Anda di halaman 1dari 10

HAMBATAN KOMUNIKASI ANTAR ETNIS ETNIS DAYAK, MELAYU,

DAN TIONGHOA DI KOTA PONTIANAK

BARRIER OF COMMUNICATION BETWEEN DAYAK, MELAYU AND


TIONGHOA ETHICS IN PONTIANAK CITY

Sinta Paramita dan Rose Mita Carissa


(sintap@fikomuntar.ac.id, mitacarissa28@gmail.com)
(Fakultas Ilmu Komunikasi Univeristas Tarumanagara)

Abstract
This study aims to determine how the expectations of each ethnic group in maintaining the issue of
harmony of inter-ethnic life in the Province of West Kalimantan, especially in Pontianak City which
consists of the majority of Dayak ethnic, Malay, and Tionghoa. Multiethnic life in Pontianak often
creates various conflicts that occur interethnic. This research is a qualitative descriptive research. In
this study the authors linked several theories of intercultural communication and identified
communication barriers such as Stereotype, Etnocentrism, and others. In this study found that
interethnic conflicts can arise due to the absence of open minds in the face of differences, the lack of
mutual tolerance and mutual respect among ethnic groups. In addition, communication barriers also
become one of the factors arising the interethnic conflict.
Keywords: Intercultural Communication, Conflict, Communication Barriers, Concord

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana harapan setiap kelompok etnis dalam menjaga
isu kerukunan kehidupan antaretnis di Provinsi Kalimantan Barat khususnya di Kota Pontianak yang
terdiri dari mayoritas etnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Kehidupan multietnis di Kota Pontianak
kerap kali menimbulkan berbagai konflik yang terjadi antaretnis. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini penulis mengaitkan
beberapa teori komunikasi antarbudaya dan mengidentifikasi hambatan komunikasi seperti
Stereotype, Etnosentrisme, dan lainnya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa konflik antaretnis
dapat timbul disebabkan oleh tidak adanya pikiran yang terbuka dalam menghadapi perbedaan, tidak
adanya sikap saling toleransi dan saling menghargai antar sesama etnis. Selain itu, hambatan
komunikasi juga menjadi salah satu faktor timbulnya konflik antaretnis tersebut.
Kata kunci:Komunikasi, Antarbudaya, Konflik, Hambatan, Kerukunan

Pandahuluan hidup bersama disatu tanah. Hal tersebut


Indonesia adalah satu-satunya tak urung menyebabkan berbagai konflik
negara yang memiliki latar belakang suku terjadi yang dilatarbelakangi perbedaan
budaya dan etnis yang paling beragam. etnis antar kelompok masyarakat tertentu
Sejak dahulu kala, Indonesia telah yang tinggal dan menetap disuatu daerah.
dikenal sebagai masyarakat majemuk Salah satu kota yang terdiri dari
yang tidak lepas dari semboyan masyarakat multietnis adalah kota
“Bhinneka tunggal Ika”. Semboyan yang Pontianak. Pontianak merupakan ibukota
bangsa Indonesia agungkan tersebut salah satu provinsi dinegara Indonesia
memiliki arti berbeda- beda tetapi tetap yaitu Kalimantan Barat yang telah
satu, hal tersebut mengumpamakan memiliki jumlah penduduk mencapai 5,2
bahwa dari berbagai perbedaan yang ada, juta jiwa pada tahun 2015. Jumlah
Indonesia adalah suatu kesatuan. penduduk yang mencapai jutaan jiwa
Walaupun masyarakat Indonesia tersebut terdiri dari berbagai suku dan
memiliki keberagaman agama, budaya, etnis yang berbeda. Etnis-etnis mayoritas
adat istiadat, etnis, dan bahasa, yang menetap di Pontianak terdiri dari
masyarakat Indonesia dituntut dapat etnis Dayak, Melayu, dan Tionghua.
Dalam penelitian ini, penulis McDaniel, 2010:25). Lebih lanjut Sanadi
berpandangan bahwa kondisi kerukunan memandang komunikasi antar budaya
etnis Tionghoa, melayu, dan dayak di adalah komunikasi yang terjadi di antara
kota Pontianak menarik untuk diteliti orang-orang yang memiliki kebudayaan
karena ketiga etnis tersebut telah hidup yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau
berdampingan di atas satu tanah. Melihat sosioekonomi, atau gabungan dari semua
kemajemukan tersebut, konflik perbedaan ini (2014: 30).
merupakan hal yang tidak dapat dihindari Dari definisi di atas bahwa
dari kehidupan sosial masyarakat yang perbedaan budaya menghambat proses
menetap di Pontianak. dan hasil komunikasi yang optimal.
