Anda di halaman 1dari 14

KEADAAN SOSIOLINGUISTIK DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiolinguistik Indonesia
dengan dosen pengampu Aveny Septi Astriani, S.Pd., M.Hum.

oleh :

Dita Mustika Winari 162121026


Cica Siti Alifia 172121084
Arfah Arafatul Azizah 172121088
Rahayu Sri Lestari 172121104
Rizal S. R. Nugraha 172121112

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2019
KEADAAN SOSIOLINGUISTIK DI INDONESIA

A. Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing.


Keadaan kebahasaan di Indonesia kini, pertama, yaitu ditandai dengan adanya
sebuah Bahasa Nasional yang sekaligus juga menjadi Bahasa Negara, yaitu Bahasa
Indonesia; kedua, adanya ratusan bahasa daerah; dan ketiga, adanya sejumlah bahasa
asing, yang digunakan atau diajarkan di dalam pendidikan formal. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh berbagai hal, salah satunya ialah Indonesia yang multi kultur.
Ketiga bahasa ini secara sendiri-sendiri mempunyai masalah dan secara bersama-sama
juga menimbulkan masalah yang cukup kompleks, dan yang perlu diselesaikan.
Masalah yang dihadapi adalah berkenaan dengan status sosial dan politik ketiga bahasa
itu, masalah penggunaannya, masalah saling pengaruh diantara ketiganya, masalah
pembinaan, pengembangan, dan pengajaran.
Undang-undang dasar 1945 bab XV pasal 36, yang menyatakan bahwa Bahasa
negara adalah Bahasa Indonesia. Sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia
menjalankan tugas sebagai berikut :
1. Lambang kebanggaan Nasional
2. Lambang identitas Nasional
3. Sarana penyatuan bangsa, dan
4. Sarana perhubungan antar budaya dan daerah.
Sebagai Bahasa kenegaraan Bahasa Indonesia bertugas sebagai :
1. Bahasa resmi kenegaraan
2. Bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan
3. Sarana perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan
4. Sarana pengembangan kebudayaan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Dari fungsi-fungsi yang diembankannya sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa
negara, maka Bahasa Indonesia merupakan Bahasa pertama dan utama di negara
republik Indonesia.
Bahasa-Bahasa lain yang merupakan Bahasa penduduk asli seperti Bahasa
Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bali, Bahasa Bugis dan sebagainya berkedudukan sebagai
Bahasa daerah. Badan Bahasa Kemendikbud pada tahun 2018 memverifikasi terdapat
652 bahasa daerah di Indonesia belum termasuk bahasa-bahsa di wilayah Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, juga belum termasuk
dialek dan subdialek. Kedudukan Bahasa-Bahasa daerah ini dijamin kehidupan dan
kelestariannya seperti dijelaskan pada pasal 36. Bab XV UUD 1945. Bahasa daerah
mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Lambang kebanggaan daerah
2. Lambang identitas daerah
3. Sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah
4. Sarana perkembangan serta pendukung kebudayaan daerah.
Selain itu, di dalam hubungannya dengan tugas Bahasa Indonesia, Bahasa
daerah ini bertugas pula sebagai berikut :
1. Penunjang Bahasa Nasional
2. Sumber bahan pengembangan Bahasa Nasional
3. Bahasa pengantar pembantu pada tingkat permulaan di sekolah dasar di daerah
tertentu untuk memperlancar pengajaran Bahasa Indonesia dan mata pelajaran
lain.
Jadi, bahasa-bahasa daerah ini secara sosial politik merupakan bahasa kedua.
Bahasa-Bahasa lain yang bukan milik penduduk asli seperti Bahasa Cina, Bahasa
Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Belanda, Bahasa Jerman dan Bahasa Perancis
berkedudukan sebagai bahasa asing. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa asing,
bahasa-bahasa tersebut bertugas sebagai berikut :
1. Sarana perhubungan antar bangsa
2. Sarana pembantu pengembangan Bahasa Indonesia
3. Alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi
kepentingan pembangunan Nasional.
Jadi, bahasa-bahasa asing ini merupakan bahasa ketiga di dalam wilayah Republik
Indonesia.
Istilah bahasa pertama, bahasa kedua, dan bahasa ketiga biasanya digunakan
sebagai istilah dalam urut-urutan pemerolehan atau penguasaan bahasa. Bahasa yang
mula-mula dipelajari seorang anak, biasanya dari lingkungan keluarganya disebut
bahasa pertama atau bahasa ibu. Sebagian besar anak Indonesia memiliki bahasa
pertama adalah bahasa daerah masing-masing. Kemudian kalau pergi ke sekolah dan
mempelajari Bahasa Indonesia, maka Bahasa Indonesia tersebut sebagai bahasa kedua.
Kalau kelak berikutnya di sekolah menengah dia belajar Bahasa Inggris, maka Bahasa
Inggris itu disebut bahasa ketiga, begitupun seterusnya.
B. Bahasa Indonesia Berasal dari Pijin?
Manusia hidup dengan cara berinteraksi dengan manusia lain dan
memanfaatkan alam sekitar. Cara manusia hidup dengan manusia lain yaitu dengan
berkomunikasi. Salah satu cara untuk dapat berkomunikasi antar manusia yang telah
digunakan sejak lama adalah dengan menggunakan bahasa tertentu. Ada begitu banyak
bahasa yang digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi antar mereka.
Keberagaman bahasa ini menyebabkan para pengguna bahasa terkadang
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan pengguna bahasa lainnya. Dari
hasil pertemuan antar bahasa yang berbeda-yang digunakan oleh penutur dan mitra
tutur yang berbeda pula-terbentuklah suatu bahasa yang sama sekali berbeda dari
bahasa ibu mereka, bahasa tersebut disebut dengan pijin. Menurut Holmes (1992: 90),
pijin adalah sebuah bahasa yang tidak memiliki native speakers (penutur asli). Pijin
terbentuk sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh orang-orang dengan latar
belakang bahasa yang berbeda-beda. Todd (1974) mengemukakan sebab terjadinya
pijinisasi sebagai akibat dari konsekuensi alamiah percampuran manusia dengan latar
belakang bahasa yang berbeda. Sehingga mereka membutuhkan bahasa bantu untuk
memudahkan mereka dalam berkomunikasi. Sedangkan pijin yang telah memiliki
native speakers (penutur asli) disebut dengan kreol (Holmes, 1992: 95). Ciri-ciri bahasa
kreol menurut Holmes (1992) adalah adanya perluasan tata bahasa dan kosakata untuk
mengakomodasi makna-makna baru. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi
Negara Republik Indonesia dan dikenal dengan Lingua Franca karena dipergunakan
sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasa di
Indonesia (Kridalaksana, 2011: 143) merupakan salah satu bahasa yang menarik untuk
ditelaah apakah termasuk pijin ataukah kreol dikarenakan menilik sejarah panjang
bahasa Indonesia sebelum dikenal dengan nama Bahasa Indonesia itu sendiri. Menurut
Parera (1991: 119), kata Indonesia ini menunjukkan negara, bangsa, pemerintahan,
daerah, dan bahasa sesuai dengan UUD 1945. Dalam pasal 36 UUD 1945 juga
disebutkan “Bahasa Indonesia adalah bahasa Negara”. Dalam hal ini dapat ditarik suatu
kesimpulan jika sebelumnya nama bahasa di Indonesia bukanlah bahasa Indonesia,
melainkan bahasa daerah yang bermacam-macam (bahasa Nusantara).
Bahasa Indonesia sendiri merupakan perubahan nama dari bahasa Melayu
Tinggi yang berpusat di Riau dan Johor (Dakan, 2010: 7). Bahasa Melayu Tinggi pada
waktu itu sudah memiliki penutur asli, historitas, dan otonomi (keaslian) yang memiliki
banyak kosakata pinjaman dari berbagai bahasa seperti Bahasa Arab, Bahasa Parsi, dan
Bahasa Belanda. Sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang masuk ke
Indonesia pada abad ke-12. Kata-kata seperti masjid, dewan, saudagar, tamasya, dan
tembakau masuk pada periode ini (Hidayat, 2010: 1). Bahasa Belanda juga
memberikan sumbangan kosa kata terhadap perkembangan bahasa Melayu dialek Riau
(Melayu tinggi), terutama memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi,
dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot,
dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini (Hidayat, 2010: 2). Keberadaan bahasa
Melayu dialek Riau semakin diakui ketika pada tanggal 28 Oktober 1928 tepatnya pada
saat Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dialek Riau diakui sebagai bahasa resmi dan
bahasa nasional dengan sebutan “Bahasa Indonesia”. Hal ini juga diperkuat dengan
penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan nasional dari Negara Republik
Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, penyebutan “Bahasa Indonesia” di
sini hanya mengacu kepada bahasa resmi kenegaraan, sedangkan bahasa yang dipakai
sebenarnya adalah bahasa Melayu dialek Riau (Hidayat, 2010: 4). Dari pernyataan
tersebut dapat ditarik kesimpulan apakah Bahasa Indonesia termasuk pijin, kreol, atau
bukan pijin maupun kreol. Pateda (1994:64),“Bahasa pijin adalah bahasa yang timbul
akibat kontak bahasa yang berbeda. Pembicara dari bahasa yang berbeda mengadakan
kontak kebahasaan di mana akan terdapat unsur-unsur dari kedua bahasa yang
bersangkutan”. Jika dibandingkan pijin Melayu, kreol Melayu dengan Bahasa
Indonesia menurut klasifikasi Stewart bahwa pijin tidak memiliki keempat dasar
penjenisan bahasa (standardisasi, otonomi, historitas, dan vitalitas). Bahasa Indonesia
ternyata tidak memiliki ciri seperti yang ada dalam bahasa pijin, seperti digunakan pada
ranah dan fungsi yang terbatas, memiliki bentuk struktur sederhana dibandingkan
bahasa standar, dan biasanya memiliki prestise rendah terutama di luar penuturnya
(Holmes, 1992: 94).
Dengan demikian, Bahasa Indonesia bukan termasuk bahasa pijin dan juga
tidak bisa disebut sebagai bahasa kreol dikarenakan kreol berasal dari pijin yang sudah
memiliki Native Speakers (penutur asli), sementara Bahasa Indonesia sendiri bukan
berasal dari pijin. Jadi, dapat disimpulkan jika Bahasa Indonesia merupakan bahasa
yang bukan pijin maupun kreol, tetapi lebih merupakan bahasa pemersatu dari sebegitu
banyaknya bahasa nusantara yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga bukan
merupakan suatu bahasa baru dikarenakan sebenarnya nama “Bahasa Indonesia” itu
sendiri mengacu kepada bahasa resmi dan nasional, yang sebenarnya hanya mengubah
nama dari bahasa Melayu dialek Riau menjadi Bahasa Indonesia tanpa melakukan
perubahan terhadap susunan leksikal dan tata bahasa dari bahasa Melayu dialek Riau
itu sendiri. Tentunya, diperlukan penelitian akademik yang lebih mendalam dan
komprehensif untuk mengetahui asal bahasa Indonesia baik secara diakronis maupun
sinkronis untuk memaksimalkan pengatasan masalah yang ada tentang sejarah bahasa
Indonesia yang mana akan memberikan jawaban yang lebih tepat tentang apakah
Bahasa Indonesia termasuk pijin, kreol, atau bukan pijin maupun kreol.
C. Pembakuan Bahasa Indonesia
Dalam subbab ini masih ingin dikemukakan beberapa masalah yang berkanaan
dengan pembakuan Bahasa Indonesia.
Pembakuan bahasa menyangkut semua aspek atau tataran bahasa, yaitu
fonologi, ejaan, morfologi, sintaksis kosakata, dan peristilahan. Dalam bahasa
Indonesia ada pembakuan yang sudah diselesaikan, tetapi ada pula yang belum.
Pembakuan ejaan telah dimulai tahun 1901 oleh Ch. A. Van Ophuijsen, seorang
sarjana Belanda, yang diberi tugas untuk melakukannya. Sebelum ada ejaan Van
Ophuijsen, ejaan Bahasa Indonesia (pada waktu masih bernama Bahasa Melayu) sangat
beragam. Hal ini dapat kita lihat misalnya dari penerbitan surat kabar yang ada
tersimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Ejaan Van Ophuijsen dirasakan kurang
cocok untuk Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam Kongres Bahasa Indonesia I di
kota Solo tahun 1938, disarankan agar ejaan Van Ophuijsen itu disempurnakan.
Sebelum ejaan itu sempat disempurnakan telah pecah Perang Dunia II dan Indonesia
diduduki bala tentara Jepang. Baru setelah Indonesia merdeka, Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan, Mr. Suwandi, pada tahun 1947, merevisi ejaan Van
Ophuijsen itu. Hasilnya, berupa ejaan yang lebih sederhana, yang disebut Ejaan
Suwandi atau Ejaan Republik dalam Kongres Bahasa Indonesia II di kota Medan tahun
1954, muncul pula usul agar ejaan Suwandi disempurnakan lagi, karena tidak cocok
dengan keadaan Bahasa Indonesia yang sebenarnya. Antara lain, ada sejumlah fonem
Bahasa Indonesia yang belum tergambarkan dalam sistem Ejaan Suwandi itu. Segera
dibentuk panitia penyempurnaan ejaan yang diketuai oleh Prof. Prijono dan Katopo.
Hasilnya adalah konsep ejaan baru yang disebut sebagai Ejaan Prijono-Katopo.
Sebelum ejaan ini dilaksanakan ada keinginan dari pihak Persekutuan Tanah Melayu
(yang diberi kemerdekaan tahun 1956) untuk menyamakan ejaan Melayu dan
Indonesia. Perundingan dari kedua belah pihak menghasilkan konsep yang disebut
Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Namun, sayang sebelum ejaan ini dilaksanakan
timbul konfliks politik antar kedua negara, sehingga konsep Ejaan Melindo itu tidak
dapat dilaksanakan. Sesudah konfliks politik selesai, dilakukan kembali perundingan-
perundingan, sehingga lahirlah konsep Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
(disingkat EYD), yang di Malaysia disebut Ejaan Baharu Bahasa Malaysia.
Pelaksaannya diumumkan oleh presiden dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus
1972. Dengan adanya kesamaan ejaan secara psikologis bangsa Indonesia dan bangsa
Malaysia mempunyai rasa persatuan, apalagi mengingat bahwa Bahasa Indonesia dan
Bahasa Malaysia berasal dari Bahasa yang sama, yaitu Bahasa Melayu.
Pembakuan dalam bidang lafal belum pernah dilakukan, padahal dari segi
kebahasaan masalah lafal ini sangat penting; dan dari segi sosial politik cukup rawan.
Seringkali lafal seseorang dari daerah tertentu menjadi bahan olok-olokan dari penutur
Bahasa Indonesia dari daerah lainnya. Hingga kini dalam pertuturan Bahasa lndonesia
kita dapat mendengar aneka warna ucapan dan kita dapat mengetahui seseorang itu
berasal dari berdasarkan lafalnya. Mengenai lafal yang berbeda-beda ini ada ciri
seorang anak Indonesia kelahiran Jakarta yang mengikuti program pertukaran pelajar
ke jepang. Selama di Jepang dia ditemani oleh seorang (mahasiswi Jepang) yang pemah
mengikuti prograrn yang sama dan tinggal di Jember, Jawa Timur, Indonesia. Si mentor
ini merasa heran karena Bahasa Indonesia (tepatnya lafalnya) yang dikuasai dan
dipelajari slama di Indonesia tidak sama dengan yang digunakan pelajar dari Jakarta
yang kini dibimbingnya. Cerita si anak Jakarta itu, Bahasa Indonesia si mentornya
persis seperti Bahasa Indonesianya pelawak Kadir dan Bu Bariyah.
Pembakuan dalam bidang gramatika, mencakup morfologi dan sintaksis, telah
dilakukan, yakni dengan terbitnya buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia tahun
1988, dan yang pada tahun 1993 terah pula diterbitkan revisinya. Sayangnya masih
banyak sekali pakar dan guru Bahasa Indonesia yang masih merasa kurang "pas"
dengan buku tersebut. Banyak masalah yang muncul dari buku tersebut untuk bisa
dipersoalkan. Sebetulnya yang dibutuhkan masyarakat bukanlah sebuah buku tata
Bahasa baku yang teoretis, melainkan sebuah buku tata Bahasa baku yang praktis yang
mudah diikuti untuk dijadikan pedoman dalam berBahasa Indonesia yang baik dan
benar. oleh karena itu, barangkali, berdasarkan buku tata Bahasa baku yang ada itu,
dapat dibuat sebuah buku tata Bahasa yang lain, yang dengan mudah dapat menjadi
pedoman bagi masyarakat. Memang kita sadari juga bahwa kaidah-kardah tata Bahasa
itu tidak selamanya tetap; namun, adanya ketetapan sangat diperlukan dalam
pembinaan dan pembakuan Bahasa.
Pembakuan dalam bidang kosakata dan istilah sudah dan sedang berjalan.
Pengembangan, pemekaran, dan pembakuan kosakata memang ticlak bisa berhenti
pada satu titik, sebab seperti kita lihat dari Bab 9, perubahan kosakata dalam setiap
Bahasa hampir dapat dikatakan bisa terjadi sepanjang waktu. Terbitnya Kamus Besar
Bahasa Indonesia (l988, edisi II 1993) merupakan satu tonggak yang sangat penting
dalam upaya pembakuan dan pemekaran kosakata Bahasa Indonesia.
Mengenai Bahasa baku ini ada kesan dari masyarakat bahwa anjuran
pemerintah untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah identik
dengan penggunaan bahasa baku. Sebetulnya, tidak demikian. Penggunaan bahasa
yang baik dan benar adalah penggunaan Bahasa yang sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Dalam situasi resmi kita harus menggunakan ragam baku, baik lisan
maupun tertulis; sedangkan dalam situasi tidak resmi kita harus menggunakan ragam
tidak resmi, bukan ragam baku. Jadi, sesungguhnya anjuran tersebut, sesuai dengan
permasalahan pokok sosiolinguistik, “Siapa bicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
dengan topik apa, kapan, dan tujuan apa”. Jika kita dapat menggunakan kaidah ini
berarti kita telah dapat menggunakan Bahasa dengan baik dan benar.
D. Pengajaran Bahasa
Sejak awal tahun enam pululan ada perdebatan yang cukup seru mengenai
bahan atau materi pengajaran bahasa Indonesia yang harus diberikan di sekolah. Pihak
yang satu menginginkan agar pengetahuan dan kemampuan lulusan satu jenjang
pendidikan yang sama. Bahan yang diberikan haruslah sama, berarti menggunakan
buku yang sama. Jika ini dilaksanakan maka anggaran pun dapat dihemat, karena hanya
mencetak satu jenis buku. Pihak yang lain berpendapat agar tujuan pendidikan bahasa
dapat dicapai secara maksimal, maka harus memperhatikan latar belakang budaya dan
bahasa daerah murid-murid. Karena itu, bahan atau materi yang akan diberikan harus
disesuaikan dengan keadaan latar belakang budaya dan bahasa daerah anak-anak didik
itu.
Dalam pendidikan formal, pendidikan bahasa Indonesia mempunyai dua muka.
Pertama, sebagai bahasa pengantar di dalam pendidikan, dan kedua, sebagai mata
pelajaran yang harus dipelajari. Sebagai mata pelajaran, bahasa Indonesia termasuk
mata pelajaran penting. Oleh karena itu, ada ketentuan dalam pendidikan formal di
tingkat dasar dan di tingkat menengah bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia tidak
boleh bernilai lima atau kurang untuk lupus atau naik kelas. Ketentuan ini untuk
menunjukkan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia sangat penting. Namun,
sayangnya, di dalam pelakasanaannya agak lain. Ketentuan iu banyak menimbulkan
sikap-sikap negatif yang merugikan pengembangan-pengembangan bahasa itu sendiri,
maupun pendidikan secara umum.
Dampak negatif dari ketentuan tidak boleh lima atau kurang ini terjadi pada
murid. Banyak murid yang mengetahui ketentuan itu, lalu menjadi malas belajar
Bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh. Mereka berpikir jika mendapat nilai buruk
untuk Bahasa Indonesia, nanti pun akan dikatrol menjadi enam, supaya bisa naik kelas.
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, maka bahasa Indonesia harus digunakan
dalam setiap kegiatan yang bersifat resmi kenegaraan, termasuk sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan. Mengenai bahasa pengantar dalam pendidikan ini, ada
satu kebijaksanaan yang membolehkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar dari kelas satu sampai dengan kelas tiga sekolah dasar. Dengan tujuan untuk
mempelancar pengajaran bahasa Indonesia.
Dialek yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan di kelas-
kelas awal sekolah dasar itu, dilihat dari fungsi bahasa daerah adalah sebagai bahasa
komunikasi yang bersifat kedaerahan, maka jawabannya tentu haruslah dialek
standar.tetapi kalau dilihat dari segi yang dipahami murid tentunya haruslah dialek
yang dikuasai murid itu. Peristiwa iini lebih mengukuhkan pendirian Chaer, bahwa
lebih baik langsung menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam
pendidikan di sekolah dasar kelas satu sampai tiga, dari pada harus menggunakan
dialek bahasa daerah yang perbedaanya dengan dialek standar sudah sangat jauh.
E. Sikap dan Kemampuan Berbahasa Indonesia
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau
bahasa orang lain (Kridalaksana, dalam Malabar, 2015:61). Sikap bahasa secara umum
yang diungkapkan Malabar (2015:61),
Sikap bahasa pada umumnya dianggap sebagai prilaku terhadap bahasa. Sikap
bahasa dalam kajian sosiolinguistik mengacu pada prilaku atau tindakan yang
dilakukan berdasarkan pandangan sebagai reaksi atas adanya suatu fenomena
terhadap penggunaan bahasa tertentu oleh penutur bahasa. Bahasa dalam suatu
komunitas mungkin berbeda dengan komunitas yang lain bagaimna bahasa bias
dipengaruhi penggunaannya sesuai dengan ciri sosial yang berbeda.

Secara nasional kedudukan Bahasa Indonesia adalah pada tingkat pertama


bahasa daerah adalah pada tingkat kedua dan bahasa asing pada tingkat ketiga. Tetapi
bagi sebagian besar orang Indonesia dilihat dari segi emosional, keakraban, dan
perolehan, bahasa daerah menduduki tingkat pertama; Bahasa Indonesia menduduki
tempat kedua, dan bahasa asing ada pada tingkat ketiga. Lalu, sikap terhadap ketiga
bahasa itu pun tidak ditentukan oleh urutan kedudukan ketiga bahasa itu secara nasional
melainkan menurut segi emosional, keakraban dan perolehan. Jadi, bahasa
daerah mendapat perhatian pertama, Bahasa Indonesia yang kedua, dan bahasa asing
yang ketiga. Oleh karena itu, sebagai akibat dari sikap itu, bahasa daerah (yang
memang dikuasai dan digunakan sejak kecil) akan digunakan sebaik mungkin kalau
perlu tanpa kesalahan.
Bagi sebagian (kecil) orang Indonesia ada faktor lain yang menyebabkan
mereka menempatkan bahasa asing tidak pada tempat di bawah Indonesia, melainkan
di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap itu adalah
pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan bahasa Inggris yang baik
menjanjikan kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik daripada hanya
menguasai Bahasa Indonesia.
Sikap bahasa masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak
positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang
semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu
hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan
psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa dan
seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan
bahasa Indonesia. Hal ini mengakibatkan sering terjadi kalimatkalimat/kata-kata
sebagai suatu ragam bahasa baru (karena banyaknya terjadi interferensi/campur kode
yang tidak terkendali). Misalnya, Bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau yang
keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat
pengguna bahasa sekarang (Malabar, 2015:62-63).
Sikap terhadap bahasa Indonesia seperti kurangnya minat untuk
mempelajarinya akan memberi dampak yang kurang baik terhadap kemampuan
berbahasa Indonesia di kalangan banyak orang lndonesia baik dari lapisan bawah,
menengah, dan atas bahkan juga pada lapisan intetektual. Kurangnya kemampuan
berbahasa Indonesia pada anggota masyarakat kelas bawah dan menengah bisa
dimengerti sebab mereka pada umumnya tidak pernah secara formal mendapat
pendidikan bahasa lndonesia atau kalau pun dapat tentulah dalam porsi yang tidak
cukup. Tetapi kurangnya kemampuan berbahasa lndonesia pada golongan atas dan
kelompok intelektual adalah sangat tidak biasa sebab mereka rata-rata mendapat
pendidikan yang cukup. Apalagi untuk kelompok intelektual. Karena itu, kalau dicari
sebabnya mengapa mereka kurang mampu berbahasa Indonesia, tentu adalah pada
alasan sikap yang meremehkan dan kurang menghargai serta tidak punya rasa bangga
terhadap bahasa lndonesia.
Dari sikap dan kemampuan berbahasa di atas, maka perlu adanya sikap
berbahasa yang positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa
yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Seperti yang
dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (dalam Malabar, 2015:63), menyatakan adanya
tiga ciri pokok sikap berbahasa, yaitu
(a) kesetiaan bahasa (language loyalty) adalah sikap yang mendorong suatu
masyarakat tutur untuk mempertahankan kemandirian bahasanya; (b)
kebanggaan bahasa (language pride), merupakan sikap yang mendorong
masyarakat tutur mempertahankan identitas bahasa atau masyarakat bahasanya;
dan (c) kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm)
merupakan sikap yang mendorong untuk berbahasa dengan cermat, apik, santun,
dan layak.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. (2010). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarrta: PT. Rineka Cipta.
Dakan, Myles Louis. 2010.The Indonesian Language. Swarthmore: Swarthmore
College
Hidayat, Noor. 2010.Sejarah Bahasa Indonesia. Malang: UMM
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman Group
UK Limited
Kridalaksana, Harimurti. 2011.Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT
Gramedia PustakaUtama
Malabar, Sayama. (2015). Sosiolinguistik. Gorontalo: Ideas Publishing.
Parera, J.D. 1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi
Struktural Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Todd, Loreto. 1974. Pidgins and Creoles. London: Routledge & Kegan Paul Ltd

Anda mungkin juga menyukai