Tara menatap wajah gadis mungil yang tertidur pulas di pangkuannya. Tidak
seperti biasa, baru pertama ini dia begitu sayang kepada adik kecilnya.
Tangan Nirina, gadis kecil yang baru berusia lima tahun, memeluk erat jemari
kakaknya. Ada ketakutan kehilangan pada jemari mungil itu.
Hidup ini memang ganas, tak berpihak padanya. Setelah kedua orang tuanya
meninggal karena korban tablak lari. Kedua anak malang itu harus terlunta
mencari kerabatnya di kota lain.
“Jaga Nirina di rumah ya, bapak dan ibu ke rumah bude, sekadar ingin
mengucapkan selamat menempuh hidup baru kepada putrinya,” ujar ibunya
kala itu.
Tara, bocah 14 tahun yang belum sempat masuk ke rumah menjerit histeris
sembari berlari menghampiri kedua orang tuanya yang tergeletak di pinggir
jalan.
Akan tetapi di mana rumah bude? di mana kakak sepupunya yang menjadi
mempelai dan menempuh hidup baru penuh kebahagiaan?
Keduanya menempuh hidup baru, dengan jalur yang berbeda, rumah yang
berbeda. Kedua anak yatim piatu itu menjalani hidup baru di jalanan tanpa
tembok penghangat, tanpa atap pelindung.
“Ibu dan Bapak sudah punya rumah sendiri di surga, kita akan membangun
rumah juga di bawah langit itu,” seru Tara sembari menunjuk ke arah langit.
Netra bulat bergerak mengikuti telunjuk sang kakak, “Langitnya gelap, mana
mungkin kita bisa membangun rumah,” tanyanya polos.
“Bisa Nirina, nanti Mas tunjukkan caranya.” Kedua anak itu saling menatap,
ada gurat bahagia di mata Tara yang dipancarkan untuk menghibur Nirina.
Walaupun itu hanya sebuah kebahagian dusta.