Anda di halaman 1dari 12

PERKEMBANGAN HADIST MASA SAHABAT DAN TABI’IN

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Hadist dan Ilmu
Hadist

MAKALAH

Oleh

1. Irpan Kurniawan 1137070040

2. Nur Afifah Thohiroh 1137070055

3. Taufik Albarri 11370700

4. Yuli Apriyanti 1137070073

5. Yusnifar Mahardika A 1137070074

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2014
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada
masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-
Qur’an. Para sahabt khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu
mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat
yang mungkin dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para
sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi saw dalam menafsirkan dan
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an mereka belum membayangkan bahaya
yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan. 
Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk
menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan melalu secara bertahap, seiring dengan
makin banyaknya sahabat yang wafat penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari
adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan
permasalahan. 

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan hadist pada masa Sahabat ?
2. Bagaimana perkembangan hadist pada masa Tabi’in ?

C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana perkembangan periwayatan hadits pada masa Sahabat.
2. Mengetahui bagaimana perkembangan periwayatan hadits pada masa Tabi’in. 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hadist Masa Rasulullah


Keadaan sunnah pada masa Rasulullah belum ditulis ataupun dibukukan secara resmi,
walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan adanya larangan
menulis hadits dari Rasulullah SAW lewat sabdanya: 

‫التكقبو اعىّن سيئا غري القران مفن كتب عىّن سيئا غري القر ان فلميح‬

Artinya: jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis
dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-
Khudry). 

Namun disamping itu, ada hadits yang membolehkan dalam penulisannya yaitu:

‫اكتب عىّن فو اذلى نفس بيده ما خرج من مفن الااحل‬


Artinya: Tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar
dari mulutku kecuali yang hak.

Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya


sebagai berikut:
1. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara
agar hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum
muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum
larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
2. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya
bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari
kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh
bin Amr bin Ash.
3. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada
menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kaut
hafalannya.

B. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat


Sahabat merupakan umat islam yang yang bertemu dengan nabi saw dan semasa
dengan beliau. Klasifikasinya terbagi menjadi dua yakni: Sahabat besar dan sahabat
kecil. Sahabat besar merupakan sahabat yang bergaul dengan Nabi, banyak belajar dan
mendengar hadits-hadits dari beliau serat sering pergi berjihad. Sedangkan sahabat kecil
adalah para sahabat yang jarang bergaul dengan Nabi disebabkan jauhnya jarak tempat
tinggal dari kediaman Nabi. 
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa
Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi
Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan
sahabat besar. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar karena pada masa ini
perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an,
periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu para
ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukkan pembatasan
periwayatan (At-Tasabbut wa Al-Iqlal min Ar-riwayah) (Mudasir. 1999.90).Pada masa
menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh
kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana
sabdanya: 

ّ ‫تركت فيمك أمر ىي لن متلّوا ما‬


‫متسمك هبام كتاب هللا وسنة نبيّه‬
Artinya: Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah
berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-
Hadits). 
Pasan-pesan Rasul saw, sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga
segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-
pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul saw. dibuktikan dengan  melaksanakan segala
yang dicontohkannya.
1. Berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima Hadits.
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha
memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan
pada masa Abu Bakar atas saran Umar bin Khatab. Pada masa ini belum ada usaha
secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab,seperti halnya Al-Qur’an. Ini
disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat islam)
dalam mempelajari Al-Qur’an, sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak
menerima hadits dari Rosul saw. Sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam,
dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan
kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan
lainnya, bahwa dalam membukukan hadits, dikalangan para sahabat sendiri terjadi
perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.

2. Periwayatan Hadits dengan Lafadz dan Makna


Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits,yang ditujukan oleh para
sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berati hadis-hadis rosul tidak
diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadits-hadits ini diriwayatkan, khususnya
yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya seperti dalam
permasalahan ibadah dalam muamalah. Periwayatan tersebut  dilakukan setelan diteliti
secara ketat pembawa hadits tersebut dan kebenaran isi matannya.

Terdapat dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist yaitu: 


a. Periwayatan Lafdzi
Periwayatan Lafdzi berarti redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasulullah
saw. Kebanyakan para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini.
Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasululah
SAW dan bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut Ajjaj Al Khatib,
seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan hadis dilakukan dengan lafdzi
bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka melarang ketat meriwayatkan hadis
dengan maknanya saja (maknawi), bahkan mereka tidak membolehkan mengganti
satu huruf atau satu kata pun. Begitu pula mendahulukan susunan kata yang
disebut Rasul belakangan atau sebaliknya atau meringankan bacaan yang tadinya
siqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin khaththab pernah berkata:
Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasulullah SAW kemudian ia
meriwayatkannya sesuai yang ia dengar maka ia akan selamat (Mudasir. 1999.92).
b. Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi berarti yang berarti redaksinya tidak sama persis seperti
yang didengar dari Rasulullah saw. Akan tetapi isi atau maknanya sama dan tetap
terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh rasul tanpa ada
perubahan.Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-
hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ia menggunakan term-
term tertentu untuk menguatkan penukilannya seperti dengan kata qala Rasululla
Shallallahu alaihi wasallam hakadza (Rasulullah SAW telah bersabda begitu) atau
qala Rasullah Shallallahu alaihi wasallam qariban min hadza (Mudasir. 1999.92).
Periwayatan hadis dengan maknawi mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang
redaksinya antara satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun
maksud dan maknanya sama. Hal ini sangat bergantung kepada para sahabat atau
generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut (Mudasir. 1999.92).

