Anda di halaman 1dari 3

Kelompok 3

Anggota : Nur Widia Ningsih

Annisa Qurratha 'Aina

Selvi Riawati

Anisa Ramadani Dalimunthe

Aprili Dayana

Problem Terkait Intercultural Competince di Lingkungan Sekitar

Intercultural Competince

Kompetensi komunikasi antarbudaya (intercultural communication competence/ICC) adalah


kemampuan untuk menjalankan berbagai perilaku komunikasi dengan efektif (effective) dan sesuai
(appropriate), yang dapat memadukan identitas budaya yang satu dengan yang lain atau berbagai
identitas dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda (Chen dan Starosta, 1996).

Lieberman & Gamst (2015) menjelaskan seluruh proses komunikasi lintas budaya selalu berkaitan
dengan konteks. Komunikasi lintas budaya mencakup banyak variabel termasuk: 1) latarbelakang orang
yang berinteraksi (etnis minoritas/ras, agama, imigran, pengungsi, buruh migran, pelancong bisnis; 2)
konteks interaksi (perjalanan/belajar di luar negeri; 3) sosiodemografi (misalnya, pekerjaan/
pendidikan), dan kesamaan (misalnya, linguistik atau budaya; 4) aspek durasi interaksi. Dengan konteks
ini, kompetensi komunikasi antarbudaya memengaruhi efektivitas dan kesesuaian dengan tujuan
menghasilkan adaptasi lintas budaya yang diinginkan (yaitu mengubah perilaku seseorang karena
lingkungan) dan penyesuaian (yaitu, kondisi suasana hati seperti harga diri, stres, dan kepercayaan diri
yang menyertai penyesuaian).

Sangat penting untuk memperoleh kompetensi antar budaya yang diperlukan untuk kepentingan
hubungan pribadi dan profesional kita. Berbekal pengetahuan yang benar, kesalahpahaman dapat
dicegah dan kecerobohan yang memalukan dapat dihindari.

Masalah Terkait Intercultural Competince di Lingkungan Sekitar

1. Streotipe atau Prasangka (Contoh streotipe komunikasi antara mahasiswa Aceh dan mahasiswa
Medan di ruang lingkup unit 3 semester 6 angkatan 2020)
Istilah stereotip pertama kali digunakan oleh wartawan bernama Walter Lippmann, pada 1922. Kala itu,
ia menggunakan istilah ini untuk menggambarkan penilaian terhadap seseorang berdasarkan kelompok
etnis asalnya.

Stereotip merupakan kesepakatan diantara anggota-anggota terhadap gamabaran tentang kelompok


lain dan individu dalam kelompok tersebut (Sherif & Sherif 2009: hal.390). Matsumo, David (2004: h72)
mendefinikasikan stereotip sebagai generalissai kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama
karakter psikologi. Narwoko & Suyanto (2009: h.322) stereotip didefinisikan sebagai pelabelan terhadap
pihak atau kelompok tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan
ketidakadilan.

Stereotip dapat bersifat positif atau negatif, stereotip negatif berpotensi memicu berbagai persoalan
karena memicu pola kesalahpahaman dalam mengidentifikasi gambaran suatu identitas, dalam tingkat
yang mengkhawartirkan persepsi stereotip dapat memicu munculnya konflik antarbudaya. Ciri utama
dari stereotip ialah mempersempit gambaran dari sifat-sifat identitas tertentu, sehingga merupakan
salah satu faktor penghambat komunikasi antarbudaya (Samovar dkk. 2010:203).

Stereotip negatif atau positif terhadap gaya komunikasi mahasiswa Medan di pengaruhi oleh informasi
awal yang di dapatkan mahasiswa Aceh dari lingkungan, lingkungan keluargan, informasi yang mereka
dapatkan dari televisi dan juga pengalaman pribadi. Selain perkembangan stereotip negatif mahasiswa
Medan juga mempunyai perkembangan terhadap stereotip positif. Mahasiswa Aceh memiliki stereotip
bahwa mahasiswa Medan adalah orang yang mudah bergaul dan pertemanannya sangat terbuka,
bahkan mereka sering menjadi pihak yang membuka percakapan, sifat dan gaya komunikasi mahasiswa
Medan yang blablakan berkembang menjadi setreotip positif tergantung penetapannya, beberapa
mahasiswa Aceh menyukai gaya komunikasi mahasiswa Medan yang blablakan.

2. Perbedaan Bahasa yang Menghambat Komunikasi

Fishman (dalam Risager, 2006) merumuskan tiga keterkaitan erat antara bahasa dan budaya dengan
menyatakan bahwa bahasa merupakan “bagian”, “index”, dan “simbolik” budaya. Sebagai “bagian” dari
budaya, bahasa berperan penting sebagai jembatan dalam pemahaman budaya, terutama bagi mereka
yang ingin belajar banyak mengenai budaya tersebut. Sebagai “index” budaya, bahasa mengungkap cara
berpikir atau pengorganisasian pengalaman dalam budaya tertentu. Sebagai “simbolik” budaya,
pergerakan dan konflik bahasa mendayagunakan bahasa sebagai simbol untuk memobilisasi populasi
dalam mempertahankan (atau menyerang) dan mendukung (atau menolak) budayabudaya yang
berkaitan dengannya.
Sebagai indentitas etnis, bahasa dapat digunakan untuk menunjukkan etnis atau keanggotaan
seseorang atau suatu kelompok dalam suatu suku bangsa tertentu. Di Indonesia terdapat
berbagai macam suku bangsa antara lain Jawa, Sunda, Madura, Bugis, dan Batak. Masing-
masing suku bangsa tersebut mempunyai bahasa yang menjadi ciri khas mereka. Suku Sunda, Jawa,
dan Madura meskipun berada dalam satu pulau, tetapi karena bahasanya berbeda.
Daftar Pustaka

Rahmani A., dkk. (2022). STEREOTIP MAHASISWA ACEH TERHADAP GAYA KOMUNIKASI MAHASISWA
ASAL MEDAN. JurnaI Ilmiah Mahasiswa FlSlP Unsyiah, 7 (1).

Anda mungkin juga menyukai