu. Selain rindu, banyak hal ingin
dibicarakannya dengan sang ibu.

“Insyaallah, Mpok. Nanti saya pikirkan.” Giarti melangkah diikuti oleh Rima yang hanya diam seribu
bahasa. Mereka meneruskan perjalanan menuju ke kampung halamannya. Suatu desa terisolir, jauh
dari keramaian, tak ada listrik dan sinyal HP.

Bab 10

Ketika sampai di kampung, Giarti dan Rahma disambut azan magrib dari sebuah mesjid. Semburat
lembayung senja menghiasi langit di ufuk barat. Dua perempuan itu mempercepat langkah agar
segera sampai di rumah.

Mereka berjalan di atas pematang sawah. Lalu melintasi kebun-kebun milik penduduk desa itu. Tak
lama kemudian, sampailah dua beradik itu di tempat tinggal mereka.

Giarti memandangi kondisi tempat tinggalnya yang nyaris tak layak huni. Dindingnya terbuat dari
papan yang sudah kropos dimakan usia, sedangkan atapnya adalah lembaran seng yang sudah
dipenuhi karat. Rumahnya tampak paling buruk dibandingkan dengan rumah-rumah lain di desa itu.

Dua bersaudara itu langsung memasuki rumah. Sumirah dan kedua anaknya baru selesai salat
berjemaah. “Ibu.” Giarti menghambur ke pelukan ibunya yang masih berbalut mukena. Aura
kedamaian seketika merambat pada jiwa gadis itu. Kedua adik pun dipeluknya bergantian.

Beda hal dengan Rahma, sedari tadi hanya diam dengan tatapan menerawang. Sumirah heran
melihat tingkah sulungnya itu. Giarti bisa menangkap rasa penasaran sang ibu. Tanpa menunggu
ibunya bertanya, gadis berjilbab panjang itu bicara,”Mbak Rahma sakit, Bu. Dia nggak kuat menahan
kesedihan setelah Sifa meninggal.”

Mendengar penuturan gadis itu, Sumirah merasakan persendiannya lunglai seketika. Rasa sedih tiba-
tiba menghantam batinnya. Dengan berurai air mata, ia merengkuh bahu si sulung, lalu
menenggelamkan kepala Rahma ke dadanya. Sementara tangannya mengusap pelan kepala berbalut
jilbab instan yang dikenakan anak sulung itu.

Tak ingin melewatkan waktu magrib, Giarti pergi ke belakan rumah. Ia mengambil wudu dengan air
pancuran yang ada di sawah milik mereka.

Usai menunaikan salat magrib di kamar, Giarti menggabungkan diri dengan ibu dan ketiga
saudaranya. Mereka berkumpul di ruang tengah dengan diterangi lampu minyak tanah. Sepiring
singkong rebus bertabur kelapa parut yang diberi sedikit garam tampak terhidang di tengah ruangan.
Mereka bercengkrama sambil menyantap makanan itu.

Giarti menceritakan tentang kecelakaan yang merenggut nyawa keponakannya, sampai akhirnya
berakibat buruk pada kejiwaan sang kakak. Sumirah mendengarkan dengan tabah. Jiwanya telah
terbiasa ditempa kepedihan hidup, sehingga bisa lebih tegar meskipun batinnya merasa getir.

Meskipun begitu, naluri keibuannya diliputi suka cita. Sebab keempat putrinya kini berkumpul dekat
dengan nya.Ia merasa, mereka tetaplah anak-anak kecil yang butuh belaian kasih sayang.

Sayup-sayup terdengar azan berkumandang. Sumirah dan keempat anaknya mengerjakan salat isa
berjemaah.

***

Seperti hari-hari sebelumnya, pukul tiga dini hari Sumirah sudah bangun. Usai salat tahajud dan
membaca lembaran kitab suci, ia pergi ke dapur membuat adonan tepung untuk pisang goreng.
Beberapa sisir pisang kepok dikupasnya, lalu dicelupkan pada adonan. Wanita lima puluh tahun itu
mengerjakannya sendiri, tanpa membangunkan anak-anaknya. Sumirah sangat menyayangi mereka
lebih dari apapun. Dahulu, ketika suaminya berselingkuh dan menikahi wanita lain, ia memilih tidak
meminta cerai. Sebab dirinya tidak berniat menikah lagi dan hanya fokus mengurus anak-anaknya.
Terkadang air matanya meleleh lantaran tidak bisa memberikan kehidupan dan pendidikan yang
layak untuk keempat buah hatinya.

Waktu subuh pun tiba, ia bergegas untuk menunaikan panggilan Ilahi. Tak lupa pula membangunkan
anak-anaknya agar menjalankan salah satu rukun islam. Usai melaksanakan salat subuh, ia kembali
ke dapur, lalu menyalakan api di tungku, kemudian meletakkan kuali berisi minyak di atasnya.
Sumirah mulai memasukkan pisang-pisang itu ketika minyak sudah panas.

Angin mengantarkan aroma pisang goreng memasuki kamar Giarti, hingga terhidu indra penciuman
gadis itu. Usai melepas mukena, ia pun melangkah ke dapur untuk membantu ibunya. Disusunnya
gorengan yang masih panas itu di atas nyiru. Kemudian mencuci peralatan dapur yang yang kotor.

Tepat pukul tujuh, pekerjaan pun telah usai. Sang ibu bersiap untuk menjajakan jajanan itu.
Diraihnya nyiru berisi penuh pisang goreng, lalu menjunjungnya di kepala. Ia pun melangkah dengan
optimis. “Bismillah, semoga terjual habis,” bisiknya kepada Ilahi.

“Ibu berangkat ya, Nduk,” pamitnya kepada sang anak. Gadis itu mengangguk. “Iya, Bu. Hati-hati di
jalan, njeh,” ujar Giarti dengan logat Jawa yang kental.

Sang anak menatapi kepergian ibunya di depan pintu. Dalam hati ia berdoa, semoga jualannya laris.
Setelah wanita terkasih menjauh, ia pun membalikkan badan untuk membereskan rumah dan
menyapu halaman. Meskipun tempat tinggalnya buruk, tetapi bersih dan nyaman. Setelah itu ia
memasak nasi dan membuat sayur untuk makan sekeluarga.

***

“Pi ... sang Go ... reng!”

Setengah berteriak Sumirah menawarkan dagangannya. Sebagian orang membelinya karena ingin,
tak sedikit juga yang membeli sebab terdorong rasa iba. Wanita ringkih itu menjajakannya ke
sekolah-sekolah bahkan ke sawah. Ia berjalan di pematang, lalu singgah dari satu dangau ke dangau
lainnya. Para petani membeli dagangannya, ada pula yang berhutang terlebih dulu. Wanita bertubuh
kurus itu tak keberatan, sebab biasanya mereka membayar di lain hari.
Langit yang awalnya cerah, tiba-tiba berubah mendung. Air dari celah-celah awan pun turun tanpa
bisa dicegah. Sumirah yang sedang menjajakan jajanan, segera berteduh pada sebuah gubuk.
Dipandanginya pisang goreng dalam nyiru. Hatinya nelangsa, sebab dagangannya belum habis
terjual, sementara hari sudah petang. Hanya dengan membawa sedikit uang, ia pulang dengan
perasaan hampa. Sampai di rumah, tampak keempat putrinya tengah bersiap untuk salat magrib.

***

Malam itu, Giarti merebahkan badan di atas ranjang. Tatapannya lurus mengarah ke langit-langit.
Merenungi tentang perjalanan hidupnya. Haruskah perjuangannya berakhir begini? Gadis itu
teringat perkataan gurunya, bahwa tujuan bersekolah bukanlah untuk mendapat pekerjaan. Namun,
dengan pendidikan tinggi, kelak akan bisa mendapat pekerjaan yang layak. Sehingga bisa
membahagiakan orang-orang yang disayanginya.

Teringat pula ucapan Mpoh Midah yang memberinya peluang. “Apakah ini jalanku meraih cita-cita
ya, Rabbi?” bisiknya dalam angan. Terlintas juga wejangan ustaz di tempatnya mengaji, siapa yang
bekerja keras dan bersungguh-sungguh akan berhasil.

Remaja enam belas tahun itu menghampiri ibunya yang baru merampungkan bacaan Al-Qur’an.

“Bu, boleh Nduk balik lagi ke kota?”

“Ke tempat siapa, Nduk?”

Nduk adalah panggilan kesayangan Sumirah kepada Giarti. Itu juga merupakan sebutan untuk anak
perempuan di Jawa.

“Nduk ingin sekolah lagi, biar bisa mengubah nasib kita.”

“Lah, tapi gimana caranya? Ibu ndak punya uang buat biaya sekolah, Nduk.”

“Nduk mau kerja sambil sekolah, Bu. Ada orang yang butuh pelayan untuk jagain kedainya. Nduk
boleh tinggal di rumahnya sambil bekerja.”

Dengan antusias gadis itu berbicara. Diceritakannya tentang Mpok Midah yang menawarinya
pekerjaan. Ibunya terdiam memikirkan perkataan sang buah hati. Ia tak menyangka ternyata gadis
itu punya keinginan kuat untuk sekolah.

“Gimana, Bu? Boleh ya, Bu. Boleh ... “ Giarti memohon.

Sumirah bisa merasakan kesungguhan putrinya. Meskipun berat hati berpisah dengan sang anak,
tetapi tak ada pilihan lain. Ia pun mengangguk. Serta merta dirangkulnya gadis itu. Segenap doa
terucap seiring linangan air mata.

Pagi hari, Giarti pun berangkat memperjuangkan impiannya. Sumirah hanya membekalinya uang
ongkos perjalanan dan nasi dengan lauk ikan asin berbungkus daun pisang.

***

Sampai di kota, ia menuju kediaman Mpok Midah. Seperti biasanya, wanita paruh baya itu tampak
sedang melayani para pembeli. Area rumahnya cukup luas, letaknya strategis dan dekat dengan
perkantoran. Tak jauh dari SMA tempat Giarti bersekolah.

Ia memiliki dua ruko yang bersebelahan. Satu menyediakan aneka bahan bangunan seperti semen,
keramik, cat, seng dan lain-lain. Sedangkan ruko di sampingnya menjual barang-barang harian dan
menerima jasa fotocopy. Selain itu, Mpok Midah juga menyulap halaman rumahnya menjadi
lapangan bola voli dan basket. Jaringan wifi pun tersedia di sana. Setiap sore, kedua lapangan itu
ramai oleh para pemuda dan pemudi yang bertanding voli dan basket. Ada juga yang sekadar
menonton sambil memainkan HP. Suasana pun menjadi ramai, sehingga warung Mpok Midah begitu
laris. Usai bertanding, para remaja itu biasanya berlesehan melepas lelah di teras kedai. Mereka
memesan mie rebus dan susu atau Pop Ice.

Mpok Midah dan Bang Hendro--suaminya-- telah lama membangun usaha itu. Mereka hanya
dibantu satu orang karyawan lelaki. Namanya Tarja. Tugasnya membantu menjaga kedai dan
menaikkan barang ke atas kendaraan para pembeli.

Warung di sebelahnya, ditangani sepenuhnya oleh wanita itu. Dahulu pernah ada seorang pelayan,
tetapi hanya beberapa hari saja kerja di situ. Ia kelelahan dan memilih berhenti. Wajar, sebab hingga
malam hari pun, warung itu masih didatangi pengunjung. Mereka kongkow-kongkow sambil
memanfaatkan WIFI milik Mpok Midah. Si pelayan terpaksa membuatkan mie rebus dan minuman
yang dipesan orang-orang itu sampai larut malam.

“Assalammualaikum, Mpok,” sapa Giarti.

“Waalaikumsalam. Eh, Elu. Gi. Akhirnya balik juga. Gimana kabar Rahma?”

“Alhamdulillah, udah agak baikan, Mpok,” jawab Giarti pendek.

“Syukurlah. Yodah, langsung masuk aja, Gi.” Setelah melayani pembeli, wanita itu mengantarkan
Giarti ke sebuah kamar.

“Nah, ini kamar untuk Lu.”Mpok Midah membuka pintu sebuah bilik. Sebuah matras kecil
menyambut kedatangan gadis itu. Ruangannya cukup luas jika dibanding dengan kamar di rumah
Giarti.

“Nanti sudah salat magrib, langsung bantu Mpok di kedai ya,” titahnya kemudian.