1. Masa Pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq 


Setelah Rasulullah saw wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota luar
madinah sehingga memudahkan untuk penyebaran hadits. Namun dengan semakin
mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi
otentisitas hadits tersebut. Maka pada masa khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan-
peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Pada masa ini belum ada usaha resmi
untuk menghimpun dan membukukan hadits seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini karena
umat islam lebih fokus mempelajari Al-Qur’an. Selain itu banyaknya para sahabat yang
berpindah ke kota-kota luar dan tersebar di berbagai daerah kekuasaan islam dengan
kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Hal inilah yang
mempersulit dalam membukukan hadits. Selain itu pula adanya perselisihan pendapat
antar sahabat belum lagi mengenai keshahihan dan lafadznya. 
Pada masa pemerintahan Abu Bakar ini misalnya untuk menghindari adanya
kebohongan beliau meminta pengukuhan para sahabat lain ketika nenek datang padanya
dan mengatakan “saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-
laki saya”. Kemudian Abu Bakar menjawab “saya tidak melihat ketentuan seperti itu,
baik dalam Al-Qur’an maupun dari rasul.”. Lalu Muhammad bin Maslamah menjawab
sebagai saksi bahwa seorang nenek dengan kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta
peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. 
Dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar amat ketat dalam
periwayatan hadits, sebab beliau mengkhawatirkan adanya sahabat yang berbohong
dalam penyampaian redaksi hadits. Akan tetapi beliau tidak anti terhadap penulisan
hadits, bahkan untuk kepentingan tertentu hadits nabi ditulisnya. 

2. Masa Pemerintahan Umar bin Khattab


Begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab. Dengan demikian periode tersebut
disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan tersebut
dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama
Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang
umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti
periwayatan, hanya saja Beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits.
Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan
mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh
Imam Malik.Ibnu Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj al-Khatib mengatakan Umar
bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras menentang orang-orang yang
menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang membawa hadist (khabar) mengenai
hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan seorang saksi. Umar bin Khatab tidak
senang dengan terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu
mudah dan sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak
berarti bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.a mengutus para ulama’
mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.

3. Masa Pemerintahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
Sikap kehati-hatian sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, juga diikuti oleh
Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali
bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada
masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu
kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan karena:
a. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
b. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke
berbagai daerah kekuasaan Islam. 

C. Perkembangan Hadits Masa Tabi’in 


Pengertian Tabi’in adalah orang islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan
belajar kepada sahabat, tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan tidak pula semasa
dengan beliau. 
Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan
sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar
ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23
H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611
M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin
dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Fazlur Rahman menyebut sahabat
senior) (Mudasir. 1999.93).
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul
era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam
perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di
antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang
cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677
M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M),
Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78
H/697 M) (Mudasir. 1999.94).
Sesudah masa Khufaur rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh – sungguh untuk
mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah
dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama
untuk meyelamatkan hadits dari usaha – usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan
hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode
khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan
hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati – hati dalam meriwayatkan
hadits, kehati – hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi cirri khas yang paling
menonjol, karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan.
Luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memacu munculnya hadits – hadits
palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah – pecah dan
masing – masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai
puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang
dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi
guru mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh kalangan tabi’in yang berbeda dengan
yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan pada satu mushaf
dan para sahabat ahli hadis telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga
para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani
ummayah perluasan wilayah kekuasaan berkembang pesat dan juga semakin meningkatnya
penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut. Sehingga pada masa ini dikenal dengan
masa penyebaran periwayatan hadis (intisyar Ar-Riwayah lla Al Amshar).terdapat
beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat
tujuan para tabi’in dalam mencari hadis yaitu madinah Al-Munawarah, Mekah Al-
mukaramah,kufah, basrah, Syam, Mesir, magrib dan andalas, yaman dan khurasan. Pusat
pembinaan pertama adealah madinah karena di sinilah Rasullah SAW menetap dan hijrah
serta membina masyarakat islam (Mudasir. 1999.94).
Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah adalah sebagai berikut Mu’adz
bin jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris.
Diantara para tabi’in yang muncul dari sini adalah mujahid bin Jabar, Ata’ bin Abi Rabah,
Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah maula Ibnu Abbas (Mudasir. 1999.94).
Diantara para sahabat yang membina hadis di kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Saad bin
Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara para tabi’in yang muncul disini ialah Ar-
Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-Nakhai’, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil
Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’I, dan Abu Ishak As-Sa’bi (Mudasir. 1999.95).
Diantara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah Anas bin Malik, Abdullah
bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said
Al-Anshari. Diantara para tabi’in yang muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad
bin Sirrin, Ayub As-sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin
Du’amah As-sudusi, dan Hisyam bin Hasan (Mudasir. 1999.95).
Diantara para sahabat yang membina hadis di Syam ialah Abu Ubaidah Al-Jarah, Bilal
bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad bin Ubadah, Abu darda Surahbil
bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul disini ialah
salim bin abdillah al-muharibi, Abu Idris Al-khaulani, Umar bin Hanna’I (Mudasir.
1999.95).
Diantara para sahabat yang membina hadis di mesir ialah Amr bin Al-as, Uqubah bin
Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris. Para tabi’in yang muncul disini
ialah Amr bin Al-Haris, nKhair bin Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah
bin Jafar dan Abdullah bin Sulaiman Ath-Thawil (Mudasir. 1999.95).
Diantara para sahabat yang membina hadis di magrib dan andalus ialah Mas’ud bin Al-
Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin asim Al-muzaid. Para tabi’in yang munc ul disini
adalah Ziyad bin An-Am Al-Mu’afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, Al-
Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah bin Ra’fi dan Muslim bin Yasar (Mudasir. 1999.95).
Diantara para sahabat yang membina hadis di Yaman adalah Muadz bin jabal dan Abu
Musa Al-Asy’an. Para tabi’in yang muncul disini diantaranya adalah Hammam bin
Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar bin Rasid (Mudasir. 1999.95).
Diantara para sahabat yang membina hadis di kharasan adalah Abdullah bin Qasim Al-
Aslami, dan Qasm biun sabit Al-Anshari, Ali bin Sabit Al-Anshari, Yahyab bin Sabih Al-
Mugari (Mudasir. 1999.95).
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah terjadinya perang
jamal dan perang suffin berakibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya
umat islam menjadi beberapa kelompok. Secara langsung ataupun tidak pergolakan politik
tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya baik pengaruh
yang bersifat negative maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negative
adalah munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung kepentingan politik masing-masing
kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya. Pengaruh yang bersifat positif adalah
terciptanya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis
sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut (Mudasir. 1999.96).

