Anda di halaman 1dari 7

Si Wanita Pemurung

Sudah hampir tiga tahun virus COVID-19 melanda Indonesia, sekarang masyarakat Indonesia
sudah mulai terbiasa dengan virus ini. Bukan terbiasa dalam arti yang buruk karena ada
kabar, virus ini tidak bisa hilang begitu saja dari bumi, mungkin saja akan hilang tapi akan
butuh waktu yang sangat lama. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan
membiasakan diri hidup berdampingan dengan virus tersebut.
Menyebalkan? Tentu saja. Terutama untuk Adya. Virus ini bukan hanya menyebalkan
baginya, tapi virus ini adalah mimpi buruk baginya.
Sama halnya seperti COVID-19 yang sudah hampir 3 tahun mendiami Indonesia, orang
tuanyapun juga sudah pergi meninggalkannya hampir 3 tahun lamanya. Adya sadar bukan
hanya dirinya yang ditinggalkan orang tua, saudara, teman dekat, kekasih, atau orang-orang
tersayang lainnya karena virus tersebut, tapi banyak juga yang mengalaminya.
Awal-awal kemunculan COVID-19 di muka bumi cukup menjadi perhatian dunia. Saat itu
warga Indonesia prihatin dan simpati dengan kejadian yang melanda China, negara pertama
yang terpapar COVID-19. Mereka---kita---tidak tahu bahwa ternyata, beberapa bulan
setelahnya, COVID-19 melanda indonesia.
Tak pernah terbayangkan bahwa negara berkembang ini akan ikut terpapar COVID-19.
Penyakit memang tak pernah memandang apakah negara tersebut negara berkembang atau
negara adidaya. Apakah warganya masih banyak yang terlantar atau sudah mapan.
Adyapun tak pernah membayangkan, karena rasanya hal itu memang tak pernah
terbayangkan olehnya. Sampai suatu hari, mimpi buruk itu datang menghampirinya dan
mengacaukan hidupnya. Kedua orang tuanya pergi untuk selama-lamanya.
Hidup memang seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Tapi mimpi buruk ini benar-
benar seperti pukulan telak untuknya. Adya sempat merasa diuntungkan dengan adanya
COVID-19 ini, keluarganya yang tadinya jarang utuh karena pekerjaan ayahnya, mereka jadi
bisa berkumpul bersama, bahkan hampir setiap hari.
Adya jarang merasakan hal ini. Sedari Adya kecil, Ayahnya sudah sibuk bekerja, bahkan
sampai ia sudah bisa mencari uang sendiri seperti sekarang. Ibunya juga seorang pekerja
walau tidak sesibuk Ayahnya. Tapi tetap saja, lebih sering orang tuanya tidak ada di rumah,
daripada ada di rumah.
Ia memang sudah terlatih untuk ditinggalkan, tapi bagaimanapun Adya hanyalah manusia
biasa yang kadang merasa kesepian dan butuh ditemani. Apalagi saat melihat teman-
temannya yang akrab sekali dengan kedua orang tuanya. Bukan berarti Adya tidak akrab
dengan Ayah dan Ibu, hanya saja Adya iri melihat Meli---tetangga depan rumahnya---yang
suka jogging bareng di Minggu pagi bersama Ayahnya. Atau Ica---anak Pak RT---yang suka
mengajak Maminya jalan-jalan ke mall tiap kali ia gajian.
Kebahagiaan yang hanya sementara, kebahagiaan yang selama ini Adya nantikan,
kebahagiaan yang Adya harapkan akan bertahan selamanya itu berubah dalam satu malam.
Adya tadi bilang, kalau ia kadang merasa kesepian karena kerap kali ditinggal orang tuanya,
tapi sekali lagi, ia tidak pernah membayangkan akan mendapat kesepian yang begitu
menyiksa karena kesepian itu akan selalu menemaninya sampai akhir hayat hidupnya.
Yang lebih menyiksa lagi adalah ia tidak bisa melihat proses pemakaman kedua orang
tuanya. Disaat dunianya hancur, langit malah terlihat begitu cerah dan kokoh, tidak
menunjukkan tanda-tanda akan runtuh. Padahal ia berharap dunia juga ikut runtuh
bersamanya.
Sudah dua bulan lamanya Adya terus mencari pekerjaan. Dua bulan lalu juga ia resmi lulus
dari kampusnya dan sedang mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Selama akhir masa kuliahnya itu, biaya kuliah, Adya sisihkan dari uang tunjangan orang
tuanya. Itupun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya.
Maka dari itu selama akhir masa kuliahnya, sembari menyusun skripsi, ia juga bekerja part
time di salah satu restoran cepat saji yang ada di mall dekat kampus. Selain untuk mencukup
kebutuhan sehari-hari, hal itu ia lakukan untuk berlari. Berlari dari kenyataan bahwa
sekarang ia sendiri di dunia yang masih begitu kokoh ini.