“Mpok, mie instan tiga bungkus!” Terdengar seseorang berteriak dari warung. Terkadang ada
pembeli yang tak kenal waktu, mendekati jam salat pun mereka masih berbelanja.

“Iya. Bentar!” Wanita itu menyahut. Lalu setengah berlari menuju ke depan.

Beberapa saat kemudian, azan berkumandang. Mpok Midah menutup warungnya. Selesai salat
magrib, ia akan membukanya kembali.

Bab 11

Usai mendirikan salat magrib, Giarti mengeluarkan nasi berbungkus daun pisang dari tas, bekal dari
ibunya. Disantapnya makanan itu dengan penuh rasa haru. Dari tiap nasi yang disuapkan ke mulut,
ada jejak sentuhan kasih yang ia rasakan. Tanpa sadar, air matanya menitik di kedua sudut netra.
“Aku harus sukses supaya bisa membahagiakan Ibu,” tekatnya dalam batin.

Setelah menghabiskan makanannya, gadis cekatan itu bergegas ke kedai. Mpok Midah tampak
membuka pintu rolling.

“Jadi, tugas Lu di sini, menjaga warung sama membuatkan pesanan mie dan minuman ya, Gi.
Termasuk juga memoto kopi.” Wanita itu mengarahkan telunjuk pada mesin fotocopy dekat etalase.

“Iya, Mpok.” Giarti mengangguk penuh semangat. Dirinya tak peduli meskipun lelah masih
bergelayut di badan. Sebab ia ingin mengambil hati sang majikan.
“Sini, Mpok ajarin cara moto kopinya.” Perempuan itu memberi israrat agar Giarti mendekat.

“Nah, Gini nih caranya. Pertama, Lu letakkan buku yang mau dikopi itu di atas kaca ini. Terus, atur
posisi kertasnya. Sudah tu tekan tombol On ini ya, Gi.” Dengan cekatan perempuan bertahi lalat di
bibir itu mencontohkan cara mengoperasikan mesin fotocopy. Lalu menyuruh Giarti mencobanya.
Tak butuh waktu lama, gadis itu langsung bisa mempraktikkannya. Mpok Midah takjub, sebab
karyawan barunya cerdas dan tanggap.

“Sip. Pinter, Lu, Gi.” Wanita paruh baya itu memamerkan jempol seraya tersenyum semringah.

Malam itu, Giarti mulai bekerja di warung Mpok Midah. Sebenarnya ia butuh istirahat karena lelah,
usai menempuh perjalanan dari kampung. Namun, rasa itu dikesampingkan demi sebuah impian.

“Oh, ya. Untuk masalah gaji, gimana kalau tiga ratus ribu per bulan?” Sang majikan mengajukan usul.
Remaja enam belas tahun itu menanggapi dengan suka cita. Menurutnya, uang sebanyak itu sudah
lebih dari cukup. Terlebih lagi gratis makan dan tempat tinggal.

Selepas memberitahu Giarti apa-apa yang harus dikerjakan di kedainya, Mpok Midah menghampiri
Erlan—suaminya—di ruko sebelah.

“Bang, ayo kita makan malam di luar,” ajaknya kepada suami. Erlan tidak langsung mengiyakan,
keningnya berkerut, seolah mempertimbangkan ajakan sang istri.

“Hhmm, gimana ya? Terus warung nggak ada yang jagain dong.”

“Tenang, Bang. Kita kan udah ada karyawan baru.”

“O, ya. Tapi kita jangan mudah percaya sama orang baru.”

“Ini beda, Bang. Aye udah lama kenal dia. Itu tuh, si Giarti yang biasanya nitip pisang goreng di sini.”

Erlan kembali mengernyitkan kening.

“Oooh, Giarti. Iya ... iya, Abang inget.”

“Yodah. Yuk kita berangkat. Lagian Aye kagak masak hari ini, sibuk mulu di kedai.” Mpok Midah
menggandeng lengan suaminya.

“Tarjo, Saya ke luar sebentar ya. Kamu baik-baik di sini,” Erlan berpamitan kepada Tarjo—
karyawanya.

“Iya, juragan.” Lelaki berbadan kekar itu mengangguk sopan. Tarjo sudah bertahun-tahun bekerja di
kedai milik Erlan. Selain cekatan, ia juga selalu jujur dalam pekerjaan. Sang majikan sangat
mempercayainya.

Pasangan suami istri itu berjalan melewati ruko tempat Giarti bekerja. Mpok Midah mendekat ke
arah gadis itu, sedangkan Erlan terus ke garasi hendak memanaskan mesin mobil. Saat melewati
ruko, matanya sempat menoleh kepada sang gadis.

“Mpok ke luar dulu ya, Gi. Mau dibungkusin nasi padang, bakso, cireng, sate, atau apa?” tawarnya
ramah.

“Ehh, nggak usah, Mpok. Nanti malah ngerepotin.”Giarti merasa sungkan.

“Nggak. Sekalian Mpok mau makan di luar. Soalnya tadi nggak sempat masak. Lu juga pasti belum
makan?”
“Kebetulan, saya sudah makan, Mpok. Dibekali nasi sama Ibu.”

“Yodah, Mpok bawain cireng aja ya, Gi.”

Giarti mengangguk pelan sembari mengulas senyum. Ia merasa canggung dan segan atas kebaikan
majikannya.

“Mpok pergi dulu ya, Gi.”

Setelah pamit pada gadis itu, ia pun menyusul suaminya ke garasi. Sejurus kemudian, mobil pun
melaju membelah ramainya lalu lintas kota. Sepasang suami istri itu turun di sebuah restoran, lalu
menikmati makan malam dengan lahap.

Pukul dua belas malam, para pengunjung kedai sudah pulang. Giarti berkemas menutup dan
mengunci pintunya. Di sebelah, terlihat Tarja melakukan hal yang sama.

Gadis itu terlihat lelah, kedua matanya menyipit dan merah menahan kantuk. Seluruh persendiannya
terasa pegal. Ia berjalan dengan gontai memasuki kamarnya.

Diambilnya buku dan pena dari dalam tas. Gadis itu mulai menulis surat untuk sang ibu di kampung.
Beginilah bunyi surat itu:

Semoga Ibu, Mbak Rahma dan adik-adikku selalu dalam keadaan sehat wal-afiat.

Alhamdulillah, Bu. Nduk sudah sampai di kota dengan selamat. Dan tinggal bersama Mpok Midah.
Membantunya menjaga warung. Beliau memperlakukan Nduk sangat baik. Nduk juga sudah mulai
bersekolah. Doa ibu selalu Nduk harapkan.

Giarti melipat dan memasukkan surat ke dalam amplop. Ia pun tak lupa menempelkan perangkonya.
Kampung halamannya nun jauh di pelosok kabupaten. Belum ada listrik apa lagi sinyal HP. Jauh
berbeda dengan tempat tinggalnya kini. Usai menulis surat, Giarti merebahkan tubuhnya di atas
matras, sampai akhirnya tertidur pulas.

Pukul empat, ia sudah bangun. Mengerjakan salat subuh, kemudian membaca beberapa lembar
kitab suci. Dirinya terbiasa melakukan rutinitas itu. Ia selalu ingat perkataan guru ngajinya di
kampung. Sesibuk apapun kita, jangan luput membaca Al-Qur’an. Sebab, ia bisa menerangi di alam
kubur, pemberi safaat di hari kiamat.

Setelah itu, Giarti mandi, lalu mengenakan pakaian. Sebelum pergi ke sekolah, disempatkannya
membantu Mpok Midah. Menyapu kedai dan membersihkan etalase dengan kemoceng. Selepas itu
barulah ia berangkat.

Jarak dari rumah ke sekolah, sekitar dua kilometer. Di kiri dan kanan jalan tampak deretan kios dan
swalayan. Gedung-gedung perkantoran dan instansi pemerintah, turut memadati suasana kota.

Jalan aspal yang hitam pekat, dengan garis putih di tengah, seolah menjadi saksi kegigihan gadis itu.
Meskipun ada angkot, Giarti menempuhnya berjalan kaki, supaya hemat biaya. Terkadang
keberuntungan menghampirinya. Beberapa teman yang mengendarai sepeda motor, menawarkan
tumpangan gratis.

***

Siang itu, Giarti sedang merapikan barang dagangan di etalase. Mpok Midah menghampirinya.
Wanita itu tampil dengan dandanan menor dan pakaian mencolok.
“Mpok mau pergi kondangan dulu, Gi,” pamitnya.

“Siapa yang nikahan, Mpok?”

“Itu Si Firman, kakak ipar Lu. Emaknya ngundang Mpok kemaren.”

“Emang dasar kagak punya hati ntu orang. Bini sakit bukannya diobati, malah nikah lagi.” Mpok
Midah mengumpat geram.

Ada rasa sedih di batin gadis itu, mendengar jawaban majikannya. Pikirannya melayang pada
mbaknya di kampung. Sebegitu mudah seorang istri dilupakan, setelah ia tak berdaya. Giarti masih
ingat janji Firman yang akan sering-sering menengok sang kakak. Namun, rupanya itu hanya ucapan
belaka.

Dengan mengendarai sepeda motor, Mpok Midah pergi menghadiri pernikahan itu. Gadis berjilbab
panjang kembali melakukan pekerjaannya. Tanpa disadari, Erlan telah berdiri di kedai. Sepeninggal
istrinya, ia mengawasi gerak-gerik Giarti dengan penuh simpati.

Lelaki berkepala tiga itu selalu mencari kesempatan untuk bisa mendekati sang gadis. Kebetulan,
saat itu tak ada pembeli yang datang. Ia duduk di bangku yang biasa diduduki para pelanggan.

“Gi, buatkan Abang kopi susu.”Lelaki itu mengisap rokoknya, lalu mengepulkan asapnya ke depan.
Pandangannya memindai postur tubuh sang gadis dari kepala sampai ujung kaki. Meski gamis dan
jilbab panjang menyembunyikan lekuk tubuhnya, tetapi paras ayunya membuat lelaki itu tertawan.

Giarti tak menyadari tatapan sang majikan. Ia bergegas membuatkan minuman untuknya.
Diletakkannya segelas kopi susu di atas meja. “Silakan, Pak.” Giarti menunduk hormat, kemudian
membalikkan badan hendak melanjutkan pekerjaan.

“Duduk sini, Gi.” Erlan menepuk bangku panjang yang ia duduki. Giarti menoleh, lalu berjalan ke
arah kursi di depan lelaki itu. “Mau dibuatkan mie rebus, Pak?” Sang gadis menerka.

“Hmmm. Nggak,” jawab pria 40 tahun itu.

“Nggak usah panggil ‘Bapak,' Gi. Panggil Abang saja ya, biar lebih akrab” titahnya kemudian. Namun,
gadis itu merasa segan menuruti permintaan suami majikannya.

“Jangan sungkan-sungkan, duduklah. Temani Abang minum.”

Giarti mulai merasakan gelagat aneh, tetapi ia tidak spontan berburuk sangka. Sang gadis pun
memilih kursi yang tidak terlalu dekat dengan lelaki itu. Dalam hati ia berdoa, semoga ada
pengunjung kedai yang datang.

“Gimana, betah tinggal di sini?” Erlangga berbasa-basi. Belum sempat Giarti menjawab
pertanyaannya, tiba-tiba ia melihat istrinya turun dari motor.

“Gawat. Bini gue datang. Gue mesti angkat kaki dari sini,” bisiknya dalam angan. Seperti dikejar
setan, Erlangga bergegas masuk ke dalam rumah.

“Kok cuma sebentar kondangannya, Neng?” Lelaki itu menyongsong kedatangan Mpok Midah di
ambang pintu.

“Tas aye ketinggalan, di dalamnya ada amplop kondangan.” Perempuan bermake-up tebal berjalan
tergesa ke kamar. Ia mengambil tas di atas nakas, lalu kembali ke motor yang terparkir di halaman.
Tak lama kemudian, ponsel di saku celana Erlangga berdering. Seseorang di sebrang sana, memesan
sepuluh karung semen dan beberapa lembar seng. Upayanya untuk mendekati Giarti pun gagal kali
ini.

Lelaki itu segera bersiap memerintahkan Tarja--karyawannya-- untuk menaikkan bahan bangunan itu
ke mobil pickup miliknya. Seperti biasa, dengan ditemani Tarja, lelaki itu akan mengantarkan barang-
barang itu ke alamat si pemesan.

