Anda di halaman 1dari 23

Novel Air Mata Terakhir Bunda

2 November 2011   07:43 |


Diperbarui: 26 Juni 2015   00:09

AKU BUKAN ANAK YATIM


(kenangan 17 tahun yang lalu)
Di balai desa nampak antrian
panjang barisan fakir miskin dan
anak yatim untuk mendapatkan
jatah beras miskin (raskin).
Terlihat Delta yang sedang
kepanasan, beberapa kali mengelap
keringat di dahinya dengan kedua
punggung tangannya. Sambil
sesekali melihat ke depan dan
belakang barisannya, dia mencoba
bersabar untuk mendapatkan jatah
beras yang menjadi haknya dan
keluarganya.
Kini tiba gilirannya setelah dua jam
mengantri dengan tertib. Delta
berharap segera mendapatkan apa
yang diharapkannya, membawa
pulang sekantong beras untuk
makan mereka beberapa hari ke
depan.
Namun apa yang dialaminya
sungguh menyayat hati kecilnya.
Dengan wajah bingung bercampur
sedih, dia menatap dua perempuan
di depannya yang sedang
bertengkar karenanya.
“Dia kan tidak yatim, nggak perlu
disantuni.”
“Tapi dia anaknya janda bu, ya
masuklah dalam daftar santunan
kita.”
“Tapi bapaknya kan masih ada.
Artinya masih ada yang wajib
bertanggung jawab atas mereka itu.
Yok opo seh?”
“Yok opo? Gimana to? Bapake
sudah nggak mau bertanggung
jawab kok. Malah kawin lagi dengan
wanita lain.”
“Wes-wes. Ya sudah beri dia jatah
satu jiwa saja. Yang lainnya masih
banyak yang antri ning!”
Delta masih ingat betul kejadian
yang membuat hatinya sedih tujuh
belas tahun yang lalu itu. Seorang
perempuan bertumbuh tambun,
yang sesekali mengunyah makanan,
gethuk singkong yang terus
dibawanya sambil wira wiri
mengatur antrian jatah raskin,
bertengkar dengan seorang
petugas perempuan yang dia tahu
membelanya untuk mendapatkan
hak jatah raskin.
**********************************
MENGAJI
Sengaja sore itu dia mengaji untuk
menumpahkan segala tanya yang
selama ini tidak pernah terjawab.
Pikirnya, ustadz Iskan yang selama
ini selalu membesarkan hatinya bisa
melegakan jawabannya. Informasi
tentang keberadaan ayahnya di
Kludan sangat mengganggu
pikirannya.
Selesai membaca Qur’an yang
dipinjamnya dari musholla, Delta
langsung bertanya kepada ustadz
yang sejak awal mengaji sudah
menangkap kegelisahannya.
“Mbah, benarkah Allah itu Maha
Adil?”
“Kenapa kamu ngomong begitu?
Kalau Allah tidak Maha Adil, kalian
tidak ada di sini mengaji.
Bersyukurlah dengan semua yang
telah diberi, apapun pemberiannya.”
“Kalau Allah Maha Adil, kenapa
Allah tidak mengingatkan bapak
saya ke saya, anaknya? ”
Delta membantah, sudah lama kata-
kata itu dipendamnya sendiri.
Kalaupun dia menangis saat
sendirian di rumah, dia akan segera
keluar dari rumah. Berlari
sekencang-kencangnya menuju
sungai. Lalu menceburkan dirinya
ke sungai, berenang hingga
kelelahan. Berteriak sekeras-
kerasnya Tak peduli hari itu panas
terik atau hujan. Baginya hanya itu
yang bisa menghiburnya,
melupakan kesedihannya, sedikit
menyembuhkan lukanya.
**********************
SEPATU
Delta ingin bilang kepada ibunya,
protes hatinya, Bapak punya toko
sepatu bu. Kenapa dia tidak peduli
dengan kita? Setahuku jika orang
punya toko sepatu di Kludan, sudah
pasti duitnya banyak, kaya. Lalu
kenapa dia tidak mau membiayai
hidup kita? Apakah salah jika aku
datang ke sana minta sepatunya
sepasang saja? Aku ingin ke sana,
melihat bagaimana wajah bapak,
bagaimana merasakan dipeluk
seorang bapak. Tapi apakah
mungkin dia tahu dan ingat bahwa
aku adalah anak yang
ditinggalkannya? Kenapa dia bisa
melupakan kita bu? Kenapa?
Dengan berat hati, Delta
mengucapkan apa yang beberapa
hari ini dipendamnya. Dia sudah tak
peduli lagi bagaimana respon
ibunya, sakit hati, marah atau sedih
dengan kalimatnya. Yang jelas dia
ingin haknya sebagai anak
terpenuhi dari seorang lelaki yang
disebut “Ayah”.
“Bu…nggak usah beli sepatu di
pasar Larangan.”
“Lho kenapa? Di sana banyak
pilihan, harganyapun miring. Ukuran
sepatumu berarti 39 ya sekarang.”
Delta memberanikan diri menatap
ibunya yang juga menatapnya
heran.
“Bu, kata bu haji Waroh, eeehmmm
bapak ada di Kludan, punya toko
sepatu di Kludan. Nama tokonya
Kludan Maju Jaya…”
Ibu Delta tanpa ekspresi apa-apa
mendengar kalimat Delta. Dia terus
menatap wajah anak yang tak
pernah tahu wajah ayahnya itu. Ayah
yang konon dulu menghilang di
negeri antah berantah, nyatanya kini
berada di desa tetangga, sangat
dekat dengan desa mereka. Hidup
dengan janda kaya yang memang
hanya membutuhkannya sebagai
lelaki, bukan sebagai suami.
Dia tahu wajah Delta menyiratkan
ingin bertemu, melihat wajah
ayahnya dengan alasan ingin sepatu
baru. Sebuah alasan yang masuk
akal, permintaan yang manusiawi.
Seorang bocah yang rindu pelukan
ayahnya. Siapapun ayahnya.
“Bu, Delta ingin melihat ayah
sekaligus minta sepatu baru. Masak
nggak boleh?”
Mata Delta tertuju kepada butiran-
butiran beras di dalam tampah yang
dipangku ibunya. Dia semakin
mendekatkan wajahnya pada
tampah. Matanya melihat beberapa
kutu beras masih asyik berselancar
diantara butiran beras raskin itu.
“Berasnya kutuan ya bu?”
“Ah nggak, hanya sedikit saja.
Besok yang penting saat kamu
makan, kutunya sudah nggak ada.
Bersyukurlah masih diberi Allah
beras ini. Kamu bisa bayangkan
mereka yang tidak bisa makan nasi.
Sudahlah, sekarang kamu harus
tidur.”
Ibunya berdiri, menaruh tampah
beras di atas meja. Dia tidak ingin
anaknya sedih atau galau karena
mereka makan beras berkutu. Beras
yang tak layak makan, beras yang
sudah setengah busuk, dan
membahayakan kesehatan mereka.
Namun mau bagaimana lagi, hal
seperti itu sudah sangat biasa
terjadi. Lalu mereka sama-sama
terdiam, membisu, melupakan
percakapan tentang sepatu.
***************************
SANDAL TEROMPAH BERPENITI
Semua orang yang berada di
lapangan, sangat tertarik dengan
gemuruh Reog Cemandi. Delta
makin bangga dengan regunya.
Beberapa guru pendamping,
termasuk Bu Siti, terus
menyemangati murid-muridnya
dengan membagi permen dan es
teh yang dibungkus plastik. Delta
sangking bersemangatnya
mengatur dan membaur dengan
group reog-nya, tidak menyadari
posisinya hampir bertubrukan
dengan Ramli.
“Waw, duh! Loro rek!”
Delta meringis kesakitan saatRamli
yang bertubuh tambun sedang
menabuh terbang, berjingkrak di
depannya, tanpa sengaja menginjak
kakinya.
“Wes rek, siap-siap. Giliran kita
maju. Delta ayo semangat!”
Delta yang masih memegangi
kakinya. Langsung mengatur baris
teman-temannya. Dia sudah tak
peduli lagi sakit kaki kanannya.
Giliran regu Lintang Renokenongo
maju ke depan, memberi hormat
kepada Bupati dengan tamu
undangan lainnya yang duduk di
tribun utama.
Sambutan sorak sorai dan tepuk
tangan penonton membuat mereka
makin semangat menebar senyum.
Barisan nampak rapi, diiringi
paduan musik etnik angklung dan
terbang yang mengiringi Fakhri dan
Amin dengan tarian topengnya.
Reog Cemandi ala Delta menjadi
tontonan yang menarik hari itu.
Diantara sekian regu yang
