B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep periwayatan menurut Sunni ?
2. Bagaimana konsep kodifikasi hadits menurut Sunni ?
3. Bagaimana konsep periwayatan dan kodifikasi hadits menurut Syi’ah ?
C. Pembahasan
1. Konsep Periwayatan Hadits Menurut Sunni
Berbagai hadis Nabi yang termaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal
mulanya adalah hasil kesaksian para sahabat Nabi terhadap perkataan, perbuatan, taqrir,
dan atau hal-ihwal Nabi. apa yang disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya
kepada orang lain. Orang lain yang menerima riwayat hadis itu mungkin saja berstatus
sebagai sahabat, al-mukhadramin , atau al-tabi’in. Al- Mukhadramin dan al-Tabi’in yang
menerima riwayat hadis tadi lalu menyampaikan hadis itu kepada al-Tabi’in dan atau atba
al-Tabi’in (generasi setelah Tabi’in), dan demikian seterusnya. Sehingga hadis itu
akhirnya sampai kepada para periwayat yang melakukan kegiatan-kegiatan
penghimpunan hadis. Buah karya para penghimpun hadis ini (al-mukharrij) itulah yang
menjadi sumber pengetahuan dan rujukan hadis pada zaman berikutnya hingga sekarang.
Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman Nabi tidaklah
sama dengan yang dilakukan pada zaman sahabat Nabi. Demikian juga periwayatan pada
zaman sahabat tidak sama dengan periwayatan pada zaman sesudahnya. Periwayatan
hadis pada zaman Nabi lebih terbebas dari syarat-syarat tertentu bila dibandingkan
dengan periwayatan pada zaman sesudahnya. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi
selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan hadis, juga pada
zaman itu seseorang akan lebih mudah melakukan peremiksaan sekiranya ada hadis yang
diragukan kesahihannya. Makin jauh jarak waktu dari masa hidup Nabi, makin sulit
pengujian kebenaran suatu hadis. Berikut ini adalah konsep periwayatan hadits menurut
Sunni :
a. Periwayatan Hadits Masa Nabi Muhammad SAW
Periwayatan hadits pada masa Nabi Muhammad SAW adalah dengan lisan.
Kebiasaan untuk meneruskan perbuatan dan ucapan yang dikeluarkan oleh Nabi
kepada satu orang yang diteruskan kepada orang lainnya, berlangsung pada zaman
Nabi. Zaman ini adalah periode awal sejarah perkembangan hadits. Masa periwayatan
pada zaman Nabi sangat singkat, yakni selama kurang lebih 23 tahun, dimulai sejak
tahun ke 13 sebelum Hijriah dan 11 tahun setelah Hijriah. Pada masa ini hadits belum
dibukukan dan hanya sebatas hafalan para sahabat saja. (Muhajirin, 2015 : 3)
Pada masa ini, periwayatan hadits belum mendapat pelayanan seperti Al Qur’an,
karena para sahabat mencurahkan tenaga dan waktunya untuk menulis ayat-ayat Al
Qur’an di atas benda benda yang dapat ditulisi. Hal ini tidak terjadi pada periwayatan
hadits pada masa ini, dimana periwayatan hadits dilakukan hanya melalui lisan dan
hafalan. (Muhajirin, 2015 : 56)
Sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan hati-hati yang disabdakan
Nabi. Kemudian terekam lafadz dan makna dari sanubari mereka. Mereka dapat
melihat langsung apa yang Nabi kerjakan atau mendengar pula dari orang yang
mendengarnya sendiri dari Nabi. Kemudian, para sahabat menghafal setiap apa yang
diperoleh dari sabda-sabdanya lalu menyampaikan kepada orang lain secara hafalan
pula. (Sholahudin & Suyadi, 2008 : 60).
Ada beberapa cara Rasulullah SAW mentransmisikan hadits kepada para sahabat,
yaitu :
1) Melalui majelis ilmu yang dihadiri oleh pada sahabat. Melalui mejelis ini para
jama’ah memiliki banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka selalu
berusaha untuk mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatannya. Para
sahabat begitu antusias untuk selalu bisa mengikuti kegiatan di majelis ini. Hal ini
ditunjukkan dengan berbagai upaya-upaya. Terkadang di antara mereka
bergantian hadir seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab yang sewaktu-
waktu bergantian dengan Ibnu Zaid dari Bani Ummayyah untuk menghadiri
majelis ini, ketika ia berhalangan hadir.
2) Melalui para sahabat tertentu yang kemudian menyampaikannya kepada orang
lain. Hal ini disebabkan karena terkadang sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja atau bahkan hanya satu orang baik karena kebetulan ataukah memang
disengaja oleh Rasulullah SAW.
3) Cara lain yang ditempuh oleh Nabi adalah melalui pidato di tempat-tempat
terbuka, seperti ketika haji Wada’dan Fathul Makkah. (Alfiah dkk, 2016 : 62-63).
4) Majelis ilmu juga diadakan di kalangan kaum wanita, setelah sahabiyah
memintanya. (Muhajirin, 2015 : 56)
Disisi lain, para sahabat yang memiliki rasa cinta dan kekaguman kepada Nabi
sangat antusias mengikuti majelis Ilmu bersama Nabi. Respon positif yang mereka
tujukan, diaplikasikan dalam tiga bentuk kegiatan, yakni menghafal, mencatat, dan
mempraktikkan hadits-hadits Nabi. Setelah Nabi selesai mengajarkan hadits maka
para sahabat berkumpul di tempat itu juga untuk bersama-sama menghafalkan hadits.
(Alfiah dkk, 2016 : 64).
Demikian beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan haditsnya. Beberapa
cara yang disebutkan di atas merupakan garis besar dan masih banyak cara yang lain
yang ditentukan oleh situasi dan kondisi Nabi saat menyampaikan hadits. Cara
tersebut erat kaitannya dengan bentuk-bentuk hadits yang beliau sampaikan, yaitu
berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan.
5) Masa Tabi’in
Kata tabi`in berasala dari kata tabi`a, yatba,u, taba`an,dan tubu`an, taba`an
serta taba`atan, yang berarti “mengikut´atau ”berjalan sesudahnya” (sara fi
atsarihi). Bentuk isim fa`ilnya atau tabi`(bentuk jamaknya tabi`in atau tabi`un
yang berarti” orang yang mengikuti”. Apbila diberi ya` nishab menjadi tabi`in dan
kata jadian terakhir inilah yang menjadi istilah dalam ilmu hadis.
Secara bahasa istilah tabi`in menurut “Unais dkk. Diartikan sebagai
“Orang yang pernah bertemu dengan sahabat Nabi SAW” dalam keadaan beriman
dan meninggal dalam keadaan Muslim. Pengertian tidak berbeda dengan yang
dikemukan kalangan ahli hadis. Al-Shalih, misalnya, mendefenisikan tabi`in
sebagai orang yang bertemu dengan sahabat dalam keadan beriman kepada Nabi
SAW., dan meninggal dalam keadaan beriman. Hanya saja, oleh al-Khatib al
Baghadadi syarat itu ditambah bahwa tabi`in tidak sekadar bertemu, tetapi juga
menemani sahabat. (Al Shaleh, 1991 : 357)
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,
sebagai tempat tujuan para tabi`in mencari hadis. Kota-kota tersebut adalah :
Madina al Munawwarah Makkah al Mukarramah, Kuffah, Bsrah, Syam, Mesir,
Magrtib, dan Andalus, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat
Pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat
meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar,
Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, dan Abi Sa`id
al-Khudri. (Al Khatib, 1990 : 163)
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena di sini Rasulullah SAW
menetap setelah hijrah. Di sini pula Nabi Muhammad membina masyarakat islam
yang terdiri atas Muhajirrin dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah, di
samping dilindunginya umat-umat non muslim, seperti yahudi para sahabat yang
menetap di sini, di antaranya, Khulafa al-Rasyiddin, Abi Hurairah Aisyah,
Abdullah ibn Umar dan Abu Sa`id al-Khuzri al-Musayyab, Urwah bin al-Zubir,
ibn Shihab al-Zuhri, Ubaidillah bin `Uthbah bin Mas`ud dan Salim bin Abdillah
bin Umar.
Di antar para sahabat yang membina hadis di Makkah tercatat nama-nama,
seperti Muadz bin JAbal, `Atab bin Asid, HAris bin Hasyim, Usman bin Thallah,
dan `Uqabah bin al Haris. Di antara tabi`in yang muncul disini tercatat nama-
nama seperti : Mujahid bin JAbir, Atha` bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan, dan
Ikrimah Maula ibn Abbas. (Al Khatib, 1990 : 166)
Di antara sahabat yang membina hadis di Kuffah ialah Ali bin Abi Thalib,
Saad bin Abi Waqas, Abdullah bin Abi Waqas, Abdullah bin Mas`ud. Di antara
tabi`in yang muncul di sini adalah : al Rabi` bin Qasim, Kamal bin Zaid al-
Nakha`iy, Sa`id bin Zubair al-Asadi, Amir bin Sarahil al-Sya`bi, Ibrahim al-
Nakha`iy dan Abu Ishak al-Sya`bi. (Alfiah dkk, 2016 : 92)
Para sahabat yang terjun di Yaman antara lain: Muaz bin Jabal, Abu Musa
al Asya`ari. Kedua sahabat ini telah dikirimkan kedaerah ini sejak masa
Rasulullah SAW masih hidup. Para tabi`in yang muncul di sini di antaranya
ialah : Hamman bin Munabah, dan Wahab bin Munabbih,, Thawus dan Ma`mar
bin Rasyid. Kemudian di khurasan para sahabat yang terjun antar lain Buraidah
bin Qasim al-Aslami, dan Qasim bin al-Abbas. Sedangkan di antar para tabi`innya
ialah Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin Tsabit al-Abshari, Ali bin Tsabit al-
Anshari, dan Yahya bin Shabih al-Muqri. (Al Khatib, 1990 : 249)
D. Kesimpulan
Perbedaan perumusan perjalanan pembukuan hadis hingga metodologinya antara
kelompok Sunni dan Syi’ah adalah sebenarnya – di samping dampak politik yang terjadi
antara mereka – karena perbedaan mereka dalam memahami dan menginterpretasi sejarah.
Perjalanan sejarah yang mereka temui adalah sama, hanya saja persepsi mereka dalam
memahami, menginterpretasi dan menerima sejarah yang berbeda-beda. Kelompok Sunni
misalkan menganggap bahwa pembukuan hadis pertama dilakukan oleh ‘Umar bin ‘Abd
al-’Azizyang memerintahkan bawahannya Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm al-
Anshari dan dalam riwayat lain juga menyuruh Ibn Syahab al-Zuhri untuk mengumpu
lkan hadis demi terjaganya sabda-sabda Rasulullah saw. di muka bumi ini. Menurut
orang-orang Sunni, pembukuan hadis belum ada terjadi sebelum masa ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Aziz. Sebelumnya ada beberapa sahabat yang membukukan hadis namun setelahnya
buku-buku tersebut mereka binasakan atau bahkan mereka bakar karena khawatir itu akan
mengganggu keotentikan alQur'an. Sementara menurut kelompok Syi’ah, orang yang
pertama membukukan hadis adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan dilanjutkan oleh Ja’far, hingga
seterusnya. Menurut mereka, pembukuan hadis malah sebenarnya sudah ada semenjak
Rasulullah saw. masih hidup.
Perbedaan ini tentunya terjadi dikarenakan pemahaman dan pengetahuan mereka
terhadap sejarah Nabi berbeda-beda. Hingga pada akhirnya kesimpulan yang mereka
paparkanpun terkait tahapan perumusan pembukuan hadis ini berbeda-beda. Meski begitu,
perbedaan ini mestinya tidak menjadi sebuah fanatisme atau truth claim yang berakibat tidak
mau menerima sama sekali pendapat-pendapat kelompok yang berbeda aliran, khususnya
dalam kasus di tulisan ini adalah kelompok Sunni dan Syi’ah. Perbedaan itu hendaknya
menjadi khazanah pengetahuan baru yang terus digali, dicermati dan dijadikan bahan rujukan
untuk pengetahuan yang lebih objektif ke depannya.
E. Daftar Pustaka
Muhajirin. 2015. Ulumul Hadits II. Palembang : NoerFikri Offset.
Sholahudin, Agus & Agus Suyadi. Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia.
Alfiah dkk. 2016. Studi Ilmu Hadits. Pekanbaru : Kreasi Edukasi.
Ismail, Muhammad Syuhudi. 1991. Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta :
Bulan Bintang.
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah (Ibnu Majah). Sunan Ibnu Majah. Juz II.
Beirut : Dar al Fikr.
Khatib, Muhammad `Ajjaj. Al-Sunnah Qabl al-Tadwin.1990. Beirut : Dar al-Fikr.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari). al-Jami` al Shaheh (Shaheh al
Bukhari). Juz I. Beirut : Dar al-Fikr.
Subhi al-Shaleh. 1977. `Ulm al-Hadis wa Mushthalahuh. Beirut : Dar `Ilm al-Mayalyin.
Munzir, Suparta. 1993. Ilmu Hadis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Jhon M. Echols dan Hassan Shandely. 1992. Kamus Inggris – Indonesia. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Musthafa al-Shiba`iy.1994. al-Sunnah wa Wakanaha fi al-Tasyi`iy alIslamiy. Beirut : Dar a-
Tsaqafah.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. 1989. Ushul al-Hadis `Ulumuhu wa Mushthalahah. Beritu :
Dar al-Fikr.
Al-Kulaini, Muhammad bin Ya’qub. al- Kāfī. Juz 2. Iran : Dār al-Kutub al-‘Islamiyyah.
1363. h. 667.
al-Hamd, Ganim Qadduri. 1982. Rasm al-Muṣḥaf : Dirāsah Lugawiyyah Tārikhiyyah
Bagdad.
Al-Syāfi’ī, Muhammad bin Idris. 1986. Ikhtilāf al-Hadiṡ. Beirut.
Amin, Ahmad Phaisal. 2018. Historiografi Pembukuan Hadis Menurut Sunni dan Syi’ah.
Jurnal Studi Al Qur’an dan Al Hadits. Yogyakarta : Al Dzikra UIN Sunan Kalijaga.