Anda di halaman 1dari 7

Crack Code Bahasa “Walikan” Malang sebagai Refleksi Kritis

Resistansi Bahasa Daerah di Era“Westernisasi”


Penulis: Komang Budi Mudita

Indonesia adalah negara dengan total populasi manusia sejumlah 250


juta jiwa dan merupakan negara dengan jumlah penduduk tertinggi
keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika serikat (Worldbank,
2013). Tingginya populasi manusia didukung kondisi geografis yang
kaya pulau, menyebabkan Indonesia kaya akan budaya, suku, maupun
bahasa. Data Etnologue tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki 707 bahasa daerah dan merupakan 10 persen dari total 7.102
bahasa di dunia. 707 bahasa daerah tersebut digunakan oleh
setidaknya 221 juta orang penduduk Indonesia (Etbologue dalam
Budiwiyanto, 2015).

Meskipun Indonesia kaya akan bahasa daerah, sayangnya di tahun


2010 tercatat 146 bahasa daerah di indonesia terancam punah dan 12
diantaranya telah punah (Moseley dalam Budiwiyanto, 2015).
Tingginya tingkat kepunahan bahasa ini disebabkan oleh rendahnya
penutur bahasa tersebut. Bahasa Jawa memiliki penutur kurang lebih
75,2 juta jiwa, bahasa Sunda 27 Juta jiwa, bahasa Melayu 20 juta jiwa
dan bahasa lainnya yang bahkan berada dibawah satu juta jiwa, dan
beberapa bahasa hanya memiliki penutur 10 jiwa hingga hanya 1 jiwa
(Crystal dalam Cece Sobarna, 2007). Padahal prinsip daya tahan suatu
bahasa adalah use of the linguistic system by an unisolated community of native
speakers (Stewart dalam Muhammad darwis, 2011:4), dimana
pengurangan penutur suatu bahasa akan berimplikasi pada tingkat
kerentanan suatu bahasa untuk punah.
Muhammad Darwis (2011: 3) mengambil analogi spesies biologi,
Krauss (1992) dalam mangategorikan daya hidup bahasa menjadi 3
tingkatan. Tingkat pertama yaitu moribund, yaitu bahasa yang tidak lagi
dipelajari anak-anak sebagai bahasa ibu. Tingkat kedua
yaituendangered, yaitu bahasa yang meskipun sekarang masih dipelajari
atau diperoleh oleh anak-anak, tetapi sudah tidak digunakan pada
abad yang akan datang. Ketiga, safe, yaitu bahasa yang secara resmi
didukung oleh pemerintah dan memiliki penutur yang sangat banyak.
Menurut Darwis kondisi yang saat ini terjadi adalah bahasa daerah
sudah tidak diperoleh dan dipelajari oleh semua anak maupun usia
dewasa dalam kelompok etnik masing-masing (Muhammad Darwis,
2011: 4).
Rendahnya minat masyarakat khususnya pemuda dan anak-anak
dalam menggunakan bahasa daerah dipengaruhi oleh banyak hal.
Darwis menemukan faktor kemunculan TK (Taman Kanak-kanak) di
pedesaan yang notabene menggunakan bahasa Indonesia menjadi
pemicu utama minimnya minat anak-anak menggunakan bahasa
daerah (Muhammad Darwis, 2011: 4). Faktor lainnya yang sangat jelas
terlihat yaitu pengaruh globalisasi yang membuat masyarakat lebih
berpikir global dan berorientasi internasional daripada lokal. Hal ini
membuat sekolah-sekolah di Indonesia lebih memilih menggunakan
bahasa Inggris sebagai muatan lokal dari pada bahasa daerah. Bahkan
nilai bahasa Inggris menjadi penentu dalam seleksi perguruan tinggi
maupun seleksi kerja.

