Anda di halaman 1dari 4

Apa Makna Semboyan:

“Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai


Bahasa Asing”.

Fidel Hardjo

Latar Belakang

Sebelum menjelaskan apa maksud semboyan tersebut, saya “terpancing”


dengan sebuah pertanyaan: Apa latar belakang semboyan ini muncul? Saya
berpikir semboyan ini adalah produk “back stage” Lembaga Pusat Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia(LPBKPKI).

Pertama, semboyan ini sebuah ajakan. Ajakan untuk menomorsatukan


Bahasa Indonesia sebelum melestarikan Bahasa Daerah dan menguasai
Bahasa Asing. Apakah pengurutan posisi ketiga bahasa ini terjadi kebetulan?

Kedua, pengurutan posisi ketiga bahasa itu adalah sebuah pesan kuat. Pesan
kuat tentang apa yang kita sedang alami sekarang, yang oleh Michael
Krauss(1992) menyebutnya sebagai language crisis(krisis bahasa). Lalu,
Zulfadli A. Aziz dan Robert Amery(2016) menyebutnya sebagai linguistic
tsunami(tsunami bahasa). Ada beberapa indikator krisis dan tsunami bahasa.

Ada dua indikasi krisis bahasa menurut Krauss. Pertama, bahasa ibu tidak
dipelajari lagi oleh anak-anak karena itu tidak bisa direproduksi lagi. Kondisi
bahasa seperti ini disebut moribund(nyaris punah). Kedua, bahasa masih
dipelajari oleh anak-anak tetapi tidak didokumentasi lewat karya-karya tulisan
dan bahasa sendiri dibatasi sebagi bahasa pengantar. Kondisi bahasa seperti
ini disebut sebagai unsafe language (bahasa yang tidak tersimpan).

Sedangkan Zulfadli A. Aziz dan Robert Amery menyebut beberapa indikasi


tsunami bahasa yaitu colonialisation(kolonialisasi), urbanization(urbanisasi),
globalization(globalisasi) dan nationalism(nasionalisme). Dalam empat
indikasi ini akan bahasa yang muncul dalam masyarakat sebagai “the killer
language”(bahasa pembunuh). Bahasa-bahasa ini akan merebut market-nya.

Saya berpikir bahwa semboyan “Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan


Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing” yang digaungkan oleh “penjaga
gawang” Bahasa Indonesia LPBKPKI tidak terlepas dari dua kenyataan ini.
Apa Makna Semboyan
1. Utamakan Bahasa Indonesia
Salah satu kekuatan yang membuat NKRI ini masih kokoh berdiri tegak
adalah Bahasa Indonesia. Mengapa? Pertama, di tengah gempuran
globalisasi yang menjadikan dunia mirip “kampung kecil”(global village)
membuat ketahanan Bahasa Indonesia diuji serius eksistensinya. Kedua,
keanekaragaman budaya dan bahasa daerah se-Nusantara juga menguji
kekokohan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pemersatu anak-anak bangsa.
Artinya sikap politik bangsa Indonesia yang termaktub dalam semboyan
Utamakan Bahasa Indonesia untuk merawat ketahanan bahasa nasional
sangat jelas. Bahasa Indonesia diutamakan. Dinomorsatukan. Bahasa
Indonesia menjadi “panglima terdepan” dan “benteng” menjaga jati diri dan
identitas bangsa di tengah dominasi bahasa global dalam segala lini dan
“kebangkitan” bahasa daerah setelah otonomi daerah diberi seluas-luasnya.
Kata “diutamakan” Bahasa Indonesia dalam semboyan itu menunjukkan
bahwa posisi Bahasa Indonesia tidak sebagai “the killer” tetapi bersikap
ramah dan terbuka untuk ruang pergerakan bahasa daerah dan bahasa
asing. Tapi prioritas utama adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah,
Bahasa Asing. Dengan meyosialisasikan semboyan ini, terbangun sebuah
mindset politik bahasa di tengah masyarakat Indonesia: Bahasa Indonesia
nomor satu. Bahasa daerah nomor dua. Bahasa Asing nomor tiga.
2.2. Lestarikan Bahasa Daerah
Mengapa Bahasa Daerah ada pada posisi kedua dalam semboyan itu. Saya
berpikir penempatan Bahasa Daerah pada posisi kedua tidak kebetulan saja.
Pertama, karena Bahasa Daerah itu merupakan “ibu kandung” Bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia terlahir dari rahim bahasa daerah Nusantara.
Sekarang Bahasa Indonesia menjadi “anak yang dewasa” berkewajiban
secara moral dan politik merawat bahasa asalnya. Kewajiban moral dan
politik itu tampak terbaca jelas dalam ajakan lestarikan Bahasa Daerah.
Kedua, bangsa yang kuat adalah bangsa kuat karakter budayanya. Salah
salah unsur budaya itu adalah bahasa daerah. Bahasa daerah merupakan
penyatu intraetnis pada level lokal. Kontribusi bahasa daerah sebagai
penyatu warga daerah memberi kekuatan yang signifikan terhadap kekuatan
bangsa. Ibarat sebuah pohon besar. Pohon besar itu namanya Indonesia.
Dan, yang membuat pohon besar itu berdiri kokoh adalah akar-akarnya. Dari
sekian banyak akar pohon itu, satu di antaranya adalah bahasa daerah.
Ketiga, bahasa daerah adalah salah satu pintu masuk pembelajaran bahasa
lain. Bahasa Ibu adalah bahasa daerah. Tak terbayangkan jika pintu masuk
itu tertutup atau tidak ada sama sekali. Kita bersyukur bahwa bangsa ini
dikarunia dengan banyak bahasa daerah. Cara bersyukur kita adalah dengan
melestarikan dan mengestafetkan kepada generasi selanjutnya.
Keempat, semangat nasionalisme yang ekstrim sejak merdeka atau lebih
tepat di bawah pemerintahan ORBA membuat bahasa daerah dikebiri ruang
geraknya. Saya masih ingat waktu SD. Bahasa daerah dilarang sebagai
bahasa pengantar di sekolah. Apalagi, tidak diajarkan bahasa daerah di
sekolah. Tentu ada faktor-faktor lain yang membuat daerah itu kerdil seperti
urbanisasi warga sekarang. Bayangkan berdasarkan data Kompas(10/2/18)
sudah 11 bahasa daerah dinyatakan punah. Ada empat bahasa daerah
yang dinyatakan kritis. Dan, dua bahasa daerah lain mengalami
kemunduran.
Oleh karena itu semboyan sekaligus ajakan lestarikan bahasa daerah adalah
sebuah panggilan nasional untuk mengangkat kembali derajat bahasa daerah
itu sewajar-wajarnya. Dengan tidak melangkahi prinsip utama yaitu Bahasa
Indonesia selalu diutamakan.
2.3. Kuasailah Bahasa Asing
Globalisasi membuat kita bergerak leluasa tanpa sekat ruang dan waktu. Kita
menjadi “warga” di sebuah kampung kecil. Penggunaan bahasa asing adalah
peran yang kita harus lakoni. Mau tidak mau. Suka tidak suka bahasa asing
dipakai. Karena itu, kenapa semboyan kuasailah bahasa asing ada pada
urutan ketiga. Artinya, bahasa asing itu bukan untuk diperangi di era
globalisasi. Tetapi kuasailah sebisa-bisanya. Tetapi ingat itu urutan ketiga.
Pertama, kata “kusailah” menunjukkan sebuah ajakan politis. Ajakan agar kita
sebagai warga negara Indonesia perlu menguasai bahasa asing. Agar kita
survive di tengah kompetisi globalisasi. Bahasa asing tidak sebagai
pelengkap di era globalisasi tetapi sebuah kebutuhan. Kebutuhan tidak
sekadar untuk berkomunikasi tetapi menjadi bahasa pengembangan ilmu,
teknologi, bisnis, dan lebih spesial lagi memperkenalkan Indonesia di level
internasional. Indonesia dengan bonus demografi, tentu mengharapkan
warganya mampu berperan aktif dan produktif di era globalisasi. Dengan
menjadi “trend setter” di segala bidang bukan mekadar menjadi “follower”.
Kedua, semboyan tersebut juga menjadi sebuah peringatan politis serius.
Terutama fenomena generasi yang adiktif dengan bahasa asing. Penggunaan
bahasa asing(Inggris) di ruang publik. Menganggap superior ketika
menguasai bahasa asing. Sebaliknya, orang yang tidak menguasai dianggap
kampungan. Fenomena adiktif ini, bahkan menjalar di dunia pendidikan dan
perekrutan tenaga kerja. Menguasai bahasa asing menjadi barometer
kepintaran anak dan keahlian pekerja. Dituntut test TOFEL segala.
Sementara tenaga asing yang ingin bekerja di Indonesia tidak dites “TOEFL
ala Indonesia”. Jadi, peringatan yang ada dalam semboyan itu berlaku untuk
semua kalangan agar Bahasa Indonesia diutamakan. Sekaligus ajakan
mencintai bahasa asing tanpa menciderai jati diri bangsa. Terima kasih.
Referensi:
1. Aziz, A Zulfadli dan Amery, Robert(2016), The Effects of a Linguistic Tsunami on the
Languages of Aceh, Studies in English Language and Education, 3(2), 100-108,
2016.
2. Krauss, Michael. (1992). The World‟s Languages in Crisis. Language Journal, 68(1),
4-10.
3. Kompas. Com, https://regional.kompas.com/read/2018/02/10/18293411/11-bahasa-
daerah-di-indonesia-dinyatakan-punah-apa-saja
4. Santoso, Iman,(2014), Pembelajaran Bahasa Asing di Indonesia: Antara Globalisasi
dan Hegemoni, Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. 14, No.1, April 2014.
5. UNESCO. (2003). Language Vitality and Endangerment. Paris: UNESCO.

Anda mungkin juga menyukai