kebanyakan nampak mewah dengan
aneka baju modern dan kebarat-
baratan, regu Delta terlihat paling
natural. Delta terus menebar
senyum ke penonton, berjalan
tenang menuju rute yang
ditentukan.
Setelah keluar dari alun-alun, dan
tepat di depan dewan juri, hal yang
tidak terduga terjadi. Wajah Delta
mulai terlihat resah, dia merasakan
sesuatu di kaki kanannya. Jalannya
mulai pelan. Dia menengok ke
bawah sedikit. Wajahnya mendadak
pucat. Karena ternyata, tali kulit
sandal terompah yang dipakai kaki
kanannya putus, jalannya mulai
terseok-seok. Nampaknya injakan
kaki besar Ramli membuat tali
terompahnya rapuh dan putus. Dia
tidak bisa menyembunyikan cacat
jalannya. Hingga akhirnya dia
memutuskan untuk melepas kedua
terompahnya, dengan kaki
kepanasan, nyeker, dia tetap
meneruskan jalannya.
Sementara teman-temannya yang
ada di barisan depan mulai ramai
berbisik. Bu Siti yang mengetahui
kesulitan Delta, segera
menenangkan murid-muridnya.
Delta merasakan ketidaknyamanan
yang luar biasa. Dia ingin segera
acara karnaval itu berakhir.
Beruntung, Bu Siti segera
mengambil tindakan. Sandal
terompah Delta diambil dan
disambung dengan peniti.
Diberikannya kepada Delta yang
mulai kepanasan dan kesakitan
telapak kakinya.
Delta sedikit lega setelah Bu Siti
memberikan terompah-nya. Dia
kembali berjalan dengan tenang,
namun semangatnya sudah mulai
luntur. Ketegangan di wajahnya tak
bisa disembunyikannya.
Alunan musik reognya terasa
terdengar fals, cempreng, kacau,
tidak karuan. Pikirannya kalut.
Hatinya menciut. Jalannya terasa
berat. Jarak yang mereka tempuh
terasa sangat panjang. Waktu
terasa lama sekali untuk mencapai
ke tempat finish. Hingga tanpa
terasa lagi, sorak sorai para ibu
teman-temannya memekakkan
telinganya. Teman-temannya
berhambur menuju supporter
mereka masing-masing. Bu Siti
menenangkannya, memberinya
minum, sepertinya guru muda itu
tahu kegalauan Delta.
Delta lalu duduk di sudut tribun
alun-alun sambil minum es teh
pemberian Bu Siti. Fakhri
mendatanginya. Dia tahu hati
sahabatnya sedang kacau. Delta
sedih bukan karena ibunya tidak
datang memberinyan support.
Namun karena hatinya kecewa,
merasa gagal.
Dia menjauh dari teman-temannya,
mengambil posisi jauh dari podium
panitia. Dia tidak ingin mendengar
pengumuman pemenang. Fakhri
duduk di sisi kanannya. Mata
mereka sama-sama melihat suasana
ramai di depannya. Teman-teman
mereka yang berbagi suka dengan
ibu mereka, atau kakak bahkan
tante atau nenek mereka. Suasana
yang tak mereka dapatkan sore itu.
Tak berapa lama, terdengar sorak
sorai regu Lintang Renokenongo,
mereka saling berpelukan. Bu Siti
nampak mencari-cari Delta yang
masih duduk, menundukkan
kepalanya sambil menatap sedih
sandal terompah kanan dengan
peniti-nya.
“Del, kita menang! Selamat ya!”
Bu Siti menjabat tangan Delta yang
kaget dengan kabar tanpa duga itu.
Fakhri nampak senang, merangkul
Delta.
“Juara berapa bu?”
Fakhri bertanya, seakan mewakili
tanya Delta.
“Juara harapan tiga. Nggak papa
ya?!”
Delta menunduk lesu, matanya yang
tadi terlihat sejenak berbinar, tiba-
tiba redup kembali. Dia sangat
kecewa. Seharusnya, paling tidak
regu mereka bisa menjadi juara satu
atau tiga. Dia melihat sandal
terompah-nya, lalu melepasnya, dan
membuangnya jauh-jauh ke atas,
setelah Bu Siti pergi meninggalkan
mereka.
“Kok kon buang seh sandal
terompahe Cak Rosyid?”
“Wes dikekno aku. Timbangane aku
mangkel ndelok terompah iku.”

“Trus kon mulih nyeker? Sinting!”


Fakhri kesal dengan apa yang
dilakukan Delta barusan. Bu Siti
mendatangi mereka, memberi dua
nasi bungkus dan dua air putih yang
dibungkus plastik.
“Habis makan segera kumpul ke
mobil pick up ya. Takut hujan turun
kalau kesorean pulang. Ibu tunggu
di sana.”
“Ya bu. Terima kasih.”
Fakhri menimpali kalimat Bu Siti
yang mulai tahu kekecewaan Delta.
“Yuk mangan sek. Wes jo dipikir
maneh. Lali ta kon omonge ibumu.
Menang kalah iku podo wae. Kon
dewe sing sering ngomongi aku
ngono. Wes! Mangan sek saiki!”
Fakhri tetap setiamenyemangati
sahabat kecilnya itu. Dia mengajak
Delta makan dan mengendapkan
pikiran. Delta dengan lesu
membuka nasi bungkus,
menyuapkan nasi dan lauknya
pelan-pelan. Pikirannya mulai
mencair sejuk saat Fakhri menyebut
kata “ibumu”
**********************
TITIPAN IBU
Lewat teman Delta yang baru saja
keluar dari kamar, Sriyani
menitipkan serantang lontong
kupang, sebuah buku cerita tua dan
sebuah amplop untuk Delta.
“Assalamu’alaikum nak.”
“Wa’alaikum salam.”
“Maaf merepotkan, bisa titip ini buat
Delta?”
“Oh bisa. Maaf Ibu ini siapanya
Delta?”
“Saya hanya orang yang dititipi ini
buat Delta. Tolong ya nak.”
Sriyani terpaksa berbohong karena
dia tidak mau siapapun melihatnya
sebagai ibu Delta, aktifis kampus,
mahasiswa cerdas yang smart dan
energik, dikagumi banyak orang jadi
berkurang penilaiannya. Segera
Sriyani berpamitan, dan buru-buru
keluar dari teras kos Delta. Dia tidak
ingin teman Delta berpikir tentang
siapa dia lebih lama, karena dari
matanya, teman Delta yang
dititipinya tadi menangkap sesuatu
yang beda saat melihatnya.
Sementara sore itu langit makin
gelap karena mendung pekat
memayungi wilayah Surabaya Timur
itu, hujan deras akan turun, tinggal
tunggu hitungan menit.
Sampai di ujung jalan kecil di
kawasan Keputih itu, Sriyani lamat-
lamat mendengar suara yang
sangat dikenalnya, memanggilnya.
Dia sedikit menghentikan
langkahnya tanpa menoleh ke
belakang, namun segera dia
mempercepat langkahnya menuju
halte tua di seberang jalan,
menunggu angkutan kota
membawanya ke terminal Joyoboyo
untuk transit dengan mobil colt
diesel jurusan Surabaya – Porong.
“Ibuuuuuuu! Buuuu tungguuuu!”
Saat suara itu semakin dekat, baru
Sriyani menoleh, menatap si pemilik
suara yang tiba-tiba memegang
erat, mencium tangan kanannya. Di
bawah rintik hujan dan gemuruh
guntur, Delta mengajak ibunya
menepi di halte.
“Ibu kenapa nggak masuk ke
kamar? Delta ada di kamar bu.”
Sriyani hanya tersenyum kecil
menatap anaknya yang terlihat
makin matang. Dia belai rambut ikal
Delta, lalu dia duduk di halte tua itu.
“Ibu nggak ingin teman-temanmu
tahu bahwa Sriyani ibumu.”
“Kenapa ibu berpikir begitu? Saya
tidak pernah malu memiliki ibu
seorang pedagang lontong kupang
dan seorang buruh cuci. Ibu sangat
terhormat di mata saya.”
Sambil berdiri dan melambaikan
tangan kanannya, meminta sebuah
angkutan kota berhenti, Sriyani
berkata lirih, “Belajarlah, jadilah
orang yang pintar. Oh ya, baca ya
buku yang ibu berikan tadi.”
“Itu buku apa bu?”
“Buku dongeng, sengaja ibu simpan
buatmu. Buat belajar tentang cinta
dan kekuatan anak seorang janda.
Ibu pulang dulu ya!”
Delta tak kuasa menahan tubuh
ibunya yang sedikit berlari
menerjang hujan, lalu masuk ke
dalam angkutan kota, menatapnya
dengan harap.
Air mata Delta menetes membaur
dengan deras hujan yang
menyejukkan wajah simpatiknya.
Sejuknya air hujan yang
diterjangnya sore itu karena
sentuhan lembut, ketulusan kasih
sang ibu yang tak pernah mau
dianggap ada untuknya.
************************
MAKAM LUMPUR
Tradisi nyekar, berziarah ke makam,
menabur bunga-bunga doa setiap
hari raya Idul Fitri kiranya kini hanya
jadi impian bagi Delta.
Doa yang dipanjatkan untuk ibunda
tercinta hanya bisa dilakukannya di
atas tanggul lumpur. Meski
dimanapun berada kita bisa berdoa
untuk siapa saja, namun ada
kalanya keinginan berdoa di tempat
terakhir seseorang yang kita doakan
itu berada. Di tempat
pemakamannya.
Desa Renokenongo, termasuk desa
yang hilang terendam lumpur.
Sebuah makam sederhana yang
akan Delta bangun itu telah tiada.
Entah kini berada di titik mana, tak
jelas pandangan mata melihat
keberadaannya. Semua telah
tenggelam, membhumi dengan
hadirnya gelombang lumpur raksasa
tiada duga.
Sungguh takjub sekaligus
mengerikan melihat fenomena yang
terjadi di Sidoarjo Jawa Timur itu.
Desa yang sebelumnya ramai oleh
denyut kehidupan, kini tiba-tiba
menjadi sunyi senyap. Hanya
terdengar ratap kesedihan dari
derita luka yang selalu menghiasi
kehidupan di desa – desa kecil itu.
Sementara semburan demi
semburan lumpur tiada henti.
Delta tak lagi memikirkan penyebab
lumpur yang menenggelamkan
rumah, sekolah dan makam ibunya
itu adalah sebuah bencana atau
kesalahan si Fulan mengebor.
Baginya kini, kenangan di
Renokenongo adalah sebuah
kekuatan hati, untuk mengingatkan
sejarah masanya. Jangan pernah
lupa siapa dia, dan darimana
berasal.
Satu hal yang sangat
menyedihkannya adalah, ketika dia
tidak bisa menemui seseorang yang
juga sangat berjasa bagi hidupnya.
Sosok pengganti figur ayahnya yang
setia memberinya bahan bacaan.
Fakhri bercerita bahwa Cak Rosyid
kini menderita schizophrenia. Dia
kadang berada di sekitar pasar
Porong, tempat pengungsian. Tapi
bisa juga dia mendadak
menghilang. Entah kemana alam
bawah sadar membawanya pergi.
Dia jarang bicara, banyak
merenung, namun tiba-tiba bisa
menangis, meraung-raung
menyebut nama istri dan anaknya.
Rumah yang baru dia bangun untuk
keluarganya, lenyap tertelan lumpur.
Hilang bersama dengan kepergian
istri dan anaknya. Cak Rosyid yang
baru menikah dua tahun sebelum
bencana lumpur, depresi melihat
rumahnya terkubur lumpur. Dan
semakin parah depresinya saat
istrinya pergi, meninggalkannya
begitu saja di barak pengungsian.
Konon istrinya tidak kuat dengan
keadaan yang menimpa mereka.
Cak Rosyid, sosok yang ringan
tangan, suka menolong dan selalu
tulus kepada semua orang itu kini
telahmemiliki dunia sendiri, dunia
imajinasi yang dulu sering dia
ciptakan untuk menyemangati,
menyenangkan hati Delta di kala
sedih.
Delta tak ingin menjadi kacang yang
lupa kulitnya. Dia akan selalu
mengingat siapa saja orang-orang
yang telah berperan di dalam
hidupnya.
Selama satu minggu bersama
Fakhri, dia berusaha mencari Cak
Rosyid. Bertanya ke sana ke mari.
Namun selalu nihil
informasi.Akhirnya Delta dengan
perasaan kecewa, menitip pesan
kepada Fakhri.
“Tolong jika bertemu dengan Cak
Rosyid, segera kabari aku. Atau
kalau kamu bisa, tolong bawa dia ke
Jakarta. Aku ingin merawatnya,
berusaha menyembuhkannya.
Bagiku, dialah ayahku.”
Fakhri sangat terharu akan kearifan
sifat sahabatnya. Delta Santoso
benar-benar nama yang tepat. Dia
akan ingat darimana dia berasal,
darimana dia terbentuk.
Perjuangan ibunya melawan badai
hidup, melindungi dan
menyelamatkan anak-anaknya dari
kemiskinan layak mendapatkan
lancana emas lebih dari 24 karat
jikalau ada! Kilau intan berlianpun
tak akan mampu menandingi sinar
jiwa, cahaya hati yang dimiliki
ibunya untuk dia dan Iqbal.
Senja kian merubung, Delta duduk
tepekur menatap genangan lumpur,
yang telah menjadi danau kuasa.
Masa kecilnya terkubur. Tempat
bermainnya tenggelam. Sekolahnya
hilang. Rumahnyapun terbenam.
Masa lalu hanya sejarah. Kehidupan
adalah sekarang, masa depan
adalah rancangan, kembali dia
mengingat kata-kata bijak ibunya
yang sering terulang-ulang
didengarkan ke telinganya dulu saat
dia sering mengeluh tidak bisa
memiliki ini itu seperti teman-
temannya yang lain.
**************************
PERTUNANGAN GAGAL
Ibu hanya perempuan kecil yang tak
bisa apa-apa kecuali memanjatkan
doa di sela waktu ibu bekerja. Ibu
berharap, jangan pernah kau
menjual derita masa lalu untuk
sebuah masa depan. Semoga
karya-karyamu kelak bisa
bermanfaat bagi bangsa dan
agama. Pegangan hatimu adalah
keyakinan adanya Allah Yang Maha
Kasih, pedoman hidupmu adalah
cinta kepada sesama.
Selamat anakku, kau telah jadi
sarjana
Ibu, Sriyani
Sebuah kesalahan besar telah
dibuatnya, dia tertunduk, menyesal
tentang kecemburuan yang
membabi buta pada seseorang yang
telah tiada. Dimana perasaanmu
Lauren? Rutuknya pagi itu. Dia
menatap Delta yang masih berdiri,
memunggunginya di tepi jendela.
Dipeluknya Delta dari belakang.
“Maafkan aku Del. Maaf…”
“Masih cemburukah kamu kepada
perempuan utamaku itu?”
Terdengar tangis Lauren semakin
menyesakkan dada Delta yang tidak
pernah tahan ketika melihat
perempuan menangis.
“Maafkan aku…”
Lalu Delta membalikkan badan,
memeluk erat perempuan
calonpengganti ibu di hatinya itu.
Dia mengusap air mata Lauren yang
menetesi lengan kanannya.
“Ibu adalah pahlawanku, perempuan
utamaku, wanita pertamaku, kau tak
perlu lagi cemburu setelah tahu
siapa Ibu.”
SELESAI

Kirana Kejora. Penulis Independent.


Terlahir di kota Ngawi, 2 Pebruari,
ibu dari ”ELANG” Arga Lancana
Yuananda (16) dan ”EIDELWEIS”
Bunga Almira Yuananda (11). Mulai
menulis sejak usia 9 tahun.Lulusan
cumlaude Fakultas Perikanan Univ.
Brawijaya. Penulis lepas beberapa
media cetak, dan pernah menjadi
Pemakalah, Pembicara pada
Seminar Wajah Kepengarangan
Muslimah Nusantara Di Malaysia
pada tahun 2009. Telah menulis 40-
an Script Film TV, 5 Script Film
Layar Lebar, Buku Kepak Elang
Merangkai Eidelweis, Selingkuh,
Perempuan & Daun, Musibah
Gempa Padang (Antologi Puisi
Penyair Indonesia-Malaysia), Suara-
Suara Hawa (Antologi Puisi Penyair
Indonesia, Singapura, Malaysia,
Brunei), Elang, Bintang Anak
TUHAN (best seller), Querido, Air
Mata Terakhir Bunda
NB : Air Mata Terakhir Bunda edar
15 Nopember diseluruh Gramedia,
Gunung Agung, Book City

hi_alanieyo

Anda mungkin juga menyukai