Tingginya prioritas penggunaan bahasa nasional dan bahasa


internasional dalam lingkungan akademik dan pekerjaan, sebenarnya
dilatarbelakangi banyak hal. Tuntutan Indonesia terhitung sejak 1
Januari 2016 telah resmi memasuki pasar bebas Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) dan saat ini Indonesia dikabarkan akan memasuki TPP
(Trans-Pasific Partnership) yang digagas oleh Amerika Serikat. Menghadapi
MEA dikabarkan 1000 supir taxi Pilipina dan orang-orang Tailand
belajar bahasa Indonesia (Tribunnews.com, 2016 dan beritasatu.com,
2014). Melihat kondisi tersebut banyak orang Indonesia yang mulai
berlomba-lomba menguasai bahasa internasional. Apalagi melihat
program nawa cita yang diusung presiden Indonesia, Joko Widodo,
dimana ia menargetkan peningkatan ekonomi sebesar 7 persen tahun
2019 (Liputan6.com, 2016). Alhasil Mayarakat akan lebih terpaksa
belajar bahasa asing daripada bahasa daerah.
Menjadikan bahasa daerah sebagai anak tiri di daerah maupun dalam
pelajaran sekolah sebenarnya tidak sejalan dengan peraturan yang
ditetapkan Undang-undang. Undang-undang tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pasal 42 ayat (1)
menyatakan bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan,
membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap
memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat
sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian
dari kekayaan budaya Indonesia.” Pemerintah jelas berusaha untuk
melindungi bahasa daerah sebagai kearifan lokal yang harus dijaga
dan dibangun dalam pola pikir masyarakat setiap saat, agar tidak
terjadi dead languageatau kepunahan bahasa daerah.
Usaha-usaha dalam menjaga keutuhan bahasa daerah baik dari pihak
pemerintah maupun akademisi sudah sangat banyak dilakukan.
Beberapa diantaranya meliputi: Menjadikan bahasa daerah sebagai
salah satu mata pelajaran wajib di sekolah; Melakukan pelatihan,
penelitian, dan seminar bahasa daerah, oleh pemerintah daerah
maupun akademisi (mahasiswa dan dosen); Serta menyediakan
program studi bahasa daerah di perguruan tinggi. Memasukkan bahasa
daerah kedalam kurikulum wajib, membuat bahasa daerah harus
dipelajari oleh siswa. Ekspektasi dari kegiatan ini adalah, bahasa
daerah dapat digunakan sehari-hari dan tetap bertahan di masyarakat.
Namun sayangnya, yang terjadi adalah, siswa bertendensi melupakan
bahasa daerah di luar konteks pelajaran dan tidak menjadikan bahasa
daerah sebagai prioritas utama. Begitupun seminar dan pembukaan
program studi bahasa daerah peminatnya sangat rendah, dan tidak
bisa menjamin informasi dapat terdistribusi dengan baik ke seluruh
masyarakat. Sehingga beberapa upaya tersebut dirasa sangat tidak
efektif sebagai bentuk usaha revitalisasi bahasa daerah.

Salah satu harapan yang tersisa dari rapuhnya dan rentannya bahasa
daerah yaitu masih ada beberapa bahasa daerah dengan penutur
diatas satu juta jiwa, bahkan berpuluh-pulu juta jiwa. Hal ini
sebenarnya menjadi sebuah refleksi bagi para ahli dan masyarakat
Indonesia. Bahasa ini seperti bahasa Jawa khususnya di Malang,
masih menjadi bahasa yang tetap bertahan di era globalisasi bahkan
era westernisasi yang kini diadapi Indonesia. Konteks era globalisasi
hanya melunturkan batas-batas geografis suatu negara, namun
konteks westernisasi sudah mengarah pada ranah penyerapan suatu
budaya, gaya hidup, dan aktivitas sosial dari negara Barat. Inilah
klimaks dari ancaman budaya yang sebenarnya di hadapi Indonesia
saat ini. Namun beberapa bahasa daerah masih bisa bertahan dan
mampu melawan arus westernisasi yang melanda Indonesia, poin
kunci inilah yang seharusnya dapat menjadi solusi yang efektif dalam
menghadapi degradasi bahasa daerah yang kian masif terjadi.

Daerah Malang, Jawa timur menggunakan bahasa Jawa yang memiliki


dialek Jawa Timuran dan bahasa Madura. Selain dialek tersebut, ada
pula dialek khas Malang yang disebut sebagai “Boso Walikan”
(malangkota.go.id). Bahasa Walikan memiliki ciri khas yaitu
menggunakan kata-kata secara terbalik, seperti arek-kera, sedia-
aides, sego-oges, pecel-lecep, mabuk-kubam, dan lainnya. Bukan
hanya pembalikan huruf-huruf dalam kata tetapi juga meliputi
perubahan letak fonem seperti fonem /i/ dan /u/ pada kata ‘bingung’
yang kemudian berubah menjadi ‘ngingub’ (Icuk Prayogi, 2013:2).
Menurut penutur asli bahasa Walikan, inversi kata-kata ini sangat
bebas dan terbentuk karena kesepakatan bersama, hal ini disebabkan
oleh beberapa kata yang sulit diucapkan jika dibalik konstruksinya.

Sejarah linguistis bahasa Walikan sebenarnya sudah digunakan pada


masa kolonialisasi oleh bangsa asing di Indonesia. Menurut beberapa
literatur bahasa ini digunakan Kelompok Gerilya Kota (GRK) Malang
pada zaman agresi militer II setelah kemerdekaan. Penggunaan
bahasa ini dilatarbelakangi oleh penyusupan mata-mata Belanda untuk
mengusust keberadaan Laskar Mayor Hamidi Rusdi, yang gugur pada
tanggal 8 Maret 1949. Demi menjamin kerahasiaan informasi, para
pejuang kala itu membuat suatu identitas bahasa Walikan, guna
mengenali sesamanya. Dan identitas inilah yang sampai saat ini terus
digunakan oleh arema, atau sebutan anak muda untuk ‘Orang Malang’
(Icuk Prayogi, 2013: 3 bandingkan Yunan Salimow (2009) dan
Halomalang.com (2015)).

Eksistensi bahasa Walikan tetap bertahan di era westernisasi


disebabkan oleh dukungan yang sangat besar dari semua pihak.
Munculnya rubrik Ebes Ngalam dalam Harian Malang Post
menunjukkan ada identitas kultural yang coba disampaikan dan
dipertahankan oleh masyarakat, hal ini juga menunjukkan peminat
bahasa Walikan sangat tinggi (Nurdiani Galuh M., 2010). Selanjutnya
kontinuasi peran pemuda, anak-anak, dan orang tua yang tidak pernah
berhenti menggunakan bahasa Walikan, membuat eksistensi bahasa
Walikan mengalahkan bahasa asing yang masuk ke dalam area
masyarakat.

Usia anak-anak adalah usia yang sangat baik untuk menanamkan nilai-
nilai moral dan budaya pada dirinya. Dalam sosiologi anak-anak akan
mengalami masa preparatory stage (tahap persiapan, usia 1-5 tahun)
dan play stage (tahap meniru, usia 6-12 tahun) yang akan
memungkinkan anak-anak untuk merekognisi hal-hal yang akan
membentuk kebiasaan mereka. Selanjutnyagame stage (tahap mulai
menyadari tindakan, usia 13-17 tahun) dan generalized stage (Tahap
penerimaan norma kolektif, usia 17 tahun ke atas) akan membuat
anak-anak memahami arti penting penggunaan bahasa daerah dan
mampu menjadi agen sosialisasi yang baik terhadap generasi yang
baru dalam suatu masyarakat. Inilah teori normatif yang sebenarnya
aplikatif dalam masyarakat Malang, dan telah terintegrasi dengan baik
melalui pemahaman semua tingkat generasi.
Pihak mahasiswa sebagai agent of change, social control, dan iron stock tidak
kalah penting dalam afirmasi bahasa Walikan. Dalam konteks agent of
changemahasiswa daerah Malang bukan sekelompok penggagas nilai
dan norma yang memperisai daerah Malang dari pengaruh
westernisasi. Mahasiswa Malang memposisikan diri sebagai
sekelompok generalized stage masyarakat intelek, yang menggunakan
bahasa Walikan sehari-hari dan menjaga keutuhan bahasa Walikan
tersebut melalui penelitian, sosialisasi masyarakat langsung, dan
menyadarkan masyarakat akan pentingnya keutuhan bahasa daerah.
Dalam konteks social controlmahasiswa tidak bertindak sebagai agen
keamanan yang menggunakan senjata dalam mengontrol kehidupan
sosial, melainkan menggunakan intelektual sebagai penguat
masyarakat dan keutuhan sosial tanpa menolak pengaruh positif yang
bisa diterima dari luar daerah. Bahkan sampai saat ini sudah banyak
paguyuban-paguyuban yang digagas mahasiswa Malang dalam
menjaga keutuhan bahasa daerah. Tindakan-tindakan mahasiswa
dalam ranahagent of change dan social controlsebenarnya sudah
menunjukkan bahwa mahasiswa malang adalah iron stock yang
berpotensi menjadi pemimpin-pemimpin masa depan dan mempu
mempertahankan bahasa daerah Malang.
Itulah poin-poin penting yang seharusnya digunakan dalam
melestarikan bahasa daerah. Refleksi eksistensi bahasa Walikan
seharusnya mampu menjadi contoh guna mempertahankan keutuhan
bahasa daerah lainnya yang diprediksi akan mengalami kepunahan.
Langkah pertama jika berkaca pada kesuksesan bahasa Walikan yaitu
mulai menggunakan bahasa daerah sehari-hari, utamanya dari
keluarga kecil. Bahasa daerah akan lebih mudah dipahami dan mejadi
kebiasaan bila intensifitas penggunaanya tinggi, dan hal ini sangat
sesuai dengan lingkungan rumah, dimana anak-anak biasanya
menghabiskan 60-80% waktunya dirumah. Selanjutnya intensifitas
penggunaan bahasa daerah oleh pemuda. Jika melakukan analogi
pada bahasa daerah dengan bahasa Walikan, maka kita bisa melihat
bahwa pengaruh arema akan eksistensi bahasa daerah sangat besar,
bahkan lebih besar dari pengaruh pemerintah daerah. Arema
menggunakan bahasa daerah di lingkungan sosial masyarakat, media
sosial, sekolah, kampus, bahkan terkesan menimbulkan fanatisme
yang tinggi. Alhasil bahasa daerah dapat bertahan ditengah arus
westernisasi dan globalisasi. Langkah inilah yang seharusnya menjadi
cerminan bagi daerah lainnya.

Meskipun penggunaan bahasa daerah wailikan terkesan fanatis, hal ini


sangat dipercaya tidak akan menimbulkan etnosentrisme bahkan
primordialisme. Pasalnya lingkungan akadik formal, seminar, maupun
acara formal, masyarakat Malang tetap menggunakan bahasa
Indonesia, dan bahkan tidak sedikit juara debat bahasa Inggris di kota
Malang tetap menggunakan bahasa Malang dalam kehidupan sehari-
harinya. Hal ini menunjukkan bahwa mencintai kearifan lokal bukan
sebuah hal yang memperkecil kesempatan untuk bisa meningkatkan
taraf hidup. Bahkan Malang tetap menerima penghargaan baik
nasional maupun interansional meskipun seluruh aspek kehidupan
masyarakat Malang masih mengintegrasikan kultur yang ada. Tahun
2016 Malang mendapatkan penghargaan Global Water Award oleh uni
Emirat Arab (malang.merdeka.com, 2016) bahkan jika dilihat tahun
2015 Malang mendapatkan penghargaan oleh Lembaga Kebudayaan
Nasional Indonesia karena keaktifannya dalam hal budaya
(bakesbangpol, 2015).

Demikianlah kondisi yang terjadi pada Indonesia saat ini, saat


ancaman penggulingan rezim tidak lagi menjadi urgensi dalam agenda
rapat negara, kini saatnya degradasi budaya khususunya bahasa,
terancam akan punah dan hilang dari peradaban. Penggunaan bahasa
daerah semakin hari semakin minim digunakan, perlu mendapat
perhatian serius dari semua pihak agar tetap menjadi local geniusyang
mengandung nilai-nilai sejarah dan memiliki daya jual tersendiri. Inilah
tujuan penulis menmbongkar kode (crack code) rahasia dari bahasa
Walikan, agar mampu menjadi refleksi guna mempertahankan bahasa
daerah di era westernisasi. Dari keseluruhan gagasan ini, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan guna meningkatkan penggunaan
bahasa daerah secara efektif. Hal pertama yaitu penggunaan bahasa
daerah harus dintensifkan baik dalam lingkungan keluarga maupun
lingkungan masyarakat, untuk mendukung terciptanya penggunaan
bahasa daerah. Dukungan pemerintah khususnya Menteri Pariwisata
dan kebudayaan, Pemerintah daerah, serta komunitas-komunitas
peduli bahasa daerah perlu mendukung program-program
pengembangan budaya baik yang dilakukan pihak swasta maupun
mahasiswa. Dengan integrasi pihak-pihak yang terkait serta
penanaman penggunaan bahasa daerah sejak dini, niscaya suatu
bahasa daerah tidak akan punah begitu saja. Jika 5 dari 10 orang
mampu menggunakan bahasa daerah, maka tahun 2010 bukan 12
bahasa yang punah, tetapi hanya 6 saja, dan relevansinya akan sangat
tinggi jiga 9 dari 10 orang mampu menggunakan bahasa daerah setiap
harinya.

Anda mungkin juga menyukai