Anda di halaman 1dari 8

MENAKAR KEMBALI KEBERADAAN DIALEK JAWA

TIMUR SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANKAN


BAHASA DAERAH
Prima Zulvarina
Universitas Brawijaya
primazulvarina@ub.ac.id

Abstrak

Bahasa Jawa merupakan salah satu dari bahasa daerah yang ada
di Indonesia, fungsi dari bahasa daerah adalah untuk lambang
kedaerahan dan alat komunikasi antarsuku. Bahasa Jawa
memiliki beragam dialek. Dialek Solo, Yogya, Surabaya, dsb.
Sebagian besar bahwa bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah
adalah bahasa Jawa dengan dialek Solo dan Yogya (kowe, piye,
ora, bocah, dsb). Dialek bahasa Jawa yang digunakan di
wilayah Jawa Timur, sebagian besar menggunakan dialek
Surabaya. Bahasa ini semakin menjauhkan peserta didik dari
kebutuhan berbahasanya sehari-hari, bahkan oleh mereka yang
bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Untuk mengatasi masalah
tersebut perlu dilakukan revitalisasi pembelajaran berbasis
dialek melalui materi muatan lokal bahasa Jawa yang sesuai
dengan dialek masing-masing daerah. makalah ini difokuskan
pada eksistensi dan revitalisasi dialek Jawa Timuran sebagai
upaya untuk mempertahankan bahasa daerah.
Kata Kunci: Bahasa Jawa, Dialek Jawa Timur, Revitalisai

Pendahuluan
Generasi sekarang cenderung lebih bangga menggunakan
bahasa asing. Seakan-akan identitas mereka sebagai suku dari
daerah kian memudar. Keluarga yang berpendidikan tinggi dan
memiliki status sosial menengah ke atas seperti masyarakat
perkotaan cenderung menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa ibu. Bahkan keluarga modern saat ini, mengajarkan anak-
anak mereka bahasa asing untuk ”first language”. Beberapa dari
keluarga modern berpikir bahwa akan lebih senang ataupun bangga
melihat anak-anak mereka berbahasa asing daripada berbahasa
daerah. Selain itu jika dalam satu keluarga semua anggota keluarga
bisa berbahasa asing, maka lebih dipandang bermartabat.
Ethnologue (2015) mencatat sebanyak 7.102 bahasa
dituturkan di seluruh dunia. Sementara itu, di Indonesia tercatat
707 bahasa yang dituturkan sekitar 221 juta penduduk.
Berdasarkan data tersebut dapat dibayangkan di Indonesia dialek
berjumlah ratusan, betapa jumlah ini adalah hal yang fantastis,
penanda keragaman dan kekayaan budaya Indonesia. Itu semua tak
pernah disadari oleh penduduk Indonesia
Bahasa Jawa merupakan salah satu dari bahasa daerah
yang ada di Indonesia, fungsi dari bahasa daerah adalah untuk
lambang kedaerahan dan alat komunikasi antarsuku. Mengutip dari
catatan kompas, sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia
ternyata terancam punah. Hal tersebut disebabkan karena faktor
keenganan generasi muda menggunakan bahasa daerah. Bahkan,
dari 746 bahasa daerah tersebut kini hanya tersisa 13 bahasa daerah
yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta orang, itu pun
sebagian besar generasi tua.
Bahasa Jawa memiliki beragam dialek, dialek Solo, dialek
Yogya, dialek Surabaya, dan lain sebagainya. Sebagian besar
bahwa bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah adalah bahasa Jawa
dengan dialek Solo dan Yogya (kowe, piye, ora, bocah, dsb). Tidak
akan menjadi masalah jika sekolah tersebut di kawasan sekitar
Solo, Yogya, atau wilayah Jawa Tengah lainnya. Hal tersebut
berbanding terbalik dengan kenyataan berkomunikasi mereka
sehari-hari jika diajarkan di wilayah Jawa Timur. Dialek bahasa
Jawa yang digunakan di wilayah Jawa Timur, sebagian besar
menggunakan dialek Surabaya yang meliputi Surabaya, Malang,
Sidoarjo, Gresik, Malang, dan sebagian Mojokerto.
Bahasa ini semakin menjauhkan peserta didik dari
kebutuhan berbahasanya sehari-hari, bahkan oleh mereka yang
bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Untuk mempopulerkan kembali
bahasa Jawa sebagai upaya untuk mempertahankannya, usaha yang
perlu dilakukan adalah menempatkannya di wilayah paling
domestik keseharian. Artinya, bahasa Jawa yang diajarkan harus
menunjuang dan berkontribusi secara langsung dalam kebutuhan
berbahasa sehari-hari.
Contoh kasus di wilayah Malang Raya, sebagian besar
sekolah mulai tingkat sekolah dasar hingga menegah mendapatkan
pelajaran bahasa Jawa. Materi bahasa Jawa yang diajarkan adalah
bahasa Jawa dialek Mataraman. Dialek ini jelas berbeda jauh
dengan bahasa dialek yang digunakan penduduk Malang.
Selain sebagai upaya untuk memertahankan bahasa,
pembelajaran bahasa berbasis dialek ini juga akan membentuk
identitas lokal sebuah daerah. Selain keluarga merupakan benteng
pertahanan terakhir penggunaan bahasa daerah, akan lebih baik jika
sekolah juga ikut andil dan menunjang penuh untuk pemertahanan
bahasa daerah.
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan
revitalisasi pembelajaran berbasis dialek melalui materi muatan
lokal bahasa Jawa yang sesuai dengan dialek masing-masing
daerah. Hal tersebut perlu dilakukan agar penggunaan bahasa
daerah tidak punah dan pembelajaran bahasa daerah semakin dekat
dan diminati siswa.
Berdasarkan uraian singkat di atas, artikel ini difokuskan
pada eksistensi dan revitalisasi dialek Jawa Timuran sebagai upaya
untuk mempertahankan bahasa daerah. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan dan
menjelaskan eksisitensi dan revitalisasi dialek Jawa Timuran
sebagai upaya untuk mempertahankan bahasa daerah.

Eksistensi Dialek Jawa Timur


Poedjoseodarmo (tanpa tahun) membatasi dialek sebagai
varian yang walaupun berbeda masih dapat dipahami oleh penutur
dari varian lain. Kridalaksana (1993: 42) membatasi dialek sebagai
variasi yang berbeda-beda menurut pemakai, apakah di tempat
tertentu (dialek regional), oleh golongan tertentu (dialek sosial),
ataukah pada waktu tertentu (dialek temporal).
Dari uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
dialek merupakan sistem atau variasi bahasa. Variasi tersebut jika
digunakan di wilayah geografis tertentu yang berbeda-beda
menurut pemakai. Dialek dapat muncul dalam satu tempat tertentu
dan digunakan oleh golongan tertentu. Dengan demikian, dialek
merupakan variasi bahasa yang digunakan di tempat tertentu oleh
golongan tertentu.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh suku
Jawa dalam berkomunikasi sehari-hari. Dalam penggunaan bahasa
Jawa harus memerhatikan tingkatan lawan bicara. Menurut
Sudaryanto (1992:5) dalam tata baku bahasa Jawa tingkat tutur
bahasa Jawa ada dua, yaitu tingkat tutur bahasa Jawa Krama dan
tingkat tutur bahasa Jawa Ngoko. Setyawan (2011:68) juga
mengungkapkan bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat
pembagian bahasa Jawa dalam tingkat secara garis besar yaitu
Krama; digunakan untuk orang yang dihormati, Madya; untuk
yang sepantaran, dan Ngoko yang digunakan untuk orang yang
lebih muda.
Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
tingkatan berkomunikasi dalam bahasa Jawa ada tiga yaitu Krama,
Madya, dan Ngoko. Ketiga tingkatan ini memiliki tujuan, fungsi,
dan gramatikal yang berbeda. Krama digunakan untuk
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Madya dan Ngoko
digunakan untuk berkomunikasi dengan sebaya atau lebih muda.
Dialek tidak dapat terlepas dari bahasa daerah itu sendiri.
Setiap bahasa pasti memiliki dialek yang bervariasi. Seperti bahasa
Jawa memiliki berbagai macam dialek. Dialek Solo, Yogya,
Banyumas, Surabaya, dan lain sebagainya. Setiap dialek memiliki
khas karakter yang berbeda. Setyawan (2011:68) mengungkapkan
Dialek Solo meliputi daerah Solo, Sukoharjo, Sragen,
Karanganyar, Wonogiri, Klaten, dan Boyolali. Dialek Yogya
meliputi Daerah Istimewa Yogyakarya, Magelang, Temanggung,
sedangkan daerah Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap,
termasuk dalam dialek Banyumas. Selanjutnya persebaran dialek
Surabaya meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Malang, dan
sebagian Mojokerto.
Tanpa disadari saat kita menggunakan bahasa daerah
khususnya bahasa Jawa, secara tidak langsung dialek tersebut juga
akan terlihat. Akan ada perbedaan ketika berkomunikasi bahasa
Jawa dengan orang yang berasal dari Malang dengan orang yang
berasal dari Yogya/Solo. Sama-sama menggunakan bahasa Jawa
tetapi berbeda pada penggunaan dialeknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, generasi muda sudah mulai
meninggalkan penggunaan bahasa Jawa. Bahkan mungkin mereka
mengalami kebingungan dialek apa yang mereka gunakan ketika
menggunakan bahasa Jawa. Mereka cenderung menggunakan
bahasa Indonesia atau sesekali menyelipkan bahasa asing agar
terdengar lebih gaul. Jika menggunakan bahasa Jawa pun, banyak
dari mereka menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Bahasa Jawa
Ngoko yang digunakan cenderung kepada teman sebaya, yang
lebih muda, bahkan kepada orang yang lebih tua. Jika dilihat dari
parameter umur, penggunaan bahasa Jawa Krama lebih dikuasai
atau didominasi oleh penutur tua, sedangkan penutur muda lebih
sering atau lebih menguasai bahasa Jawa Ngoko. Hal tersebut bisa
dikarenakan bimbingan orang tua dan lingkungan pergaulan.
Sehingga istilah orang tua, generasi penutur muda tidak memiliki
‘unggah ungguh’ atau bisa disebut sopan santun saat
berkomunikasi.
Ada tiga faktor yang melatarbelakangi hal tersebut bisa
terjadi. Pertama, faktor keluarga modern yang cenderung
menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing sebagai bahasa
Ibu; kedua, faktor lingkungan tempat penutur tinggal. Saat mereka
berinteraksi dengan teman sebaya atau yang lebih muda, ada
sebagian dari mereka yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko
sehingga memengaruhi penutur-penutur yang lain. Keterbatasan
pengetahuan yang mereka miliki tentang bahasa Jawa, sehingga
saat berinteraksi dengan orang yang lebih tua mereka juga
menggunakan bahasa Jawa Ngoko; ketiga, faktor pembelajaran di
sekolah. Faktor ketiga ini untuk penutur sekolah dasar hingga
menengah. Bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari saja mereka
belum memahami betul, kemudian di sekolah mereka mendapat
muatan lokal bahasa Jawa dengan dialek Mataraman yang berbeda
dengan dialek dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan buku
penunjang pembelajaran yang mereka dapatkan, sebagian besar
berisi bahasa Jawa dialek Mataraman. Kedua hal yang membuat
penutur kebingungan membuat penutur semakin jauh dengan
bahasa Jawa yang menggunakan dialek sehari-hari.
Revitalisasi Bahasa Jawa Sebagai Upaya Pemertahanan
Bahasa Daerah
Revitalisasi penggunaan bahasa Jawa peru dilakukan agar
tidak mengalami kepunahan. Tiga hal yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan bahasa Jawa agar tetap eksis, antara lain:
pertama, mengampanyekan kepada masyarakat penutur bahwa
keluarga menjadi kunci pemertahaan bahasa daerah paling akhir.
Untuk dapat membentuk generasi yang santun, bahasa Jawa dapat
digunakan sebagai bahasa ibu dengan pembiasaan berkomunikasi
sehari-hari. ”Unggah-ungguh” dalam berkomunikasi menjadi
capaian bagi generasi penerus, penutur dapat menempatkan
penggunaan bahasa Jawa Krama dan Ngoko itu sudah menjadi hal
yang patut diacungi jempol, karena secara tidak sadar penutur akan
memahami tata karma dalam berkomunikasi dengan lawan bicara;
kedua, sekolah juga memiliki andil yang besar untuk menjaga
eksistensi bahasa daerah. Pembelajaran bahasa berbasis dialek
akan membentuk identitas lokal sebuah daerah. Jika saat ini masih
terjadi ketimpangan pembelajaran bahasa daerah di sekolah, maka
sebaiknya segera dibenahi dengan mengganti secara bertahap
pembelajaran bahasa daerah berbasis dialek. Ada baiknya
penyesuaian daerah dan dialek yang digunakan untuk
pembelajaran bahasa daerah. Siswa akan lebih mudah memahami
dan lebih mencintai jika bahasa yang diajarkan merupakan bahasa
sehari-hari yang tak jauh dari kehidupan mereka. Kemudian
penyusunan buku pegangan saat pembelajaran bahasa daerah juga
disesuaikan dengan tema sederhana yang tak jauh dari kegiatan
mereka sehari-hari. Agar buku pegangan menjadi efektif dan tepat
sasaran, buku tersebut dapat disusun dalam musyawarah guru mata
pelajaran bahasa dearah dalam satu wilayah tersebut sehingga
pembelajaran bahasa daerah berbasis dialek akan mudah
dilakukan.
Menjaga eksistensi bahas daerah tidaklah mudah,
revitalisasi akan tercapai jika semua pihak saling mendukung.
Dimulai dari pihak keluarga, sekolah, dan pemerintah. Pihak
pemerintah dan perguruan tinggi dapat menyusun atau
merencanakan pengembangan bahasa daerah yang diberlakukan di
masyarakat penutur. Tentunya jika dikemas secara unik akan
sangat menarik generasi penutur selanjutnya. Selain itu juga
pemberlakukan kurikulum muatan lokal bahasa Jawa yang
diwajibkan untuk semua jenjang sekolah juga menjadi salah satu
cara tersendiri untuk mempertahankan eksisitensi bahasa Jawa.
Jika pada tahun 1990-an muatan lokal bahasa Jawa hanya sampai
pada tingkat dasar saja, mulai awal 2000-an pemerintah pusat
sudah mewajibkan muatan lokal bahasa Jawa juga masuk pada
jenjang menengah. Untuk itu perlu ada pemikiran lebih lanjut jika
muatan lokal bahasa daerah juga masuk di pendidikan tinggi.
Sehingga eksistensi bahasa Jawa akan terus terjaga dan
berkesinambungan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi.