Jika ditanya apakah Adya sudah ikhlas? Jawabannya, entahlah. Adya sendiri bahkan masih
mempertanyakannya. Apakah Adya yang sudah tidak meraung-raung setiap kali ke makam
orang tuanya, Adya juga sudah jarang tiba-tiba menangis karena mengingat kedua orang
tuanya, apakah hal itu bisa dikatakan bahwa dia sudah mengikhlaskan mereka?
Adya masih terus mencari-cari makna ikhlas itu.
“Atas nama Adya Dewi.” namanya dipanggil, itu berarti sekarang giliran Adya untuk
wawancara. Walau sulit, Adya harus menampilkan dirinya yang ceria dan ramah, seperti 3
tahun yang lalu. Itulah yang Adya harus lakukan supaya bisa bertahan hidup di dunia yang
kejam ini.
Adya sebenarnya mampu, kemampuan sosial yang ia miliki bisa dibilang bagus. Adya
bukanlah orang yang kuper-kuper banget, tidak populer banget juga, tapi cukup ramah,
ceria dan seorang yang talk aktif disuatu pembicaraan. Namun mimpi buruk yang
menimpanya, membuat ia banyak berubah.
Sebenarnya bukan karena orang tua Adya yang meninggal yang menyebabkan Adya jadi
seperti sekarang---walau itu adalah faktor utama dari perubahan sifat Adya---tapi, faktor
lingkungan dan pertemanan juga memengaruhi.
Ayah dan Ibunya meninggal karena COVID-19, tak dapat dielakkan, ia-pun juga terpapar
COVID-19. Awal-awal wabah COVID-19 melanda Indonesia, masyarakat benar-benar takut
jika mengetahui ada tetangga, sanak saudara, teman, bahkan orang terkasihnya ada yang
sesak, menunjukkan gejala-gejala virus tersebut. Untuk beberapa kasus memang berbeda,
ada yang masih bersimpati dan berempati dengan mengirimkan makanan yang ditaruh di
depan pintu atau pagar tetangganya yang terpapar. Ada juga yang benar-benar menghindari
tetangga yang terpapar agar tidak tertular. Sebenarnya itu pencegahan yang bagus, tapi
kerap kali beberapa tetangga ada yang mencemooh, menghina, dan sebagainya.
Kasus kedua itu yang dialami Adya. Tidak hanya dicemooh dan dihina tetangga, tapi ia juga
dikucilkan. Walau tidak semua, walau masih ada beberapa tetangga yang berempati
memberikan beberapa masakannya padanya, tapi tak urung sebenarnya mereka tetap
membicarakan Adya di belakangnya. Teman-teman kuliah Adya juga sama saja seperti
tetangganya. Mereka lebih memilih menghindar daripada nantinya tertular. Mungkin
mereka pikir bertukar pesan lewat telepon genggam juga akan menularkan virus ini ke
mereka, jadi tak ada satupun yang berbaik hati sekedar menanyakan kabarnya. Sebab itu
Adya tidak punya teman bicara. Adya yang ceria dan ramah tergantikan oleh Adya si
pemurung.
Sudah enam bulan Adya bekerja di salah satu perusahaan start-up yang ada di Jakarta.
Pekerjaan ini cukup menjadikannya sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk murung karena
rindu orang tua. Adya tahu, perasaan rindu itu wajar. Tapi rasa itu adalah salah satu hal yang
Adya hindari kehadirannya. Karena kalau perasaan itu muncul, gelap sudah matanya. Ia bisa
saja kalap melakukan hal-hal aneh bahkan sampai berbahaya.
“Dya, itu ada berkas dari Pak Bono. Beliau minta langsung revisi, klien mau hari ini udah
finish” ucap salah satu rekan kerja Adya yang bernama Wulan.
“Iya mba, terima kasih” balas Adya seperti biasa, datar. Kemudian Adya duduk di kursinya,
menyalakan komputer kantor, membuka dokumen di komputer lalu mengambil berkas yang
diberikan Pak Bono itu di samping kiri mejanya.
Sudah enam bulan Adya menjadi anggota tim divisi yang diketuai oleh Wulan di perusahaan
ini dan selama enam bulan itu yang sering Wulan lihat adalah mendung di wajah Adya.
Hampir tidak pernah Wulan melihat Adya tertawa, bahkan tersenyum barang sedetikpun.
Wulan sampai berpikir, apakah Adya tidak suka berada di tim divisinya, ataukah Adya
memang tidak nyaman dengan suasana kantor? Penasaran ingin bertanya, tapi Wulan tahu
batasan. Apalagi belum genap satu tahun Wulan mengenal sosok Adya. Tapi sebagai ketua
yang baik, Wulan tetap harus melakukan pendekatan bukan? Agar Wulan bisa membantu
jika Adya sedang kesusahan.
“Udah sarapan, Dya?” Wulan sengaja bertanya pada Adya, walau ia tahu bahwa
pertanyaannya hanya akan di balas dengan jawaban datar “udah mba”, tapi sekalian saja
karena Wulan sedang membuka bekal sarapannya saat itu. Roti bakar dengan isi telur dadar
adalah sarapan favoritnya sepanjang masa.
Adya memang si gading pemurung, tapi hari ini mood-nya benar-benar buruk. Semalam ia
tidak bisa tidur karena memimpikan orang tuanya. Ia rindu, sangat rindu pada mereka.
Setelah pertemuan di dalam mimpi yang terasa sangat singkat itu, adya benar-benar ingin
mencoba mengakhiri semuanya.
Lagipula untuk bertahan hidup kalau orang yang kita sayang sudah tidak ada. Untuk apa
melanjutkan hidup kalau sudah tidak ada yang peduli pada kita. Untuk apa tetap hidup kalau
virus ini nyatanya masih ada dan mungkin Adya akan mendapat gilirannya segera. Tapi
mungkin lebih baik kalau Adya mendapatkan virus itu sekarang dan digerogoti oleh virus itu
sampai mati. Lalu dikubur tanpa ada yang melayat. Lagipula ia sudah tidak punya siapa-
siapa. Jadi silakan saja kalau hal itu bakal terjadi padanya.
“Pagi ini kamu jauh lebih murung dari sebelumnya? Ada apa Adya?” itu Mba Wulan yang
bertanya. Adya tahu, Wulan baik padanya, tulus, tidak ada maksud apa-apa. Karena hal itu
terlihat di matanya. Bahkan, dari pertanyaan itu saja sudah mewakili betapa Wulan benar-
benar peduli padanya. Tapi sejak kepergian kedua orang tuanya dan keadaan sosial yang ia
terima saat ia positif COVID-19, membuatnya jadi seseorang yang tidak mudah percaya pada
manusia.
“Tapi kamu tidak sedang sakitkan?” sekali lagi Wulan memastikan. Pasalnya wajah Adya
yang sudah mendung tiap harinya, hari ini terlihat sepuluh kali lebih mendung dari yang
biasanya. Ditambah lagi dengan wajahnya yang layu dan pucat, sangat menggambarkan
seseorang yang sedang sakit.
“Nggak kok mba, saya nggak apa-apa”
“Ya sudah. Jangan dipaksa kalau memang sakit ya, Adya”
“Iya mba” jawab Adya dengan lemas.
Waktu makan siang sudah mulai sekitar sepuluh menit yang lalu, tapi Adya tidak bisa pergi
ke dapur kantor atau kantin karena kepalanya yang pusing sekali. Di jam istirahatnya ini ia
gunakan untuk tidur saja. Siapa tahu pusing di kepalanya akan menghilang.
“Dya, nggak beli makan kamu? Bentar lagi jam istirahat habis lhoo,” itu suara Reznu, beliau
adalah salah satu rekan kerja Adya di kantor.
“Lo sakit ya? Kenapa malah masuk?” tidak menghiraukan keresahan Reznu, Adya tetap
melanjutkan tidurnya dengan semakin menenggelamkan wajahnya diantara lipatan
tangannya di meja.
Tanpa disangka, Reznu malah memanggil atasan Adya, yaitu Mba Wulan. “Wulan! Ini
anaknya sakit kok malah dibiarin masuk. Kalo covid aja nanti kena semua.”
Ah, oh… ternyata Reznu bukan peduli padanya, tapi ia hanya takut kalau Adya positif covid
dan akan berdampak untuk semua penghuni kantor.
Sebenarnya itu dapat dipahami. Pemerintah baru saja menetapkan PPKM Level 1, dimana
sekitar 80% kegiatan di luar sudah bisa seperti normal, hanya saja protokol kesehatan
seperti memakai masker dan membawa hand sanitizer. Kalau sampai benar Adya positif,
maka ia akan membawa bencana ke kantor yang baru dimasukinya sekitar enam bulan ini.
“Apa sih, Nu. Nggak usah teriak-teriak bisa?” Wulan baru saja tiba di lantai kantornya
sehabis makan siang di kantin tadi, langsung menerima teriakan tidak mengenakkan dari
rekan kerjanya itu, ia buru-buru menghampiri dan mengecek kondisi Adya.
“Adya, kamu nggak apa-apa. Ada gejala aneh gitu nggak?”
“Covid mah sekarang nggak perlu pake gejala-gejala segala. Udah deh pulangin aja Lan, gue
yang kuatir tau nggak”
“Lo kuatir sama diri lo sendiri atau sama dia?” Wulan sedikit menaikkan nada bicaranya.
Pasalnya, Wulan tidak habis pikir dengan teman kantornya ini. Kok bisa-bisanya tidak ada
rasa empati sama sekali, atau setidaknya rasa simpati.
“Lo pikir gue egois?! Ini demi kebaikan kita semua, termasuk dia noh yang lagi sakit.” Reznu
mengatakan itu sambil menunjuk Adya yang masih menelungkupkan kepalanya di meja.
Sambil berjalan pergi Reznu melanjutkan ucapannya, “Bisa-bisanya lo ngira gue nggak punya
hati, padahal Adya sendiri yang egois dengan masuk ke kantor pas lagi sakit kayak gini.”
Berhenti sebentar, Reznu mengutarakan kata-kata terakhirnya sebelum ia kembali duduk di
kursi kerjanya. “Adya, bukan maksud gue buat mencemooh lo. Kalau lo mau tau, gue juga
pernah positif dan sepengetahuan gue lo juga pernah positif kan? Gue harap lo nggak
masukin ke hati ucapan gue. Gue cuman mau lo peduli sama diri lo sendiri, karena nggak
semua orang bakal peduli sama lo di saat dunia sedang hancur kayak gini.”
Adya mendengarnya. Dengan jelas. Sangat jelas. Walau perkataan Reznu nyelekit dan
menusuk hati, tapi rekan kerjanya itu benar. Adya sudah lama tidak peduli pada dirinya
sendiri. Reznu, yang bahkan bisa diihitung berapa kali Adya ngobrol dengannya. Yang
bahkan pembicarannya hanya seputar pekerjaan, tapi Reznu peduli padanya. Tidak hanya
Reznu, Wulan juga.
Lalu kenapa sampai saat ini Adya masih saja menutup mata?
Benar kata Reznu tadi, dunia sedang hancur sekarang. Kalau bukan dirinya sendiri yang
peduli, maka jangan terlalu berharap akan dipedulikan orang lain juga.
Oleh sebab itu, ia mengangkat kepalanya dan berkata pada Wulan untuk mengantarkannya
ke rumah sakit.
Untungnya, apa yang tidak diharapkan tidak terjadi. Adya hanya demam biasa, disebabkan
karena stress atau banyak pikiran, kata dokter.
“Jangan dimasukin ke hati omongannya Si Reznu ya”
Adya dengan pandangan lesunya membalas, “Nggak apa-apa, Mba. Pak Reznu benar kok,
saya memang sudah lama tidak peduli pada diri sendiri”
Wulan cukup terkejut mendengar cerita Adya. Wulan tahu, Adya adalah wanita si
pemurung. Tapi ia baru tahu, mungkin itulah salah satu alasan kenapa Adya menjadi wanita
si pemurung. Tanpa perlu diminta, Adya menceritakan semuanya.
“Saya turut berduka cita untuk orang tuamu, Dya.” Adya hanya membalas dengan
senyuman.
“Saya rasa pandemi covid ini memang sudah menjadi mimpi buruk bagi semua orang. Tidak
terkecuali saya. Banyak yang hampir kehilangan, bahkan sudah kehilangan orang tersayang.
Saya bersyukur karena orang-orang tersayang masih bersama saya sampai saat ini,” Wulan
menggenggam telapak tangan Adya dengan lembut, seakan-akan tangan itu akan terluka
kalau ia menggenggamnya terlalu kencang.
Dengan pandangan lembut, Wulan melanjutkan ucapannya, “Tapi bukan berarti hidup
berhenti karena kamu kehilangan orang tersayang. Mungkin saya tidak tahu rasanya karena
memang saya belum pernah merasakannya. Satu hal yang pasti hidup memang seperti itu.
Orang-orang datang dan pergi. Baik yang sudah menetap lama atau hanya sementara. Baik
dia yang tersayang atau hanya sekedar sayang.
“Kamu nggak sendiri, Dya. Nggak pernah sendiri, jadi jangan sungkan untuk meminta
bantuan kepada orang lain, apalagi sama saya”
“Terima kasih, Mba Wulan”
Pernah dengar pepatah, ‘hidup seperti roda, kadang di atas kadang di bawah’. Pada
nyatanya hidup memang seperti itu. Mungkin sejak kehilangan orang tuanya sampai detik
ini, hidup Adya sedang berada di bawah. Tapi sekarang Adya berusaha untuk bangkit.
Biarpun terlambat, lebih baik seperti itu bukan daripada tidak sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai