Anda di halaman 1dari 13

Makalah sosiolonguistik

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA

DI SUSUN OLEH :

MIFTAHUL ILMI

NABILA INAS SUHAILAH

RESKI AMINI

PENDIDIKAN BAHASA JERMAN


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah Ta’ala, atas segala


rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada
junjungan Nabi Agung Muhammad Saw yang selalu kita nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan rahmat dan
hidayahnya serta nikmat kesehatan baik itu berupa kesehatan fisik maupun akal pikiran,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir
dari mata kuliah Sosiolinguistik dengan judul Bilingualisme dan Diglosia
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk perbaikan makalah ini
kedepannya, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Makassar, 03 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Bilingualisme ........................................................................................... 6
B. Pengertian Diglosia .................................................................................................... 8
C. Hubungan Bilingualisme dan Diglosia ....................................................................... 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................................. 20
B. Saran ........................................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena bilingualisme dan diglosia itu merupakan itu merupakan pokok
kajian yang menarik, bukan saja karena aspek teorinya, melainkan juga aspek
aplikasinya dalam kenyataan penggunaan bahasa.Contoh-contoh konkrit dapat anda
temukan dalam kehidupan anda sehari-hari. Masing-masing fenomena bilingualisme
dan diglosia akan dibahas dari segi hakikat atau acuan konseptual dan dari segi
profilnya. Bilingualism dan diglosia adalah pokok yang sangat berhubungan, kadang-
kadang ada tumpang tindih jika terhadap dua fenomena ini.
Dilihat dari jumlah yang digunakan dalam masyarakat bahasa, ada masyarakat
bahasa yang menggunakan satu bahasa atau lebih.Masyarakat bahasa yang
menggunakan satu bahasa dan ada yang menggunakan bahasa yang dua atau
lebih.Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa disebut monolingual dan
masyarakat bahasa yang menggunakan dua bahasa atau labih disebut biligualisme.
Menurut Ferguosa, diglosiaadalah fenomena penggunaan ragam bahasa yang dipilih
sesuai dengan fungsinya. Diglosia dalam masyarakat bahasa yang memiliki satu bahasa
dengan dua ragam(tinggi dan rendah) yang memiliki peranya masing-masing.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Bilingualisme ?
2. Jelaskan Pengertian Diglosia ?
3. Jelaskan Hubungan Bilingualisme dan Diglosia ?

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut
juga kedwibahasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan dalam Kamus
Linguistik, bilingualisme diartikan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur
bahasa dalam pergaualan sehari-hari secara bergantian.Untuk dapat menggunakan dua
bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya
sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang
menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif.
Kerelativitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual bersifat
arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula bilingualisme
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama baiknya oleh
seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer karena kriteria
untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan bahasa sama
baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat
dilakukan (Suwito, 1983:40).
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan
(Chaer, 2004:84). Dari istilah yang dikemukakan oleh Chaer tersebut, dapat dipahami
bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua bahasa
oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau
bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (Aslinda, dkk., 2007:23), ia
menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The practice of alternately using two language’,
yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam
penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur
tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama.
Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap
bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas
penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut.
Hal di atas tidak sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut Bloomfield
(Chaer, 2004:85) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native like
control of two languages. Menurut Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti mampu
5
menggunakan dua sistem kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut tidak
disetujui atau masih banyak dipertanyakan karena syarat dari native like control of two
languages berarti setiap bahasa dapat digunakakn dalam setiap keadaan dengan
kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan
penuturnya.
Selain kedua pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer,
2004:86) yang menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat awal
(incipient bilingualism). Menurut Diebold, bilingualisme tingkat awal ini ‘…yaitu
bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama oleh anak-anak yang sedang
mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih
sederhana dan dalam tingkat rendah’.
Jika melihat pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan yang
banyak digunakan oleh orang-orang adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada
tingkat awal. Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari hampir selalu
melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun, kebanyakan orang pada
masa sekarang cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang digunakannya dengan
tepat.
Selain itu, Chaer (2004:86) mengutip pendapat Lado bahwasanya bilingualisme
adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang sama baik atau hampir sama
baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana
pun tingkatnya. Pendapat Lado tersebut rasanya mendukung pernyataan Diebold
tentangincipient bilingualisme, karena Lado tidak menyebutkan sebagaimana
Bloomfiled bahwa penguasaan seseorang yang menganut bilingualisme terhadap
bahasa keduanya harus sama dengan bahasa pertama yang digunakan.
Selanjutnya, Mackey dan Fishman (Chaer, 2004:87), menyatakan dengan tegas
bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Menurut Mackey dan Fishman,
dalam membicarakan kedwibahasan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah
tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode, interferensi, dan
integrasi. Pengertian bilingualisme menurut Mackey dan Fishman inilah yang dirasa
sangat relevan bagi penulis.
Dari beberapa pengertian bilingualisme oleh beberapa ahli di atas, konsep
umum bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa secara bergantian oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain. Hal ini tentunya akan
6
menimbulkan sejumlah masalah. Masalah-masalah tersebut di antaranya adalah sebagai
berikut lengkap beserta penjelasannya.
a. Taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik)
sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual. Bilingualisme merupakan
satu rentangn berjenjang mulai menguasai B1, kemudian tahu sedikit akan B2,
dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2
sama baiknya dengan B1.
b. Pengertian bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam
pengertian langue, seperti bahasa Jawa dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau
ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Surabaya dan bahasa Jawa dialek
Banyumas.
c. Waktu yang tepat untuk menggunakan B1 dan harus menggunakan B2 bergantung
pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan
B1 dan B2 tidaklah bebas.
d. B1 seorang bilingualis bisa mempengaruhi B2-nya atau juga sebaliknya. Masalah
ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan bahasa itu dan kesempatan untuk
menggunakannya.
e. Bilingualisme bisa terjadi pada individu dan juga pada kelompok

B. Pengertian Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang perna digunakan oleh
Marcais, seorang linguis Prancis.Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa
yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Definisi
diglosia menurut Ferguson adalah:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat
sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau
sebuah standar regional.
3. Ragam lain itu memiliki ciri:
· Sudah terkodifikasi
· Gramatikalnya lebih kompleks
· Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
· Dipelajari melalui pendidikan formal
7
· Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
· Tidak digunaakan dalam percakapan sehari-hari
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik,
yaitu:
1. Fungsi, merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalm
masyarakan diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek
tinggi (T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
2. Prestise, dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan
dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
3. Warisan Kesusastraan, pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai
contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh
masyarakat bahasa tersebut.
4. Pemerolehan, ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal,
sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman
sepergaulan.
5. Standardisasi, karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak
mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi
formal.
6. Stabilitas, kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di
mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7. Gramatika, Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalm diglosia
merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata
terdapat perbedaan.
8. Leksikon, sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun,
ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya,
ada kosakata ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
9. Fonologi, dalam bidang bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan
ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pada bagian akhir dari artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat digllosis bisa
bertahan dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat
melunturkannya. Tekanan itu antara lain, (1) meningkatkan kemampuan keaksaraan dan
meluasnya komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya penggunaan bahasa

8
tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional
sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan, rgam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragamT atau
ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa
nasional karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam T yang akan
menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi
bahasa standar pada sebagian masyarakat, (2) apabila masyarakat diglosis itu menyatu
dengan masyarakat lain.
Di Indonesia situasi diglosia dapat dilihat dari dua situasi yaitu (1) situasi pilihan bahasa
yaitu antara pilihan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. (2) situasi penggunaan varian
bahasa yaitu situasi yang dikenakan pada pilihan ragam dalam bahasa Indonesia yakni
ragam baku dan tidak baku. Tampanya di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari anatara
bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing memiliki kedudukan tinggi dan
rendahnya sesuai dengan situasinya. Dalam situasi resmi personal bahasa tinggi jatuh
kepada bahasa Indonesia,. Kemudian dalam penggunaan ragam baku dan tidak baku
tampak ragam baku merupakan ragam tinggi dan ragam tidak baku merupakan ragam
rendah.
Menurut Kridalaksana(1976) ragam baku sebagai ragam tinggi digunakan dalam:
1. Komunikasi resmi
2. Wacana teknis
3. Pembicaraan di depan umum
4. Pembicaraan dengan orang yang dihormati
Sedangkan dalam ragam tidak baku sebagai ragam rendah digunakan dalam:
1. Tawar-menawar di toko
2. Ceramah dalam suasana tidak resmi
3. Percakapan dengan sejawat
4. Percakapan dengan anggota keluarga
Pada intinya, Diglosia menitik beratkan pada logat/dialeg ciri khas suatu
daerah.Bahasa yang digunakan sudah bercampur dengan variasi bahasa suatu
daerah.Misalnya : dialeg, variasi yang lebih dimunculkan. Contoh dioglosia dalam
bahasa jawa : go, re, to, tah, leh, dsb.
C. Hubungan Bilingualisme dan Diglosia
Hubungan antara bilingualisme dan diglosia. Diglosia diartikan sebagai adanya
perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa( terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme
9
adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka
Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti
tampak dalam bagan.

+ -
Diglosia
Bilingualisme
Diglosia dan Bilingualisme
+ Bilingualisme tanpa Diglosia
Diglosia tanpa Tanpa diglosia
- Bilingualisme Tanpa
bilingualisme

1. Bilingualisme dan Diglosia


Masyarakat bilingual dan diglosis yaitu masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang
digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-
masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan
bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok. Seperti dalam data di bawah ini.
a. Sabar, pertanyaan Panjenengan pasti terjawab semua!
Dalam kalimat tersebut penutur mengetahui ragam dan fungsinya dengan baik. Kata
panjenengan termasuk ragam bahasa Jawa T dan digunakan untuk menghormati orang yang
lebih tua maupun yang lebih tinggi kedudukannya.
Contoh lain misalnya, seorang artis yang sedang melakukan wawancara, sering menggunakan
bilingualisme dan juga diglosia. Faktor diglosia lebih pada hal prestise.
b. Saya berencana akan go international tahun ini.
Go international menunjukkan prestise seorang artis yang menganggap bahwa bahasa Inggris
adalah bahasa T, dan bahasa Indonesia adalah bahasa R-nya. Selain contoh di atas, orang
Madura yang berkomunikasi dengan orang Jawa sering menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa dengan menggunakan logat Madura. Seperti pada data berikut.
c. Sampeyan mau beli sate berapa tusuk?
Kata sampeyan dalam bahasa Madura dan bahasa Jawa fungsinya sama, yaitu untuk
komunikasi dengan orang yang tidak dikenal, maupun orang yang lebih muda tetapi tetap
disegani. Hal ini sudah termasuk pada diglosia, dan untuk mendukung ke-diglosia-nya ini,

10
penutur mengucapkan tuturan tersebut dengan logat Madura. Selanjutnya penutur
menggunakan bahasa Indonesia yang menunjukkan ke-bilingual-nya.
2. Bilingualisme tanpa Diglosia
Percampuran/ penggunaan dua bahasa tanpa ditambai diglosia. Bisa terjadi ketika seseorang
bercampur kode, bahasa Indonesia disisipi bahasa jawa.
Misalnya :
a. Kapan kamu bayar utang?
b. Bagaimana bisa kamu dapat duit?
3. Diglosia tanpa bilingualisme:
Tanpa penggunaan dua bahasa tapi menggunakan diglosia. Bahasa jawa disisipi diglosa atau
bahasa indonesia di sisipi diglosa.
Misalnya :
a. Wesgo ojo nanges. (bahasa jawa yang disisipi diglosa go,ciri khas kota pati)
b. Jangan begitu to. (bahasa Indonesia + diglosa to)
4. Tanpa bilingualisme tanpa diglosia :
Hanya menggunakan satu bahasa dan tanpa menggunakan diglosia. Hanya menggunakan
bahasa indonesia saja atau bahasa jawa saja.
Misalnya :
a. Joko sedang membaca novel di kamar.
b. Aku ora seneng maca novel.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bilingualisme adalah kebiasaan penggunaan dua bahasa atau lebih dalam
masyarakat bahasa. Berdasarkan kemampuan penuturnya bilingualisme dapat dibagi
atas dua kategori yakni: Bilingualisme setara(coordinate bilingualism) adalah
bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan secara relatif sama.
Dalam bilingualisme demikian, ada proses berpikir yang konstan(tidak mengalami
kerancuan) pada bahasa yang dikuasi dan sedang digunakan.
Diglosia adalah fenomena penggunaan bahasa yang dipertimbangkan pada
fungsinya.Diglosia terjadi baik pada masyarakat monolingual maupun bilingual.Pada
masyarakat monolingual diglosia adalah penggunaan ragam bahasa sesuai dengan
pertimbangan fungsi setiap ragam
B. Saran
Dengan membaca makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat
mengambil hikmah sehingga bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa
dalam makalah ini terdapat banyak kelemahan. Dengan demikian, suatu kegembiraan
kiranya jika terdapat banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan
untuk perjalanan ke depan.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://rizkymenulis.blogspot.com/2016/01/makalah-bilingualisme-dan-diglosia.html
http://materikull.blogspot.com/2014/03/makalah-bilingualisme-dan-diglosia.html

13

Anda mungkin juga menyukai