Anda di halaman 1dari 4

By:Zaskia Aulia Nurdin

IX D

SEMANGAT
Tara menatap wajah gadis mungil yang
tertidur pulas di pangkuannya. Tidak
seperti biasa, baru pertama ini dia begitu
sayang kepada adik kecilnya.
Dulu, sebelum kejadian mengenaskan
terjadi kepada kedua orang tuanya. Tara
sibuk bermain, sekolah di Madrasah
Ibtidayah, hingga tak pernah
memperhatikan wajah polos yang lucu,
menggemaskan.
Tangan Nirina, gadis kecil yang baru
berusia lima tahun, memeluk erat jemari
kakaknya. Ada ketakutan kehilangan pada
jemari mungil itu.
“Tidurlah, Nirina, maafkan aku ya, telah
membawamu ke dalam kesengsaraan,”
bisik Tara sembari mengelus rambut yang
mulai lusuh karena semalam terkena
hembusan angin malam yang ganas. Hidup
ini memang ganas, tak berpihak padanya.
Setelah kedua orang tuanya meninggal
karena korban tablak lari. Kedua anak
malang itu harus terlunta mencari
kerabatnya di kota lain.
Sebelum kecelakaan itu menimpa, ibunya
pamit akan menghadiri pesta pernikahan
keponakannya di kota sebelah.
“Jaga Nirina di rumah ya, bapak dan ibu ke
rumah bude, sekadar ingin mengucapkan
selamat menempuh hidup baru kepada
putrinya,” ujar ibunya kala itu. Ucapan
selamat menempuh hidup baru tak pernah
tersampaikan kehadapan kedua mempelai.
Sebuah truk menghantam motor yang baru
keluar pelan-pelan dari sebuah rumah
kontrakan. Tara, bocah 14 tahun yang
belum sempat masuk ke rumah menjerit
histeris sembari berlari menghampiri kedua
orang tuanya yang tergeletak di pinggir
jalan.
“Selamat menempuh hidup baru” sekarang
milik Tara dan Nirina.
Hidup baru yang penuh kegelapan,
kedukaan, air mata. Si kecil Nirina harus
menjalani hidup baru tanpa kedua orang
tua. Si sulung, Tara, harus berhenti sekolah
dan meninggalkan rumah kontrakan demi
mencari pegangan dalam hidup barunya,
siapa lagi kalau bukan Bude yang pernah
dikatakan ibunya, “Bude akan menikahkan
putrinya.”
Akan tetapi di mana rumah bude? di mana
kakak sepupunya yang menjadi mempelai
dan menempuh hidup baru penuh
kebahagiaan?
Keduanya menempuh hidup baru, dengan
jalur yang berbeda, rumah yang berbeda.
Kedua anak yatim piatu itu menjalani hidup
baru di jalanan tanpa tembok penghangat,
tanpa atap pelindung.
Nirina menggeliat, “Mas Tara!” panggilnya
pelan.
“Aku di sini, tidurlah kembali!” 
Nirina menatap kakaknya, “Kita
sebenarnya hendak ke mana, Mas? kenapa
tidak di rumah saja nunggu Ibu dan Bapak.”
“Ibu dan Bapak sudah punya rumah sendiri
di surga, kita akan membangun rumah juga
di bawah langit itu,” seru Tara sembari
menunjuk ke arah langit. Netra bulat
bergerak mengikuti telunjuk sang kakak,
“Langitnya gelap, mana mungkin kita bisa
membangun rumah,” tanyanya polos.
“Bisa Nirina, nanti Mas tunjukkan caranya.”
Kedua anak itu saling menatap, ada gurat
bahagia di mata Tara yang dipancarkan
untuk menghibur Nirina. Walaupun itu
hanya sebuah kebahagian dusta.
Kedua anak malang itu melewati malam di
emper mushala, sambil menyaksikan
bintang yang berjatuhan. “Bintang, bawa
kami menemui ibu dan bapak di surga.”
Tiba-tiba terdengar suara lirih Nirina.
Tara tak kuasa menyembunyikan
kesedihannya, matanya mulai basah,
tetapi, ketika Nirina menoleh ke arahnya.
Tara kembali menyembunyikan kesedihan
dengan tersenyum tipis.
“Yu, kita baca surat Al-Ikhlas sebanyak-
banyaknya, supaya kita bisa membangun
rumah di surga,” ajak Tara sambil memulai
membaca surat Al-Ikhlas. Mulut mungil itu
mengikuti lantunan ayat demi ayat yang
dibaca Tara dengan merdu. “Nirina, adikku,
kamu satu-satunya yang menjadi alasan,
untuk aku membangun surga di dunia ini
dan kelak di akhirat,” gumam Tara sembari
mengecup kening

Anda mungkin juga menyukai