Anda di halaman 1dari 11

i

1
1
Ketidakjelasan

“Hari yang panjang ya..”


“…”
“Apa kau pernah berfikir bahwa momen indah dihidupmu
akan berakhir selamanya?
“…”
“Maaf ya”
“…”
“Selama ini aku tidak pernah serius menjalani hubungan
ini”
“…”
“Selama ini, semuanya adalah kebohongan”
“…”
“Aku harap kau bisa melanjutkan hidup tanpa diriku”
“…”
“Aku tidak pernah mencintaimu”

2
Kring Kring.

Jam beker berbunyi begitu keras membangunkan Riel yang


sedang tertidur di kamar Kost nya. Sontak ia kaget melihat
waktu yang sudah menunjukkan pukul 9 pagi, Riel
kebingungan, dengan wajah yang tidak begitu semangat ia
termenung sejenak di kasurnya, seakan fenomena yang terjadi
barusan bukanlah hal yang baru baginya. Tak ingin menyia-
nyiakan waktu Riel segera mempersiapkan diri untuk
berangkat ke kampus nya.
Riel kerap disapa “Rel” oleh teman-temannya, ia adalah
seorang mahasiswa yang berkuliah di Bogor lebih tepatnya di
Institut Pertanian Bogor, sehari-hari ia bekerja paruh waktu
sebagai seorang bartender di sebuah kafe sekitar tempat
tinggalnya.
Riel tinggal seorang diri tanpa seorang keluarga satupun di
tempat tinggalnya sekarang, ia juga harus melanjutkan
kuliahnya yang terpaksa membuat ia harus pergi meninggalkan
kampung halamannya.
Setelah bersiap, Riel langsung keluar melalui pintu kamar
Kost nya dan disambut oleh seorang temannya yang sudah
menunggu nya di motor.

3
“Ayo Rel buruan, gih naik ke motor”
“Oh oke Vin maaf ya kesiangan” Jawab Riel dengan nada
yang lemas.
Devin adalah teman kuliah satu fakultas Riel, bagi Riel ia
adalah teman dari masa SMA nya dan satu-satunya teman masa
kuliahnya. Mereka seringkali berangkat ke kampus bersama
karena tempat tinggal mereka yang searah.
Tujuan mereka kali ini adalah ke kafe tempat Riel dan
Devin bekerja yang berjarak 3 KM dari tempat tinggal Riel.
Sepanjang perjalanan di motor, Riel tidak terlalu banyak
bicara, Devin pun menyoroti hal ini, memang semenjak
kejadian itu Riel berubah drastis menjadi pribadi yang lesu dan
pemurung namun Devin menyadari bahwa kali ini ada murung
nya Riel berbeda.
Tujuan telah sampai, mereka tiba di sebuah kafe tempat
mereka bekerja yang bernama “Kopi dan Waktu”, sebuah kafe
yang tidak terlalu besar namun sangatlah nyaman dengan
pencahayaan yang remang-remang dipadu dengan cahaya
matahari yang menyoroti dari luar jendela, wajar saja
pengunjung dan pekerja nyaman untuk rehat sejenak di kafe
tersebut.
Mereka masuk melalui pintu depan, terdengar suara
“kring-kring” bunyi bel masuk kafe tersebut, lagi-lagi Devin

4
melihat ada yang tidak beres dari Riel. Dari tadi Riel hanya
terdiam lesu dengan tatapan kosongnya.
“Rel, duduk aja dulu di meja sana, lagi gaenak badan kan?
Ntar gue buatin kopi dulu” saut Devin.
“…”
Riel tidak mengucapkan satu kata pun, ia hanya
mengangguk dan masih terlihat jelas wajahnya yang begitu
lesu.
“Nih kopi nya, as usual Asian Dolce Latte right?” ucap
Devin sambil menyungguhkan kopi yang biasa Riel pesan.
“Haha, tau aja kamu Vin, makasih ya”. Jawab Riel dengan
nada yang tidak begitu semangat.

Kring Kring.

Lagi-lagi bel berbunyi menandakan bahwa seseorang telah


datang ke kafe tersebut, terlihat dari pintu depan seorang gadis
yang kira-kira berusia seumuran dengan Riel dan Devin,
berperawakan mini dress putih bercorak bunga seperti gaun
musim panas dengan rambut ponytail bergelombang yang
berwarna hitam kecoklatan. Gadis tersebut berjalan melewati
Riel dan Devin. Devin tidak menyoroti apapun pada situasi ini.

5
Namun lain halnya dengan Riel, meskipun belum sempat
melihat wajahnya, ia terpaku melihat gadis itu dari belakang,
matanya seketika berbinar namun terlihat jelas ia menyimpan
kesedihan besar dibalik sinar matanya. Ia masih melihat gadis
itu, dengan tatapan setengah kosong, satu hal yang ia soroti
adalah gadis itu mengenakan bros bintang berwarna kuning
yang menempel di bahu kanannya. Gadis itu pun duduk di
kursi paling belakang membelakangi Riel dan Devin sambil
meminum kopi yang telah ia pesan.
Suasana kafe menjadi hening, hanya ada mereka berdua,
seorang bartender, dan gadis yang duduk di kursi belakang.
Riel sudah tidak terpaku lagi, alunan suara musik lofi di kafe
dan suara kecil lalu lintas diluar semakin menghiasi
keheningan kafe tersebut. Saat ini Devin mulai menyadari
suatu hal yang membuat Riel bersikap aneh, akan tetapi ia
tidak ingin bertanya atau menyinggung apapun tentang Riel
sekarang. Namun seketika Riel membuka pembicaraan.
“Vin, kamu masih inget dia kan?”
“Aku ingat, aku paham kok Rel, gadis yang disana itu
mirip dengan dia kan?”
“Entahlah… saat pertama kali aku melihatnya tadi aku
langsung berfikir untuk berdiri dan menarik tangannya, namun
jika dipikirkan lagi, keajaiban seperti itu tidak mungkin bukan?”

6
“Rel, aku tau sampai sekarang kamu belum bisa ngelupain
dia, tapi kita udah gabisa ngapa-ngapain lagi, gadis disana itu
juga ga mungkin dia, dia udah lama meninggal Rel, yang bisa
kita lakuin sekarang, kita harus sabar dan ikhlas nerima
keadaan Rel”
“…”
Riel terdiam dan hanya termenung menanggapi pernyataan
Devin barusan, sampai sekarang ia masih menyimpan
kesedihan besar atas seluruh kejadian yang menimpanya.
“Inget Rel, kamu punya temen disini, jangan mendem
semuanya sendiri oke?kamu kuat, tapi ga bisa sendiri terus.”
Riel masih terdiam dan mengangguk murung atas
perkataan Devin barusan. Mereka berdua pun terdiam sejenak
dibalut dengan damainya suasana kafe.
“Aku tidak pernah mencintaimu”
Seketika kilas balik tentang kejadian tidak biasa yang
dialami Riel tadi pagi melintas dibenak Riel, ia sedikit
mengangkat kepala nya yang terisi dengan rasa penasaran.
Wajahnya tampak kebingungan, keningnya sedikit berkerut, ia
pun memulai pembicaraan dengan Devin.
“Vin.. hubungan aku dengannya dulu, beneran bohongan
ya?”

7
Devin hanya diam dan kebingungan tampak dari wajahnya,
Riel pun melanjutkan pembicaraannya.
“3 bulan sebelum dia meninggal, tanggal 31 Desember
adalah hari terakhir kami bisa menghabiskan waktu bersama,
tapi… apa kata-kata menyakitkan itu benar-benar menjadi kata
terakhirnya?” ucap Riel dengan mata yang berkaca-kaca
Devin sangat paham akan kondisi yang dijalani Riel, pun
ini bukan pertama kalinya Riel menceritakan ini kepada Devin.
“Rel, kamu hebat loh bisa bertahan sampai sekarang,
orang-orang juga gabisa sehebat kamu Rel, meskipun kata-kata
terakhir dia semenyakitkan itu, kita ga tahu ada maksud apa
dibaliknya, bisa aja dia bohong, bisa aja sebenernya dia
mencintaimu, bisa saja ada kemungkinan lain dari kata-kata itu,
tapi yang jelas kamu ga perlu mikirin itu lagi, kamu harus bisa
lepas, aku yakin yang dia mau untuk kamu sekarang adalah
kamu untuk tetap hidup”
Riel yang semakin terpuruk dengan keadaan hanya bisa
mengambil nafas kecil dan mencoba menerima semuanya, ia
menyender di kursi sambil sedikit menganggukkan kepala nya
kearah Devin.
“Makasih banyak ya Vin, waktu itu semua terjadi begitu
aja, mendadak semuanya berubah drastis, aku hanya berharap
suatu saat aku bisa tau kebenaran dibalik perkataannya itu”

