Anda di halaman 1dari 6

Raisa Nurul Noviana – 222007446120

Pengantar Linguistik (k1)

1. Artikel ini diambil dari sumber kompasiana.com


https://www.kompasiana.com/aisyahzaimatun/638571e008a8b53af80d1072/penggunaan-
ragam-dialek-bahasa-jawa-di-wilayah-jawa-timur-melalui-teori-culture-area?page=all

Penggunaan Ragam Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Jawa Timur melalui Teori
Culture Area

Sebagai negara yang kaya akan keanekaragamannya, Indonesia memiliki banyak ciri
khas tersendiri seperti bahasa yang menjadi alat komunikasi. Selain itu, berjalannya
komunikasi pun tidak lepas dari adanya saling pemahaman antar individu dengan pesan yang
akan disampaikan ke lawan bicaranya (Djokowidodo, 2022). Berbicara tentang pemahaman
bahasa setiap daerah, memiliki perbedaan bahasa yang digunakannya, seperti di Sumatera
Barat yang menggunakan bahasa Minangkabau, kemudian Sulawesi Selatan yang
menggunakan bahasa Bugis, dan di Yogyakarta, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur
menjadikan bahasa Jawa sebagai alat komunikasinya sehari-hari.

Dari berbagai macam bahasa yang tersebar, rupanya bahasa Jawa memiliki jumlah
penutur paling banyak di Indonesia. Dengan jumlah yang sangat banyak ini, belum tentu
setiap daerah yang menggunakan bahasa jawa memiliki kesamaan dalam pengucapan atau
penulisannya. Hal ini karena bahasa memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan
masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Adapun kaitan yang dimaksud adalah nada
bahasa, konsep gramatikal bahasa, atau konsep tingkatan bahasa (Aan Setyawan, 2011). Dari
dasar-dasar seperti ini akan menghasilkan suatu variasi bahasa di bahasa Jawa. Meski
demikian, variasi ini harus dilihat dari latar belakang dan daerah asal penuturnya. Dengan
begitu, bahasa akan mempunyai bentuk dan kata yang khas yang mana ini dinamakan dengan
dialek (Maryaeni, 2006). Dalam bahasa Jawa, penggunaan dialek dapat dibagi ke beberapa
wilayah yang dituturkannya khususnya wilayah Jawa Timur, di antaranya:

 Dialek Surabaya
Bahasa Jawa dialek Surabaya biasa disebut dengan ‘basa Suroboyoan’ yang mana
terdapat kekhasan logat daripada bahasa Jawa di wilayah lainnya. Pada dialek Surabaya,
dapat dideskripsikan dengan bentuk-bentuk konjungsi yang menjadi pembeda dari lainnya.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), konjungsi merupakan kata atau ungkapan
penghubung antarkata, antarfrasa, antarklausa, dan antarkalimat. Dialek Surabaya memiliki
khas tersendiri yang dapat dilihat dari sejumlah leksikon yang berbeda dengan bahasa Jawa
lainnya dan dapat dikenali dari segi wujudnya, cakupan maknanya, dan variasi pelafalannya
(Ruriana, 2017). Dialek Surabaya berkembang di daerah Surabaya dan sekitarnya. Selain itu,
dialek Surabaya dianggap menjadi bahasa yang paling kasar dibandingkan bahasa Jawa
lainnya. Namun, bahasa yang halus juga masih dipergunakan sebagai bentuk penghormatan
kepada orang lain atau orang yang lebih dewasa, tetapi bahasa halus Surabaya tentunya juga
tidak sehalus di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam penggunaannya, dialek Surabaya memiliki tutur yang terbatas yaitu ragam
ngoko dan ragam krama. Bahasa Jawa baku sendiri memiliki tiga ragam, seperti ragam
ngoko, krama, dan krama inggil (Ruriana, 2017). Selain itu, kosakata dialek Surabaya tidak
sama dengan bahasa Jawa dialek Solo-Yogya, seperti ‘mene’ yang memiliki arti besok pagi.
Sedangkan dalam bahasa Jawa baku, besok pagi memiliki sebutan ‘sesuk’. Perbedaan bahasa
Jawa dialek Surabaya dengan bahasa Jawa standar yaitu terdapat pada fonologi, morfologi,
dan leksikal. Fonologi dapat kita ketahui dari kata ‘mulih’ menjadi ‘moleh’. Selanjutnya
morfologi menggunakan akhiran-ne, tetapi dialek Surabaya menjadi -e, seperti bukue,
sepedae. Sedangkan Leksikal dapat dilihat dari kata ‘mari’, yang memiliki arti selesai.

