Ahmad Nurkholis
Hadits merupakan sumber hukum dalam agama Islam setelah kitab
suci Al-Qur’an, Rasulullah SAW sebagai pembawa syariat Islam
telah membimbing umat kepada jalan yang lurus, tidak akan tersesat
setiap muslim apabila berpegang teguh pada sunah Rasulullah SAW.
Masa pada saat Nabi diutus adalah masa yang sangat istimewa
karena pada saat itu para sahabat dibina dan dapat bertemu langsung
dengan Rasulullah SAW, tidak ada jarak antara Rasulullah dan para
sahabat, disampaikan langsung melalui lisannya yang mulia lalu
para sahabat mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah dan perkembangan ilmu hadits dapat dilihat dari dua aspek
penting, yaitu : aspek periwayatan dan pendewanannya. Dari
keduanya dapat diketahui proses dan transformasi yang berkaitan
dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi
SAW kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab-
kitab himpunan hadis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan
ini. Perkembangan hadits berkembang semenjak masa nabi
Muhammad hingga sekarang
SEJARAH HADITS PADA MASA NABI
Kemunculan hadits diiringi dengan berkembangnya agama islam
sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, Rasulullah sebagai suri
tauladan telah membawa perubahan besar pada masyarakat
jahiliyah. Rasulullah membimbing umatnya selama 23 tahun,
beliau sebagai mubayyin (penjelas) tentu sadar penyampaian risalah
kepada umat harus benar-benar jelas sehingga setiap ayat-ayat Al
Qur’an masuk kehati dan sanubari para sahabat.
Sebagaimana Al-Qur’an haditspun tidak turun secara langsung akan
tetapi turun secara bertahap, pada masa awal islam tumbuh
Rasulullah menjadikan Darul Arqom sebagai pusat kegiatan
dakwah Islam dan sosialisasi nilai-nilai keislaman walaupun masih
dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, golongan Assabiqun al
awwaluun selalu menghadiri kajian dimajelisnya baginda
Rasulullah menghafal wahyu yang telah turun kepadanya, lalu
berkembang pesat
Para sahabat banyak memiliki catatan dalam penulisan hadits-hadits,
catatan tersebut dimiliki baik secara pribadi ataupun untuk disampaikan
kepada orang lain, namun penulisan tersebut tidak seperti penulisan Al-
Qur’an secara langsung Nabi menunjuk beberapa sahabat untuk menulis
wahyu Allah, penulisan hadits tidak demikian karena Nabi melarang
para sahabat untuk menulis hadits-hadits yang beliau sampaikan kepada
mereka bahkan terdapat beberapa riwayat yang isinya tentang
pelarangan penulisan hadits
Salah satu diantaranya adalah hadits dari riwayat Abu Sa’id al-Khudriy :
Dari Abu Sa’id al-Khudriy ra., dia berkata: Rasulullah SAW telah
bersabda: “Kalian jangan menulis apa-apa yang keluar dariku. Barang
siapa yang menulis sesuatu yang keluar dariku selain Al-Qur’an, maka
hendaklah ia menghapusnya riwayatkanlah dari saya. Barang siapa
sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di neraka” (HR.
Muslim).
Beberapa faktor yang membuat Nabi Muhammad SAW
membatasi penulisan hadits pada saat itu didasarkan pada
beberapa pertimbangan, antara lain sebagai berikut yaitu :
Bahwa Nabi melarang para sahabat menulis hadits
karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Al-Qur’an.
Para sahabat pada umumnya merupakan orang-orang
yang memiliki daya hafal yang kuat, sehingga walaupun
hadits tidak mereka tulis hafalannya tidak akan musnah
karena lupa
Kontroversi penulisan hadits memang menjadi salah pokok
perhatian penting dikalangan ulama ahli hadits, maka para
ulama memberikan poin penting dalam hal ini :
Hadis yang melarang menulis hadis ini dibatalkan
(dinasakh) dengan hadis yang lain yang memperbolehkan
hal itu. Dan perlu diingat bahwa hadits shahih yang
melarang penulisan hadis hanya ada satu hadits saja, dan
sebagaimana penulis tuturkan dimuka, hal itu masih
diperselisihkan ulama apakah marfu atau mauquf.
Larangan tersebut hanyalah khusus untuk penulisan hadits
bersama Al-Qur'an dalam satu naskah. Hal itu dikarenakan
kekhawatiran akan terjadi percampuran antara hadis dan
Al-Qur’an
Ada beberapa cara Rasulullah dalam menyampaikan hadits
kepada para sahabat, yaitu :
Melalui pembinannya dalam majelis ilmu, para sahabat
memperoleh banyak hadits dalam mejelis beliau.
Dalam beberapa kesempatan Rasulullah menyampaikan
kepada sahabat tertentu lalu kemudian disampaikan
kepada orang lain.
Melaui ceramah atau pidato ditempat terbuka seperti
ketika haji wada’ dan futuh al Makkah.
HADITS PADA MASA KHULAFAUR
ROSYIDIN
Periode kedua dalam sejarah perkembangan ilmu hadits
adalah masa khulaur rasyidin, periode ini disebut juga
zaman kehati-hatian dan penyederhanaan riwayat
berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H.
Para sahabat memiliki andil besar dalam proses
penerimaan hadits, semua hal terkait lisan maupun tulisan
tidak terlepas melalui informasi yang disampaikan dari
Nabi SAW. Tanpa adanya keterkaitan sahabat dalam
penerimaan hadits maka mustahil hadist akan sampai
kepada generasi berikutnya.
Para sahabat khulaur rasyidin selalu mengamalkan hadits-
hadits sebagai bentuk ketaatan mereka pada Allah dan
Rasulnya, tidak ada keraguan dalam hati mereka ketika
mengamalkan ajaran Nabi maka kebahagiaan akan selalu
menyertai kehidupan baik didunia maupun akhirat, maka
para sahabat semaksimal mungkin menjaga kedudukan
hadits serta berhati-hati dalam periwayatannya terutama
dalam hal penyimpangan hadits sebagai sumber kedua
setalah Al-Qur’an. Kehati-hatian sahabat dalam menjaga
hadits tertuang melalui kesahihan apa yang diriwayatkan,
kapasitas pembawanya, dan cara mencari hadits dari
perawi lain.
Abu Bakr Ash-Shiddiq
Pada zaman Abu Bakar al-Siddiq Al -Qur‘an masih berada
pada tahap dihafal oleh para Sahabat dan baru pada rintisan
pertama untuk dimushafkan. Akibat dari kebijakan ini ialah:
Periwayatan hadits, sedikit sekali (sangat terbatas), hadits dan
ilmu hadits, belum merupakan pelajaran yang bersifat khusus,
pengetahuan dan penghafalan hadits, umumnya masih bersifat
individual.
Abu Bakar lebih memfokuskan pada penyelesain masalah yang
terjadi dikalangan kaum muslimin pasca wafatnya Rasulullah
umat Islam kehilangan sosok pemimpin, selain itu pada masa
Abu Bakar juga bermunculan murtaddin, orang yang mengaku
Nabi, dan wafatnya para huffadz dalam medan perang
Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab tegas dan ketat kepada para sahabat yang
meriwayatkan hadits, hal ini karena Umar bin Khattab tidak ingin
perhatian kaum muslimin tercurahkan kepada selain Al-Qur’an,
Umar tidak menginginkan seseorang bermudah-mudah dalam
menyampaikan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi.
Kekhawatiran Umar bin Khattab dalam pembukuan hadits adalah
termasuk prilaku tasyabuh dengan ahli kitab yaitu Yahudi dan
Nasrani.
Sebenarnya Umar bin Khattab menginginkan adanya pendewanan
hadits namun karena beliau lebih mengutamakan kaum muslimin
untuk mengkaji Al-Qur’an dan tidak teralihkan perhatian pada
selain Al-Qur’an serta agar Al-Qur’an tetap terjaga validitasnya
maka Umar mengurunkan niatnya untuk melakukan pendewanan
hadits.
Ustman bin Affan
Masa kepemimpinan Ustman bin Affan tidak jauh berbeda seperti masa Abu
Bakar dan Umar bin Khattab, secara umum upaya yang ditempuh oleh Ustman
bin Affan dalam bidang hadits hampir sama sebagaimana dua kholifah
sebelumnya walau tidak setegas Umar bin Khattab. Pada zaman Ustman bin
Affan wilayah kekuasaan Islam semakin menyebar luas keberbagai daerah maka
upaya kehati-hatian Ustman bin Affan dalam hal ini adalah meminta para sahabat
untuk tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar dimasa Abu Bakar
dan Umar.