Bab 12

Genap satu tahun Giarti tinggal bersama sang majikan. Hari-harinya tercurah untuk bekerja dan ke
sekolah. Tak ada waktu sekadar bersenang-senang atau bersantai seperti remaja seusianya.
Sepulang dari sekolah, ia harus berjibaku melayani para pembeli. Membuatkan mie rebus dan
minuman untuk pengunjung kedai. Ia melakukan pekerjaan itu hingga larut malam. Tiap malam
minggu dan hari libur, para pengunjung membludak, gadis itu pun kewalahan melayani pesanan.
Terkadang ia lelah dan ingin menyerah. Namun, terbayang kehidupan ibu dan saudaranya di
kampung, yang hidup dalam kemiskinan.

Pukul dua siang, semilir angin enggan menyapa. Matahari menyengat kulit di balik seragam yang
dipakai Giarti. Berkali-kali gadis itu mengusap peluh yang mengucur di kening. Ia berjalan menunduk
di atas trotoar yang setiap hari dilaluinya. Supir angkot silih berganti menawarinya tumpangan,
tetapi ia menolak. Menurutnya, berjalan kaki lebih sehat dan hemat pengeluaran.

Mobil Pick-up yang dikendarai Erlangga, berhenti tepat di samping Giarti. Gadis berseragam SMA
pun menghentikan langkahnya. “Gi, ayo naik,” kata lelaki paruh baya itu. Ia bergeser dari duduknya,
lalu membukakan pintu mobil. Gadis itu terlihat ragu dan berpikir, haruskah ia menuruti sang
majikan?

“Ayo, Gi. Biar gak capek. Lihat tuh, kamu udah keringatan begitu,” desaknya.

Remaja berjilbab putih tak kuasa menolak ajakan juragannya. Ia pun masuk ke mobil itu. Tak lama
kemudian, Erlangga menginjak gas, kendaraan pun melaju dengan santai.

“Bapak dari mana?” tanya Giarti dengan sopan.

“Nggak usah panggil Bapak. Kesannya formal banget,”jawab Erlangga.

“Saya tadi habis ngantar barang ke luar kota,” pungkasnya kemudian.

“Oh.”

Udara terasa panas, Giarti mengipas tubuhnya dengan buku. Erlangga berinisiatif menawarinya
minum.

“Minum, Gi.” Ia menyodorkan sebotol Aqua yang masih bersegel. Gadis itu menerimanya dengan
ragu. “Minumlah, jangan malu-malu,”ujar lelaki mirip aktor Arya Saloka itu.

“Terima kasih, Pak.” Giarti menerima botol minuman dari sang majikan. Beningnya air dalam
kemasan, menggoda rasa dahaganya. Gadis itu memutar tutup botol, tetapi tenaganya tak cukup
kuat melepas segel yang melekat erat. Ia terlihat kepayahan membukanya.

Pandangan Erlangga lurus ke depan sebab fokus pada setir. Ia menangkap polah gadis disampingnya
dengan sudut mata. Lelaki itu tersenyum, lalu menghentikan mobilnya di tepi jalan.
“Sini, saya tolong bukain.” Erlangga menyambar botol dari tangan Giarti. Saat tangan kekar itu tak
sengaja menggenggam jemari sang gadis, ada desiran halus yang tiba-tiba merambat di jiwa insan
berlainan jenis itu. Spontan Giarti melepaskan tangannya, botol Aqua pun terjatuh tepat di dekat
kakinya. Secara bersamaan keduanya refleks mengambil botol itu. Lagi-lagi tanpa sengaja tangan
lelaki itu mendarat di punggung tangan sang gadis.

Erlangga menahan jemari Giarti beberapa saat. Si gadis pun pasrah. Seumur hidup baru kali ini ia
merasakan debaran aneh di hatinya. Empat pasang mata saling menatap, ada rasa riskan yang tiba-
tiba menyergap hati remaja itu.

Dalam hitungan detik, bayangan ibu dan adik-adiknya terlintas di pikiran. Budi baik Mpok Midah
membayang pula di benaknya. Secepatnya ia melepaskan genggaman tangan sang majikan.
“Astaghfirullah,” ucapnya seketika.

“Kenapa, Gi?” Erlangga menatap lekat wajah remaja tujuh belas tahun itu.

“Tidak seharusnya ini terjadi,” kata gadis itu tegas. Sekuat tenaga ia menguasai diri dan menata
degup jantung.

“Memangnya kenapa, Gi?” tanya lelaki itu. Pandangannya menatap paras ayu di samping. Sedang
kedua tangannya menopang di setir. Giarti tidak menjawab, dan hanya menunduk.

Erlangga menjalankan kembali kendaraannya. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, gadis itu
bertanya, “Kita mau ke mana, Pak? Sepertinya ini bukan jalan ke rumah.”

“Jangan khawatir. Saya cuma mau ngajak jalan-jalan.”

Sebenarnya Giarti merasa risih dengan perlakuan sang majikan, tetapi ia segan menolak. Sampai di
sebuah toko HP, Erlangga memberhentikan mobilnya.

“Sudah sampai. Ayo kita turun, Gi.”

“Saya di sini saja, Pak,” tolak Giarti. Gadis itu memilih tetap di dalam mobil. Ia takut jangan-jangan
ada orang yang memerhatikan dirinya.

“Oke. Nggakpapa.” Erlangga turun dari kendaraannya, lalu berjalan ke toko itu. Giarti melihat lelaki
itu memilih-milih deretan ponsel yang terpajang di etalase. Ia mengambil salah satunya, kemudian
membayarnya di kasir.

Sejurus kemudian, Erlangga kembali ke mobil. Ia membuka pintu, lalu duduk. Khawatir dilihat orang,
Erlangga menutup kaca mobil secara otomatis, kemudian menghidupkan AC.

“Ini untukmu.” Lelaki itu menyodorkan ponsel yang baru dibelinya kepada Giarti. Mata gadis itu
terbelalak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia pun menggeleng.

“Ambillah. Anggap ini hadiah. Kebetulan hari ini saya ulang tahun.”

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerimanya.”

“Terimalah, Gi. Saya bermaksud baik.” Lelaki itu meraih tangan sang gadis, lalu dipaksanya tangan itu
menggenggam ponsel seharga dua juta yang baru dibelinya. Giarti menjadi salah tingkah. Sentuhan
tangan lelaki itu terasa hangat menjalar di jiwa remaja yang baru kenal dunia. Sejujurnya ia
menemukan perhatian dan kedamaian pada lelaki itu. Suatu hal yang tidak pernah didapatnya dari
sang ayah. Mau atau tidak, akhirnya ia menerima pemberian majikannya itu.
Erlangga kembali menjalankan mobilnya. “Kita ke pantai, ya,” ajaknya. Gadis itu ingin menolak,
tetapi sungkan. Meski perasaan bersalah membayangi hatinya, gadis itu menurut saja ke mana mobil
membawanya.

Sampai di pantai, Erlangga memarkirkan kendaraannya. Lelaki itu mengajak Giarti duduk di sebuah
kafe tepi laut. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang menghampiri Mereka.

“Mau pesan apa, Om?” tanya gadis berbaju batik itu. Erlangga mengerling kepada Giarti meminta
pendapat. Namun, gadis itu tak menjawab. Tatapan matanya seolah bicara, terserah.

“Oke. Saya pesan kelapa muda sama bakso.”

“Dua porsi, Om?”

“Ya.”

Pelayan berjalan ke belakang untuk meracik pesanan. Tak lama kemudian, ia sudah datang dengan
membawa satu nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua gelas es kelapa muda. Sang pramusaji
menghidangkannya di atas meja Erlangga dan Giarti. “Silakan, Om. Silakan, Mbak.” Gadis itu
membungkukkan badan dengan hormat.

“Ayo makan, Gi.” Erlangga mulai menyantap bakso itu. Giarti pun melakukan hal yang sama.

Jam dinding kafe menunjuk pukul empat sore. Gadis di hadapan Erlangga mulai resah. Ia takut Mpok
Midah marah, sebab terlambat pulang.

“Sebaiknya kita segera pulang, Pak.” Giarti berujar dengan cemas.

“Kenapa, Gi?”

“Saya khawatir Mpok mencemaskan keadaan saya, Pak.”

“Nanti bilang saja, ada les tambahan di sekolah.”

Hari beranjak sore, Erlangga mengajak gadis itu pulang. Agar istrinya tidak curiga, lelaki itu
menyuruh Giarti naik angkot menuju rumah.

***

Bab 13

Sembari mengantar pesanan ke alamat pelanggan, Erlangga kerap membawa Giarti berkeliling kota.
Sekadar mengunjungi tempat wisata dan menjelajah kuliner di luar kota. Tak sedikit pun Mpok
Midah menaruh curiga, sebab alasan yang dikemukakan selalu tepat. Erlangga menyuruhnya
berbohong dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang tak pernah dilakukannya. Gadis itu
hanya bisa menurut saja, lantaran tak kuasa menolak. Meskipun hal itu tidak sejalan dengan hati
nuraninya.

Sebenarnya sudah sejak lama Erlangga jatuh hati pada sang gadis. Di matanya, Giarti teramat
sempurna. Sederhana, jujur, pintar, cekatan dalam bekerja dan tentu saja cantik. Alasan pun ia
gunakan untuk suatu pembenaran, lelaki boleh beristri lebih dari satu. Terlebih lagi, di usia
pernikahannya yang ke sembilan, Erlangga belum dikaruniai keturunan. Umurnya makin tua, ia
merindukan anak yang hadir dari darah dagingnya sendiri.

***
PGadis itu membersihkan etalase dengan kain lap dan kemoceng, Mpok Midah menghampirinya.
Wanita paruh baya itu duduk di bangku kasir, pandangannya lekat pada sang gadis. Giarti pun jadi
tak nyaman ditatap serupa itu. Jantungnya berdegup kencang, jangan-jangan sang majikan telah
mengetahui kedekatannya dengan suaminya.

“Duduk sini, Gi.” Mpok Midah menunjuk kursi yang dekat dengannya. Remaja itu berjalan sambil
menunduk, menyembunyikan rasa gugup. Ia berusaha menata perasaan agar terlihat wajar.

“I..., iya, Mpok.” Ia berkata terbata -bata sambil mengangguk patuh.

“Ini gaji lu bulan sekarang. Mpok lebihkan seratus ribu. Mpok lihat, kerjaan lu makin memuaskan.”
Wanita berbaju daster itu mengangsurkan empat lembar uang merah kepadanya. Seketika Giarti
merasa lega. Ia seolah terbebas dari beban yang menghimpit. Rupanya Mpok Midah bukan hendak
memarahinya. Ah, sepanjang waktu ia merasa dihantui perasaan bersalah.

“Terima kasih, Mpok. Tapi saya terima 300 saja. Saya nggak enak, soalnya Mpok sudah banyak
berjasa dalam hidup saya. Di sini saya gratis makan dan tempat tinggal.”

“Alahhh ..., udah terima aja, Gi. Ini hak lu. Mpok bersyukur sejak lu kerja di sini, dagangan Mpok
tambah laris.” Sang majikan meraih tangan Giarti dan memaksanya menerima uang itu. Gadis itu
pun tak bisa lagi menolak. Dalam hatinya perasaan bersalah semakin bergejolak. Ia ingin mengakhiri
permainan yang tanpa sengaja melibatkan dirinya.

Usai memberikan uang, Mpok Midah bangkit dari duduknya. Tiba-tiba saja kepalanya pusing.
Perutnya terasa mual, Ia pun berjalan sempoyongan sambil memegangi perut.

“Ke ... kenapa, Mpok?” Dengan sigap Giarti memapah sang majikan.

“Entahlah, Gi. Mpok ngerasa pusing banget ini.”

“Ayo duduk dulu, Mpok.” Gadis itu mendudukkan Mpok Midah di kursi kasir.

Tak lama kemudian, Erlangga datang.

“Bang, kepala aye pusing banget. Anterin ke puskesmas yuk.”

Tanpa banyak bicara, sang suami pun langsung menyetujui. Lelaki itu bergegas menuju garasi.
Sejurus kemudian, mobil pun sudah tersedia di halaman. Erlangga memapah istrinya memasuki
mobil. Giarti berdoa dalam hati, semoga Mpok Midah baik-baik saja.

“Selamat. Istri Bapak hamil,” kata seorang bidan usai memeriksa Mpok Midah. Sontak sepasang
suami istri pun saling tatap dengan wajah berbinar. Tak kuasa menahan kegembiraan, Erlangga
menggenggam tangan sang istri dengan erat. Kegembiraan pun terlukis pada wajah pasangan itu.

“Tapi ..., kondisi Ibu Midah sangat lemah. Jadi lebih baik beristirahat di sini dulu,” saran bidan itu.

“Rawat inap, Bu Bidan?” tanya Erlangga.

Bidan itu mengangguk seraya menatap lelaki itu.

“Tak masalah, Bu Bidan. Saya akan menemaninya,” tukas Erlangga.

Wanita berseragam putih itu menyuruh Mpok Midah berbaring di bed pasien. Dengan cekatan ia
memasang cairan infus.
“Ibu Midah ini kekurangan nutrisi, jadi supaya janinnya kuat, perlu dipasang infus,” ujar Bu Bidan.
Mpok Midah menyadari, belakangan ini ia memang tak pernah makan. Wanita itu hanya minum teh
dan jajanan yang ada di warungnya. Usai memasang infus dan memberi vitamin, bidan itu keluar dari
ruangan.

“Bang, Abang pulang dulu gih, tolong ambilkan baju ganti buat aye,” pinta Mpok Midah. Sang suami
pun menyetujui permintaan istrinya.

“Jangan lama-lama ya, Bang,” pungkas wanita itu manja.

“Iya.” Erlangga pun pulang untuk mengambilkan baju buat istrinya.

@@@

Hujan sangat lebat, pelanggan pun tak ada yang datang. Giarti bergegas menutup warung, meski jam
baru menunjuk pukul 10.00. Sesaat ia menggeliatkan badan, sekadar merelaksasi otot-otot yang
lelah. Seperti biasanya, ia melangkah dengan gontai ke kamar.

Gadis kelas tiga SMA itu membaringkan tubuhnya di ranjang. Sekadar melepas penat usai seharian
bekerja. Pandangannya menerawang ke arah langit-langit. Malam semakin pekat, tetapi matanya
sulit terpejam.

Di luar kamar, Erlangga mengendap-endap memasuki kamar itu. Sontak Giarti terperanjat, lalu
bangkit. “Ba .., Bapak mau ngapain ke sini? Cepat ia meraih jilbab, kemudian tergesa
mengenakannya.

“Hey, santai saja. Cuma kita berdua di sini.” Erlangga menyeringai mendekati gadis itu. Detik itu juga
Giarti merasa sang majikan akan memangsanya. Menyadari diri dalam bahaya, Giarti mengambil
langkah seribu. Secepat yang ia bisa, gadis itu berlari keluar dari rumah. Tak peduli hujan mengguyur
dengan lebat. Ia tak mau mengambil resiko yang akan membuatnya menyesal seumur hidup.

Setelah jauh dari rumah, Giarti berjalan tergesa di atas trotoar. Cahaya lampu jalan, cukup
menerangi langkahnya. Kendaraan umum yang lalu-lalang di jalan, berkali-kali berhenti
menawarkannya tumpangan. Namun ia menolak. Gadis itu basah kuyup, tak tahu arah dan tujuan.

Dalam kebingungan, satu ide pun muncul. Giarti teringan seorang teman yang rumahnya dekat dari
jalan itu. Ya, dialah Fikri. Teman baik yang selalu memborong pisang goreng saat ia berjualan dahulu.
Anak itu sering membeli semua jualan Giarti, lalu membagikannya ke seisi kelas. Anak Sumirah itu
akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah Fikri.

Sementara itu, di rumah yang cukup besar, seorang bapak dan anak lelakinya asyik bermain catur.
TV yang menyala dan dua bungkus kacang atom serta dua cangkir kopi menemani keakraban
mereka. Sesekali derai tawa terdengar jika salah satu ada yang kalah dalam permainan.

Di tengah suara hujan, terdengar sayup pintu rumah diketuk. Dua lelaki beda usia pun menghentikan
permainan. “Siapa yang datang ya, Pa? Malam-malam begini.”

“Gak tahu tuh. Biar Papa yang bukain pintu.” Lelaki itu beranjak, lalu mengintip dari balik tirai
jendela.
“Seorang gadis. Siapa itu?” Pria paruh baya itu membatin. Ia pun membuka pintu rumahnya.

“Ananda ini siapa? Ada apa malam-malam begini ke mari?” Pria itu memandangi gadis yang berdiri
di depannya. Wajahnya mengingatkan pada kejadian kira-kira dua tahun lalu.

“KA ..., kamu ..., orang yang ....” Lelaki itu tampak berusaha keras mengingat.

“Ya. Benar, Om. Saya Giarti yang dulu Om tolong waktu kecelakaan,” tukas gadis itu. Setelah
diingatkan sang gadis, barulah Herman ingat pada kejadian itu. Saat itu ia pulang dari kantor. Di
tengah perjalanan, seseorang menghentikan mobilnya, lalu meminta tolong untuk mengantarkan
Giarti dan keponakannya ke rumah sakit. Namun malang, di perjalanan bocah kecil itu kehilangan
nyawanya.

“Ayo masuk,” ajak Herman. Giarti pun menurut. Tampak olehnya Fikri duduk di sofa. “Giarti!” Seru
Fikri ramah.

“Ohh. Jadi kalian saling kenal?” tanya Herman.

“Iya, Papa. Giarti ini teman sekelas di sekolah,” jawab Fikri.

Herman menilai bahwa Giarti anak yang baik. Ayah bijaksana itu meninggalkan mereka mengobrol di
ruang tamu. Ia memilih untuk masuk kamar.

“Duduklah, Gi.” Fikri menunjuk ke sofa di depannya.

“Ada apa malam-malam datang ke sini? Hujan pula.” Tanya Fikri kemudian.

Gadis itu menunduk. “Aku butuh bantuanmu, Fikri.” Ucapannya bergetar penuh pengharapan.

“Bantuan apa?” Remaja lelaki itu menatapnya dengan rasa empati.

Bab 14

Giarti kemudian menceritakan kronologis kejadiannya. Ia meminta Fikri supaya mengizinkannya


tinggal di rumah itu. Gadis itu bersedia dijadikan pembantu rumah tangga. Asal ia bisa tetap sekolah.

“Kasihan sekali nasib lu, Gi. Yodah, gue tanya sama bokap dulu ya.”

“Oh, ya. Lu udah makan?” Tanya Fikri penuh empati.

Giarti menggeleng.

“Kalau gitu, makan dulu gih. Di dapur ada nasi goreng. Tadi sore bokap gue yang bikin.” Remaja
belasan tahun itu membawa Giarti ke dapur. Ia menyuruhnya duduk, lalu menghidangkan nasi
goreng di meja. Gadis itu pun menyantapnya dengan lahap, sebab sejak sore perut laparnya

belum diisi.

Fikri mengetuk pintu kamar yang terbuka. Papanya tersenyum, lalu menyuruhnya masuk. Anak lelaki
semata wayang pun duduk di tepi ranjang.

“Pa, boleh nggak, seandainya Giarti tinggal dengan kita?” Fikri menatap sang papa penuh harap.
Lelaki bercambang tampak mengerutkan kening.

“Kok kamu nanya gitu, emangnya kenapa Giarti?”


“Kasihan banget nasibnya, Pa. Dia itu kerja jadi pelayan toko, buat biaya sekolahnya. Trus si pemilik
toko itu mau melecehkannya. Terus dia lari ke rumah kita.” Remaja belasan tahun memaparkan
dengan antusias. Herman mengangguk-angguk paham.

“Hmmm. Papa sih mau aja menampung dia tinggal di sini, tapi ....”

“Tapi apa, Pa?” Tukas Fikri.

“Kita laki-laki, Nak. Rasanya tidak etis kalau gadis itu tinggal di rumah kita. Bukan mahram. Apa kata
orang? Ah. Seandainya mamamu masih ada.” Kalimat terakhir diucapkannya dengan bergetar. Mata
lelaki itu tiba-tiba berkaca-kaca. Ia terbayang istri yang telah lama pergi untuk selamanya. Delapan
belas tahun yang lalu, wanita tercintanya kehilangan nyawa setelah melahirkan Fikri. Ayah dan anak
itu terdiam beberapa saat, larut dalam pikiran masing-masing.

“Tapi, Papa ada ide. Kita masih bisa menolong temanmu itu.”

“Caranya, Pa?” Fikri menyela dengan antusias.

“Ada teman Papa yang punya asrama pesantren. Jadi, kalau mau, Giarti bisa Papa kenalkan sama
teman Papa itu.”

“Tapi, apa Papa yakin, teman Papa itu bersedia menerima Giarti?” Tanya Fikri penuh harap, tetapi
ada keraguan di hatinya.

“Namanya Bu Aisah, teman Papa waktu SMA dulu. Dia menampung anak-anak yatim dan anak-anak
orang miskin untuk disekolahkan di pesantrennya. Tanpa memungut biaya dari orang tua mereka.
Setahu Papa, ada ratusan anak tinggal di asrama binaannya.”

“Wow! Hebat sekali Bu Aisah itu ya, Pa. Tapi ..., kalau anak-anak itu gratis bersekolah di
pesantrennya, lalu dari mana sumber dana untuk operasianal pesantrennya, Pa?”

“Dari harta pribadinya dan para donatur yang peduli pada nasib anak-anak bangsa, Fikri. Papa salah
seorang donatur tetap untuk asrama itu.”

Remaja berambut cepak itu terkagum-kagum mendengar penjelasan papanya.

“Hebat banget teman Papa itu.” Fikri bergumam lirih.

“Ya, begitulah, Nak. Kalau kita tulus menolong sesama, maka Tuhan akan memudahkan jalannya.”

“Jadi maksud Papa, Giarti mau dititipkan di asramanya Bu Aisah?”

“Hmmm.” Lelaki kepala lima itu mengangguk.

Usai menyantap nasi goreng, gadis berjilbab panjang itu duduk di sofa ruang tamu. Herman dan Fikri
menghampirinya, lalu duduk di bagian sofa lainnya.

“Barusan Om sudah dengar cerita tentangmu dari Fikri. Kalau hanya untuk menginap semalam,
tentu Om tidak keberatan, tapi kalau untuk tinggal bersama kami, itu nggak mungkin, Giarti.

“Maafkan, Om ya, Gi.”

Giarti hanya menunduk menanggapi perkataan lelaki itu. Sudut hatinya berdenyut pilu memikirkan
nasib. Tak ada jalan, selain pulang ke kampung halaman, artinya ia akan putus sekolah. Begitulah ia
membatin.
“Hmm. Tapi Om ada tawaran buatmu. Bagaimana kalau kamu Om kenalin sama teman Om yang
punya asrama pesantren? Nanti Om rekomendasikan kamu tinggal di sana, minimal sampai tamat
SMA.”

“Mau, Om. Saya mau banget,” tukas Giarti dengan antusias.

@@@

Sore hari ketika Herman pulang dari kantor, ia mengajak Fikri dan Giarti pergi ke pesantren milik Bu
Aisah. Hanya memakan waktu dua jam, mereka sudah tiba di asrama pesantren khusus putri itu.
Gerbangnya yang megah dan kokoh, dihiasi running tex bertuliskan Pesantren Putri Nurul Huda.

Areanya cukup luas, terdapat beberapa bangunan di dalamnya. Setiap gedung terdapat papan nama
sesuai dengan kegunaannya. Ada perpustakaan, dapur umum santri, kantin dan juga musala kecil
yang letaknya berhadapan dengan asrama.

Gedung utamanya terdiri dari dua lantai. Bagian bawah adalah tempat tinggal para santri, sedangkan
lantai atas difungsikan sebagai ruangan sekolah. Ada dua jenjang pendidikan di dalamnya, SMP dan
SMA plus Islam.

“Assalammualaikum,” ucap mereka serempak ketika sampai di pintu ruang pimpinan. Seorang
wanita setengah abad membalas salam dengan sesungging senyum.

“Silakan duduk.” Bu Aisyah memberi isyarat dengan tangan kepada ketiga tamunya. “Tumben bawa
anggota, Pak?” Katanya berbasa-basi.

“Oh, iya. Ini Fikri, putra saya, dan ini Giarti temannya Fikri.”

Fikri dan Giarti pun bergantian menyalami Bu Aisyah.

“Mah. Halimah, tolong buatkan minuman untuk kami.” Aisyah menyuruh seorang santriwati yang
kebetulan melintas di depan ruangannya. Tak lama kemudian, gadis itu datang membawa tiga gelas
teh manis, lalu menghidangkannya di meja.

“Silakan diminum, Pak Herman, Fikri dan Giarti,” ujar pimpinan pesantren dengan ramah.