 Dialek Tengger

Dialek Tengger merupakan dialek yang dituturkan oleh suku Osing di wilayah Bromo
dan merupakan suku tertua di Jawa Timur. Penggunaan dialek tengger memiliki perbedaan
dengan dialek Jawa Timur lainnya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa Kuna atau
Bahasa Kawi saat pengucapan [o] yang tidak dipakai dan menggantinya dengan [a] (Fitriana,
2017). Sebagai contoh ‘selasa’menjadi ‘seloso’ dalam pengucapan dialek tengger.

 Dialek Malang
Penggunaan dialek malang dapat dilihat melalui penghilangan konsonan pada awal
dan akhir kata atau dapat juga penambahan konsonan, contohnya yaitu ‘wetan’ menjadi
‘etan’ atau ‘kowe’ menjadi ‘awakmu’. Namun, dialek ini dianggap bukan dialek yang berdiri
sendiri, namun terjadi akibat adanya pengaruh dari bahasa Jawa baku.

 Dialek Banyuwangi

Dialek Banyuwangi umumnya dikenal dengan dialek osing, karena osing merupakan
suku yang berasal dari sana. Kata using sendiri berarti ‘pribumi’ dan mereka juga baru
mengakui sebagai orang Jawa pada tahun 1970. Hal ini terjadi karena adanya migrasi besar-
besar yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1870 untuk kepentingan perkebunan. Dan dari
proses inilah yang membuat pengaruh buruk ke penduduk aslinya (Andhika Wahyudiono,
2018).

Penggunaan dialek osing sangat berbeda dengan bahasa Jawa lainnya, namun
memiliki persamaan dengan bahasa Jawa di Banyumas. Menurut Wedhawati, (2001) terdapat
kemiripan fonem vokal dan ciri silabisnya, dimana kemiripan ini terlihat dari fonem vokalnya
yang tegang kendur bunyinya seperti pengucapan [tipis} dengan vokal /i/ tegang, sementara
pada bahasa Jawa dialek standar ;tipis] dengan vokal /i/ kendur. Perbedaan ini dikarenakan
wilayah Banyuwangi yang sangat jauh dengan pusat bahasa Jawa, yaitu Yogyakarta-Solo.
Dari contoh kata yang bisa diambil disini adalah pengucapan kata [pitik] yang merupakan
dialek banyuwangi dan [pitIʔ] merupakan dialek Yogyakarta-Solo. Selain itu, ada juga
contoh kata di banyuwangi menggunakan “lek”, namun di yogyakarta-solo menggunakan
“le”.

 Dialek Yogyakarta-Solo

Penggunaan dialek ini memiliki ciri khas tersendiri karena bahasa dari dialek
Yogyakarta-Solo dianggap paling halus dibandingkan dengan bahasa Jawa lainnya. Adapun
tingkat tutur yang dapat diketahui ada tigas, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko.
Contoh krama inggil yaitu badhe tindak pundi?, krama madya yaitu ajeng kesah pundi?, dan
ngoko yaitu arep lungo ngendi?
Keragaman dialek yang dimiliki Jawa Timur tidak lepas dari penyebaran yang dilakukan
oleh masyarakat pendahulunya. Setiap wilayah di Jawa Timur memiliki latar kebudayaan
yang berbeda-beda sehingga menciptakan keberagaman, khususnya dialek bahasa. Dari
kelima dialek tersebut mempunyai latar kebudayaan yang berbeda-beda seperti dialek osing
yang menggunakan bahasa Jawa Kuna karena sangat jauh dari pusat bahasa yaitu
Yogyakarta-Solo, kemudian dialek Tengger yang menggunakan bahasa Jawa Kuna karena
sejarah mereka yang mempertahankan wilayah dari Kerajaan Mataram. Dialek Surabaya
yang terlihat keras karena pola perilaku masyarakat pesisir yang dikenal dengan
pembawaannya yang lugas dan tegas sehingga terlihat kasar, dan dialek Yogyakarta-Solo
yang merupakan pusat kebudayaan sehingga menjadikannya sebagai acuan atau standar
kebudayaan yang dimiliki oleh wilayah yang berada di sekitarnya. Dari kelima dialek yang
berkembang dan menyebar di wilayah Jawa Timur semua ini dapat dikaitkan dengan teori
antropologi dengan konsep culture area (daerah kebudayaan) yang dikemukakan oleh Clark
Wissler. Secara garis besar penggunaan konsep ini melihat suatu keunikan dari wilayah
kebudayaan (culture area) yang berawal dari pusat kebudayaan (culture center) dan menjadi
pusat geografi, hal ini membuat adanya penyebaran unsur-unsur budaya dari pusat ke luar
(Ihromi, 2003). Hal ini, bisa dilihat bahwa suatu budaya yang memiliki jarak cukup jauh akan
memiliki banyak perbedaan unsur-unsur budaya khususnya dialek bahasa (Wiradnyana,
2015). Latar belakang penyebaran dan wilayah dengan kebudayaan pusat bisa mempengaruhi
perubahan dari segi bahasa yang digunakan sehari-hari.

2. Analisis artikel

Dalam artikel ini, topik yang dibahas penulis adalah penggunaan ragam dialek Bahasa
Jawa di wilayah Jawa Timur dengan merujuk pada Teori Culture Area. Menurut
Kridalaksana (1993:21) bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Penulis
mengatakan bahwa bahasa berperan sebagai alat komunikasi yang penting untuk memahami
perbedaan bahasa di setiap daerah. Richards dkk. (1987: 80) membatasi dialek sebagai variasi
bahasa yang digunakan di sebagian negeri (dialek regional), atau oleh penduduk yang
memiliki kelas sosial tertentu (dialek sosial atau sosiolek), yang berbeda dalam beberapa
kata, tatabahasa, dan/atau pelafalan dari bentuk lain pada bahasa yang sama. Ilmu yang
mengkaji tentang dialek atau dialek-dialek adalah dialektologi, yang juga termasuk ke dalam
bidang linguistik interdisipliner. Dialektologi merupakan lintas kajian linguistik dengan
geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, dan sosiolinguistik, bahkan untuk menafsirkan kata-
kata tertentu dapat memanfaatkan filologi, kajian tentang naskah lama.

Dalam menganalisa ragam dialek Jawa Timur, penulis menggunakan Teori Culture
Area, yaitu penggabungan/penggolongan dari suku-suku bangsa dalam masing-masing
kebudayaan yang beraneka warna, tetapi memiliki beberapa unsur dan ciri-ciri mencolok
yang serupa, sehingga penulis menggunakan konsep ini untuk menjelaskan perbedaan budaya
dan bahasa di wilayah Jawa Timur, yang dapat dipahami sebagai pusat kebudayaan yang
memengaruhi penyebaran unsur budaya. Objek dialektologi adalah variasi bahasa, sehingga
dalam artikel ini objeknya adalah variasi dalam bahasa Jawa, khususnya Jawa Timur.
Membahas variasi bahasa berarti membahas sejarah bahasa. Pembahasan sejarah bersifat
diakronis, sehingga ada penyempitan makna pada konsep dialektologi itu sendiri. Dengan
kata lain, dalam dialektologi juga dibahas geografi dialek, yaitu kajian yang berobjek dialek
geografis. Penulis mengemukakan bahawa adanya variasi dalam bahasa jawa juga disebabkan
oleh faktor-faktor seperti nada bahasa, konsep gramatikal, dan konsep tingkatan bahasa.
Selain itu, pemahaman bahasa di setiap daerah juga melibatkan perbedaan dalam
pengucapan, penulisan, dan konsep bahasa. Penulis membagi dialek Jawa ke beberapa
wilayah yang dituturkannya khusus di wilayah Jawa Timur, antara lain Dialek Surabaya,
Dialek Tengger, Dialek Malang, Dialek Banyuwangi, dan Dialek Yogyakarta-Solo.

Penulis mengkategorikan ragam dialek bahasa Jawa di wilayah Jawa Timur menjadi: (1)
Dialek Surabaya atau ‘basa Suroboyoan’ memiliki kekhasan logat dengan perbedaan dalam
konjungsi, leksikon, dan tingkatan kekasaran dan terbatas pada ragam ngoko dan kram, (2)
Dialek Tengger dibedakan dalam pengucapan [o] yang diganti dengan [a], (3) Dialek Malang
ditandai dengan penghilangan atau penambahan konsonan pada awal dan akhir kata, yang
disebabkan pengaruh bahasa Jawa baku, (4) Dialek Banyuwangi dikenal sebagai dialek
osing, memiliki perbedaan fonem vokal dengan kemiripan tertentu dengan bahasa Jawa di
Banyumas, (5) Dialek Yogyakarta-Solo dianggap paling halus dibandingkan dengan dialek
bahasa Jawa lainnya dengan tiga tingkatan tutur, yaitu karma inggil, karma madya, dan
ngoko.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa Jawa diketahui sebagai bahasa
dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia. Terdapat perbedaan dialek bahasa Jawa di
Jawa Timur dapat dijelaskan melalui Teori Culture Area, di mana perubahan bahasa terjadi
berdasarkan penyebaran dan keberagaman kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai