Anda di halaman 1dari 5

Bahasa dan Gender

1. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Gender adalah suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender diartikan
sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk
menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Ada ungkapan “mengapa cara
berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dengan kata lain, kita tertuju pada beberapa faktor yang menyebabkan wanita lebih suka
menggunakan bahasa standar dibandingkan dengan pria. Berkaitan dengan itu, patut dicermati bahasa sebagai bagian sosial, perbuatan
yang berisi nilai, yang mencerminkan keruwetan jaringan sosial, politik, budaya, dan hubungan usia dan masyarakat.
Terdapat beberapa perbedaan berbahasa antara pria dan wanita, di antaranya dalam fonologi, morfologi, dan diksi. Dalam
segi fonologi, antara pria dan wanita memiliki beberapa perbedaan, seperti halnya di Amerika wanita menggunakan palatal velar tidak
beraspirasi, seperti kata kjatsa (diucapkan oleh wanita) dan djatsa (diucapkan oleh pria). Di Skotlandia, sebagian besar wanita
menggunakan konsonan /t/ pada kata got, not, water, dan sebagainya. Sementara itu, pria lebih sering mengubah konsonan /t/ dengan
konsonan glotal tak beraspirasi. Dalam bidang morfologi, Lakoff menyatakan bahwa wanita sering menggunakan kata-kata untuk
warna, seperti mauve, beige, aquamarine, dan lavender yang jarang digunakan oleh pria. Selain itu wanita juga sering menggunakan
kata sifat seperti adorable, charming, divine, lovely, dan sweet. Dilihat dari diksi, wanita memiliki kosakata tertentu untuk
menunjukkan efek tertentu terhadap mereka. Kata dan ungkapan seperti so good, adorable, darling, dan fantastic . di samping itu
bahasa Inggris membuat perbedaan kata tertentu berdasarkan jenis kelamin seperti actor-actress, waiter-waiterss, mr.-mrs. Hal ini
terjadi karena adanya kesadaran masyarakat bahwa perbedaan pilihan kosa kata ini dibuat, menggambarkan peran masing-masing
yang dipegang oleh pria dan wanita.
Dalam hal panggilan wanita juga berbeda dengan pria. Biasanya dalam menggunakan panggilan untuk mereka (wanita)
sering digunakan kata-kata seperti dear, miss, lady atau bahkan babe (baby). Dalam bersosialisasi, biasanya laki-laki lebih sering
berbicara seputar olah raga, bisnis, politik, materi formal, atau pajak. Sementara itu, topik yang dibicarakan oleh wanita lebih
menjurus kepada masalah kehidupan sosial, buku, makanan, minuman, dan gaya hidup. Wanita diharapkan lebih sopan saat bertutur.
Tidak dapat dibayangkan seorang wanita menggunakan kata mengumpat “keras”, misalnya damn atau shit , wanita hanya akan bilang
oh dear dan sebagainya. Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungi keinginan atau
kebutuhan mereka. Dalam hal ini, wanita menuntut status sosial yang lebih.
Perbedaan gramatikal dapat menyebabkan masalah pada penutur bahasa, seperti bahasa Inggris, dimana kata ganti tentang
gender sangat penting. Misalnya, male: he, boy, son, father, uncle, dan lain-lain. Sedangkan female : she, girl, daugther, mother, aunt,
dan lain sebagainya. Spolsky (1998: 37), juga menyatakan bahwa alasan utama perbedaan gender di dalam penggunaan
bahasa karena tingkat pendidikan seseorang. Di Afrika dan Timur Tengah, atau daerah terpencil di Indonesia, tingkat pendidikan
seorang anak laki-laki lebih tinggi dari pada anak perempuan, dan jika orang tua mereka memilih salah satu dari anak mereka untuk
sekolah, mereka cenderung memilih menyekolahkan anak laki-laki mereka daripada anak perempuannya. Konsekuensinya anak laki-
laki lebih banyak menguasai kosa kata daripada anak perempuan.
Gender dapat berarti sebagai peran dan tanggung jawab yang digagaskan secara sosial kepada kaum perempuan dan laki-laki
dalam suatu kebudayaan atau lokasi tertentu yang didukung oleh struktur-struktur masyarakat. Gender dapat berubah dari waktu ke
waktu, dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya, kelas ke kelas bahkan dari budaya ke budaya. Pengertian ini sejalan dengan
konsep gender menurut budiman seperti berikut:
Gender adalah suatu distingsi perilaku yang universal di dalam budaya-budaya vernakuler. Konsep gender membedakan
waktu, tempat, peralatan, tugas-tugas, gerak-gerik, bentuk tuturan, dan bermacam persepsi antara yang diasosiasikan pada laki-laki
dan yang diasosiasikan pada perempuan (budiman, 1999a: 104).
Gender merupakan landasan bagi berlangsungnya satu pranata masyarakat. Persepsi diri laki-laki dan perempuan, apa dan
siapa dirinya, alokasi pekerjaan yang diberikan, pembagian wewenang, terpola melalui sistem sosial gender. Pengaturan gender juga
dibakukan melalui berbagai institusi yang ada, yang merupakan tempat terjadinya sosialisasi dan internalisasi nilai seperti keluarga,
pendidikan formal, agama, sistem politik, sistem ekonomi (Fakih, 1997: 25).
Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang konstruksi secara sosial dan
kultural. Terbentuknya perebedaan-perbedaan gender disebabkan banyak hal antara lain dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dan
dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran agama maupun Negara (Fakih, 1999: 8).

1
2. Hubungan Gender dan Bahasa
Hubungan Bahasa dengan Jenis Kelamin Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin yang diakui yaitu laki-laki dan
perempuan. Dalam kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur
yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan.
Hubungan antara bahasa dan gender dapat terealisasi dalam tiga macam hubungan menurut pandangan Graddol dan joan
(2003: 13) yaitu :
a. Bahasa mencerminkan pembagian gender
Penggunaan bahasa bersifat sensitif terhadap pola-pola hidup dan pola-pola interaksi sehingga terindikasi bahwa perbedaan
pengalaman sosial antara laki-laki dan perempuan mempunyai efek tertentu dalam perilaku berbahasa. Dengan demikian, bahasa
dipandang sebagai cerminan masyarakat.
Perbedaan linguistik semata-mata merupakan suatu cerminan perbedaan sosial, dan selama masyarakat memandang laki-laki
dan perempuan berbeda-beda, dan tidak setara, maka perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada Coates (dalam
Graddol dn Joan, 2003: 13).
b. Bahasa menciptakan pembagian gender
Pandangan ini mengimplikasikan bahwa bahasa mempunyai peranan yang penting dalam konstruksi dan pelestarian
pembagian gender. Cara bahasa digunakan dalam berbagai konteks kehidupan sosila dapat memproyeksikan biasa mengenai laki-laki
dan perempuan yang implikasinya mendefinisikan peranan sosial yang diharapkan dari yang laki-laki dan perempuan. Hal ini
membentuk opini bahwa bahasa dan wacana tempat manusia terlibat dapat membentuk kepribadian dan kehidupan sosial. Dengan
demikian, para penutur dapat mempelajari pembedaan atau pengkategorian yang dianggap penting dalam kultur tertentu jika
mempelajari pembedaan linguistiknya.
c. Bahasa dan struktur sosial saling berpengaruh.
Gagasan ini memperlihatkan bagaimana mekanisme non-linguistik didukung oleh ciri linguistik untuk mempertahankan
pembagian gender. Sebagai contoh, dapat dilihat bagaimana bahasa mereproduksi konsep-konsep tradisional tentang “feminitas” dan
“maskulinitas”. Tetapi, untuk melihat mengapa konsep-konsep tradisional tersebut bersifat opresif terhadap perempuan diperlukan
teori-teori sosial yang ada kaitannya dengan bahasa.
Berikut terdapat pula perbedaan antara maskulin dan feminis ditinjau dari segi perbedaan emosional dan intelektual.
Laki-Laki Perempuan
Sangat agresif Tidak terlalu agresif
Tidak emosional Lebih emosional
Independen Tidak terlalu independen
Dapat menyembunyikan emosi Sulit menyembunyikan emosi
Lebih objektif Lebih subjektif
Tidak mudah terpengaruh Mudah terpengaruh
Tidak mudah goyah terhadap krisis Mudah goyah terhadap krisis
Lebih aktif Lebih pasif
Lebih mendunia Berorientasi ke rumah
Lebih berterus terang Kurang berterus terang
Jarang menangis Lebih sering menangis
Lebih ambisi Kurang ambisi
Perbedaan sifat akibat perbedaan emosional dan intelaktual antara laki-laki dan perempuan di atas masih relative dan tidak
permanen, sehingga ada sejumlah sifat yang bertukar atau bersifat terbalik. Adanya sifat yang dapat bertukar antara laki-laki dan
perempuan, setelah menerapkannya dan mempersandingkannya dengan hasil representasi gender yang diperoleh sesuai data folklore,
mengindikasi bahwa sifat tersebut merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang lebih banyak menguntungkan kaum laki-laki. Hasil
konstruksi sifat-sifat dan pelabelan di atas berkorelasi dengan peran dan relasi gender yang berlangsung dalam suatu masyarakat.
3. Perbedaan Bahasa Laki-laki dan Perempuan
Sejak kecil, kita sudah mempelajari Bahasa melalui pemerolehan bahasa yang kita dapatkan dari lingkungan keluarga.
Melalui lingkungan keluarga kita diajarkan dari mulai bunyi, kata bahkan kalimat sederhana yang belum sempurna kemudian kita bisa
belajar sedikit demi sedikit. Bahasa yang dituliskan ataupun yang dihafalkan pasti memiliki makna. Melalui bahasa kita dapat
menuangkan ide atau gagasan yang kita pikirkan. Bahasa merupakan dasar segala kegiatan yang kita lakukan, karena bahasa dapat
dikatakan sebagai penunjang segala aktivitas kita dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa juga di gunakan sebagai alat komunikasi,
penyampaian informasi serta bertukar pikiaran. Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki

2
tujuan tertentu yang ingin dicapai dalam sebuah komunikasi tersebut yang telah disesuaikan dan direncanakan terlebih dahulu, tak
jarang komunikasi itu terjadi begitu saja secara spontan. Yang pasti saat kita melakukan komunikasi kita ingin agar apa yang kita
sampaikan dapat dipahami oleh orang lain.
Dalam pemakaian bahasa hubungan antara bahasa, kosakata dan jenis kelamin penuturnya dapat ditinjau secara
sosiolinguistik karena menyangkut masalah sosial yaitu masyarakat dan linguistic yaitu bahasa. Gender adalah salah faktor yang
mempengaruhi bahasa di dalam suatu masyarakat dimanapun di seluruh dunia. Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang
dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Gender berkaitan dengan proses keyakinan
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan
budaya ditempat mereka berada.
Sumarsono menyatakan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perbedaan bahasa antara laki-laki dan perempuan,
diantaranya adalah faktor suara yang artinya bunyi yang dihasilkan karena bergetarnya pita suara dalam laring (Kridalaksana,
Harimurti. 2008:229) dan intonasi yaitu pola perubahan nada yang dihasilkan pembicaraan pada waktu mengucapkan ujaran atau
bagian-bagiannya. Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin yang diakui yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam kaitanya dengan
penggunaan bahasa, menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur yang digunakan oleh laki-laki dan
perempuan. Untuk mempermudahkan pemahaman, selanjutnya laki-laki akan disingkat menjadi L dan perempuan akan disingat
menjadi P. Aspek perbeda kebahasaan yang tidak selalu ada dalam bahasa yaitu jenis kelamin. (Widagsa, rudha. 2010)
Sosiolinguuistik menepatkan kedudukan bahasa dalam hubungan dengan pemakaian bahasa itu dalam masyarakat sehingga
memandang bahasa sebagai sistem komunikasi. Perbedaan kata didasarkan atas jenis kelamin penutur atau penyapa.
Wanita dan pria memiliki karakteristik yang berbeda dan kemampuan berbeda. Perbedaan kemampuan verbal sering
disebabkan oleh faktor gerak anggota badan ekspresi wajah, suara dan intonasi. Perbedaaan bahasa bukan berarti dua bahasa yang
sama sekali berbeda dan terpisah,tetapi bahasa mereka tetap satu, hanya saja dalam pemakaian bahasa lelaki dan perempuan
mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Wanita lebih mempertahankan bahasa sedangkan laki-laki bersifat inovatisi dan pembaharuan.
Kebanyakan dari kita dapat membedakan suara antara laki-laki dan perempuan walaupun harus dengan mata tertutup, hal ini
karena secara umum bisa dikatakan volume suara pria relatif lebih besar daripada wanita. Bahkan dalam dunia seni suara sudah
dikenal golongan yang membedakan antara suara laki-laki dan perempuan. Pada perempuan misalnya ada suara alto dan sopra,
sedangkan pada laki-laki ada suara tenor dan bas. Ini semua terjadi karena berhubungan dengan organ-organ tubuh penghasil suara
yang sedikit banyak berbeda pada pria dan wanita, sayangnya dalam makalah ini penulis tidak membahas secara terperinci mengenai
organ-organ tubuh penghasil suara tersebut.
Selain hal diatas kita juga menyadari bahwa suara perempuan lebih lembut dibandingkan dengan suara laki-laki, hal ini
berkaitan dengan nilai sosial atau tata krama dan sopan santun yang terdapat pada orang tersebut. Ini terbukti pada beberapa
masyarakat, misalnya orang jawa, perempuan yang berbicara dengan suara “keras” dianggap kurang sopan. Sebaliknya, laki-laki yang
berbicara dengan suara lembut dan lamban akan dianggap “seperti perempuan”
Berhubungan dengan intonasi, misalnya intonasi “memanjang” pada bagian akhir kalimat lebih banyak pada perempuan.
Dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan istilah “suara manja” yang khas pada perempuan dan hanya bisa dilakukan oleh
perempuan, sedangkan gaya bahasa seperti ini sangat jarang terjadi pada laki-laki.
Perbedaan Pola Bahasa Pria dan Wanita
Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin yang diakui yaitu pria dan wanita. Kaitanya dengan penggunaan bahasa,
menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur yang digunakan oleh pria dan wanita. Suara wanita juga
memiliki karakteristik yang berbeda dengan suara dan intonasi pria. Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan perbedaan organ-organ
tubuh penghasil suara antara pria dan wanita.
Wardhaugh (2006:326-328) mengemukakan beberapa klaim, berkaitan dengan masalah gender dan variasi bahasa. Klaim
yang pertama, menyatakan bahwa secara biologis pria dan wanita sangat berbeda dan perbedaan ini memiliki konsekuensi yang serius
pada gender. Perempuan biasanya memiliki karakter non-kompetitif dan mementingkan hubungan/relasi dengan orang lain. Di sisi
lain, pria cenderung mengutamakan kemandirian dan hubungannya dengan Tuhan (vertical relationship) daripada hubungannya
dengan manusia (horizontal relationship). Namun, Wardhaugh (2006:327) berargumen bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada
bukti yang mendukung klaim ini dan cenderung seperti stereotype.
Klaim yang kedua, bahwa organisasi sosial diasumsikan sebagai hubungan kekuatan (power relationship). Wardhaugh
(2006:327) menyampaikan bahwa tingkah laku bahasa menunjukkan dominasi pria. Pria menggunakan kekuatannya untuk
mendominasi. Pria mencoba mengambil kontrol, menginterupsi, memilah-milah topik, pembahasan, dan sebagainya. Mereka
menggunakan hal tersebut dalam berkomunikasi dengan sesama pria maupun dengan wanita. Jadi sebagai konsekuensi, wanita lebih
teliti dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang prestigious untuk menjaga dirinya dalam hubungannya dengan orang yang lebih

3
kuat karena wanita relatif memiliki kekuatan yang lebih lemah daripada pria. Selain itu, Wardhaugh (2006:327) juga menjelaskan
bahwa perempuan cenderung memiliki jaringan sosial kurang dari yang dimiliki oleh pria, namun perempuan memiliki sensitivitas
lebih besar pada bentuk-bentuk bahasa, khususnya pada bentuk bahasa standar.
Klaim yang ketiga adalah bahwa pria dan wanita adalah makhluk sosial yang harus belajar untuk bertindak dengan cara
tertentu. Wardhaugh (2006:327) menjelaskan bahwa tingkah laku bahasa dipelajari dari tingkah laku. Pria belajar untuk menjadi pria
dan wanita pun belajar untuk menjadi wanita, yaitu berbicara secara linguistik. Masyarakat menunjukkan kepada mereka tentang
berbagai pengalaman hidup yang berbeda, sehingga mereka dapat belajar dari pengalaman itu.
Maltz dan Borker (1982) melalui Wardhaugh (2006:327-328) memberikan sebuah contoh berkaitan dengan klaim ketiga di
atas, yaitu pada orang Amerika Utara dimana pria dan wanita yang berasal dari budaya sosiolinguistik yang berbeda melakukan
komunikasi. Pada akhirnya, dimungkinkan untuk terjadi miscommunication. Lebih lanjut Maltz dan Borker menjelaskan bahwa mhmm
yang digunakan oleh wanita berarti “Saya mendengarkan,” di sisi lain mhmm yang diucapkan pria mengandung arti “Saya setuju.”
Konsekuensi, pria menganggap bahwa wanita selalu setuju dengan mereka dan mereka menyimpulkan bahwa adalah mustahil untuk
memberitahu apa yang sedang dipikirkan oleh wanita. Di sisi lain, wanita bisa sampai marah disebabkan karena mereka menganggap
bahwa pria cenderung tidak pernah mau mendengarkan.
Berdasarkan contoh Maltz dan Borker di atas, dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita memiliki aturan masing-masing
dalam berkomunikasi. Pada waktu berkomunikasi antar-gender aturan-aturan tersebut biasanya akan terjadi ketidaksepahaman.
Menurut Sumarsono (2007:113) keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat
hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda
untuk mereka, dan masyarakat mengaharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Kenyataan sosial ini dicerminkan melalui bahasa.
Tutur perempuan bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih “benar”. Menurut Sumarsono (2007:113) fenomena tersebut merupakan
pencerminan kenyataan sosial, pada umumnya dari pihak perempuan diharapkan tingkah laku sosial yang lebih benar. Selain itu,
karakteristik wanita dalam berbahasa cenderung bersifat androgini (mendua). Menurut Elyan (Sumarsono, 2007:127), wanita di kota
besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, namun tidak mau kehilangan kefemininan. Di samping
itu, wanita yang berkarier (wanita karier), yang memiliki status tinggi di luar rumah; mereka ingin berkarya sejajar dengan pria, tetapi
tetap ingin sebagai ibu dan istri yang ideal.
Satu hal yang belum dibicarakan ialah kelompok orang berjenis kelamin “khusus”, yaitu orang yang sering disebut waria
(banci) dan gay. Dede Oetomo (Sumarsono, 2007:130) menyebutkan bahwa bahasa waria atau wadam (wanita Adam) tersebut
termasuk “bahasa rahasia”. Dede meneliti waria dan gay di Surabaya dan menyimpulkan bahwa waria biasanya merupakan kelas
“bawah”, yang memiliki orientasi lebih banyak ke bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia. Di lain pihak, gay berasal dari golongan
kelas menengah di kota, dan orientasinya pada bahasa Indonesia. Namun, kaum gay juga menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu,
menurut Dede, gay itu dwibahasawan.

A. Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi
Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat
diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem
struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.
Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa
budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehingga dia bisa bertindak sesuai dengan
norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus
dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk
melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak
dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya
tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang
berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah
sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran

4
yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun
potensi kreatif mereka.
Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul Chaer
yaitu:
a. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
b. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
c. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku.
d. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan,
pemecahan persoalan dan belajar hidup.
e. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
f. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota
suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku
yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non
material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-
kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme
masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup
berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional.

2. Hubungan Antara Bahasa Dan Budaya


Banyak para ahli berpendapat bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, tetapi tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa
kebudayaanlah yang merupakan bagian dari bahasa. Menurut C. Kluckhohn, bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Hal
serupa juga diungkapkan oleh Koentjaraningrat. Beliau berpendapat bahwa bahasa bagian dari kebudayaan, jadi hubungan antara
bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Masinambouw
(1985) malah menyebutkan bahwa bahasa atau kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua sistem yang ”melekat” pada manusia.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif terdapat dua hal penting. Pertama, ada yang
mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam seperti yang telah dikatakan oleh Slizer. Hal kedua
yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat kontroversial, karena itu hipotesis ini dikenal
dengan nama hipotesis Sapir – Whorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa. Sementara Levi Strauss, sebagaimana dikutip oleh
Darsita, menjelaskan bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan dan membedakan kebudayaan dalam tiga hal, yaitu:
a. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat dianggap sebagai refleksi dari totalitas kebudayaan masyarakat yang bersangkutan
b. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau salah satu unsure dari kebudayaan
c. Bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan.
Kemudian Darsita menjelaskan poin ketiga, bahwa bahasa yang merupakan kondisi bagi kebudayaan menjadi dua hal, yaitu;
pertama, bahasa merupakan kondisi kebudayaan dalam arti yang diakronis, di mana bahasa mendahului kebudayaan. Karena melalui
bahasalah manusia menjadi makhluk sosial yang berkebudayaan dan berperadaban. Kedua, bahasa merupakan kondisi bagi
kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama untuk membangun
kebudayaan, dalam arti bahwa bahasa merupakan fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang kompleks yang sejajar
dengan unsure budaya yang lain.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa berbahasa memang menunjukkan bagaimana sebuah komunitas atau bangsa
berbudaya. Antara berbahasa dan berbudaya menunjukkan hubungan timbal balik. Untuk mempertahankan budaya maka proses
berbahasa menjadi suatu yang lazim. Demikian juga untuk mempertahankan bahasa, keberlangsungan budaya sangat penting
walaupun budaya adalah naluri dari kehidupan manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial.

Anda mungkin juga menyukai