Kesimpulan
Ada dua cara untuk mematikan bahasa, yaitu dengan
mengajarkan bahasa lain dan membinasakan bahasa sebelumnya.
Eksistensi bahasa Jawa yang kian memudar, sudah sepatutnya
untuk dilakukan penghidupan kembali dengan mengandeng semua
pihak. Hal yang dapat dilakukan pertama adalah mencintai bahasa
itu sendiri. Selanjutnya pihak keluarga menjadi benteng pertahanan
bahasa Jawa terakhir. Selain itu dukungan pihak sekolah dan
pemerintah juga menjadi satu hal yang harus dilakukan untuk
menjaga keeksistensian bahasa Jawa. Dimulai dari keluarga,
sekolah, dan dukungan pemerintah. Keunikan bahasa Jawa yang
memiliki tingkatan cara untuk berkomunikasi menjadi ciri khas
unik yang dapat terus dilestarikan dan dijaga semua pihak. Bahkan
di salah satu bandara internasional di Dubai untuk menyampaikan
pengumuman menggunakan bahasa Jawa, hal tersebut seharusnya
kita patut bangga. Orang asing saja ingin mempelajari bahasa
daerah kita, bagaimana bisa kita melupakannya. Oleh karena itu
revitalisasi bahsa Jawa sudah menjadi hal yang sangat penting
untuk kita sukseskan bersama.

Daftar Rujukan
Chaer, Abdul. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka
Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Introduction to Word Formation


and Word Classes. Jakarta: Universitas Indonesia
Lewis, M. Paul, Gary F. Simons, dan Charles D. Fennig (eds.).
2015. Ethnologue: Language of the World, Eighteenth
edition. Dallas, Texas: SIL International. Diakses dari versi
daring: http://www.ethnologue.com pada 19 Juli 2017.
Setyawan, Aan. 2011. Bahasa Daerah dalam Perspektif
Kebudayaan dan Sosiolinguistik: Peran dan Pengaruhnya
dalam Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa. Prosiding
International Seminar Language Maintenance and Shift.
Universitas Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai