Anda di halaman 1dari 4

Fenomena Bahasa Jaksel dan Kaiatannya dengan Norma yang Berkembang di

Masyarakat
Era globalisasi membawa banyak sekali perubahan di semua aspek kehidupan. Salah
satu wujud tuntutan di era globalisasi ini adalah keterampilan, kemampuan, dan kehlian
sumber daya manusia dalam meningkatkan kemampuan serta keterampilan untuk
menghadapi ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus berkembang. Menurut
Pamungkas (2012), manusia dapat berinteraksi, berkomunikasi, dan mengembangkan dirinya
dengan bahasa. Oleh karena itu, Untuk menjawab tantangan di era globalisasi tersebut, perlu
upaya untuk meningkatkan potensi diri agar menjadi generasi yang berdaya saing, cerdas,
inovatif, dan kreatif. Di Indonesia salah satu jawaban terhadap tuntutan tersebut adalah
dengan adanya penyelenggaraan kelas bilingual. Di dalam kelas bilingual ini sering kali
memakai bahasa yang dicampur baurkan (code switching) , untuk mempernudah seseorang
belajar bahasa asing.

Berdasarkan kenyataan hasil riset yang dilakukan oleh website SwiftKey pada tahun
2017, menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara trilingual terbesar yang ada di dunia
dengan 17,4 % populasinya yang menguasai dan memiliki lebih dari tiga bahasa. Ini
menandakan kalau bagian populasi Indonesia itu dipastikan mengerti 3 bahasa yang berbeda.
Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan Israel yang berada di urutan kedua dengan 11,4
% populasinya yang trilingual, atau Spanyol di tempat ketiga yang 10,4 persen penduduknya
trilingual. Bahasa-bahasa yang biasa banyak diketahui para penduduk Indonesia adalah
Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Mandarin, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris hal ini
di karenakan bahasa tersebut termasuk dalam bahasa yang mudah dipahami. Kondisi ini
wajar karena sejatinya orang Indonesia besar dalam lingkungan yang sangat beragam dengan
lebih dari 300 bahasa yang dituturkan.

Untuk itu, tidak heran jika code-switching adalah fenomena yang pasti terjadi di
setiap pelosok penjuru Indonesia. Banyak daerah-daerah di Indonesia yang mengalami
fenomena code-switching ini. Contohnya yang terjadi pada daerah Jakarta Selatan memang
campuran Bahasa Indonesia dan Inggris. Lalu, di Surabaya, code switching terjadi antara
Bahasa Jawa Timur dengan Bahasa Indonesia. Yang membuat ini menjadi semakin sangat
mungkin terjadi adalah latar belakang masing-masing komunitas penuturnya dan situasi
daerah tersebut. Lalu, Mengapa fenomena code switching antara Bahasa Inggris dan
Indonesia identik terjadi di Jakarta Selatan?
Hal ini terjadi dikarenakan golongan kelas menengah dan elit Jakarta sebagian besar
tinggal di Wilayah Jakarta Selatan. Contohnya, wilayah semacam Kebayoran Baru, Kemang
hingga Pondok Indah, atau Setiabudi hingga Cilandak. Sebagian besar merupakan wadah
pemukiman dengan akses yang cukup baik terhadap pendidikan serta banyak fasilitas
memadai lainnya. Dilihat dari sudut ekonomi, wilayah administrasi Jakarta Selatan juga
memiliki salah satu pendapatan per kapita paling besar diantara Wilayah lain di Jakarta. Pada
tahun 2017, pendapatan per kapita per penduduk Jakarta Selatan menyentuh angka 222 juta.
Hal ini menurut data yang dilansir oleh Biro Pusat Statistik DKI Jakarta.

Tidak hanya anak-anak muda saja yang menggunakan code switching atau yang
sering kita dengar dengan julukan “bahasa anak jaksel” dimana bahasa Indonesia dicampur
dengan bahasa Inggris ini, fenomena code switching juga digunakan oleh orang-orang
penting di Indonesia, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sandiaga Uno, Anies
Baswedan dan para pejabat lainnya juga pernah menggunakan code switching atau code
mixing dalam wawancara maupun berpidato.

Secara umum penyebab alih kode (code switching) menurut Fishman dalam Chaer
dan Agustina (2004: 15) yaitu: Pertama, pembicara, seorang pembicara seringkali melakukan
code switching untuk mendapatkan “keuntungan” dari tindakannya. Kedua, lawan pembicara,
lawan bicara dapat menyebabkan terjadinya code switching, misalnya karena penutur ingin
mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur. Ketiga, kehadiran orang ketiga yang
tidak berlatar belakang bahasa yang sama. Keempat, perubahan situasi bicara. Yang terakhir
yaitu, berubahnya topik pembicaraan.

Sedangkan, faktor paling utama yang membuat fenomena percampuran Bahasa Ingris
dengan Bahasa Indonesia terjadi di daerah ini adalah keberadaan sejumlah sekolah
internasional, ataupun sekolah dengan kurikulum internasional dalam wilayah ini. Contohnya
adalah Jakarta International School, Binus International, Australian International school
hampir semuanya berada di wilayah Jakarta Selatan atau bahkan berada di perbatasan
wilayah ini. Maka tidak heran kalau kemudian, dalam kesehariannya banyak diantara mereka
'anak gaul Jakarta Selatan' ini seringkali code switching dalam keseharian mereka.

Fenomens ini dikatakan wajar-wajar saja, karena dalam kehidupan keseharian dan
pergaulan mereka di sekolah mereka terbiasa dengan berkomunikasi menggunakan Bahasa
Inggris di lingkungan pendidikan dan rumah, serta kemudian berbahasa Indonesia di
lingkungan lainnya. Percampuran unik ini memang hanya terjadi di wilayah selatan Jakarta
saat kamu nongkrong dan duduk di wilayah Senayan, Kebayoran baru, Kemang, atau Pondok
Indah. Meskipun begitu, jumlah populasi mereka tidak banyak. Bisa jadi hanya kurang dari
10 % dari populasi keseluruhan anak Jakarta Selatan yang berkomunikasi sehari-hari dalam
Bahasa Indonesia tanpa merasa perlu code switching dalam kehidupan sehari-hari. Namun
sayangnya, mereka yang 10 % ini adalah mereka yang paling aktif dalam pergaulan ibukota.
Mereka yang eksis dalam berbagai event, sebut saja konser, hingga rave party. Ditambah
lagi, mereka memiliki kemampuan finansial yang cukup kuat. Jadi, gadget baru, dan eksis di
medsos merupakan salah satu hal yang wajib dalam keseharian mereka.

Kaiatannya dengan Norma yang Berkembang di Masyarakat


Kaitan antara penggunaan bahasa Indonesia dan norma dinilai cukup erat karena
bahasa dapat mencerminkan pribadi seseorang. Apabila kita selalu menggunakan bahasa
yang baik dan juga penuh kesantunan, maka orang lain akan menggambarkan kita sebagai
pribadi yang baik, berbudi, sopan dan juga santun. Sebab melalui bahasa dan tutur kata
seseorang mampu menilai pribadi dari orang tersebut. Sementara itu, jika dalam
kesehariannya kita tidak memenuhi etika seta norma berbahasa santun orang lain akan
menganggapkan kita sebagai pribadi yang buruk dan tidak berbudi.
Masinambouw (dalam Crista, 2012: 2), juga yang mengatakan bahasa sistem bahasa
mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia didalam masyarakat,
sehingga di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di
dalam budaya itu. Memang benar bahasa adalah milik masyarakat, sehingga masyarakat
bebas menggunakan bahasa apapun sesuka hati, asalkan bahasa tersebut mampu
menyampaikan isi dari komunikasi tersebut. Contohnya adalah penggunaan bahasa jaksel
seperti yang disebutkan di atas.
Di sinilah bahasa Indonesia mendapatkan sebuah tantangan dari para pemuda atau
kaum milenial. Apakah bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang tertuang dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, mampu untuk tetap tegak dan menarik bagi generasi
milenial? Sebuah inovasi pun akan menjadi sebuah solusi supaya bahasa Indonesia tetap
menarik generasi milenial.
Pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
harus turun tangan untuk mengatasi permasalah bahasa ini. Tidak hanya Kemendikbud, guru
dari mulai Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) baik swasta maupun negeri
haruslah berperan untuk mengatasi bahasa anak jaksel tersebut. Contoh mudah membiasakan
kaum milenial unuk kembali menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar adalah
dengan membiasakan diri menggunakan bahasa yang baik di sekolah dan dalam kehidupan
sehari-hari. Dan perlu diingat bahwa, bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, bahasa yang
dapat dan juga cocok digunakan oleh semua kalangan dan usia.
Dan untuk kita para pemuda dan kaum milenial, kita harus tetap pandai menjaga jati
diri bahasa kita, serta keluhuran bahasa Indonesia kita yang baik. Jika dalam situasi informal,
momen-momen tertentu maupun berbicara dengan sesama kita boleh saja menggunakan
bahasa tersebut. Namun, perlu diingat bahasa "Anak Jaksel" ini dirasa kurang cocok jika
digunakan untuk acara formal dan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Hal ini
merupakan bentuk sikap kita untuk menjaga norma-norma sosial dalam berkomunikasi.

Pamungkas, S. (2012). Bahasa Indonesia dalam berbagai Perspektif. Yogyakarta: Andi


Offset.

Chaer, A., & Agustina, L. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Asdi
Mahasatya.

Crista, Janny. (2012.) Bahasa dan Kebudayaan Sosiolinguistik.

Anda mungkin juga menyukai