Kegiatan Ustman bin Affan dalam periwayatan hadits telah lebih banyak bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada masa Umar bin Khattab Dalam
khutbahnya Ustman telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits. Namun seruan tersebut nampaknya tidak begitu
besar pengaruhnya terhadap periwayat tertentu yang bersikap longgar dalam
periwayatan hadits. Hal ini terjadi karena selain pribadi Usman tidak sekeras
pribadi Umar, juga karena wilayah Islam sudah mulai meluas. Luasnya wilayah
Islam mengakibatkan bertambahnya kesulitan dalam mengendalikan periwayatan
hadis secara ketat
Ali bin Abi Tholib
Sebagaimana pendahulunya, perkembangan hadits pada masa Ali bin Abi
Tholib tidak jauh berbeda pula dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan
Ustman bin Affan tentang periwayatan hadits. Ali hanya bersedia
menerima riwayat hadits setelah periwayat hadits yang bersangktan
mengucapkan sumpah bahwa hadits tersebut benar-benar dari Nabi
Muhammad SAW. Situasi politik yang bergejolak dimasa pemerintahan Ali
bin Abi Tholib turut membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits.
Kalau pada zaman Umar, larangan periwayatan Hadits telah dinyatakan
dengan tegas sedang zaman Utsman dan Ali, walaupun larangan itu belum
belum juga di cabut, tetapi tidaklah setegas di zaman Umar, maka sudah
dengan sendirinya punya pengaruh terhadap pengembangan hadits.
Dengan demikian penyebaran dan pengembangan riwayat sedikit demi
sedikit telah mulai dilakukan oleh para sahabat, khususnya didaerah-
daerah. Walaupun secara umum, periwayatan hadits masih terbatas, belum
meluas
HADITS PADA MASA TABI’IN DAN TABIUT TABI’IN
Para tabi’in adalah murid sahabat, mereka banyak mengoleksi hadits nabi bahkan mengoleksi
sampai disusun dalam kitab, batasan masa tabi’in sejak Nabi hidup sampai 150 tahun setelah
wafat. Sebagaimana sahabat, tabi’in pun begitu berhati-hati dalam proses periwayatan hadits
beban mereka sedikit lebih ringan dibandingkan para sahabat karena Al-Qur’an sudah
dikumpulkan dalam bentuk mushaf sehingga kekhawatiran tercampur dengan hadits bisa
diatasi.
Tabi’in menerima hadits-hadits dalam bentuk hafalan, catatan-catatan, atau melalui tulisan
sehingga hal ini menjadikan hadits begitu kuat melekat dalam diri para tabi’in dan tidak ada
hadits yang tercecer atau terlupakan. Para tabi’in dalam melakukan pengumpulan hadits
melakukan metode dengan bertemu langsung dengan sahabat lalu mencatatnya.
Ada beberapa kota yang dijadikan pusat pembinaan dalam periwayatan hadits yang kemudian
dijadikan sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota-kota tersebut adalah
Madinah al-Munawwarah, Makkah al-Mukaramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi
dan Andalusia, serta Yaman dan Khurasan. Pusat pembinaan pertama yaitu di Madinah, karena
di Madinahlah Rasulullah menetap setelah hijrah dan Rasulullah juga membina masyarakat
Islam yang didalamnya terdiri atas kaum Muhajirin dan Anshor. Di antara para sahabat yang
menetap di Madinah adalah Khulafa’ Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah ibn Umar
dan Abu Said al-Khudri, dan lain sebagainya.
Setelah berakhirnya masa tabi’in maka dimulailah masa
tabi’ut tabi’in, cara tabi’ut tabi’in dalam menerima
periwayatan hadits adalah melalui melalui lafadz hal ini
dikarenakan pada masa ini kodifikasi hadits sudah mulai
dilakukan pada akhir masa tabi’in, Kodifikasi pada masa
ini telah menggunakan metode yang sistematis, yaitu
dengan mengelompokkan hadits-hadits yang ada sesuai
dengan bidang bahasan, walaupun dalam penyusunannya
masih bercampur antara hadits Nabi dengan qaul sahabat
dan tabi’in. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-
Muwattha’ Imam Malik. Barulah pada awal abad kedua
hijriah, dalam kodifikasinya, hadits telah dipisahkan dari
qaul sahabat dan tabi’in
MASA KODIFIKASI HADITS HINGGA MUNCULNYA
HADITS PALSU