Maka dari itu, disini peneliti akan Dengan kata lain, proses komunikasi
menganalisa mengenai bagaimana tidak lancer dan hasil komunikasi tidak
komunikasi antar budaya sesama etnis di optimal. Yang lebih parah lagi bahwa
kota pontianak dan melihat hal yang terjadinya efek negatif, yang
berperan penting dalam menimbulkan menimbulkan prasangka,
konflik maupun dalam menjaga isu kesalahpamahan bahkan sampai terjadi
kerukunan antara komunikasi yang terjadi konflik baik bersifat simbolik maupun
apabila komunikator pesan merupakan fisik.
anggota suatu budaya dan penerima
pesan (komunikan) merupakan anggota Konflik Komunikasi Antar budaya
suatu budaya lainnya. Sedangkan
Konflik menurut Wirawan
menurut pandangan Charley H Dood
merupakan salah satu esensi dari
(dalam Darmastuti, 2013: 64),
kehidupan dan perkembangan manusia
komunikasi antarbudaya meliputi
yang mempunyai karakteristik yang
komunikasi yang melibatkan peserta
beragam. Setiap manusia memiliki status
komunikasi yang mewakili pribadi,
sosial, kebudayaan, etnis, suku, dan
antarpribadi, maupun kelompok dengan
kepercayaan, serta tujuan hidup yang
menekankan pada perbedaan latar
berbeda. Perbedaan tersebutlah yang
belakang kebudayaan yang akan
dapat menyebabkan konflik antar
mempengaruhi komunikasi para peserta
individu (Wirawan, 2009: 1).
atau partisipan komunikasi. Artinya
Komunikasi antarbudaya yang tidak
komunikasi antarbudaya pasti terjadi
berjalan lancar dalam proses
disemua wilayah yang memiliki
penyampaian, penerimaan, dan
kelompok masyarakat yang berbeda
penyandian baliknya akan menimbulkan
budaya atau masyarakat multietnis.
kesalah pahaman antara individu atau
Ahmad Sihabudin dalam bukunya
kelompok masyarakat.
yang berjudul Komunikasi Antarbudaya
Setiap individu atau kelompok
mengatakan bahwa, komunikasi
masyarakat, akan hidup dengan landasan
antarbudaya terjadi bila produsen pesan
pola- pola kebudayaan yang mereka
adalah anggota suatu budaya lain dan
miliki sendiri. Seperti yang kita ketahui
penerima pesannya merupakan anggota
bahwa kebudayaan tidak hanya satu
budaya lain. Maka, masalah yang akan
tetapi sangat beragam dan menjadikan
dihadapi adalah suatu situasi dimana
komunikasi antarbudaya yang menjadi
suatu pesan disandi dalam suatu budaya
kompleks. Hal lainnya yang juga turut
dan harus disandi balik dalam budaya lain
serta menimbulkan masalah antara
(Sihabudin, 2013: 21). Samovar, Porter,
masyarakat yang berbeda budaya adalah
dan McDaniel juga mengatakan bahwa
hambatan komunikasi.
proses komunikasi akan menjadi lebih
Menurut Chaney dan Martin (dalam
kompleks ketika dimensi budaya terlibat
Lubis, 2016: 5) hambatan komunikasi
di dalamnya (Samovar, Porter, dan
atau yang biasa disebut dengan barrier of
communication adalah segala sesuatu Utara yang melibatkan Gorontalo atau
yang Prasangka menurut Andrik Talaut dan di Jawa sendiri yang sarat
Purwasito (Purwasito, 2003: 178) adalah dengan isu SARA (2011:35).
cara pandang atau perilaku seseorang
terhadap orang lain secara negatif. Hambatan Komunikasi Antar Etnis
Andrik Purwasito juga mengatakan Hambatan komunikasi atau yang
prasangka merupakan pernyataan umum juga dikenal sebagai communication
yang didasarkan atas beberapa barrier adalah segala sesuatu yang menjadi
pengalaman dangkal yang tidak diuji penghalang untuk terjadinya komunikasi
terlebih dahulu. Sedangkan menurut yang efektif tutur Chaney dan Martin
Samovar, Porter, dan McDaniel (2014: (Dalam Simbolon, 2012: 45). Hambatan
207) prasangka merupakan generalisasi komunikasi tersebut bisa terjadi karena
kaku dan menyakitkan mengenai etnosentrisme, rasis, dan stereotipe.
sekelompok orang. Prasangka
menyakitkan dalam arti bahwa orang a) Etnosentrisme
memiliki sikap yang tidak fleksibel yang Porter (dalam Darmastuti, 2013:
didasarkan atas sedikit atau tidak ada 73) memberikan definisi ‘etnosentrisme
bukti sama sekali. is judging other cultures by comparison
Menurut Sinta dan Wulan (2016: with one’s own’. Dalam pemahaman
165) Mengatakan kerukunan antarumat porter, etnosentrisme merupakan
beragama dapat terjaga karena adanya penghakiman suatu kelompok masyarakat
budaya demokrasi yang memiliki peran yang lain dengan cara membandingkan
untuk menrapkan kesetaraan kebebasan atau menggunakan standar budayanya
bagi semua pihak dalam beragama dan sendiri. Nanda dan Warms (dalam
gender. Semua usaha untuk menjaga Darmastuti, 2013: 73) mengatakan bahwa
kerukunan ini merupakan nilai-nilai etnosentrisme merupakan pandangan
hidup yang dimiliki oleh masyarakat bahwa budaya seseorang lebih unggul
Minahasa. dibandingkan dengan budaya yang lain.
Menurut pemaparan para ahli Pandangan bahwa budaya lain dinilai
diatas, peneliti dapat mengambil suatu berdasarkan budaya kita. Tidak jarang
contoh prasangka pada masyarakat multi seseorang akan berubah menjadi
etnis. Abdulah (2001: 35) telah terjadi etnosentrisme, ketika mereka melihat
berulangkali di Kalbar sejak tahun 1962 budaya lain menggunakan kacamata
(lihat Kompas 20/12/2000). Sejak 1962 budaya mereka atau berdasarkan pada
itu, pertikaian yang melibatkan etnis posisi sosialmereka.
Madura, Melayu, Dayak, dan Tionghoa Sedangkan etnosentrisme menurut
terus berlangsung pada tahun 1963, 1968, Andrik Purwasito (Purwasito 2003: 228)
1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997, adalah egoisme kultural. Sebuah
1999, dan 2000. Peristiwa yang terjadi di komunitas menganggap dirinya paling
Kalimantan Tengah pada bulan Pebruari superior diantara yang lain dan penilaian
2001 yang lalu merupakan contoh tentang budaya sendiri yang lebih baik. Jadi,
betapa rumitnya persoalan etnis di semua penilaian berangkat dari ukuran
Indonesia. Lebih lanjut Abdulla budaya sendiri dan menyebabkan apa
menjelaskan konflik etnis semacam ini yang terbaik adalah budaya sendiri
tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi sedangkan budaya orang lain lebih
juga di daerahdaerah lain di Indonesia. rendah. Dari paparan para ahli di atas,
Konflik antara orang Aceh dengan Batak dapat dilihat bahwa hambatan ini dapat
atau antara Melayu dengan non-Melayu menyebabkan konflik jika etnosentrisme
di Sumatera Utara; pertikaian di Ambon dianut masyarakat disuatu daerah bersifat
atau di Papua. Pertikaian di Sulawesi multietnis, karena hanya dalam
masyarakat multietnis sebuah budaya tindakan penghinaan yang dilakukan
dapat dibandingkan dengan yanglainnya. kepada etnis lain, intimidasi terhadap
etnis lain, bahkan sampai pada tahap
b) Stereotipe seriusnya dapat mencapai pada tahap
Andrik Purwasito (Purwasito 2003: kekerasan fisik.
228) mendefinisikan stereotipe sebagai Salah satu contoh rasisme yang
sendiri-sendiri berdasarkan lingkungan sederhana dan terjadi dikehidupan kita,
budaya. Stereotipe menurut Samovar, misalnya saat pembentukan kelompok
Porter, dan McDaniel (2014: 203) dikelas salah satu sekolah yang mayoritas
merupakan bentuk kompleks dari berkulit putih, tidak ada satu
pengelompokkan yang secara mental kelompokpun yang ingin
mengatur pengalaman individu dan mengikutsertakan A (satu- satunya murid
mengarahkan sikap individu tersebut berkulit hitam di kelas) ke dalam
dalam menghadapi orang-orang tertentu. kelompok mereka. Hal itu menunjukkan
Hal ini menjadi cara untuk mengatur bahwa adanya latar belakang rasisme
gambaran-gambaran yang anda miliki ke dalam penolakan murid A dalam setiap
dalam suatu kategori yang pasti dan kelompok di kelas tersebut. Terkadang
sederhana yang anda gunakan untuk rasisme dapat kita lakukan secara sadar
mewakili sekelompok orang. ataupun tidak sadar, hal tersebut
Berdasarkan pemaparan stereotipe disebabkan oleh sikap rasisme sudah
menurut para ahli diatas, penulis dapat diwariskan secara turun temurun dan
menyimpulkan bahwa stereotipe dapat tanpa sadar dapat melekat pada tubuh dan
menimbulkan konflik antarbudaya jika pikiran kita sampai selamanya.
sekelompok orang dari budaya A Pada penelitian ini, penulis akan
menggambarkan kelompok budaya B membahas mengenai komunikasi dari
dengan tidak benar atau negatif dan tiga budaya yang berbeda. Maka dari itu,
gambaran negatif tersebut hanya paparan mengenai hambatan komunikasi
didasarkan pada pandangan terhadap yang dituliskan di atas akan menjadi
seorang individu yang kebetulan bahan kajian penting yang dapat
merupakan kelompok budaya B. Dapat membantu peneliti untuk menyelesaikan
dikatakan bahwa stereotip memandang penelitian ini.
semua orang dalam suatu kelompok
memiliki sifat yang sama. Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metodologi
c) Rasisme kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan
Rasisme menurut Leone (dalam data berupa observasi, studi kepustakaan,
Samovar, Porter, dan McDaniel, 2014: dan pengambilan data internet. Pada
212) merupakan kepercayaan terhadap wawancara ini, peneliti menggunakan
superioritas yang diwarisi oleh ras wawancara semi terstruktur. Jadi pada saat
tertentu. Superioritas inilah yang peneliti melakukan wawancara mendalam
memungkinkan seseorang untuk bersama responden, pertanyaan tidak
memperlakukan kelompok lain secara bersifat baku dengan hanya terpaku pada
buruk berdasarkan ras, warna kulit, pertanyaan yang telah dipersiapkan. Tetapi
agama, dan lainnya. Samovar, Porter, dan bisa saja berubah, hal tersebut tergantung
McDaniel juga mengatakan bahwa dari jawaban responden saat wawancara
rasisme merupakan penghalang utama berlangsung.
dalam suksesnya komunikasi Dalam penelitian ini, peneliti
antarbudaya. Tanpa disadari, banyak melakukan pengumpulan data dengan
bentuk-bentuk rasisme yang sering terjadi melakukan observasi pengamatan
disekitar kita. Rasisme dapat mencakup mengenai hambatan komunikasi yang yang
terjadi antaretnis Dayak, Melayu, dan dan mengklasifikasikan hasil
Tionghoa di kota Pontianak. Dalam observasitersebut.
melakukan penelitian ini, peneliti 4) Tahap selanjutnya, setelah
memanfaatkan buku-buku bacaan ilmu memahami hasil observasi penulis
komunikasi yang berkaitan dengan topik mengkolaborasikan dan
penelitian ini. Seperti misalnya buku teori menganalisis temuan dengan
komunikasi, pengantar ilmu komunikasi, teori-teori yangbersangkutan.
komunikasi antarbudaya, dan lainnya. 5) Tahap terakhir adalah
Peneliti juga berpedoman pada teori-teori pembahasan. Setelah menganalisis
para ahli yang didapat melalui buku-buku hasil data observasi dengan teori
tersebut. Dalam penelitian ini penulis juga akhirnya penulis dapat
mengumpulkan data online sebagai data mengubahnya menjadi sebuah
pendukung. temuan yang bermakna.
Teknik analisis data Menurut
Seiddel (dalam Moleong, 2007: 248)
analisis data kualitatif memiliki proses Hasil dan Pembahasan
yang berjalan secara bertahap. Yang Dalam masyarakat multietnis,
pertama adalah mencatat yang kesempatan untuk terjadinya hambatan
menghasilkan catatan lapangan, dengan dalam komunikasi menjadi semakin
hal itu diberi kode agar sumber datanya besar, hal tersebut dikarenakan oleh
tetap dapat ditelusuri; yang kedua adalah adanya penghalang seperti yang
mengumpulkan, memilah-milah, diungkapkan para ahli diatas.
mengklasifikasikan, mensintesiskan, Penghalang untuk terjadinya komunikasi
membuat ikhtisar, dan membuat bisa saja merupakan perbedaan budaya,
indeksnya; yang terakhir adalah berpikir, bahasa, adat istiadat, dan lainnya.
dengan membuat agar kategori data itu Berikut adalah tabel mengenai pola
mempunyai makna, mencari dan hambatan komunikasi antar kelompok
menemukan pola, hubungan, serta etnis Dayak, Tionghoa, dan Melayu
temuam-temuan umum. berdasarkan hasil temuan penulis:
Dalam penelitian ini, penulis hanya
mengikuti beberapa teknis analisis data A. Hambatan Komunikasi Etnis
yang dipaparkan oleh para ahli di atas Melayu Terhadap Etnis Dayak,
yaitu mengolah data yang telah Tionghoa, dan Melayusendiri
dikumpulkan, mempelajarinya,
mengidentifikasikannya, dan Berdasarkan hasil wawancara
mengubahnya menjadi suatu temuan yang penulis dengan informan, ditemukan
bermakna. Berikut tahap-tahap dalam bahwa adanya stereotyping oleh etnis
teknik analisis data penulis dalam Melayu kepada etnis Dayak dan
penelitian ini: Tionghoa di kota Pontianak. Andrik
1) Melakukan observasi dengan Purwasito (Purwasito 2003: 228)
wawancara dan mendefinisikan stereotipe sebagai
pengamatanlangsung pandangan umum dari suatu kelompok
2) Setelah mengumpulkan data masyarakat terhadap kelompok
penelitian dengan observasi, maka masyarakat lainnya. Pandangan umum ini
tahap selanjutnya adalah biasanya bersifat negatif. Pandangan
menarasikan hasil wawancara negatif yang diberikan kepada suatu
danpemgamatan. kelompok masyarakat inilah yang
3) Setelah menarasikan hasil seringkali menjadi pemicu munculnya
observasi, penulis mempelajari konflik. Andrik Purwasito juga
mengatakan bahwa stereotipe dibangun
dari waktu ke waktu, yang mana setiap suka menutup diri dari etnis lain. justru
kelompok masyarakat mempunyai kalo kita mau approach mereka, mereka
kerangka interpretasi sendiri-sendiri malah jadinya rasis ke kita karena etnis
berdasarkan lingkungan budaya. kita beda, terus cara komunikasi juga
“kalo menurut aku orang Dayak itu beda”. (wawancara dengan informan
masih mungkin karena memang mereka etnis Melayu pada tanggal 19
masih mayoritas gitu ya, jadi masih kolot, November2016).
rasis, belum bisa bergaul juga dan kurang
tenggang rasa dengan etnis lain” Rasisme menurut Leone (dalam
(wawancara dengan informan etnis Samovar, Porter, dan McDaniel, 2014:
Melayu pada tanggal 19 November 212) merupakan kepercayaan terhadap
2016). superioritas yang diwarisi oleh ras
Hasil dari wawancara menunjukkan tertentu. Superioritas inilah yang
bahwa etnis Melayu memandang memungkinkan seseorang untuk
kelompok etnis Dayak yang masih kolot, memperlakukan kelompok lain secara
rasis, dan kurang memiliki nilai tenggang buruk berdasarkan ras, warna kulit,
rasa kepada etnis lainnya, menurut agama, dan lainnya. Informan Melayu
informan hal tersebut dikarenakan etnis merasa bahwa etnis Tionghoa masih rasis
Dayak yang masih merupakan salah satu terhadap etnis Melayu, hal tersebut
etnis mayoritas disana. Informan juga terjadi saat informan masih berada di
mengungkapkan bahwa adat istiadat dari bangku SMA, informan yang ingin
masyarakat etnis Dayak masih sangat melakukan pendekatan dan pengenalan
kental dan masih terus dijalani sampai dirinya kepada salah satu temannya yang
sekarang, hal tersebutlah yang membuat merupakan etnis Tionghoa ditanggapi
informan Melayu merasa kalau dengan sinis oleh etnis Tionghoatersebut.
masyarakat Dayak disana masih sangat “Iya mereka gak mau bergaul, kayak
kolot. Berdasarkan sumber yang sama, sinis gitu loh. Terus kayak ngomongin
penulis juga menemukan bahwa etnis dibelakang gitu” (wawancara dengan
Melayu merasa bahwa etnis Tionghoa di informan etnis Melayu pada tanggal 19
Pontianak masih sangat menutup diri, November 2016).
menurut informan hal tersebut Hal ini mencerminkan bahwa masih
dikarenakan jumlah etnis Tionghoa yang adanya kelompok masyarakat tertentu
masih minoritas di provinsi tersebut, dan yang memperlakukan kelompok
juga budaya yang terlalu berbeda dari masyarakat lain dengan buruk hanya
etnis Melayu dan Dayak terutama dalam karena perbedaan ras, etnis, dan lainnya di
hal bahasa yang digunakan untuk Pontianak.
keseharian. Hal tersebut memang dapat
dilihat dari masyarakat Tionghoa yang
kebanyakan masih menggunakan bahasa B. Hambatan Komunikasi Etnis
Tionghoa (Khek atau Tio Chu) dalam Dayak Terhadap Etnis Melayu,
keseharian mereka, sedangkan etnis Tionghoa, dan Dayaksendiri
Dayak dan Melayu yang kebanyakan
telah berkomunikasi dengan bahasa Berdasarkan hasil wawancara yang
daerah tersebut. Hal tersebut juga dilakukan penulis dengan informan
membuat informan merasa jika masih ada Dayak penulis menemukan bahwa adanya
rasisme pada etnis Tionghoa terhadap etnosentrisme pada etnis Dayak di
etnis lain di sana. Pontianak. Nanda dan Warms (dalam
Darmastuti, 2013: 73) mengatakan bahwa
“Menurut aku karna Tionghoa etnosentrisme merupakan pandangan
masih minoritas, jadi mereka kadang bahwa budaya seseorang lebih unggul
dibandingkan dengan budaya yang lain. Saat ditanya mengenai pandangan
Saat penulis melakukan wawancara, terhadap etnis Melayu, penulis
infroman Dayak menjawab dengan yakin menemukan bahwa adanya prasangka
bahwa kebudayaan dan adat dari etnis informan Dayak terhadap etnis Melayu.
Dayak lebih baik jika dibandingkan Prasangka menurut Andrik Purwasito
dengan etnis Melayu dan Tionghoa di (Purwasito, 2003: 178) adalah cara
Pontianak. pandang atau perilaku seseorang terhadap
orang lain secara negatif. Andrik
“Ya pastinya lebih baik dong, Purwasito juga mengatakan prasangka
karna kan Dayak itu adat saya merupakan pernyataan umum yang
sendiri, terus sayadari kecil kan didasarkan atas beberapa pengalaman
hidupnya dengan aturan-aturan dangkal yang tidak diuji terlebih dahulu.
orang Dayak”. Menurut informan ia jarang bergaul
dengan orang dari etnis Melayu, informan
Informan Dayak juga tidak memberikan mengatakan hal tersebut karena ia merasa
alasan yang signifikan mengapa ia bahwa masyarakat dari etnis Melayu
merasa jika budaya dan adat Dayak lebih cenderung lebih tertutup dan hanya ingin
baik daripada Melayu dan Tionghoa. Apa bergaul dengan etnis mereka sendiri.
yang terjadi pada etnis Dayak Pontianak
dapat juga dikatakan sebagai egoisme C. Hambatan Komunikasi Etnis
kultural, dimana etnis tersebut merasa Tionghoa Terhadap Etnis Melayu,
dirinya paling superior dan menilai Dayak, dan Tionghoasendiri
budayanya sendiri yang paling baik.
Etnosentrisme menurut Andrik Purwasito
Berdasarkan wawancara bersama
(Purwasito 2003: 228) adalah egoisme
dengan salah satu masyarakat etnis
kultural. Sebuah komunitas menganggap
Tionghoa di Pontianak, penulis juga
dirinya paling superior diantara yang lain
menemukan bahwa adanya prasangka
dan penilaian budaya sendiri yang lebih
etnis Tionghoa terhadap etnis Melayu.
baik. Jadi, semua penilaian berangkat
Prasangka menurut Andrik Purwasito
dari ukuran budaya sendiri dan
(Purwasito,2003: 178) adalah cara
menyebabkan apa yang terbaik adalah
pandang atau perilaku seseorang terhadap
budaya sendiri sedangkan budaya orang
orang lain secara negatif. Andrik
lain lebih rendah. Hal ini terbukti dari
Purwasito juga mengatakan prasangka
pernyataan informan Dayak yang
merupakan pernyataan umum yang
mengatakan bahwa budaya masyarakat
didasarkan atas beberapa pengalaman
Tionghoa yang tingkat kepedulian antar
dangkal yang tidak diuji terlebihdahulu.
sesama etnis sendiri yang begitu rendah,
sangat berbeda dengan etnis Dayak yang “orang-orang Melayu itu ya disini
selalu saling membantu dan juga ramah mereka suka merasa kalau kelompok
antar sesama etnis Dayak walau tidak mereka kan mayoritas, lebih dominan,
saling mengenal sekalipun orang dari dan mereka juga menganggap remeh
etnis Dayak akan saling menyapa jika seperti menganggap etnis Tionghoa
merupakan sesama etnis Dayak. Selain cuman numpang di negara ini”
hal tersebut, informan Dayak yang (wawancara dengan informan etnis
pernah bekerja dengan masyarakat dari Tionghoa pada tanggal 16 November
etnis Tionghoa juga memberikan 2016).
stereotype pada etnis Tionghoa yaitu Informan Tionghoa berprasangka
memiliki sifat hemat dalam masalah bahwa dikarenakan etnis Melayu
keuangan dan merupakan seorang yang merupakan etnis Mayoritas, mereka
pekerjakeras. sering menganggap remeh etnis Tionghoa
disana. Selain itu, menurut hasil D. Menjaga Kerukunan Antaretnis
wawancara dan observasi penulis di Kota Pontianak
menemukan bahwa adanya stereotype
dari etnis Tionghoa terhadap etnis Dalam hal menjaga kerukunan
Melayu bahwa masyarakat etnis Melayu hidup disuatu wilayah yang dihuni oleh
jika dilihat dari sisi kehidupannya sangat kelompok masyarakat dari berbagai etnis,
boros dan tidak bisa menabung. tentu sebagai masyarakat tersebut harus
“Kalo dari sisi kehidupan, menghindari timbulnya konflik. Konflik
kebanyakan mereka ya gak bisa hemat menurut Wirawan merupakan salah satu
uang, kebanyakan dari mereka kalo udah esensi dari kehidupan dan perkembangan
dapat uang langsung aja dihabisin” manusia yang mempunyai karakteristik
(wawancara dengan informan etnis yang beragam. Setiap manusia memiliki
Tionghoa pada tanggal 16 November status sosial, kebudayaan, etnis, suku,
2016). dan kepercayaan, serta tujuan hidup yang
Bahkan menurut hasil observasi, berbeda. Perbedaan tersebutlah yang
ada sebutan khusus yang digunakan oleh dapat menyebabkan konflik antar
orang Tionghoa untuk mencerminkan individu (Wirawan, 2009:1).
seseorang yang sangat boros yaitu “huan Hambatan-hambatan komunikasi
nang kuan” yang artinya adalah sifat yang telah dibahas oleh penulis diatas tak
orang Melayu. Jadi dapat dibayangkan pelak dapat menimbulkan konflik
betapa kuatnya stereotype terhadap orang antaretnis di kota Pontianak, maka dari
Melayu yang dianggap mempunyai itu harus adanya usaha ataupun kemauan
kebiasaan boros tersebut. Selain hal dari masing-masing kelompok etnis
tersebut, informan Tionghoa juga memuji untuk dapat saling hidup berdampingan
solidaritas masyarakat etnis Melayu yang dengan baik dan rukun. Untuk mencapai
dinilai sangat tinggi antar sesama etnis hal itu, tentu juga harus ada sikap sikap
Melayu. Hal yang sama diungkapkan yang perlu diterapkan oleh masyarakat
oleh informan saat ditanya mengenai dari ketiga kelompok etnis tersebut.
pandangan terhadap etnis Dayak, Berdasarkan hasil wawancara bersama
informan mengatakan bahwa etnis Dayak ketiga informan, penulis melihat bahwa
juga memiliki rasa solidaritas yang sangat adanya kesadaran dari ketiga kelompok
tinggi antarsesamanya. etnis tersebut dalam menjaga kerukunan
Sebagai seorang dari etnis hidup antaretnis di kotaPontianak.
Tionghoa sendiri, informan Tionghoa “Biar rukun dan mengurangi
yang penulis wawancarai juga mengkritik konflik mungkin kita cukup saling
bagaimana etnis Tionghoa disana yang menghargai sih, toleransi antarsesama.
sangat individualis. Individualis dalam Nah mungkin bisa kita buat acara
arti jika antar sesama etnis Tionghoa perkumpulan antaretnis mungkin, agar
sedang mengalami kesulitan, etnis dapat menjalin hubungan yang lebih baik
Tionghoa lainnya lebih cuek dan tidak antar sesana. Dan untuk etnis apapun,
saling menolong, berbeda dengan etnis janganlah mudah terprovokasi dan
Dayak dan Melayu yang solidaritas berpikirlah lebih terbuka”.(wawancara
antarsesama etnisnya sangat tinggi. dengan informan etnis Tionghoa pada
Menurut informan Tionghoa etnis tanggal 16 November 2016).
Tionghoa disana memiliki mental pekerja “Pertama sih pasti toleransi
dan otak bisnis, hal itu pula yang sesama etnis, terus kita kan juga tinggal
menyebabkan etnis Tionghoa memiliki di Indonesia yang Bhinekka Tunggal Ika
sifat agak pelit. jadi gak boleh egois, gak boleh terlalu
mikir kalo etnis kita itu paling baik. Dan
juga jika sedang berada ditempat umum
sebaiknya kita berkomunikasi karena adanya etnosentrisme, rasisme,
menggunakan bahasa Indonesia yang dan stereotipe pada masyarakat. Selain itu
baik dan benar biar gak ada egoisme kultural juga masih melekat
kesalapahaman, dan juga saling pada diri berberapa masyarakat dalam
menghargai antar sesama etnis lain”. kelompok etnis tertentu. Seperti
(wawancara dengan informan etnis kelompok Etnis Dayak merupakan salah
Melayu pada tanggal 19 November2016).
satu etnis mayoritas di Kota Pontianak
“Mungkin harus saling menghargai
merupakan etnis yang paling
dan menjaga, menghargai misalnya kalo
kita tau kan orang Melayu tidak makan menganggap dirinya superior diantara
daging jadi usahakan kita gak makan dan etnis Tionghoa dan Melayu. Kelompok
menyuguhkan makanan itu kepada Etnis Dayak dan Melayu merupakan etnis
mereka”. (wawancara dengan informan yang mempunyai tingkat solidariotas
etnis Dayak pada tanggal 21 November yang sangat tinggi dengan antar sesama
2016). etnisnya. Kelompok Etnis Melayu
Berdasarkan hasil wawancara dari merupakan kelompok etnis yang paling
ketiga kelompok etnis berbeda yang sering memunculkan konflik.
tinggal secara berdampingan di kota
Pontianak, yang penulis paparkan diatas Hambatan-hambatan komunikasi
dapat dilihat bahwa setiap kelompok etnis tersebut dapat menciptakan kesalah
sadar betul perlu adanya rasa saling pahaman antar etnis di Pontianak dan
menghargai dan toleransi antar sesama akhirnya dapat menimbulkan konflik
etnis lain, serta mengurangi egoisme antar etnis. Untuk mencapai kerukunan
kultural yang ada. Seperti yang dalam kelangsungan hidup dalam
diungkapkan oleh salah satu tokoh masyarakat dari Etnis Melayu, Dayak,
kebudayaan yaitu Octavianus Shellin dan Tionghoa di Pontianak diharapkan
Panaloan yang merupakan Ketua Ikatan
adanya sikap toleransi, sikap saling
Pemuda Dayak Kapuas Hulu bahwa
semua masyarakat harus sadar jika kita menghargai, dan tidak dengan mudah
semua adalah hanya manusia biasa yang terprovokasi oleh oknum-oknum yang
kebetulan memiliki etnis yang berbeda, tidak bertanggung jawab.
jadi tidak ada hal yang perlu
dipermasalahkan.“Yang saya harapkan Daftar Pustaka
setiap orang menyadari bahwa kita
Abdulla, Irawan. (2001). Penggunaan
adalah sesame manusia, etnis yang kita
dan Penyalahgunaan Kebudayaan
miliki hanyalah sebuah kebetulan, jadi
di Indonesia: Kebijakan Negara
untuk apa mempermasalahkan itu.
dalam Pemecahan Konflik Etnis.
Berkali-kali kita dihantam sejarah yang
Jurnal Antropologi Indonesia. 66
memperlihatkan bagaimana kejamnya
(34-45). Diakses dari:
diskriminasi antaretnis maupun ras, baik
http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/
di dalam maupun luar negeri. Semoga
article/viewArticle/3421
semua orang berbahagia menjadi
Anugrah D dan Kresnowiati W. (2008).
manusia, bukan menjadi etnis A atau
Komunikasi Antarbudaya. Jakarta:
etnis B”. (wawancara dengan Ketua
PT. Jala Permata
Ikatan Pemuda Dayak Kapuas Hulu,
Basrowi, Dr. M.Pd dan Suwandi, Dr.
Octavianus Shellin Panaloan).
M.Si. (2008). Memahami Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta
Kesimpulan
Bungin, H.M. Burhan. (2010). Penelitian
Konflik-konflik berbau etnis yang
Kualitatif. Jakarta: Kencana
terjadi di Kota Pontianak dapat terjadi Bungin, H.M. Burhan. (2010).
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Edwin. (2010). Komunikasi Lintas
Kencana Budaya. Jakarta: Salemba
Coppel, A.Charles. (1994). Tionghoa Humanika.
Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Sanadi, Ria Debora. (2014). Komunikasi
Penebar Swadaya Interpersonal pada keluarga Beda
Darmastuti, Rini. (2013). Komunikasi Budaya. Jurnal The Messenger. 6
Antarbudaya: Konsep, Teori dan (1). 29-33. Diakses dari:
Aplikasi. Yogyakarta: Buku Litera http://journals.usm.ac.id/index.php/
Yogyakarta the-messenger/article/view/165/137
Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi: Serba Simbolon, Debora. (2012). Memahami
Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Komunikasi Beda Budaya Antara
Lubis, A.L. (2016). Pemahaman Suku Batak Toba Dengan Suku Jawa
Praktis Komunikasi Antarbudaya. Di Kota Semarang (Studi Pada
Medan: USU Press Mahasiswa Suku Batak Toba
Maunati, Yekti. (2004). Identitas Dayak. Dengan Suku Jawa Di Universitas
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta Semarang). Jurnal The Messenger.
Moleong, M.A Lexy J. (2007). 4 (2). 43-49. Diakses dari:
Metologi Penelitian Kualitatif. http://journals.usm.ac.id/index.php/t
Bandung:PT. Remaja Rosdakarya he-messenger/article/view/159/131
Sihabudin, Ahmad. (2011).
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin R. (2005). Komunikasi Antarbudaya: Satu
Komunikasi Antarbudaya: Panduan Perspektif Multidimensi. Jakarta:
Berkomunikasi Dengan Orang- PT.Bumi Askara.
orang Berbeda Budaya. Bandung: Susanto, H Eko. (2010). Komunikasi
PT. Remaja Rosdakarya Manusia: Esensi dan Aplikasi Dalam
Mulyana, Deddy. (2006). Metodologi Dinamika Sosial Ekonomi Politik.
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Remaja Rosdakarya Suyanto, Bagong dan Sutinah. (2005).
Mulyana, Deddy. (2013). Ilmu Metode Penelitian Sosial Berbagai
Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Alternative Pendekatan. Jakarta:
Rosdakarya Kencana.
Nazir, Moh, Ph.D. (2011). Metode Tohirin, Dr. M. Pd. (2012). Metode
Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia Penelitian Kualitatif Dalam
Indonesia Pendidikan Dan Bimbingan
Paramita, Sinta dan Wulan P.S. (2016). Konseling. Depok: PT.
Komunikasi Lintas Budaya dalam Rajagrafindo Persada.
MenjagaKerukunan antara Umat Tubbs, Moss. (2005). Human
Beragama di Kampung Jaton Communication: Konteks-konteks
Minahasa.Jurnal Pekommas. Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
1(2).153-166. Diakses dari: Rosdakarya.
https://jurnal.kominfo.go.id/index.ph Umberan, Musni., et al. (1994). Sejarah
p/pekommas/article/view/2010205. Kebudayaan Kalimantan. Jakarta:
Petebang, Edi dan Eri S. (2000). Konflik Departemen Pendidikan dan
Etnis Di Sambas. Jakarta: ISAI Kebudayaan
Purasito, Andrik. (2003). Wirawan. (2009). Konflik Dan
Komunikasi Multikultural. Manajemen Konflik: Teori,
Surakarta: Muhammadiyah Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta:
University Press Salemba Humanika.
Samovar, A. Larry, Porter, E.
Richard, & McDaniel, R.

Anda mungkin juga menyukai