Anda di halaman 1dari 3

Harapan Anak Yatim

Tara menatap wajah gadis mungil yang tertidur pulas di pangkuannya. Tidak
seperti biasa, baru pertama ini dia begitu sayang kepada adik kecilnya.

Dulu, sebelum kejadian mengenaskan terjadi kepada kedua orang tuanya.


Tara sibuk bermain, sekolah di Madrasah Ibtidayah, hingga tak pernah
memperhatikan wajah polos yang lucu, menggemaskan.

Tangan Nirina, gadis kecil yang baru berusia lima tahun, memeluk erat jemari
kakaknya. Ada ketakutan kehilangan pada jemari mungil itu.

“Tidurlah, Nirina, maafkan aku ya, telah membawamu ke dalam


kesengsaraan,” bisik Tara sembari mengelus rambut yang mulai lusuh karena
semalam terkena hembusan angin malam yang ganas.

Hidup ini memang ganas, tak berpihak padanya. Setelah kedua orang tuanya
meninggal karena korban tablak lari. Kedua anak malang itu harus terlunta
mencari kerabatnya di kota lain.

Sebelum kecelakaan itu menimpa, ibunya pamit akan menghadiri pesta


pernikahan keponakannya di kota sebelah.

“Jaga Nirina di rumah ya, bapak dan ibu ke rumah bude, sekadar ingin
mengucapkan selamat menempuh hidup baru kepada putrinya,” ujar ibunya
kala itu.

Ucapan selamat menempuh hidup baru tak pernah tersampaikan kehadapan


kedua mempelai. Sebuah truk menghantam motor yang baru keluar pelan-
pelan dari sebuah rumah kontrakan. 

Tara, bocah 14 tahun yang belum sempat masuk ke rumah menjerit histeris
sembari berlari menghampiri kedua orang tuanya yang tergeletak di pinggir
jalan.

“Selamat menempuh hidup baru” sekarang milik Tara dan Nirina.


Hidup baru yang penuh kegelapan, kedukaan, air mata. Si kecil Nirina harus
menjalani hidup baru tanpa kedua orang tua. Si sulung, Tara, harus berhenti
sekolah dan meninggalkan rumah kontrakan demi mencari pegangan dalam
hidup barunya, siapa lagi kalau bukan Bude yang pernah dikatakan ibunya,
“Bude akan menikahkan putrinya.”

Akan tetapi di mana rumah bude? di mana kakak sepupunya yang menjadi
mempelai dan menempuh hidup baru penuh kebahagiaan?

Keduanya menempuh hidup baru, dengan jalur yang berbeda, rumah yang
berbeda. Kedua anak yatim piatu itu menjalani hidup baru di jalanan tanpa
tembok penghangat, tanpa atap pelindung.

Nirina menggeliat, “Mas Tara!” panggilnya pelan.

“Aku di sini, tidurlah kembali!” 

Nirina menatap kakaknya, “Kita sebenarnya hendak ke mana, Mas? kenapa


tidak di rumah saja nunggu Ibu dan Bapak.”

“Ibu dan Bapak sudah punya rumah sendiri di surga, kita akan membangun
rumah juga di bawah langit itu,” seru Tara sembari menunjuk ke arah langit.

Netra bulat bergerak mengikuti telunjuk sang kakak, “Langitnya gelap, mana
mungkin kita bisa membangun rumah,” tanyanya polos.

“Bisa Nirina, nanti Mas tunjukkan caranya.” Kedua anak itu saling menatap,
ada gurat bahagia di mata Tara yang dipancarkan untuk menghibur Nirina.
Walaupun itu hanya sebuah kebahagian dusta.

Kedua anak malang itu melewati malam di emper mushala, sambil


menyaksikan bintang yang berjatuhan. “Bintang, bawa kami menemui ibu dan
bapak di surga.” Tiba-tiba terdengar suara lirih Nirina.

Tara tak kuasa menyembunyikan kesedihannya, matanya mulai basah, tetapi,


ketika Nirina menoleh ke arahnya. Tara kembali menyembunyikan kesedihan
dengan tersenyum tipis.

“Yu, kita baca surat Al-Ikhlas sebanyak-banyaknya, supaya kita bisa


membangun rumah di surga,” ajak Tara sambil memulai membaca surat Al-
Ikhlas. Mulut mungil itu mengikuti lantunan ayat demi ayat yang dibaca Tara
dengan merdu.

“Nirina, adikku, kamu satu-satunya yang menjadi alasan, untuk aku


membangun surga di dunia ini dan kelak di akhirat,” gumam Tara sembari
mengecup kening bidadari kecilnya.

Anda mungkin juga menyukai