Anda di halaman 1dari 11

KAMBING PENJUAL CINTA

Roda-roda sepeda berputar layaknya kehidupan yang terus menampakkan


keaslian dan kekekalan hukum-hukumnya. Seperti halnya padi yang banyak orang
mengatakan, bahkan terlalu sering mengulang-ulang sebuah peribahasa "semakin berisi
semakin merunduk, bahasannya orang yang semakin tua, banyak ilmu, kaya dan lain
sebagainya haruslah sesekali melihat tanah jangan memandang langit dengan sikap
acuh." Begitulah kata-kata plagiator di negara ini. Semua itu seperti halnya buah
kedondong, yang luarnya mulus kadang-kadang juga ada yang bongkrek, tapi dalamnya
berserabut. Mungkin aku tidak setuju dengan hal itu, tapi gadis bernama Kiara Andira
tak sedikitpun mempunyai fikiran seperti itu. Dia selalu menaburkan kecantikannya,
pandai menempatkan senyum manisnya, tak segan-segan pula ia menumbangkan sifat
kesombongan khalayak orang lainnya, kebaikan hati yang serta merta mendarah daging
dikehidupannya, mampu menjujung tinggi akhlak mulia turunan Hawa, dan berjuta-juta
kilauan mutiara tak henti-henti selalu membuntuti kemana kaki kecilnya melangkah.
Rara tampak sibuk pagi itu, tak memperdulikan cerita cinta sepasang dara yang
bercumbu mesra di ranting cemara. Tak menghiraukan kilauan matahari yang malu-
malu menampakkan dirinya. Senyum Rara agak mengerucut dan saling tumpang tindih
antara bahagia dan sedih. "nduk, nanti enaknya masak apa ya? nduk Rara pengen makan
apa?" suara mbok Rusmi membuyarkan lamunan Rara. "emm, masak sayur bening dan
sambal terasi aja mbok," celetuk Rara disela-sela kekagetannya.
Sementara itu...
Di pusat kota Lumpia yang tak pernah lengah , mobil Xenia bernomer plat H 45
AN meluncur bak model yang melenggak lenggok di catwalk. Tangan ibu Dewi sibuk
dengan handphonenya, jelas terbaca isi pesannya 'pah gimana kabar tentang Rara? Ada
perkembangan tidak? mamah cemas sekali pah..... SMS terkirim. Ibu Dewi menyusul
suaminya pak Hasan di kantor polisi, dengan langkah gontai ala dewa mabuk pak Hasan
cepat memeluk istrinya. Air mata penyesalan berlinang deras membanjiri wajah ayunya.
Kini sepasang suami istri itu hanya pasrah, karenalah putri semata wayangnya kabur di
rumah mbok Rusmi.
Mereka menyesal akibat perjodohan itu, tapi apa mau dikata kayu telah jadi arang.
Dengan bantuan polisi dan media, pak Hasan terus mencari informasi tentang anaknya.

Lemah lembut alunan jemari


Bak terpaan angin yang mengelus daun padi
Matahari bergelayutan dan bergerumbul
Menyinari harapan para penakluk cinta

"eeee, ojo adoh-adoh nduk, yang dekat sini saja. Nanti kambingnya makan pohonnya
orang-orang, bisa dilabrak nanti nduk" teriak mbok Rusmi pada Rara yang sedang
angon kambing. Semakin jauh tak tampak lagi mbok Rusmi, saking girangnya hingga ia
tak lagi ingat apa yang sedang dilakukan. Di sebuah kebun milik pak Japar yang
terkenal kaya dan suka marah itu Rara membiarkan kambingnya memakan daun-daun
ketelanya. "hai siapa itu" Rara kaget dimana sumber suara itu, belum sempat melongok
ke arah suara, ia sudah berhadapan dengan pemuda yang layaknya menjadi artis di
Ibukota. Oohh indahnya hidup ini. Dengan terbata-bata ia mengucap lirih "em em,, a
aku cuma ngikutin kambing itu." Mukanya merah muda merona seperti dinding
pengumuman yang banyak dipajang di pemukiman RTnya. Taman bunga hatinya
bersorak meriah seperti mendapat santunan air bah yang mampu menghidupinya selama
berabad-abad. Perasaan ini lain dengan yang terdahulu, mendidih tapi tak menguap.
Kaku mulutnya terus membuka lebar persis cerobong asap PT. DEWI JAYA.
"Nona yang cantik, anda pernah sekolah apa tidak? itu kan punya orang lain, ngapain
kambingnya dibiarkan makan disini?" cerca si pemuda yang pantas jadi bintang film itu.
Rara semakin terheran-heran melihat pemuda itu, ia tak menjawab dan tetap terpaku.
"halloooo..... Kamu bisa bicara kan?"
"woooooy" suara pemuda itu semakin memuncak.
"i i iya mas, tadi bicara apa ya?" jawab Rara sekenanya.
'emmm dasar cewek aneh' gerutu pemuda itu di dalam hatinya. "kamu siapa? orang
mana? kenapa membiarkan kambingnya memakan tanaman orang lain." Pertanyaan
sekaligus pengintrogasian layaknya gembong mafia.
"Aku Rara mas, dari desa sebelah, aku gak tau kalau kebun ini miliknya mas, kan gak
ada tulisannya KAMBING DILARANG MAKAN TANAMAN DI KEBUN INI. Toh
nanti tanamannya juga tumbuh lagi, iya kaaaaan?" balas Rara dengan nada sedikit
kemayu dengan gaya stupid era tahun tujuh puluhan.
"terus kamu siapa? kenapa disini? apa kebun ini punya kamu." Lanjutnya "emmmm,
aku tau! sambil mengacungkan telunjuknya ia berfikir keras untuk meneruskan
kalimatnya "kamu pasti penjaga kebun ini ya?"
"Eh mbak, siapa tadi nama kamu? oh iya ingat, mbak Rara mending mbak dan
kambingnya dibawa pulang sekarang, atau kalau tidak tak sembelih kambingmu!"
Hardik pemuda yang belum mengenalkan diri itu. Rara cemberut seperti anak kecil
yang tak dibelikan ibunya balon.

Sore itu angin barat menghembus dengan membawa nyanyian cinta, mega-mega
yang tampak seperti lelehan crayon anak TK menghapus seluruh memory permasalahan
yang belum terselesaikan. Ia kembali meneteskan air suci yang semakin lama semakin
mengucur tak berhenti. Sebuah permasalahan perjodohan karna ayahnya yang terobsesi
menjadi besan dari pengusaha elektronik terbesar di kota itu. Sebuah perjodohan yang
mengakibatkan penyesalan. Sejak Rara pergi dari rumah semua perjodohan itu sudah
dibatalkan dengan kekeluargaan. Kini Rara betah tinggal di desa bersama mbok Rus
mantan pengasuhnya sejak kecil. Dua bulan lebih Rara hanya tinggal diam di rumah,
kasih sayang mbok Rusmi pun tak kurang dari seorang ibu kandung. Di rumah kecil
yang terbuat dari bambu yang dihuni hanya dua orang anak Hawa dan seekor kambing
jantan kesayangan itu, selalu muncul kebahagiaan. Seperti halnya malam ini, mbok Rus
mendengarkan lagu cinta yang keluar dari bidadari kecilnya yang telah tumbuh dewasa.
Wejangan-wejangan si mbok telah mendinginkan perasaannya.
Rara memberanikan diri bertanya, "mbok, nama pemuda itu siapa ya? Sepertinya aku
jatuh cinta..." hehehe tawa Rara renyah. Pipinya yang merah muda menampakkan
kepemilikannya yang menandakan malu. Mbok rus pelan tapi pasti meletupkan sebuah
nama yang indah, Rara memasang telinganya "Yoga Dediyanto." Emmm, cakep juga
seperti orangnya, batin Rara sambil nyengir.
Malam berlalu dengan keangkuhannya, fajar tertatih menyongsong bola cahaya sepanas
cinta yang membara. Rara semakin terpesona akan pemuda itu, tak kenal panas yang
akan menghanguskan kulit mulusnya. Ia mengulangi kejadian waktu itu, membawa
kambing jantannya untuk memakan tanaman itu. Kini Rara sudah tahu akan asal usul
pemuda bernama yoga, ternyata Yoga adalah anak dari pemilik kebun itu, yang mana
ayah dari Yoga adalah orang terkaya di desa. Sudah dua jam ia menunggu kedatangan
Yoga, tapi hasilnya tetap nihil.
"Mbek kita pulang yuk. Ternyata pangeran kebun tidak datang kesini" ucap Rara
sambil menarik kambingnya.
Tiba-tiba seekor ular melintas, "aaaaauw, tolooong..... jerit Rara ketakutan. "Toloooong,
ada ulaaaaar, aku takut."
Dan BBUUKK.... "Aduh sakit." Rara mengeluh sakit dan sempat mengusap kepalanya
karena kepentok ranting pohon. Semua menjadi hitam dan semakin lama semakin
kelam. Mungkin inilah doa dan harapan yang tak dinyana datang bak durian runtuh.
Mungkin tepat penggambaran durian ini, karena Rara pingsan dan pangeranlah yang
membopong dirinya kembali kesinggasananya. Mbok Rus kaget apa yang ada di
depannya, terbaring tubuh anak gadis majikannya. Yoga membantu mbok Rus
mengompres kening Rara yang bengkak, kronologi kejadian dituturkan Yoga begitu
detailnya. Si mbok mengatakan apa yang sebenarnya dirasakan anak gadis mantan
majikannya itu kepada Yoga. Bahwa Rara mencintai Yoga dan tak lupa segala tentang
Rara dihamburkan kepada Yoga. Setelah itu Yoga berpamitan pada mbok Rus "mbok,
saya pamit pulang dulu nggih."

Cinta memang ajaib. Ungkapan yang tepat untuk percintaan Rara dan Yoga,
sepasang anak manusia yang hangat-hangatnya sedang merajuk kenangan indah. Di
gubuk kebun bersejarah mereka mengucap janji manis untuk saling menyayangi. Tak
lupa mereka juga ditemani si jantan sebagai saksi pengikraran kata "CINTA." Restu dari
pihak lelaki telah dikantongi dalam melanjutkan percintaan mereka.

20 Maret 2012
Rara memberanikan diri mengabari orang tuanya, semua itu atas saran Yoga.
Lima bulan sudah Rara tak sekalipun berkomunikasi dengan orang tuanya, ia sakit hati.
Lama Rara menangis, entah menangis bahagia, sedih, menyesal atau kerinduan yang
mendalam. Ternyata ibu Dewi sakit, beberapa bulan ini memikirkan kehidupan
anaknya. Dengan kabar itu semua kerinduan sedikit tercurahkan, tapi ibu Dewi meminta
Rara untuk pulang kerumah walaupun hanya sebentar. Berbagai bujukan dilakukan
Yoga, sehingga Rara menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan. Mbok Rus
sesenggukkan sampai lebam mata tuanya itu, nafasnya berhenti di kerongkongan
menimbulkan suara yang sangat memilukan hati.
"Mbok jangan sedih ya, Rara janji akan kesini lagi" isak tangisnya "mungkin aku cuma
sebentar disana, aku juga ingin berniat mengamalkan ilmuku disini, aku sudah bicara
sama mas Yoga mbok."
"Hati-hati ya nduk."
"Sayang, jangan lupa mengabari mas ya."
"Mungkin mas akan kangen manja dan senyummu itu, sayangku." lanjut Yoga
Sebuah perpisahan yang indah, namun menguras air mata. Senyum keikhlasan, senyum
kasih sayang, dan senyum cinta merupakan sebuah puzle kehidupan yang silih berganti
menduduki singgasananya. Lambaian tangan bidadari itu membuat mbok Rusmi
menjatuhkan kepalanya kepelukan Yoga. Hari berlalu begitu berat bagi janda yang
sudah berkeriput itu, dan pastinya juga rasa itu dialami kambing jantan yang telah
mempertemukan cinta sejati.

Semarang, 26 Maret 2012


Tok tok tok.... Pintu kayu berukir khas Jepara terbuka. Sepasang mata bertatapan
mesra jelas terpancarkan kasih sayang dan rindu yang bergelora. Kebahagiaan tak
terkira bagi bu Dewi yang memeluk erat putrinya, sakit yang berbulan-bulan
disandangnya luluh lantah tak tersisa. Ucapan sayang, kerinduan, dan syukur selalu
keluar dari bibir pucat pasi itu. Keluarga itu utuh kembali. Semua penyesalan
tercurahkan tanpa ada yang tersisa, begitu pula dengan Rara. Tentang rencana ia akan
kembali ke desa lagi, tentang ia jatuh cinta dengan pemuda yang bernama Yoga
Dediyanto dan seluk beluknya telah terucap rapi tanpa ada yang salah. Harap-harap
cemas ia menunggu kata 'ya' dari orangtuanya.
"Anakku tersayang, kamu sekarang sudah besar bisa membedakan mana yang baik
maupun yang salah. Papa dan mama tidak mau mengekang kamu lagi, kamu sudah
Sarjana dan kini usiamu juga sudah matang dalam menentukan pilihan" lanjutnya "papa
dan mama tidak ingin mengulang kesalahan lagi."
"Mama mendukung apa yang kamu lakukan sayang, kejar dan raihlah cita dan cintamu"
pesan bu Dewi.
"Terimakasih pah mah, Rara sayang kalian." Mereka berpelukan menembus kehangatan
malam.

Angin desa merekah menebarkan aroma kesedihan. Daun jati coklat


melambaikan tanda perpisahan. Kedaan mbok Rusmi terlihat kacau sekali, sakit yang
dideritanya tak menampakkan kesehatan, sedangkan ia hidup sebatang kara. Kadang
adik kandungnya yang bernama Sugiyanto yang menemaninya. Semua kebutahan
semakin mendesak mbok Rusmi, adiknya pun hidup pas-pasan. Hingga muncul dibenak
Sugiyanto untuk menggadaikan kambing milik mbok Rusmi kepada Pak Saman tukang
penggadai yang selalu mengakali orang-orang desa, tapi tidak ada jalan lain selain itu.
"Yu, kita harus gimana yu? Sedangkan penyakit yu Rus belum sembuh juga dan
keadaan ekonomi kita hanya sebatas untuk membeli sesuap nasi saja. Bagaimana kita
harus membeli obat." Ungkap Sugiyanto pasrah.
"Terus aku kudu pye Su?"
"Harta saja aku tak punya, biarlah aku sakit seperti ini sampai ajal menemukan
waktunya." Resah mbok Rusmi.
"Ngomong apa sampean itu. Bagaimana kalau kita menggadaikan kambing peninggalan
kang Parno. Nanti kalau uangnya masih, sisanya bisa digunakan untuk keperluan yang
lain." Sugiyanto mengungkapkan idenya.
Dengan berat hati mbok Rusmi mengangguk ringan tapi tersembul perasaan tidak rela.
Sekejap ingatannya beralih pada anak asuhnya yang berada di kota sana. Air matanya
deras mengalir, meninggalkan rasa perih dihati. Sepenggal senyum sempat terlintas di
bibir tuanya. Teringat juga ia akan kenangan bidadari yang sempat menghiasi sedetik
kehidupannya, Rara melintas dengan kisah cinta sejatinya. Berat rasanya menghapuskan
kenangan dengan menggadaikan kambing itu. Mbok Rusmi tersenyum kembali akan
peristiwa Kambing penjual cinta sejati antara Rara dan Yoga, dan tak lupa ia bermunajat
dalam hati 'Ya Rabb Ya Tuhanku, alangkah indahnya kehidupan ini. Engkau
memberikan segalanya padaku, dan Engkau pula yang berhak mengambilnya kembali.
Aku tetap bersyukur Engkau mengambil putra dan suamiku. Indah sekali menikmati
keikhlasanmu ini. Jika ini memang waktuku untuk bertemu keluargaku di surgamu, kulo
ikhlas ya Gusti.'
Di sebelah mbok Rusmi, Sugianto sedang bercakap dengan lelaki bertubuh
kerempeng yang diatas mulutnya tumbuh pohon hitam yang menandakan kesuburan.
Sebuah percakapan serius yang menegangkan, penuh dengan intrik dan syarat, dimana
berlangsungnya negosiasi untuk menggadaikan seekor kambing jantan.
Secarik kertas berisi tulisan dengan gaya tegak bersambung dikeluarkan dari tas
usangnya. Dan sebatang bolpen telah meliyuk-liyuk menuliskan huruf Sugiyanto. Mbok
Rusmi dan Sugianto sempat berfikir apa arti semua tulisan diatas kertas itu. Sehingga
pak Saman lelaki si penggadai kambing menyuruh Sugianto melumuri tiga selaput
jarinya dengan tinta berwarna ungu. Selesailah sudah, pak Saman menarik uang
berwarna merah muda bergambarkan Bapak Dr. Ir. Soekarno dan Bapak Dr. H.
Mohammad Hatta sebanyak tujuh lembar. Kambing itu melonglong bak serigala
ditengah malam yang sunyi. Esok hari mbok Rusmi dan Sugiyanto pergi ke rumah
Mantri di desa sebelah. Sepeda ontel milik Sugiyanto meronta-ronta meminta istirahat,
tapi tak digubris olehnya. Sedangkan mbok Rusmi menahan panas yang membakar
seluruh kulitnya. Setiba disana Pak Mantri tak kalah serius dalam menangani penyakit
pasiennya.
"Ibu, kapan Ibu sakit?" Tanya Pak Mantri sambil melepaskan stetoskop.
"Sudah seminggu ini pak" Sahut Sugiyanto.
"Sakbenere aku sakit nopo pak?"
"Ibu sakit DB, demam berdarah, tapi keadaan Ibu sangat menghawatirkan. Trombosit
Ibu menurun, Ibu secepatnya harus dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit." Terang
pak Mantri.
"Tapi pak, saya tidak punya..." belum sempat diteruskan pak Mantri memotongnya.
"Ibu jangan pusingkan soal biaya, yang penting Ibu sehat."
Keadaan menjadi tegang, Pak Mantri memencet tombol HPnya dan menempelkan di
telinganya.
"Hallo mas Yoga, kamu di rumah apa tidak?"
"Iya, saya di rumah pak."
"Tolong bisa mengantarkan saya kerumah sakit apa tidak?"
"Bisa pak, memangnya siapa yang sakit?"
"Mbok Rusmi dari desa sebelah."
Percakapan berhenti, suara mobil menderu di depan rumah pak Mantri. Mobil Yoga
segera lepas landas dan meluncur dengan gesit. Papan penunjuk jalan memberitahukan
dimana rumah sakit itu berada. Bertuliskan Rumah Sakit R.A.A SOEWONDO. Mbok
Rusmi terbaring lemas di ruangan Dahlia nomer 23. Segera para dokter memeriksa
mbok Rusmi dengan sangat profesional.

Nada sambung Rara berdendang riang, bertuliskan My LOVELY. Segera rara


memencet tombol warna hijau. "Assalamualaikum sayang, ada apa?" Dengan sigap
Yoga menjelaskan tentang mbok Rusmi. Seketika itu Rara sempat buyar lamunannya,
dan jatuhlah hujan air mata. Rara bergegas mengabari orang tuanya dan dalam sekejap
mereka bergegas menyusul mbok Rusmi. Sedih akan rasa bersalah menghantui Rara,
karena ia takut akan terjadi sesuatu kepada orang sudah dianggap sebagai Ibu keduanya.

21.45, Halaman parkir Rumah Sakit


Suara langakah tergesa-gesa mengikuti koridor menuju ruangan Dahlia nomer
23. Rara merangkul mbok Rusmi begitu erat, pemandangan yang mampu menguras air
mata sampai kesumbernya. Mbok Rusmi belum sadarkan diri, kini ia hanya pasrah
menanti keajaiban pendonor darah yang cocok. Pihak Rumah Sakit telah mengupayakan
mencari golongan darah AB di PMI, tapi hasilnya nihil. Rara sibuk dengan semua
nomer yang tersimpan di HPnya, ia meminta bantuan teman-temannya. Keadaan mulai
panik, semua tidak mendapatkan hasil. Hanya mampu menunggu sebuah keajaiban dari
Allah. Dan benar, keajaiban telah datang, seseorang perempuan yang bergolongan darah
AB dengan sukarelawan memberikan sekantung darahnya pada mbok Rus. Ucapan
terimaksih pun menyeru begitu dengan iklasnya. Memang Allah maha adil, batin Rara.
Sementara itu, Di pojok tempat tidur mbok Rusmi yang masih kritis, Sugianto meminta
bantuan pada Ibu Dewi dan Bapak Hasan mengenai pembiayaan Rumah Sakit. Esok
harinya pak Hasan melunasi semua tagihan rawat inap dan obat-obat yang harus di
tebus.
Di dalam ruangan terdapat Rara dan istri beserta anak-anak Sugiyarto. Yoga dan
orang tua Rara bercakap-cakap santai, kadang salah satu dari mereka ada yang
tersenyum, tertawa, dan serius. Rara sedikit mengamati gerak-gerik ketiga manusia itu.
Terlintas dibenaknya apakah papah dan memah mengintrogasi Yoga, apakah mereka
tidak setuju setelah melihat Yoga, apakah mereka memarahi Yoga karena telah mencuri
cinta anaknya dan apakaaaah..... Rara menghentikan segudang pertanyaan tentang
kesuudhonannya terhadap ketiga manusia itu. Ia kaget sekaligus senang melihat mbok
Rusmi siuman.
Ia segera berteriak memanggil "Pah, mah, mas Yoga, mbok Rus sudah siuman."
Bergegaslah mereka menuju pinggiran ranjang, tak hentinya Rara mengucapkan syukur
pada-Nya. Alhamdulillaaaah.
Setumpuk pertanyaan diberondongkan Rara pada dokter, dia ingin mengetahui
keadaan penyakit mbok Rus. Sudah membaik dan beberapa hari lagi sudah bisa dibawa
pulang, itu kata dokter. Semakin hari mbok Rus menunjukkan perkembangan. Pada
sabtu sore, semuanya bergegas menuju mobil milik pak Hasan.Rumah berdinding
bambu sudah terisi lagi oleh pemiliknya dan kebahagiaan mulai mencerahkan wajahnya.
Nampak Rara berlari tergesa kearah mbok Rus.
"Mbok, si jantan mana? Kog gak ada." Tanya Rara sedih.
Raut muka mbok rus seketika berubah, ia menundukkan kepalanya sejenak dan
mengangkatnya lagi.
"Maaf nduk, kambingnya mbok gadaikan untuk beli obat"
"Tapi kambing itu kan kenangan aku bisa ketemu sama mas Yoga, aku sudah berjanji
akan memelihara kambing itu kelak, kalau aku sama mas Yoga menikah."
Yoga berjalan menghampiri kekasihnya. "Dik, aku punya rencana bagaimana kalau kita
pergi ke rumah pak Maman dan kita tebus kambing itu." Senyum Rara membuncah
sambil mengacungkan ibu jarinya.

Di rumah Pak Saman Rara hilang kesabaran.


"Maaf ya pak, itu namanya bapak menipu. Kenapa tidak mau menyerahkan
kambingnya."
"Mbak jangan marah dong. Saya dan Sugiyanto sudah tanda tangan di atas surat
perjanjian dan mbok Rusmi saksinya."
"Eh pak, berarti sampean ngapusi to. Mbok Rusmi dan pak Sugiarto kan tidak bisa baca
dan tulis." Geram Yoga.
"Saya tidak perduli, mereka butuh uang ya saya kasih asal mau menaati aturan di surat
ini." Pak Saman melihatkan surat perjanjian itu.
Rara dan Yoga memerhatikan isi surat yang berbunyi:
saya yang bernama Sugiyarto
memberikan jaminan barang berupa kambing untuk ditukarkan uang sejumlah Rp.
700.000,00. Untuk biaya penebusan sejumlah Rp. 10.000.000,00.
Tertanda penggadai

SUGIARTO SAMAN
Rara menangis dipelukan Yoga, manja sekali. Hanya Yoga yang mampu menenangkan
Rara saat itu. Ia bernostalgia, bagaimana ia pertama kali bertemu dengan tambatan
hatinya. Kambing itu telah berjasa karena telah menemukan cinta sepasang anak adam.
Mereka pernah berjanji akan merawat si jantan dan akan mencarikan betinanya.
Ia teringat saat keduanya bermadu kasih di hamparan rumput hijau sambil angon si
jantan. Mereka menamai si jantan dengan kambing penjual cinta. Rara pulang dengan
wajah ditekuk menjadi sembilan lipatan, matanya yang sembab, menimbulkan
pengintrogasian dari orang tuanya. Keluh kesahnya membuat hati mbok Rusmi menjadi
serba salah telah menggadaikan kambingnya. Tapi setitik cahaya mulai muncul
menerangi kegundahan hati putrinya. Pak Hasan akan membantu mereka, dengan
menebus kambing itu. Hari itu juga mereka menebus kambing itu. Rara tersenyum puas
karena kambing itu telah pulang kekandangnya. Mbok Rusmi mulai mengucurkan air
matanya, saat mendengar bahwa Rara dan Yoga akan melaksanakan pernikahan.

2 Agustus 2012
Tepat di hari ulang tahun Yoga mereka melangsungkan pernikahan terakbar
disepanjang sejarah desa itu. Daun berwarna kuning melenkung begitu indah. Tak lupa
akan janjinya, si kambing pun dihias dengan ditemani belahan jiwanya si kambing
betina. Layaknya seorang ratu dan raja Rara Andira dan Yoga Dediyanto disandingkan
di singgasananya, semua mata berbinar, kumpulan doa-doa mengiringi untuk menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Matahari mulai bergegas meninggalkan keramaian dan
berganti bulan yang menyemarakkan sunah-sunah para nabi terdahulu. Keheningan
malam menyelimuti insan manusia, tapi tak digubris oleh sepasang manusia yang mulai
mereguk indahnya cinta itu. Embusan nafasnya menggemparkan seluruh isi surga,
tetesan keringatnya mampu membasahi keringnya bumi pertiwi, dan dendangan
cintanya melebihi dari karya-karya Kahlil Gibran. Cerita cinta sepasang manusia telah
menjadi pelajaran berharga bagi kaumnya. Kesedihan memanglah awal dari
kebahagiaan, dan apabila cobaanlah yang menyambut kehidupan maka kehidupan itu
akan lebih bermakna dari kehidupan-kehidupan lainnya.
Setahun kemudian, 20 maret 2013.
Pangeran kecil lahir dengan tangisan kebahagiaan, senyuman kesempurnaan
wanita tersungging di bibir Ibu muda yang masih terbaring lemah. Sebuah nama
tertuliskan Ardyansyah Fredy Prayoga menjadi langkah baru di kehidupan barunya.

…SELESAI…

Anda mungkin juga menyukai