Herman menceritakan tujuan kedatangannya, yang tak lain untuk menitipkan Giarti di pesantren
binaan Bu Aisyah. Jiwa sosial yang begitu tinggi, membuat wanita itu langsung menyetujui maksud
sahabatnya. Sang pimpinan berkata, siapa pun boleh mondok di asramanya asalkan berniat sungguh-
sungguh dalam menimba ilmu.

Hari itu juga, Giarti resmi menjadi penghuni pesantren. Tak henti-henti batinnya mengucap syukur
kepada Allah. Akhirnya ia menemukan tempat yang aman.

Bab 15

“Oh, ya. Giarti sudah kelas berapa di sekolah?” Bu Aisyah menatap lekat kepada gadis itu.

“Kelas 3 SMA Plus Islam Hidayatul Ummat, Bu,” jawabnya lengkap.

“Bagus. Berhubung masih smester satu, jadi kamu bisa langsung bersekolah di sini.”

Mendengar ucapan Bu Aisyah, betapa bahagianya hati Giarti. Ada haru yang tiba-tiba hadir dalam
jiwanya. Ia berjanji dalam angan, tak akan menyia-nyiakan budi baik pimpinan pesantren itu.
Usai berbincang dan menitipkan Giarti, Herman dan Fikri pamit undur diri. Lelaki setengah abad itu
menyerahkan satu lembar uang merah kepada gadis itu. Giarti menerimanya dengan segan dan
ucapan terima kasih.

Sepeninggal mereka, Bu Aisyah mengajak Giarti ke ruangan tempat tinggal para santriwati. Saat
memasukinya, tampak ranjang susun berderet dengan rapi. Terlihat pula lemari-lemari milik para
santri.

“Assalammuakaikum,” Bu Aisyah dan Giarti mengucap salam dengan serempak. Para penghuni
kamar pun menjawab bersamaan.

“Para Santri sekalian, hari ini Antunna mendapat teman baru. Ibu harap kalian bisa menerimanya
dengan baik di sini.”

“Baik, Buuu!” jawab penghuni kamar serempak, hingga terdengar riuh.

“Silakan berkenalan.” Setelah mengucapkan itu, Bu Aisyah pun kembali ke ruangannya.

Para santriwati menyambut Giarti dengan ramah. Gadis itu sangat pandai membawa diri. Tak butuh
waktu lama, ia sudah banyak mengenal sesama penghuni pesantren. Sifatnya yang ramah dan
santun, membuat dirinya disukai teman-temannya.

Meskipun Mpok Midah memperlakukannya sangat baik, tetapi Giarti tak mau kembali ke rumah itu
walau sekadar mengambil baju dan buku-buku nya. Ia masih takut dan trauma untuk bertemu
Erlangga. Beruntung di gudang pesantren banyak pakaian bekas para alumni. Usai meminta izin
kepada pengurus, gadis desa itu memunguti baju-baju dan seragam SMA yang masih layak pakai.
Dengan telaten ia mencuci dan menyetrikanya terlebih dulu. Supaya kumannya pada mati, begitulah
pemikirannya.

Dengan uang pemberian Herman, remaja tanggung itu berbelanja buku tulis dan pena di kantin
pesantren. Ia sangat bersyukur dan terharu, ternyata begitu banyak orang berhati mulia yang
menolongnya. Tiba-tiba ia teringat ibu, yang selalu mendoakan dalam setiap sujudnya. Meskipun di
hadapkan berbagai rintangan, dirinya kini telas sampai di kelas 3 SMA. Gadis itu begitu yakin dengan
impiannya.

Setelah tiga hari tinggal di asrama, gadis itu menulis surat kepada ibunya. Ia mengabarkan tentang
dirinya yang mendapat tempat tinggal dan sekolah baru. Namun, ia tak ingin membuat wanita
terkasih cemas, maka perlakuan Erlangga tidak diceritakannya dalam surat itu.

@@@

“Assalammualaikum,” ucap Giarti saat akan masuk ke ruang pimpinan. Wanita yang terlihat berseri
di usia kepala lima pun menjawab salamnya.

“Silakan masuk, Giarti.”

“Tadi Ibu memanggil saya?” tanya gadis itu dengan sopan. Sebelumnya seorang teman memberitahu
dirinya agar menemui Bu Aisyah di ruang itu.

“Iya.”

“Bakda Zuhur kita akan pergi ke Masjid An-Nur, mengisi pengajian kaum ibu di sana. Jadi tolong
siapkan materi ceramah untuk kegiatan itu,” kata pimpinan dengan ramah.

“Temanya tentang apa, Bu?”


“Tema bebas, yang jelas audiennya para ibu.”

“Baik, Bu.”

Giarti pun kembali ke kamar santri. Ia segera memikirkan ide, lalu menuliskan bahan ceramah.

Dengan menumpang bus kota, Bu Aisyah dan Giarti pergi ke Masjid An-Nur. Rumah Allah itu terlihat
megah dengan kubah warna emas yang bertengger di atapnya.

Ketika mereka memasuki masjid, kaum wanita telah menunggu di dalam. Acara rutin itu digelar usai
kaum lelaki melaksanakan salat Jum-at. Bu Aisyah adalah perintis dan pemateri tetap dalam kegiatan
tersebut. Ia selalu membawa satu orang santri secara bergantian. Kali ini giliran jatuh pada Giarti.

“Assalammualaikum,” ucap Bu Aisyah dan Giarti serempak. Hadiroh pun menjawab salam mereka.
Pimpinan pesantren itu langsung memposisikan diri di depan. Gadis berjilbab panjang mengikuti dan
duduk di sampingnya.

Bu Aisyah mengambil pelantang suara di hadapannya. Setelah menyampaikan mukaddimah, ia


langsung mengulas pelajaran. Dalam ceramahnya, wanita itu berpesan tentang pentingnya menjadi
muslimah tanggguh di era modernisasi. Kedalaman ilmu dan banyak wawasan, membuat dakwahnya
begitu berkesan di hati para jemaah.

Usai menyampaikan ceramah, Bu Aisyah mempersilakan Giarti untuk membacakan pidato.

“Nah, Ibu-ibu yang dirahmati Allah, sekarang saya mohon Ibu-ibu berkenan mendengarkan pidato
dari salah seorang santri kami yang bernama Giarti. Ananda ini berasal sari pelosok desa terpencil.
Dia merantau ke kota demi bisa melanjutkan sekolahnya. Awalnya Giarti bekerja sebagai pelayan di
sebuah kedai. Kemudian di sana, keselamatan dan kehormatan dirinya terancam, ia nyaris menjadi
korban kekhilafan majikannya. Lalu, gadis ini lari menyelamatkan diri ke rumah temannya. Kemudian
oleh ayah temannya itu, ia diamanahkan kepada saya,” ujar Bu Aisyah.

Suasana menjadi sedikit riuh. Para hadirioh saling pandang dan berkata lirih. Mereka bersimpati
pada perjuangan Giarti.

Dengan menahan rasa gugup, gadis itu tampil menyampaikan pidato. Sesekali diliriknya kertas
sontekan materi di genggaman. Para Ibu pun terpukau dengan penyampaian remaja putri itu.

Pada sesi terakhir, Bu Aisyah mempersilakan para hadiroh yang ingin bersedekah dan berinfak.
Banyak di antara mereka yang tergerak berdonasi untuk operasional pesantren.

Sebelum acara ditutup, pimpinan pesantren itu menyampaikan rincian penggunaan uang yang
diperolehnya pada Jum-at sebelumnya. Para peserta kajian sangat senang memberikan bantuannya
kepada Bu Aisyah, sebab pembukuan dan pengeluarannya dicatat dengan transparan. Acara pun
berakhir dengan pembacaan doa penutup majelis.

Baru saja Giarti hendak keluar dari masjid, seorang Ibu menghadangnya di pintu. Ia meraih tangan
gadis itu, lalu menyelipkan amplop digenggaman Giarti.

“Masyaallah. Apa ini, Bu?” tanya Giarti.

“Terima saja, Nak. Semoga bermanfaat,” ujar wanita itu ramah.

Rasa haru bercampur bahagia, seketika menjalar di batinnya. Uang sebanyak itu sangat berarti
baginya. Ia menyimpannya dalam lemari pinjaman dari asrama. Akan digunakan jika keadaan
memaksa.
Bab 16

Setahun telah terlewati. Waktu perpisahan pun tiba. Seperti biasanya, pihak pesantren akan
mengadakan acara pagelaran. Kegiatan itu diisi dengan menampilkan berbagai kepandaian para
santriwati. Ada yang membawakan hafalan ayat, puisi, pidato, nasyid dan drama. Ketua yayasan,
para donatur dan masyarakat sekitar serta para orang tua santri pun diundang dalam pagelaran itu.
Pada sesi terakhir akan diadakan jamuan makan hasil masakan para santriwati. Sekaligus
penggalangan dana secara suka rela.

Semua penghuni asrama terlihat semringah menyambut acara itu. Ada yang mengatur pot dengan
aneka bunga di teras depan. Sebagian lagi menyusun meja dan kursi. Sementara yang lain sibuk
membuat hiasan dari kertas warna-warni yang ditempelkan di dinding. Sekat dinding papan pemisah
antar kelas pun dibuka, sehingga ruangan untuk acara menjadi luas.

Di dapur pesantren, para santri tak kalah sibuk. Mereka memasak penganan untuk konsumsi para
hadirin. Semuanya mendapat tugas masing-masing sesuai dengan hasil rapat OSIS beberapa hari
yang lalu.

Giarti mendapat bagian sebagai pembawa acara. Gadis itu membuat urutan acara pada selembar
kertas. Seperti halnya santriwati yang lain, ia pun merasa bahagia. Terlebih lagi, ibu dan kedua
adiknya akan menghadiri pagelaran itu. Beberapa hari yang lalu, ia mengirim surat ke kampung,
meminta ibunya untuk datang.

@@@

Kira-kira jam sembilan pagi, acara pun dimulai. Para undangan telah memadati ruangan. Giarti
tampil sebagai pembawa acara. Gadis delapan belas tahun itu terlihat anggun dengan balutan gamis
broken white berpadu jilbab warna senada.

Dari atas panggung ia melayangkan pandangan. Sahabatnya—Fikri—terlihat duduk di samping


papanya. Ada debar aneh yang tiba-tiba menjalar di hati sang gadis, saat Fikri mengulas senyum dari
kejauhan. Remaja jangkung berkulit putih itu menatap Giarti penuh kekaguman.

Tanpa terasa, waktu berputar. Acara demi acara telah terlewati. Namun, ibu yang ditunggunya tak
kunjung datang. Seharusnya wanita terkasih sudah tiba sejak jam delapan tadi.

Giarti berusaha menenangkan hatinya dengan berprasangka baik. “Mungkin ibuku terlambat atau
tidak jadi berangkat,”pikirnya.

Menjelang waktu zuhur acara perpisahan pun usai. Para hadirin menyantap hidangan hasil kreasi
para santriwati. Ada pula yang sekadar wara-wiri melihat-lihat area pesantren.

Ketika melewati ruang daurah, Giarti mendengar telepon berdering. Ia pun berinisiatif
mengangkatnya.

“Halo, assalammualaikum. Pesantren Putri Nurul Huda di sini,” sapanya.

“Kami dari kepolisian lalu lintas. Telah terjadi kecelakaan di kilometer tujuh arah ke pusat kota, yang
menewaskan satu orang penumpang, dan kami menemukan KTP serta selembar surat beralamat
Pesantren Putri Nurul Huda.”

Jawaban dari ujung telepon terdengar tegas dan dingin. Detik itu juga persendian Giarti terasa
lunglai tak berdaya.
“Maksudnya bagaimana ini, Pak?” tanya gadis itu dengan terbata-bata. Kemudian polisi itu
menjelaskan tentang kecelakaan yang baru saja terjadi.

Rupanya dalam perjalanan menuju ke pesantren, sebuah bus berkecepatan tinggi menabrak angkot
yang ditumpangi ibu dan ketiga saudara Giarti. Malang tak dapat dihindari, mobil itu ringsek dan
menelan banyak korban. Pemandangan seketika berubah mencekam. Orang-orang bergidik ngeri
melihat kondisi jenazah yang tragis. Darah berceceran di sekitar kejadian.

Tak lama kemudian, para saksi memberikan pertolongan semampunya. Sampai akhirnya satuan
polisi dan para medis datang mengevakuasi jenazah para korban ke rumah sakit terdekat.

@@@

Giarti memasuki salah satu bilik sebuah rumah sakit. Tampak beberapa bed berisi pasien dalam
ruangan yang cukup luas itu. Sang gadis mendekati ranjang yang di atasnya berbaring sosok sangat
dikenalinya.

“Ibuuu.” Serunya mempercepat langkah. Ibu dan anak itu pun berpelukan penuh haru.

“Ibu kecelakaan, Nduk,” ujar perempuan kurus itu dengan parau, tatapannya kosong dengan mata
berkaca-kaca. Sementara air mata menetes di pipinya.

“Ibu Cuma luka ringan, jadi mereka merawat Ibu di sini, tapi mbakmu Rahma ....”

“Mbak Rahma kenapa, Bu?” tukas Giarti.

“Dia sudah pergi,” Sumirah berkata lirih di sela isak tangis.

“Di mana Mbak Rahma, Bu?” tanya Giarti dengan getir. Suaranya bagai tercekik di kerongkongan.

“Petugas membawanya ke ruangan jenazah, Nduk.”

Tangis Giarti pecah seketika. Ia teringat kakak kandung yang begitu menyayanginya. Bayangan saat-
saat bersama pun kembali berkelebat di pikirannya. Ia tak menyangka, kecelakaan telah menjadi
perantara kematiannya.

@@@

Jam enam pagi, dengan menggunakan ambulan gratis milik yayasan, jenazah Rahma dibawa ke
kampungnya. Giarti dan ibunya menumpang pada ambulan itu. Sepanjang jalan sirine tak berhenti
meraung, membuat gadis itu semakin pilu.

Dalam waktu yang singkat, ambulan itu sudah sampai di rumah duka. Setelah menguatkan hati,
Giarti bergegas turun dari mobil, kemudian membuka pintu rumah. Tiga orang petugas menurunkan
tandu berisi jasad Rahma, lalu meletakkannya di ruang tengah. Ambulan itu telah mengundang
perhatian para tetangga. Mereka pun akhirnya berdatangan ke rumah duka. Setelah jelas ada
warganya yang meninggal, Pak RT menyuruh beberapa lelaki menggali kuburan di pemakaman.

Menjelang magrib, zenazah sudah disalatkan, lalu dibawa ke pekuburan. Giarti dan dua adiknya
berjalan di belakang rombongan pemikul keranda. Meskipun duka menyelimuti batin ketiganya,
mereka berniat mengantarkan jenazah sang kakak ke tempat peristirahatan terakhir. Sebisa mungkin
Giarti menahan air mata. Ia mencoba mengikhlaskan kepergian saudara sulungnya itu.

@@@

Bab 17
“Kesedihan bukan untuk dipelihara,” begitulah batinnya berbisik. Seminggu setelah mbaknya
dikuburkan, Giarti memutuskan untuk kembali ke kota. Di sana, ia akan mencari pekerjaan. Jika
memungkinkan, dirinya juga ingin kuliah.

“Yo wis. Kalau memang tekatmu sudah bulat, Ibu Cuma bisa mendoakan mu, Nduk,” kata Sumirah
saat anaknya berpamitan. Usai memeluk ibunya, Giarti mendaratkan kecupan di punggung tangan
wanita terkasih. Dalam hati ia berbisik, “Justru doa ibulah yang membuat orang-orang merasa welas
asih kepadanya. Doa ibu pula yang menyelamatkannya dari rencana jahat Erlangga waktu itu.

“Jaga dirimu baik-baik Yo, Nduk,” pesannya kemudian.

Berbekal doa sang ibu, berangkatlah ia menuju ke kota. Tempat pertama yang ditujunya adalah
pesantren tempat ia bersekolah. Di tempat itu ia merasa nyaman, dirinya seolah menemukan jati diri
yang sesungguhnya. Ia menjalani hari-hari sebagai santriwati.

“Assalammualaikum,” sapanya kepada Bu Aisyah di ruangan kantor. Sang pimpinan pun menjawab
salamnya disertai sesungging senyum. Gadis itu mengulurkan tangan, lalu perempuan sepuh itu
menyambutnya.

“Giarti. Ibu senang kau kembali ke sini.”

“Iya, Bu. Tak ada yang bisa saya lakukan di kampung sekecil desa Wanasari.”

“Bagus, di sini kamu bisa membantu Ibu mengurus asrama.”

@@@

Giarti tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan Bu Aisyah. Dengan sepenuh hati ia
membantu pekerjaan di pesantren itu. Memasak dan membersihkan lingkungan asrama dengan
para santri. Sesekali ia pun diajak sang pimpinan untuk mengisi acara kajian ibu-ibu. Tak jarang para
jemaah memberinya amplop berisi uang.

Pagi itu, ia pamit kepada Bu Aisyah. Giarti berniat mencari pekerjaan di luar. Gadis itu merasa sudah
dewasa, sehingga perlu meringankan beban ibunya membiayai dua orang adik.

Giarti berjalan di atas trotoar. Langkahnya terhenti saat pandangannya tertuju pada sebuah restoran
yang ramai oleh pengunjung. Dengan mantap ia masuk dan menemui orang yang disangkanya
pemilik restoran itu. “Bismillah, semoga ada lowongan untukku,” bisiknya kepada Tuhan.

“Permisi, Pak. Apa restoran ini membutuhkan karyawan baru?”

“Wahhh, maaf, Dik. Saat ini kami malah sedang kelebihan jumlah karyawan,” kata lelaki di belakang
meja kasir.

“Tolonglah, Pak. Saya lagi butuh kerjaan. Jadi tukang nyuci piring juga saya mau, Pak,” Giarti
memelas.

“Waduhhh. Maaf banget, Dik. Kami nggak bisa nerima. Karyawan di sini sudah banyak.”

“Oh. Ya sudahlah, Pak. Saya akan cari ke tempat lain.” Giarti pun melangkah gontai keluar dari
restoran. Tanpa mengenal putus asa, ia berniat mencari lowongan di tempat lain.Ke

Sementara itu, seorang wanita yang sedang makan, menyimak obrolan mereka.

“Dik. Bisa kita ngobrol sebentar?” tanya wanita itu pada Giarti.
Gadis itu pun mendekat.

“Duduklah,” katanya dengan ramah. Giarti pun menurut saja. Ia duduk pada kursi di hadapannya.

“Saya dengar tadi, sepertinya Adik mau ngelamar kerja?” tanya wanita itu.

“Iya, benar, Mbak,” jawab Giarti.

“Oh, ya, kenalkan, saya Ayesha.” Perempuan itu mengulurkan tangan kepada Giarti. Gadis itu pun
menjabat tangannya, sambil menyebutkan nama.

“Silakan duduk, Giarti.”

Gadis itu menarik sandaran kursi, lalu meletakkan bobot tubuhnya di sana.

“Mau minum apa?” tanyanya Ayesha ramah.

“Nggak usah, Mbak. Terima kasih,” jawab Giarti sungkan.

“Oh. Oke, kalau gitu saya pesan jus alpukat saja, ya.”

“Pelayan! Tolong, jus alpukatnya dua gelas.” Ayesha mengacungkan tangan sambil berseru pada
pelayan restoran yang berdiri dekat meja kasir.

Tak lama, seorang pramusaji menghidangkan dua gelas minuman yang dipesannya.

“Silakan diminum, Giarti.” Ayesha mengangsurkan gelas ke depan Giarti.

“Nggak usah sungkan-sungkan. Anggap saja ini perkenalan kita,” katanya kemudian.

Meskipun segan, Giarti tak enak juga menolak. Maka diteguknya minuman itu.

“Oh ya. Mau nggak, Giarti kerja sama saya?”

Mendengarnya, Giarti merasa girang tak terkira.

“Kerja apa, Mbak?”

“Jadi baby sitter untuk anak saya. Saya dan suami mengajar di sekolah tak jauh dari sini. Jadi selama
ini anak saya diasuh oleh si Bi Surti, ibu kami sudah lama wafat. Tapi akhir-akhir ini Bi Surti sering
sakit-sakitan dan mudah lelah.”

“Gimana? Mau nggak?” Ayesha bertanya penuh harap.

“Mau, Mbak. Saya mau banget,” jawab Giarti antusias.

“Kalau begitu, datanglah besok pagi. Saya tunggu di rumah.”

“Rumah Mbak Ay di mana?”

“Ini.” Wanita itu menyodorkan kartu nama kepada sang gadis.

Giarti menerima, lalu membacanya dengan teliti. Ternyata alamat calon majikan hanya beberapa
ratus meter dari pesantren. Detik itu juga rasa syukur merambat di ceruk hatinya. Ternyata, jika kita
optimis dan bersungguh-sungguh, jalan keluar itu akan selalu ada, bisiknya dalam angan.

@@@
Jam tujuh pagi, Giarti sudah sampai di rumah calon majikan. Pagar rumahnya tidak dikunci, sehingga
ia langsung masuk. Ayesha berdiri di teras menyambut kedatangannya.

“Akhirnya datang juga. Ayo masuk,” ajak Ayesha ramah.

Wanita itu membawa Giarti ke dalam rumahnya yang luas dan megah. Seorang perempuan tua
tampak sedang membersihkan lemari pajangan dengan kemoceng. Dialah Bi Surti, pembantu yang
sudah dua tahun bekerja di rumah itu.

“Nah, Bi. Mulai sekarang ada yang akan meringankan pekerjaan Bibi,” kata Ayesha kepada
perempuan kurus itu.

“Ooh, jadi ini Neng Giarti yang tadi malam Ibu ceritakan itu?” tanya Bi Surti dengan ramah.

Giarti mengulas senyum sambil menyalami wanita tua itu. Kemudian Ayesha mengajak sang gadis
memasuki kamar bayi yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Ruangan itu dipenuhi gambar-
gambar karakter kartun dan hiasan kertas berwarna-warni. Ia sengaja mendesainnya saat
menyambut kelahiran sang buah hati.

Tampak bayi berusia satu tahun yang sedang tidur lelap. Kulitnya yang putih bersih menguarkan
aroma minyak telon nan wangi. Giarti menatapnya dengan senyum.

“Masyaallah, cantik banget bayinya, Mbak. Mirip sama mamanya,” puji Giarti kagum.

“Namanya Rania,” kata wanita muda itu.

“Oh, nama yang bagus, Mbak.”

Bab 18

Ayesha memberitahu Giarti apa-apa saja tugasnya di rumah itu. Ia meminta sang gadis agar fokus
mengasuh, menyuapi dan memberi susu formula kepada bayinya. Untuk urusan membersihkan
rumah dan memasak, sudah ada Bi Surti yang melakukannya.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Ayesha harus segera bersiap untuk pergi mengajar.
Suaminya—Damar—sudah menunggu di dalam mobil. Mereka mengajar di sekolah yang sama.

Ia pun bergegas mengganti daster dengan pakaian dinas. Sebelum berangkat, disempatkannya
melihat ke ruangan bayi. Hatinya lega, sebab mendapatkan pengasuh yang tepat untuk putri
kecilnya.

“Mbak pergi dulu ya, Gi. Jaga Rania baik-baik, ya. Kalau ada perlu apa-apa, bilang sama Bi Surti.”

“Iya, Mbak.” Giarti mengangguk patuh.

Sepeninggal ibunya, si gadis kecil pun terbangun. Giarti mengajaknya bermain di halaman yang luas
itu. Ia mendorong kereta bayi berkeliling halaman sambil bernyanyi. Gadis itu sangat menyukai
pekerjaannya. Bayi kecil itu tampak riang dalam pengasuhan Giarti.

Sore hari, Ayesha dan suaminya sudah kembali ke rumah. Damar bergegas menuju kamar, sekadar
untuk membaringkan tubuhnya yang penat. Sedangkan istrinya memasuki bilik di sebelahnya. Rasa
lelah sebab seharian bekerja, hilang seketika saat mendapati balitanya tengah bermain bersama
pengasuhnya.

“Gi, mau tinggal di sini atau balik ke pesantren?” ia memberi pilihan.


“Saya ke pesantren saja, Mbak. Soalnya tiap bakda magrib ada tugas menyimak hafalan para santri.”

“Oh. Oke kalau begitu.”

Usai berpamitan kepada majikannya, Giarti pun berjalan menuju asrama tempat tinggalnya. Jaraknya
sekitar dua kilo meter dari rumah itu. Meskipun banyak angkot yang lewat, tetapi ia memilih
berjalan kaki. Untuk menghemat pengeluaran, pikirnya.

@@@

Setelah satu bulan bekerja, tibalah masanya ia menerima upah.

“Ini gajimu untuk bulan ini, Gi. Mbak Cuma bisa ngasih segini.” Ayesha mengangsurkan sepuluh
lembar uang seratus ribu.

Spontan mata gadis itu terbelalak melihat uang sebanyak itu. Seumur hidupnya, baru kali ini ia
memegang uang sejumlah itu.

“Alhamdulillah, terima kasih, Mbak,” kata gadis itu setelah menerimanya. Matanya berkaca-kaca,
sebab tak mampu menahan haru.

Dalam perjalanan pulang, Giarti memikirkan uang yang kini digenggaman. Gadis delapan belas
tahun itu berencana menggunakannya untuk biaya masuk kuliah. Maka sepulang kerja, ia mencari
informasi tentang kampus yang uang smesternya paling murah.

Di sebuah perguruan tinggi swasta, ia melihat remaja sebayanya berduyun-duyun mendaftar kuliah.
Hatinya pun tergerak untuk mendaftar pula. Akhirnya ia singgah di tempat itu. Giarti tak peduli
meskipun tampilan kampusnya sederhana dan lebih mirip bangunan sekolah dasar. Baginya, yang
penting bisa kuliah.

Setelah kondisi lengang, ia memasuki ruangan tata usaha. Giarti mengucap salam, wanita muda
berjilbab biru menyambutnya dengan ramah.

“Ada yang bisa saya bantu, Dik?” tanya wanita itu setelah menyilakan Giarti duduk.

“Saya mau nanya, Kak. Berapa uang smester di kampus ini, Kak?” tanya Giarti.

“Oh. Saat ini masih satu juta dua ratus, Dik. Itu pun boleh dicicil. Begitu juga uang bangunannya
boleh nyicil juga.”

Mendengar nominal yang disebutkan sang tata usaha, secercah harapan tiba-tiba hadir di sudut hati
Giarti.

“Uang bangunannya berapa, Kak?” tanya gadis itu antusias.

“Uang bangunannya dua juta rupiah. Tapi bisa dicicil juga.”

“Ya Tuhan, jika pembayarannya ringan begini, keinginanku untuk kuliah sepertinya akan terwujud,”
bisiknya dalam angan.

Sebisa mungkin ia akan berhemat. Giarti berencana mencicil biaya kuliah dengan upah dari menjadi
baby sitter.

“Nah, ini formulirnya. Silakan diisi di rumah. Minggu depan, antarkan lagi ke mari, Dik.” Wanita itu
mengangsurkan selembar kertas ke hadapan Giarti.

“Baik, Kak. Terima kasih. Berapa, Kak?”


“Untuk formulir pendaftaran, seratus ribu rupiah, Dik.”

Giarti merogoh saku bajunya, lalu menyerahkan selembar uang merah kepada gadis itu.

Sesampainya di asrama, ia segera mengisi formulir pendaftaran itu. Lagi-lagi Giarti merasa
beruntung, sebab di dalamnya tertera pilihan jadwal kuliah. Ia memilih jadwal hari Sabtu dan
Minggu, sebab Senin sampai sampai Jumat adalah waktu untuk bekerja.

Selesai mengisi formulir, disempatkannya menulis surat untuk ibunya di kampung. Diceritakannya
bahwa Giarti sudah bekerja dan mulai mendaftar di perguruan tinggi. Tak lupa pula ia memohon
agar sang ibu selalu mendoakan dirinya. Dilipatnya surat itu, lalu dimasukkan ke dalam amplop yang
sudah ditempeli perangko.

Sore telah berganti malam, seperti biasa, Giarti menyimak hafalan para santriwati di musala kecil
dalam komplek pesantren itu. Setelah rampung menyetorkan ayat hafalan, para santriwati
menunaikan salat isa. Kemudian mereka tidur di kamar masing-masing.

Usai salat subuh berjemaah, Giarti mennggabungkan diri ke dapur. Ia membantu beberapa
santriwati yang sedang piket memasak. Selesai memasak, mereka membagikan nasi dan lauknya
kepada para santriwati. Sebelum pergi ke sekolah, para penghuni pesantren terbiasa sarapan pagi.
Begitulah rutinitas mereka di asrama itu.

Pukul 6.30, Giarti bergegas pergi ke rumah majikannya. Dengan hati riang gadis itu mengasuh Rania,
bayi kecil yang menggemaskan. Sang majikan pun semakin sayang kepadanya, sebab ia gadis yang
jujur dan cekatan.

Bab 19

Ayesha baru selesai menyampaikan pelajaran kepada para siswa. Ia berjalan di sepanjang teras
sekolah hendak memasuki kantor. Tiba-tiba perutnya terasa mual, kepalanya pusing dan tubuhnya
mendadak lemah tanpa daya. Bumi yang dipijaknya serasa berputar kencang. Langkahnya
terhuyung, tangannya menggapai-gapai menyeimbangkan posisi tubuh agar tidak ambruk. Beberapa
orang murid yang melihat, berlari ke arahnya untuk menolong. Anak-anak itu memapah sang ibu
guru ke ruangan UKS. Mereka membaringkannya di ranjang darurat.

Rasa mual dan pusing semakin menjadi-jadi, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Tangan dan
kakinya tiba-tiba tak bisa digerakkan. Kepalanya pun tak bisa menoleh ke kiri dan kanan. Ia hanya
bisa menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang. Mulutnya ingin bicara, tetapi
suaranya tertahan di tenggorokan.

Ayesha tidak tau apa yang terjadi pada dirinya. Pagi tadi saat akan ke sekolah, kondisi tubuhnya
terasa baik-baik saja. Mungkinkah ajal akan segera menjemput? Oh tidak! Pekiknya dalam angan. Air
matanya luruh, saat bayi kecilnya melintas di pikiran. “Tuhan ..., berilah hamba waktu untuk
menemani pertumbuhannya,” pintanya kepada Ilahi. Setelah itu, ia tidak sadarkan diri.

Kepala sekolah yang kebetulan berada di ruang UKS, berinisiatif menelepon ambulan. Tak lama
kemudian mobil itu pun datang. Beberapa orang petugas menaikkan ranjang darurat itu ke atasnya.
Mereka membawa Ayesha ke rumah sakit terdekat.

Damar yang baru keluar dari labor, sangat panik setelah rekannya memberitahukan kejadian yang
menimpa istrinya. Ia pun segera menyusul. Sampai di rumah sakit, ia menanyai seorang dokter yang
baru menangani wanita terkasih.
“Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Damar cemas.

“Diagnosa sementara, istri Anda terserang vertigo,” jawab lelaki berseragam putih itu.

Mendengar perkataan sang dokter, Damar ingin secepatnya melihat kondisi sang istri.

“Boleh saya menjenguknya, Dok?”

“Silakan. Pendekatan dan perhatian orang-orang terdekat sangat dibutuhkan di saat seperti ini,” ujar
dokter itu sembari mengusap lengan Damar.

Lelaki berambut cepak itu segera memasuki ruangan tempat istrinya dirawat. Tampak wanita yang
baru dua tahun mendampingi dirinya, terbaring lemah dengan selang oksigen di hidung. Sedangkan
selang infus melingkar di tangannya. Tak ingin mengganggu, ia berjalan mengendap-endap, lalu
duduk pada kursi di samping bed pasien.

Lamat-lamat Ayesha membuka mata. Tampak suaminya duduk menekur. “Mas Damar,” bisiknya
lirih.

“Kamu udah siuman, Sayang?” Damar berbisik sambil meraih tangan yang tidak terbelit selang infus.
Digenggamnya jemari bidadari terkasih dengan lembut.

“Aku kenapa, Mas?” tanya Ayesha lirih.

Damar mendaratkan kecupan di kening wanita tercinta, lalu membelai kepalanya yang berbalut
jilbab.

“Tadi kamu pingsan di sekolah, Sayang.”

Ayesha baru menyadari kalau semua anggota tubuhnya tidak bisa digerakkan, bahkan sekadar untuk
menolehkan kepala pun ia tak mampu. Seluruh tubuhnya terasa lunglai tanpa daya. Ia hanya mampu
berbicara pelan dan mengedipkan mata.

“Sabar, ya. Kamu harus kuat, Sayang. Mas akan selalu ada untuk kamu.” Damar berbisik lembut di
telinga sang istri. Ayesha merasakan setitik cairan hangat menetes dari mata suaminya. Untuk
pertama kalinya wanita itu melihat lelaki tercinta menitikkan air mata.

“Mas, aku kangen anak kita,” ujarnya pelan.

“Rania akan baik-baik saja. Ada Bi Surti dan Giarti yang mengasuhnya. Ay nggak usah berpikiran
macam-macam dulu ya, fokus untuk sembuh aja dulu,” kata lelaki itu penuh kasih.

Senja hari, sang istri meminta suaminya pulang. Walau bagaimanapun ia harus memastikan buah
hatinya aman-aman saja di rumah. Terdorong rasa sayang, Damar pun menyanggupinya.

Sampai di rumah, Bi Surti heran melihat sang majikan pulang sendiri.

“Ibu di mana, Pak?” tanya pembantunya dengan sopan.

Damar menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Raut wajahnya tampak gusar dan lelah.

“Ayesha masuk rumah sakit, Bi. Tadi di sekolah dia pingsan.”

“Ya Alloh gusti ....” Bi Surti mengurut dada, wajahnya menyiratkan rasa prihatin.

Giarti yang sedang bermain dengan Rania di ruang tengah, seketika terkejut mendengar perkataan
majikannya.
“Oh ya, Giarti. Selama istri saya di rumah sakit, tolong kamu nginap di sini, temani Bi Surti,” pinta
Damar kepada gadis itu.

Kening Giarti berkerut mendengarnya. Bagaimana ia akan menginap, sedangkan dirinya punya
kewajiban menyimak hafalan para santri di pesantren.

“Sepertinya saya nggak bi ....”

“Giarti, tolong. Saya mohon. Setidaknya sampai istri saya keluar dari rumah sakit,” tukas Damar
sedikit memaksa.

Gadis berjilbab panjang pun tak bisa lagi menolak. Setelah mengetahui keadaan di rumah, lelaki itu
kembali ke rumah sakit.

Giarti segera menghubungi pimpinan pesantren dengan ponselnya. Ia meminta izin untuk menginap
beberapa hari di rumah sang majikan. Diceritakannya pula tentang istri majikannya yang masuk
rumah sakit dan membutuhkan pengasuh untuk anaknya. Bu Aisyah cukup paham dengan
keterangan Giarti. Wanita bijaksana itu pun mamberinya izin.

Berhari-hari lamanya Ayesha dirawat di rumah sakit. Dengan sabar sang suami menyuapinya makan
dan mengganti diapers wanita terkasih. Jika lelaki itu pergi mengajar, Bi Surti yang menggantikannya.

Tepat di hari kesepuluh, keadaan Ayesha tidak banyak berubah. Ia hanya mampu menggerakkan
tangannya. Sekadar duduk dan berdiri, belum mampu ia lakukan.

Bab 20

Damar menangis tersedu di samping gundukan tanah yang masih basah. Ia memimilih tinggal saat
rombongan pengantar jenazah meninggalkan pemakaman. Matanya sembab karena air mata tak
henti menetes. Batinnya terguncang, tak sanggup menanggung duka lara. Sesekali diusapnya batu
nisan yang belum lama tertancap. Maka bertambah pilu rasa hatinya. Sungguh, lelaki itu tak mengira
secepat ini pujaan hati akan pergi. Bahkan buah cinta mereka belum genap dua tahun.

Hari merangkak senja, tetapi Damar belum beranjak. Segala kenangan tentang wanita itu kembali
melintas di pikiran. Baginya, Ayesha, adalah simbol cinta dan ketulusan. Ia anugerah terindah dari
Tuhan. Belum lama mereka mengarungi bahtera penuh bahagia, Sang Pemilik tiba-tiba
mengambilnya. Tinggallah ia dalam gamang dan nestapa.

@@@

Tiga hari pasca kepergian Ayesha, Damar mencoba mengumpulkan kembali semangat hidup yang
telah hilang. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Seperti kata orang,
life must go on. Jemarinya kembali bermain di atas papan keyboard. Matanya terfokus pada laptop
di mejanya. Pria bermata elang itu sedang merekap nilai semester para siswa.

Bi Surti mengetuk pintu yang tidak ditutup.

“Masuklah, Bi,” titah lelaki itu.

Wanita berbaju motif bunga-bunga dengan bawahan kain jarik mendekat ke arah sang majikan.

“Ada apa, Bi? Uang belanja sudah habis?” tanya lelaki itu ramah.
“Bukan, Pak. Bibi cuma mau ngasih ini.” Bi Surti mengangsurkan amplop berwarna putih kepada
Damar.

“Waktu Bibi nemanin Ibu di rumah sakit, beliau menulis surat itu untuk Pak Damar. Kata Ibu, kalau
beliau sembuh Bibi disuruh balikin surat itu, tapi kalau beliau meninggal, Bibi disuruh ngasih surat itu
ke Pak Damar,” pungkasnya kemudian.

Damar menerima amplop itu, lalu membuka dan membaca surat di dalamnya.

“Mas, kita nggak tau kapan ajal itu akan tiba. Jika Allah memanggilku, kumohon nikahilah Giarti,
baby sitter kita itu. Aku bisa merasakan ketulusan dan kasih sayangnya untuk Rania. Akhlaknya yang
baik, agamanya yang kuat, bisa dijadikan panutan untuk anak kita, Mas. Sekali lagi kumohon
nikahilah dia, Mas,” begitulah isi surat yang ditulis oleh sang istri sebelum menghadap Ilahi

Lelaki itu mengusap wajahnya secara kasar. Ia teringat saat menyuapi almarhum istrinya di rumah
sakit, “Mas, kalau aku mati apa Mas akan menikah lagi?” tanya istrinya tempo hari.

“Ehhh, nggak boleh ngomong gitu, Sayang. Kamu harus sembuh. Mas nggak bisa hidup tanpa kamu.”

“Aku ikhlas kalau Mas nikah lagi, asal sama Giarti,” ujarnya dengan mantap.

Saat itu, Damar hanya menganggap ucapannya sebagai angin lalu, sekadar candaan.

Bi Surti heran dengan reaksi lelaki itu.

“Ayesha menyuruh saya menikahi Giarti. Menurut Bibi bagaimana?” pertanyaan itu meluncur begitu
saja dari lisan sang majikan.

“Wahhhh. Bagus itu, Pak. Giarti itu gadis yang baik. Dia juga sudah dekat banget dengan Riani,” kata
Bi Surti semringah.

“Terlebih lagi, dalam minggu ini Bibi mau pulang ke kampung,” ujar perempuan sepuh itu lirih
dengan pandangan berkaca-kaca.

“Apa?” Bibi mau pergi dan meninggalkan saya?”

“Maafkan Bibi. Bibi harus pergi.” Bi Surti menyeka air mata di pipi dengan punggung tangannya.

“Kenapa, Bi? Apa gaji yang saya berikan kurang?”

“Bukan, Pak. Bukan itu sebabnya. Gaji yang Bapak berikan sudah lebih dari cukup, bahkan bisa
membiayai kuliah anak Bibi sampai tamat. Dia lulus jadi PNS tahun ini dan ditempatkan di pulau
Sumatera. Jadi Bibi diminta ikut ke sana,” papar Bi Surti.

Bel rumah berdenting tiga kali, pertanda ada tamu yang datang.

“Biar Bibi yang bukain pintunya, Pak.” Wanita itu berjalan menuruni anak tangga. Dibukanya pintu
utama, alangkah bersuka cita hatinya setelah tahu siapa yang datang.

“Emak.” Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu serta merta menghambur ke pelukan Bi Surti. Rasa
haru seketika menjalar di hati keduanya.

Bi Surti membawa pemuda itu menemui majikannya.

“Siapa ini, Bi?” tanya Damar.


“Ini anak Bibi, yang tadi Bibi ceritakan sama Pak Damar. Dia datang menjemput Bibi. Kami akan
berangkat ke Sumatera,” papar Bi Surti. Wanita itu terlihat bangga atas keberhasilan anaknya.

“Oh, begitu.”

“Bibi mohon pamit nggih, Pak Damar. Terima kasih atas semua kebaikan Pak Damar selama ini.” Bi
Surti meraih tangan Damar, menjabatnya dengan erat. Sementara matanya berkaca-kaca.

Bi Surti menyuruh anaknya menunggu di ruang tamu, ia hendak mengemasi pakaiannya yang tak
seberapa banyak. Disempatkannya pula berpamitan kepada Giarti. Gadis itu sedang bermain di
ruang tengah dengan Rania.

Setelah kehilangan orang tercinta, kini Damar harus rela melepas kepergian Bi Surti.

“Apa kau akan pergi juga, Giarti?” tanya lelaki itu dengan hati mencelos. Bukan merisaukan dirinya,
tetapi bagaimana pengasuhan Rania jika gadis itu angkat kaki dari rumah. Damar menyadari, akan
sulit mencari baby sitter sebaik remaja berjilbab panjang itu.

Giarti menunduk, menyembunyikan rasa gugup yang mendadak hadir. Kini di rumah itu hanya ada
dua orang dewasa. Dirinya dan Damar, lelaki bertubuh atletis dengan kulit putih bersih, semakin
menawan dengan bentuk hidung yang proporsional.

“Sa—ya juga akan pamit, Pak. Soalnya masih punya kewajiban menyimak hafalan para santri. Lagi
pula, kita bukan mahram, tidak mungkin tinggal serumah.”

Bab 21

Katika Giarti mendongakkan wajah, pandangan mereka tak sengaja bertemu. Debaran aneh tiba-tiba
menjalar di hati kedua insan berlainan jenis itu. Cepat-cepat ditundukkan kembali mukanya.

“Maukah kau menikah denganku?” tanya lelaki itu dengan mantap. Ayesha benar, aku harus
menikahinya, setidaknya demi Rania, bisik Damar dalam hati. Meskipun tak ada yang bisa
menggantikan wanita itu di hatinya.

Spontan pipi gadis itu bersemu merah. Lagi-lagi ia hanya menunduk malu. Seumur hidup, baru kali
ini ia merasakan debaran aneh berhadapan dengan lawan jenis.

“Gimana, Giarti? Maukah kau menikah denganku?”

Untuk yang kedua kalinya lelaki itu bertanya. Giarti pun mengangguk pelan.

@@@

“Saya terima nikahnya Giarti binti Rianto dengan mahar uang sebesar lima juta rupiah dibayar
tunai.”

Dalam posisi berjabat tangan dengan ayah sang gadis, ia mengucapkan kalimat akad nikah. di
hadapan para saksi dan hadirin, acara sakral itu dilaksanakan. Raut bahagia terpancar dari wajah
sepasang pengantin.

Giarti tampak anggun dengan balutan gamis merah muda dengan jilbab warna senada. Hanya
dengan sapuan riasan wajah natural, gadis itu terlihat cantik memesona. Senyum semringah selalu
tersungging di bibirnya. Tangannya yang penuh kasih, memangku Riani kecil buah cinta suami
dengan istri pertama. Bocah berusia satu tahun tujuh bulan itu terlihat tenang, seolah ikut
merasakan kegembiraan.
Ayah dan ibu serta kedua adiknya datang di hari paling bersejarah dalam hidupnya. Bu Aisyah, Fikri
dan papanya pun hadir pula memberikan doa restu kepadanya.

Meski rasa kecewa berkecamuk di dada, tak ada yang bisa dilakukan oleh Fikri. Salahnya sendiri,
selama ini ia hanya memendam cinta itu dalam angan. Tanpa pernah mengatakannya kepada Giarti.
Namun, menyaksikan rona bahagia di wajah pujaan hati pada hari ini, baginya itu sudah cukup.

“Semoga kau bahagia, Giarti-ku,” batinnya berbisik.

@@@

“Akhirnya ayah bisa hadir di hari penting ini, Bu,” kata Giarti saat resepsi pernikahan telah usai. Ibu
dan anak itu duduk pada sebatang kayu tiruan dari semen. Di hadapan keduanya aneka macam ikan
hias berenang dengan lincah dalam kolam kecil.

“Iya, Nduk. Ibu juga tidak menyangka, ayahmu akan kembali ke tangan ibu. Begitulah takdir, Nduk.
Saat kehilangan kita harus ikhlas, anggap itu ujian. Saat mendapatkan kita harus bersyukur dan
menjaganya dengan baik.”

“Lalu, bagaimana dengan Bu Seruni, Bu?” tanya Giarti.

“Ibu juga nggak tau pasti tentang kabar ibu tirimu itu, tapi Ibu dengar isu-isu dari orang, katanya ia
merasa tidak puas atas nafkah batin dari ayahmu, hingga dia selingkuh. Wallohualam,” papar
Sumirah.

“Oo.” Mulut Giarti membulat. Namun, usia belianya belum bisa mencerna perkataan itu.

“Bagitulah orang berumah tangga, Nduk. Semua ada ujiannya masing-masing.”

“Patuh dan berpandai-pandailah mengabdi pada suami, Nduk. Sebab ridanya Allah berada di tangan
suamimu. Jangan pernah melakukan apa yang tidak disukainya,” begitulah pesan sang ibu sebelum
berangkat.

Kini tinggallah Giarti bersama kehidupannya yang baru.

@@@

Sejak bergelar istri, kehidupan Giarti tak jauh dari membereskan rumah, memasak dan mengurus
Rania. Ia tak pernah mengeluh meskipun lelah. Semua dilakukannya demi cinta dan pengabdiannya
kepada lelaki itu.

Hingga suatu hari ia iseng-iseng membuka ponsel suaminya. Perhatiannya tertarik pada aplikasi
berlogo F. Di sana ia menemukan foto-foto sang suami yang berdekatan dengan teman-teman
perempuannya. Saling berbalas like dan komentar. Dengan sangat mudah kecemburuan perempuan
muda itu terpancing.

“Mas, ini siapa? Saya benci melihatnya. Murahan banget sih, pake nyandar-nyandar di bahu suami
orang,” sungut Giarti geram, sambil memamerkan layar ponsel ke hadapan Damar. Saat itu suaminya
baru pulang mengajar. Udara yang panas, ditambah lagi perut keroncongan, membuatnya enggan
meladeni pertanyaan sang istri. Ia langsung menuju ruang makan, kemudian menuntaskan rasa
laparnya di sana.

Sementara Giarti menyeret langkah menuju kamar. Ia duduk pada kursi di depan meja rias. Dalam
hitungan menit, suaminya menyusul.
“Siapa perempuan genit yang di foto itu, Mas?” tanya Giarti sewot.

“Oh. Itu cuma teman. Dia guru di sekolah tempat Mas ngajar,” jawab pemilik sorot mata elang itu
dengan santai.

“Mas, mau-maunya deket-deket perempuan murahan itu!” sang istri mulai meninggikan suranya.

“Arrgghhh!” Damar mengacak rambutnya dengan kasar. Ia mulai kesal dengan omelan wanita itu.
Bukan hanya sekali ini Giarti membuatnya murka. Pernah suatu waktu seorang teman wanita
meneleponnya, sekadar mengucapkan selamat ulang tahun pada lelaki itu. Giarti meradang,
merebut ponsel dari tangan suaminya, kemudian menghujani wanita itu dengan kata-kata kasar. Ia
melakukannya didasari rasa cemburu. Damar mulai kehilangan rasa sabar menghadapinya, sehingga
pertengkaran pun kerap terjadi

@@@

“Jam segini belum pulang, Frend?” tanya Lola dengan suara yang dibuat manja.

“Lagi males pulang ke rumah, bete,” jawab Damar sekenanya.

Jam dinding sudah menunjuk pukul enam sore, tetapi Damar masih berkutat memelototi layar HP di
mejanya. Guru-guru yang lain sudah sejak tadi pulang ke rumah masing-masing. Inilah momen yang
selalu dinantikan Lola. Bisa berduaan dalam satu ruangan dengan lelaki itu.

Dahulu, Damar dan Lola bersekolah di SMA yang sama. Bahkan keduanya sempat menjalin cinta.
Namun, takdir berkata lain. Lola dijodohkan orang tuanya dengan pria pilihan mamanya.

Kini mereka bertemu kembali dalam keadaan yang berbeda. Damar telah beristri, sedangkan ia
seorang janda. Baru dua minggu Lola menjadi tenaga honorer di sekolah itu. Ia mengajar pelajaran
kesenian. Sebelumnya ia bahagia bersama suaminya. Badai rumah tangga menerpa kehidupan, ia
pun bercerai dan kembali ke rumah orang tuanya.

Bab 22

Anda mungkin juga menyukai