8
“dia menghilang begitu saja lalu muncul didalam mimpi ku
secara tiba-tiba, aku harap semua perkataan dan ketidakjelasan
itu hanya kebohongan belaka.” sambung Riel.
Pembicaraan dari keduanya telah mencapai akhir, kopi
yang awalnya mereka sajikan berdua pun sudah berada di akhir
gelas menunggu tegukan terakhir.
puk! Sebuah tepukan keras dari Devin yang bermaksud
untuk menyemangati Riel, “Semangat deh udah minum kopi
juga tuh, siap-siap gih mau ke Jakarta kan?” ujar Devin.
Riel dan Devin saat ini sedang dimasa senggang dimana
mereka bisa fokus bekerja tanpa perlu memikirkan tugas kuliah
mereka.
Devin akan fokus bekerja di kafe, sementara Riel saat ini
akan pergi ke Jakarta untuk mengambil persediaan bulanannya
yang disediakan oleh kerabatnya setiap dua bulan sekali. Riel
segera bergegas untuk pergi ke Jakarta melalui kereta api
stasiun Cibinong. Riel sudah mulai membaik, ia sedikit
bersemangat dan mulai berpamitan dengan Devin untuk
berangkat ke Jakarta.
Selagi Riel bersiap-siap untuk pergi dari kafe, Devin hanya
bisa melihat Riel dari jauh, yang terfikir di kepalanya adalah
begitu beratnya kondisi yang Riel hadapi, sebagai temannya
dari SMA ia begitu tahu apa saja yang dilalui Riel selama ini.

9
Riel, dia adalah temanku dari masa SMA, dia seseorang
yang selalu memendam semuanya sendiri, bahkan dikondisi
sangat beratpun ia tidak pernah menangis di depan teman-
temannya, ia hanya menangis ketika sendiri. Sialan, memang
sekuat apa pundaknya? Aku yang melihatnya saja tidak kuat,
apalagi dia yang mengalaminya.
Semasa SMA, Riel memiliki seseorang yang sangat ia
sayangi, ia bernama Rana. Siswi seangkatan berponi ekor
kuda yang begitu periang dan penuh tawa. Saat aku melihat
Riel bersama nya aku seakan melihat versi Riel yang begitu
bahagia dengan senyuman lebarnya.
31 Desember, adalah hari dimana Rana menyatakan
bahwa hubungannya dengan Riel selama ini adalah
kebohongan belaka dengan berkata “aku tidak pernah
mencintaimu.” Setelah itu Rana menghilang begitu saja tanpa
pernah berbicara satu kata pun kepada Riel. Naas 3 bulan
setelahnya, tepat seminggu sebelum acara perpisahan sekolah
mereka, Rana meninggal dunia dikarenakan suatu penyakit.
Momen itu meninggalkan luka besar di hatinya, Riel yang
sebelumnya adalah anak yang aktif seketika menjadi pendiam
dan murung sepanjang hidupnya. Ditambah kepergian kedua
orang tua nya setahun setelah ia lulus, membuat ia semakin
terpuruk dengan keadaan yang dihadapinya.

10
Beban pekerjaan, beban pendidikan, dan seluruh beban
hidup yang ia pikul, dia berlagak seakan bisa membawa
semuanya sendiri, menurutnya apakah temannya ini hanya
sebuah action figure?. Teman-temannya, keluarganya, bahkan
kekasihnya meninggalkannya satu persatu, aku khawatir
dengan kondisinya.

Dia… benar-benar sendiri.

11

Anda mungkin juga menyukai