D. Aktifitas Sahabat dan Tabi’in dalam Mengumpulkan Hadits, Meriwayatkannya dan


Menentang Orang-orang yang Mengembangkan Hadits Palsu
            Jumhur umat Islam yang tidak memihak atau yang tidak menganut faham-faham
Syi’ah dan tidak menentang Ali, berpegang kepada hadits-hadits yang shahih dan
menolak hadits-hadits yang diriwayatkan melalui orang-orang Syi’ah dan Khawarij.
Jumhur umat Islam membersihkan hadits dari sisipan (tambahan) golongan yang sesat.
Pada masa itu masih mudah untuk menentukan hadits yang benar dan menolak hadits
yang palsu. Sahabat-sahabat Rasul masih banyak yang hidup sedang para Tabi’in
meneruskan usaha mengembangkan hadits.
Para sahabat membantah faham Syi’ah dan membasmi kebatalan-kebatalan yang
dibuat-buat oleh kaum pendusta. Para sahabat dan Tabi’in membuat suatu peraturan yang
kuat dan ilmiah intuk menghadapi ahli-ahli bid’ah. Mulai dari terjadinya kekacauan
terhadap Usman, para sahabat tidak lagi menerima sesuatu hadits tanpa menanyakan
sanadnya dan meneliti perawinya.

E. Lembaga Hadits dan Pengembang-pengembangnya di Berbagai Kota Islam


            Pengaruh pembukuan berbagai kota setelah pemerintah Islam bertambah luas, ialah
banyaknya penduduk kota yang memeluk agama Islam dan merasa haus kepada ajaran-
ajaran Islam. Oleh karenanya para khalifah mengirim guru-guru untuk mengajar
penduduk kota yang baru dibuka itu.
Bahan kebanyakan para sahabat pindah ke kota-kota itu dengan keinginan sendiri dan
ada pula yang terus menetap di kota-kopta itu hingga wafat. Dengan datangnya para
sahabat ke kota-kota itu, lahirlah perguruan-perguruan tinggi untuk mempelajari al-
Qur’an dan Hadits.
Penduduk kota datang  kepada para sahabat yang berdiam di kota-kota itu. Karenanya,
lahirlah di tiap-tiap kota suatu generasi yang dinamakan generasi Tabi’in yang
kemudianmenjadi pengembang hadits dan rawi-rawinya.
 
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan 
Adapun cara periwayatan hadits pada masa sahabat terbagi menjadi dua yaitu:
Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan Periwayatan Maknawi
(Redaksi tidak sama persis akan tetapi makna&intinya sama). Pada masa sahabat belum
ada penulisan hadits secara resmi sebab dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an dan
umat islam lebih difokuskan untuk mempelajari Al-Qur’an. Begitu juga pada masa
Tabi’in, yang mengikuti jejak para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh
berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.
Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencaridan
meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu yang muncul
dari beberapa golongan untuk kepentingan politik. 

DAFTAR PUSTAKA

Azami, Muhammad Mustafa. 2000. Studes in Early Hadith Literature. Ali Mustafa Ya’qub.
Jakarta: Pustaka Firdaus. .
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Rumtianing, Irma, dkk. 2005. Pokok-pokok Ilmu Hadits. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press. 
Suparta. Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai