Anda di halaman 1dari 13

PERIWAYATAN DAN PEMBUKUAN HADITS

MENURUT SUNNI DAN SYI’AH


A. Pendahuluan
Perbedaan selalu terjadi dalam memahami, menginterpretasi dan menerima sejarah. Hal
ini dikarenakan adanya perbedaan pengetahuan yang mereka alami dan perbedaan
penginterpretasian terhadap apa yang mereka ketahui. Perbedaan ini terus muncul dalam
berbagai masa dan tempat seiring berjalannya waktu karena faktor yang terus mempengaruhi
pengetahuan tersebut berbedabeda. Seperti itu juga apa yang telah terjadi pada kelompok
Sunni dan Syi’ah. Meski mereka berafiliasi pada agama yang sama dan Nabi yang sama,
yaitu Islam dan Nabi Muhammad, tapi mereka berbeda dalam memahami sejarah, khususnya
sejarah pembukuan hadis. Padahal sejarah yang mereka alami dari semenjak Nabi
Muhammad wafat hingga munculnya kelompok-kelompok dalam Islam (Sunni dan Syiah)
adalah sama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep periwayatan menurut Sunni ?
2. Bagaimana konsep kodifikasi hadits menurut Sunni ?
3. Bagaimana konsep periwayatan dan kodifikasi hadits menurut Syi’ah ?

C. Pembahasan
1. Konsep Periwayatan Hadits Menurut Sunni
Berbagai hadis Nabi yang termaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal
mulanya adalah hasil kesaksian para sahabat Nabi terhadap perkataan, perbuatan, taqrir,
dan atau hal-ihwal Nabi. apa yang disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya
kepada orang lain. Orang lain yang menerima riwayat hadis itu mungkin saja berstatus
sebagai sahabat, al-mukhadramin , atau al-tabi’in. Al- Mukhadramin dan al-Tabi’in yang
menerima riwayat hadis tadi lalu menyampaikan hadis itu kepada al-Tabi’in dan atau atba
al-Tabi’in (generasi setelah Tabi’in), dan demikian seterusnya. Sehingga hadis itu
akhirnya sampai kepada para periwayat yang melakukan kegiatan-kegiatan
penghimpunan hadis. Buah karya para penghimpun hadis ini (al-mukharrij) itulah yang
menjadi sumber pengetahuan dan rujukan hadis pada zaman berikutnya hingga sekarang.
Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman Nabi tidaklah
sama dengan yang dilakukan pada zaman sahabat Nabi. Demikian juga periwayatan pada
zaman sahabat tidak sama dengan periwayatan pada zaman sesudahnya. Periwayatan
hadis pada zaman Nabi lebih terbebas dari syarat-syarat tertentu bila dibandingkan
dengan periwayatan pada zaman sesudahnya. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi
selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan hadis, juga pada
zaman itu seseorang akan lebih mudah melakukan peremiksaan sekiranya ada hadis yang
diragukan kesahihannya. Makin jauh jarak waktu dari masa hidup Nabi, makin sulit
pengujian kebenaran suatu hadis. Berikut ini adalah konsep periwayatan hadits menurut
Sunni :
a. Periwayatan Hadits Masa Nabi Muhammad SAW
Periwayatan hadits pada masa Nabi Muhammad SAW adalah dengan lisan.
Kebiasaan untuk meneruskan perbuatan dan ucapan yang dikeluarkan oleh Nabi
kepada satu orang yang diteruskan kepada orang lainnya, berlangsung pada zaman
Nabi. Zaman ini adalah periode awal sejarah perkembangan hadits. Masa periwayatan
pada zaman Nabi sangat singkat, yakni selama kurang lebih 23 tahun, dimulai sejak
tahun ke 13 sebelum Hijriah dan 11 tahun setelah Hijriah. Pada masa ini hadits belum
dibukukan dan hanya sebatas hafalan para sahabat saja. (Muhajirin, 2015 : 3)
Pada masa ini, periwayatan hadits belum mendapat pelayanan seperti Al Qur’an,
karena para sahabat mencurahkan tenaga dan waktunya untuk menulis ayat-ayat Al
Qur’an di atas benda benda yang dapat ditulisi. Hal ini tidak terjadi pada periwayatan
hadits pada masa ini, dimana periwayatan hadits dilakukan hanya melalui lisan dan
hafalan. (Muhajirin, 2015 : 56)
Sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan hati-hati yang disabdakan
Nabi. Kemudian terekam lafadz dan makna dari sanubari mereka. Mereka dapat
melihat langsung apa yang Nabi kerjakan atau mendengar pula dari orang yang
mendengarnya sendiri dari Nabi. Kemudian, para sahabat menghafal setiap apa yang
diperoleh dari sabda-sabdanya lalu menyampaikan kepada orang lain secara hafalan
pula. (Sholahudin & Suyadi, 2008 : 60).
Ada beberapa cara Rasulullah SAW mentransmisikan hadits kepada para sahabat,
yaitu :
1) Melalui majelis ilmu yang dihadiri oleh pada sahabat. Melalui mejelis ini para
jama’ah memiliki banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka selalu
berusaha untuk mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatannya. Para
sahabat begitu antusias untuk selalu bisa mengikuti kegiatan di majelis ini. Hal ini
ditunjukkan dengan berbagai upaya-upaya. Terkadang di antara mereka
bergantian hadir seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab yang sewaktu-
waktu bergantian dengan Ibnu Zaid dari Bani Ummayyah untuk menghadiri
majelis ini, ketika ia berhalangan hadir.
2) Melalui para sahabat tertentu yang kemudian menyampaikannya kepada orang
lain. Hal ini disebabkan karena terkadang sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja atau bahkan hanya satu orang baik karena kebetulan ataukah memang
disengaja oleh Rasulullah SAW.
3) Cara lain yang ditempuh oleh Nabi adalah melalui pidato di tempat-tempat
terbuka, seperti ketika haji Wada’dan Fathul Makkah. (Alfiah dkk, 2016 : 62-63).
4) Majelis ilmu juga diadakan di kalangan kaum wanita, setelah sahabiyah
memintanya. (Muhajirin, 2015 : 56)
Disisi lain, para sahabat yang memiliki rasa cinta dan kekaguman kepada Nabi
sangat antusias mengikuti majelis Ilmu bersama Nabi. Respon positif yang mereka
tujukan, diaplikasikan dalam tiga bentuk kegiatan, yakni menghafal, mencatat, dan
mempraktikkan hadits-hadits Nabi. Setelah Nabi selesai mengajarkan hadits maka
para sahabat berkumpul di tempat itu juga untuk bersama-sama menghafalkan hadits.
(Alfiah dkk, 2016 : 64).
Demikian beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan haditsnya. Beberapa
cara yang disebutkan di atas merupakan garis besar dan masih banyak cara yang lain
yang ditentukan oleh situasi dan kondisi Nabi saat menyampaikan hadits. Cara
tersebut erat kaitannya dengan bentuk-bentuk hadits yang beliau sampaikan, yaitu
berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan.

b. Periwayatan Hadits pada Masa Sahabat


1) Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq
Data sejarah tentang periwayatan hadits pada masa khalifah Abu Bakar
sangat terbatas. Pada masa pemerintahan ini, umat Islam dihadapkan pada
berbagai ancaman dan kekacauan yang berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah.
Pada masa ini banyak sahabat Nabi yang hafal Al Qur’an wafat dalam medan
perang. Sehingga atas desakan Umar Bin Khattab, Khalifah Abu Bakar segera
melakukan pembukuan Al Qur’an.
Jadi periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar belum merupakan
kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Sikap para sahabat pada masa ini
dalam meriwayatkan hadits sangatlah berhati-hati. Apabila memeriksa suatu
hadits maka para sahabat memeriksanya dengan hati-hati dan mensyaraktkan
untuk adanya saksi. (Alfiah dkk, 2016 : 72).
2) Masa Khalifah Umar bin Khattab (metode Al Bayyinah)
Umar bin Khattab dikenal sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Hal
ini terlihat, saat Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab.
Umar baru bersedia menerima riwayat hadits tersebut setelah para sahabat yang
lain, diantaranya Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadits yang di
sampaikan Ubay. (Ismail, 1991 : 44).
Apa yang dialami oleh Ibnu Ka’ab dialami juga oleh para sahabat yang
lain. Semua itu menunjukkan sikap kehati-hatian Umar dalam meriwayatkan
hadits. Di samping itu Umar juga banyak menekankan kepada para sahabat agar
tidak terlalu banyak meriwayatkan hadits di tengah masyarakat. Alasannya agar
masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami Al
Qur’an. (Ibnu Majah, 1991 : 44).
Kebijakan Umar melarang sahabat Nabi memperbanyak periwayatan
hadits. Sesungguhnya tidaklah berarti bahwa Umar sama sekali melarang para
sahabat meriwayatkan hadits. Larangan Umar nampaknya tidak tertuju pada
periwayatan hadits. Tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih hati-hati dalam
periwayatan hadits dan supaya perhatian masyarakat terhadap al-Quran tidak
terganggu.
Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi, Ahmad ibn Hanbal
(wafat 241H) telah meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar
sekitar tiga ratus hadits. In Hajar al Asqalani (wafat 852 H) telah menyebutkan
nama-nama sahabat dan tabi`in terkenal yang telah menerima riwayat hadits Nabi
dari Umar ternyata jumlahnya cukup banyak. (Alfiah dkk, 2016 : 75).
3) Masa Khalifah Utsman bin Affan
Secara umum kebijaksanaan Utsman tentang periwayatan hadits tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah pendahulunya.
Hanya saja langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar ibn Khatab. Dalam
suatu kesempatan khutbah, Usman meminta kepada para sahabat agar tidak
banyak meriwayatkan hadis itu pada zaman Abu Bakar dan Umar. (Ismail, 1991 :
46). Pernyataan Usman Ini menunjukan pengakuan Usman atas sifat hati-hati
kedua khalifah pendahulunya. Sifat hati-hati itu ingin dilanjutkannya.
Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan hadis Nabi yang berasal dari riwayat
Usman sekitar empat puluh hadis saja. Itupun banyak matan hadis yang terulang.
Karena perbedaan sanad. Matan hadis yang banyak terulang itu adalah hadis
tentang cara berwudhu`. Dengan demikian, jumlah hadis yang diriwayatkan oleh
Usman tidak sebanyak jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn al-Khatab.
(Khatib, 1990 : 97-98).
Dari uraian di atas, nampak bahwa pada zaman Utsman ibn Affan,
kegiatan umat islam dalam periwayatan hadis telah lebih banyak bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman Umar ibn Khatab. Usman
melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat islam berhati-hati
dalam meriwayatan hadis. Akan tetapi seruan itu terlihat tidak begitu besar
pengaruhnya pada para periwayat tertentu yang bersikap longgar dalam
periwayatan hadis. Hal tersebut terjadi, karena selain pribadi Usman tidak tidak
sekeras pribadi umar, juga karena wilayah islam telah semangkin luas. Luasnya
wilayah islam mengakibatkan bertambah kesulitan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis secara ketat.
4) Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib (Metode Al Istikhlaf)
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sifatnya dengan para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadis, secara umum, Ali bersedia
menerima hadis Nabi setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan
sumpah, bahwa hadis yang diriwayatkan benar-benar berasal dari Nabi. Hanyalah
terhadap periwayatan yang benar-benar telah dipercayainya. Ali tidak meminta
periwayat hadis untuk bersumpah, hal ini terlihat misalnya, Ketika Ali menerima
riwayat hadis dari Abu Bakar al-Shiddiq. Terhadap Abu Bakar, Ali tidak
memintanya untuk bersumpah. Dalam suatu riwayat ali Menyatakan.”Abu Bakar
telah memberitahukan hadis Nabi kepada saya, dan benarlah Abu Bakar itu.”
(Ismail, 1991 : 47).
Fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali tidaklah sebagai syarat
mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang
yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin
keliru.
Ali ibn Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi. Hadis
yang diriwayatkan selain berbentuk lisan juga dalam bentuk tulisan (catatan).
Ahmad ibn Hanbal telah meriwayatkan hadis Nabi melalui Ali ibn Abi Thalib
sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagaian matan dari hadis itu berulang-ulang
karena perbedaan sanadnya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin
Abi Thalib merupakan periwayat hadis yang banyak bila dibandingkan dengan
ketiga khalifah pendahulunya. (Imam Bukhori, Juz II : 178)
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan
periwayatan hadis pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib sama dengan pada
zaman Ali ibn Abi Thalib telah berbeda dengan situasi pada zaman sebelumnya.
Pada zaman Ali, pertentangan politik dikalangan umat islam semangkin menajam.
Peperangan antar kelompok pendukung Ali dengan pendukung Muawiyah telah
terjadi. Hal ini membawa dampak dalam bidang kegiatan periwayatan hadis.
Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan
hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya
riwayatnya. (Ismail, 1991 : 48)
Dari uraian di atas dapatlah ditegaskan bahwa kebijaksanaan Khulafa al-
Rasyidin tentang periwayat hadis adalah sebagai berikut :
a) Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam
periwayatan hadis.
b) Larangan memperbanyak periwayatan hadis, terutama yang ditegakkan oleh
khalifah Umar, tujuan pokoknya adalah agar periwayatan bersikap selektif
dalam meriwayatkan hadis dan agar masyarakat tidak dipalingkan
perhatiannya dari al-Quran.
c) Penghadiran saksi atau pengucapan sumpah bagi periwayat hadis. Periwayat
yang dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani mengajukan saksi
atau bersumpah.
d) Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadis. Riwayat hadis yang
disampaikan olleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk
lisan. Hanya Ali meriwayatkan hadis secara tulisan, disamping secra lisan.
(Ismail, 1991 : 49)

5) Masa Tabi’in
Kata tabi`in berasala dari kata tabi`a, yatba,u, taba`an,dan tubu`an, taba`an
serta taba`atan, yang berarti “mengikut´atau ”berjalan sesudahnya” (sara fi
atsarihi). Bentuk isim fa`ilnya atau tabi`(bentuk jamaknya tabi`in atau tabi`un
yang berarti” orang yang mengikuti”. Apbila diberi ya` nishab menjadi tabi`in dan
kata jadian terakhir inilah yang menjadi istilah dalam ilmu hadis.
Secara bahasa istilah tabi`in menurut “Unais dkk. Diartikan sebagai
“Orang yang pernah bertemu dengan sahabat Nabi SAW” dalam keadaan beriman
dan meninggal dalam keadaan Muslim. Pengertian tidak berbeda dengan yang
dikemukan kalangan ahli hadis. Al-Shalih, misalnya, mendefenisikan tabi`in
sebagai orang yang bertemu dengan sahabat dalam keadan beriman kepada Nabi
SAW., dan meninggal dalam keadaan beriman. Hanya saja, oleh al-Khatib al
Baghadadi syarat itu ditambah bahwa tabi`in tidak sekadar bertemu, tetapi juga
menemani sahabat. (Al Shaleh, 1991 : 357)
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,
sebagai tempat tujuan para tabi`in mencari hadis. Kota-kota tersebut adalah :
Madina al Munawwarah Makkah al Mukarramah, Kuffah, Bsrah, Syam, Mesir,
Magrtib, dan Andalus, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat
Pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat
meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar,
Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, dan Abi Sa`id
al-Khudri. (Al Khatib, 1990 : 163)
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena di sini Rasulullah SAW
menetap setelah hijrah. Di sini pula Nabi Muhammad membina masyarakat islam
yang terdiri atas Muhajirrin dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah, di
samping dilindunginya umat-umat non muslim, seperti yahudi para sahabat yang
menetap di sini, di antaranya, Khulafa al-Rasyiddin, Abi Hurairah Aisyah,
Abdullah ibn Umar dan Abu Sa`id al-Khuzri al-Musayyab, Urwah bin al-Zubir,
ibn Shihab al-Zuhri, Ubaidillah bin `Uthbah bin Mas`ud dan Salim bin Abdillah
bin Umar.
Di antar para sahabat yang membina hadis di Makkah tercatat nama-nama,
seperti Muadz bin JAbal, `Atab bin Asid, HAris bin Hasyim, Usman bin Thallah,
dan `Uqabah bin al Haris. Di antara tabi`in yang muncul disini tercatat nama-
nama seperti : Mujahid bin JAbir, Atha` bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan, dan
Ikrimah Maula ibn Abbas. (Al Khatib, 1990 : 166)
Di antara sahabat yang membina hadis di Kuffah ialah Ali bin Abi Thalib,
Saad bin Abi Waqas, Abdullah bin Abi Waqas, Abdullah bin Mas`ud. Di antara
tabi`in yang muncul di sini adalah : al Rabi` bin Qasim, Kamal bin Zaid al-
Nakha`iy, Sa`id bin Zubair al-Asadi, Amir bin Sarahil al-Sya`bi, Ibrahim al-
Nakha`iy dan Abu Ishak al-Sya`bi. (Alfiah dkk, 2016 : 92)
Para sahabat yang terjun di Yaman antara lain: Muaz bin Jabal, Abu Musa
al Asya`ari. Kedua sahabat ini telah dikirimkan kedaerah ini sejak masa
Rasulullah SAW masih hidup. Para tabi`in yang muncul di sini di antaranya
ialah : Hamman bin Munabah, dan Wahab bin Munabbih,, Thawus dan Ma`mar
bin Rasyid. Kemudian di khurasan para sahabat yang terjun antar lain Buraidah
bin Qasim al-Aslami, dan Qasim bin al-Abbas. Sedangkan di antar para tabi`innya
ialah Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin Tsabit al-Abshari, Ali bin Tsabit al-
Anshari, dan Yahya bin Shabih al-Muqri. (Al Khatib, 1990 : 249)

2. Konsep Kodifikasi Hadits Menurut Sunni


Kata kodifikasi berasal dari bahas Inggris yaitu codifikation yang secara etimologi
berarti penyusunan. (Echols & Shandely, 1992 : 92) Dalam bahasa Arab berarti al
Tadwin (taf`il) yang berarti mencatat, menulis dan menyusun. (al-Munawwir, 1984 :
435). Jadi kata kodifikasi atau tadwin memiliki makna atau mencatat, menulis dan
menyusun.
Secara terminologi, kodifikasi hadis adalah penulisan hadis berdasarkan perintah
kepala negara yang dilakukan secara resmi dengan melibatkan beberapa personel yang
ahli dalam bidangnya. (Munzir, 1993 : 74 )
Upaya penulisan (kodifikasi) hadits secara resmi dilatar belakangi oleh beberapa
faktor, diantaranya :
a. Al Qur’an telah dibukukan dan tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi akan
bercampur dengan hadits.
b. Para perawi hadits telah banyak yang wafat. Bila terus dibiarkan, maka dikhawatirkan
hadits juga akan hilang seiring berjalannya waktu. Sehingga harus segera dibukukan.
c. Daerah kekuasaan Islam semakin luas dan peristiwa yang dihadapi umat Islam
semakin kompleks. Hal ini tentu membutuhkan petunjuk dari hadits sebagai sumber
agama.
d. Pemalsuan hadits semakin merajalela dan jika dibiarkan maka dapat mengancam
kemurnian dan kelestarian hadits. Maka dari itu perlu diadakan pembukuan hadits,
guna menyelamatkan hadits dari pemalsuan. (Muhajirin, 2015 : 3)
Faktor-faktor di atas menunjukkan bahwa kondisi Islam pada saat itu masih rawan
sehingga perlu diadakan kodifikasi hadits untuk menghindari hilangnya hadits dari bagian
agama dan adanya hadits palsu. Kondisi ini secara serius dilakukan secara besar-besaran
pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Sebagai sumber kedua ajaran agama Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang
sangat panjang. Oleh para ahli dikatakan bahwa sampai sekarang hadis telah melewati
sedikitnya tujuh masa atau periode perkembangan.
a. Periode Pertama
Periode pertama, yaitu, Ashr al-Wahy Wa al-Tadwin (Masa Turunnya Wahyu dan
Pembentukan Hukum Serta DasarDasarnya). Hal ini dimulai semenjak kerasulan dari
13 sebelum hijrah sampai 1 Hijrah. Pada masa ini Rasulullah SAW. Memerintahkan
para sahabat untuk menulis wahyu yang turun. Di masa ini terdapat larangan menulis
hadis. Di samping itu terdapat kelonggaran yang diberikan Rasul SAW. Kepada
sahabat tertentu untuk menulisnya. Mengenai larangan dan perizinan untuk
menulisnya hadis, Musthafa al-Siba`iy telah memberikan komentar sebagai berikut :
“Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang dengan yang mengizinkan.
Larangan ini merupakan pencacatan resmi sebagaimana halnya al-Quran, sedangkan
izin maka itu merupakan kelonggaran untuk mencatat sunnah untuk keadaan dan
keperluan khusus. Atau untuk kelonggaran untuk sahabat yang menulis sunnah untuk
menulis sendiri.”
b. Periode Kedua
Periode kedua, yaitu Periode al-Tasbbut Wa al-Iqbal Min al Riwayah (Periode
Membatasi Hadis Menyedikit Riwayat). Yaitu pada masa Khulafa al-Rasyiddin (Abu
Bakar Umar ibnu al-Khatab, Usman ibn Affan, dan Ali bin Abi Thalib) . pada masa
ini keadaan masih belum banyak berubah. Sikap khulafah al-Rasyiddin yang
memperketat periwayatan hadis dan menjauhi penulisan adalah perpanjangan
pendapat sahabat lain dimasa Rasulullah SAW Abu Bakar, misalnya yang sempat
menghimpun hadis dan membakarnya, Umar bin Khatab terus menunerus
mempertimbangkan penulisan sunnah, padahal sebelumya ia berniat untuk
mencatatnya. (Al-Khatib, 1989 : 84).
Ketidak senangan para sahabat menulis hadis pada masa awal Islam adalah karena
tidak ingin al-Qur'an ditandingi kitab-kitab lain, atau khawatir mereka disibukkan
oleh kitab lain sehingga melalaikan al-Qur'an.
c. Periode Ketiga
Periode ketiga, Zaman Intisayar al-Riwayah Ila al-Amsar (periode penyebaran
riwayat-riwayat ke kota-kota). Berlangsung pada masa sahabat dan tabiin besar.
Periode ini ditandai dengan aktifnya tabiin mencari dan menyerap hadis-hadis dari
generasi sahabat yang masih hidup. Pada masa ini terkenallah sahabat-sahabat yang
dijuliki sebagai bendaharawan hadist, yaitu mereka yang meriwayatkan lebih dari
1000 hadits, diantara mereka ialah :
1) Abu Hurairah, meriwayatkan 5.374 hadis.
2) Abdullah ibn Umar ibn Khattab meriwayatkan 2.630 Hadis.
3) Anas ibn Malik meriwayatkan hadis 2.226 hadis.
4) `Aisyah meriwayatkan 1.210 hadis.
5) Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan 1660 hadis.
6) Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan 1540 hadis.
7) Abu Sa`id ibn al-Khudri, meriwayatkan 1.170 hadis
d. Periode Keempat
Periode Keempat, yaitu al-Asyr al-Kitabah Wa al-Tadwin (periode penulisan dan
kodifikasi resmi), berlangsung dari masa khalifah Umar ibn Abd al-`Aziz (99-102 H)
H. sampai akhir masa abad kedua hijrah. Khalifah umar mengambil langkah-langkah
dan kebijaksanaan terhadap hadis yang belum pernah dilakukan oleh semua khalifah
sebelumnya. Ia memerintahkan gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammad ibn
Amru ibn Hazm (wafar 177H), supaya membukukan hadis Nabi SAW, yang terdapat
pada wanita terkenal murid `Aisyah, Amrah binti Abd al-Rahman ibn Sa`ad ibn
Zurarah ibn Ades, serta hadis-hadis yang ada pada Qasim ibn Muhammad ibn Abu
Bakar al-Shiddiq, seorang pemuka tabiin dan salah seorang dari tujuh ahli Fiqih
Madinah. (Al Khatib, 1990 : 179-180)
Umar ibn al-`Aziz juga menerima megirim surat kepada semua gubernur dalam
kekuasaannya untuk wilayah kekuasaannya untuk mengambil langkah serupa pada
penghafal dan ulama hadis ditempat mereka masing-masing. Kebijaksanaan khalifah
ini oleh sejarawan dicatat sebagai kodifikasi pertama secara resmi.
Dalam periode keempat sejumlah hadis berhasil dihimpun dalam buku-buku yang
dinamakan al-Jami`, al-Mushannaf, al-Musnad, dan lain-lain, seperti al-Musnad
Imam al-Syafi`iy, al-Mushannaf karya alAuja`iy dan al-Muwatha` karya imam Malik,
yang disusun atas permintaan khalifah Abu Ja`far al- Mansur (w. 144 H).
e. Periode Kelima
Periode kelima, yaitu al-AsyraAl Tajrid Wa al-Tashhih Wa al Tankih (Periode
Pemurnian, Penyehatan dan Penyempurnaan), mulai dari awal abad Ketiga Hijriyyah
sampai Akhir Abad Ketiga Hijrah. Periode ini menanggung dan mencarikan
pemecahan terhadap masalah-masalah hadis yang muncul dan belum diselesaikan
pada periode sebelumnya. Di samping itu kegiatan lainnya pada periode ini adalah :
1) Mengadakan lawatan (rihlah) ke daerah-daerah yang semangkin jauh, guna
menghimpun hadis-hadis dari pada perawi.
2) Membuat klasifikasi hadis yang marfu`, mauquf, dan maqtu`.
3) Menghimpun kritik-kritik yang diarahkan baik kepada rawi maupun matan hadis,
dan memberikan jawaban atas kritik terseut. Di masa ini lahirlah ulama hadis
yang telah menyusun hadis-hadis yang berkualitas menurut kriteria penulisannya,
misalnya Imam al-Bukhari (wafat 256 H) karyanya yang terkenal adalah al-Jami`
al Shaheh (Shaheh al-Bukhari) dan Imam Muslim (wafat 261 H) al-Jami` al-
Shaheh (Shaheh Muslim). (Ismail, 1991 : 116)
f. Periode Keenam
Periode keenam, yaitu Asyr al-Tahzib wa al-Tartib al-Istidrak wa al-Jami`
( periode pemeliharaan, penertiban penambahan dan penghimpunan), mulai abad
Keempat Hijrah sampai jatuhnya kota Baqdad (656 H). Pada periode ini tumbuh
asumsi untuk merasa cukup dengan hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama
mutaqaddimin. Oleh karena itu dirasa tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbagai
negeri untuk mencari hadis. Semangat dimasa ini adalah semangat pemeliharaan apa
yang telah dikerjakan oleh para pendahulu mereka.
Para ulama pada periode ini berusaha untuk memperbaiki susunan kitab,
mengumpulkan hadis serta mengumpulan hadis disusun dalam bagian-bagian yang
telah sistematis. Di masa ini pula bermunculan kitab-kitab syarah, yaitu kitab-kitab
yang mengomentari kitab-kitab hadis tertentu, yang lebih banyak dibuat dari masa
sebelumnya. (Alfiah dkk, 2016 : 98).
g. Periode Ketujuh
Periode ketujuh, Ahd al-Syarh wa al-Jamu` wa Takhrij (Periode pensyarahan,
penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan), mulai sejak jatuhnya kota Baghdad
abad Keempat Hijriyyah sampai sekarang. Pada periode ini masih meneruskan
kegiatan masa sebelumnya, di samping kegiatan lain. Kegiatan yang umum pada
masa ini ialah mempelajarai kitab-kitab yang telah ada dan mengembangkannya,
membuat pembahasan-pembahasannya atau juga membuat ringkasan-ringkasan
terhadap kitab hadis yang telah ada. (Alfiah dkk, 2016 : 99).

3. Konsep Periwayatan Menurut Syi’ah


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan hadis Syi’ah adalah
berarti hadis-hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw. dan oleh para Imam-imam Syi’ah.
Para Imam, sebagai pengganti Nabi Saw., telah memiliki dua keistemewaan, yaitu
warisan ilmu dan ‘ismah. Ucapan yang keluar dari lisan mereka memiliki validitas
(kesahihan) sebagaimana ucapan dan perbuatan Nabi Saw. 59 Hal ini dikarenakan,
menurut mereka, karena Nabi Saw. telah bersabda kepada umatnya untuk selalu
berpegang teguh dengan al-Kitab dan juga Ahlul bait (keturunan Nabi Saw atau para
imam), karena mereka merupakan salah satu faktor yang akan menyelamatkan umat dari
kesesatan.60 Karena itu pulalah hujjah-hujjah yang keluar dari lisan mereka menjadi sah
untuk dirujuk oleh kalangan Syi’ah. Maka selain mencatat riwayat-riwayat yang datang
dari Nabi, mereka juga mencatat hadis-hadis yang disampaikan oleh para Imam mereka.
Sikap Syi’ah sejak awal telah membolehkan penulisan hadis sebagai landasan bagi
pembukuan hadis mereka. Berbeda dengan kalangan Ahli Sunnah yang berpendapat
bahwa hadis Nabi baru ditulis pada permulaan abad kedua Hijriah atas perintah Khalifah
Umar bin ‘Abdu al-’Aziz kepada salah seorang Gubernur di Madinah, Abu Bakar
Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, dalam ucapannya yang terkenal:
Padahal, menurut Syi’ah, Nabi Saw. telah mendiktekan beberapa hadis kepada ‘Ali
bin Abi Thalib a.s. selama beliau masih hidup. Terkadang beliau memberikan tulisan
kepada Fathimah sebagai sesuatu yang berguna baginya. (Al-Kulaini : 667) Imam ‘Ali
a.s. adalah salah seorang penulis Nabi Saw. yang disamping menulis al-Qur’an, beliau
juga menulis surat-surat perjanjian Nabi Saw. Mengutip riwayat Suyuṭi, beliau Saw. juga
menganjurkan untuk menulis hadis, terutama dengan sanadnya (Al Hamd, 1982 : 96)
Kelompok Syi’ah membagi tahapan-tahapan penulisan hadis sesuai sejarah adalah
sebagai berikut:
a. Penulisan Masa Nabi
Nabi Saw. pada masa hidup beliau telah mendiktekan tulisan kepada ‘Ali bin
Abi Thalib. Tulisan ini dikenal oleh kaum Syi’ah sebagai kitab yang pertama dalam
Islam. Kitab tersebut dinamakan dengan “Sahifah Jami’ah” atau “Jami’ah,” salah satu
kitab utama hadis Syi’ah yang menunjukkan kesesuaian dengan hadis Nabi Saw. dan
kecakapan para Imam sebagai para pewaris ilmu Nabi Saw. Dalam riwayat Ahlu
Sunnah sendiri terdapat topik “Sahifah ‘Ali”. Sahifah ini mencakup beberapa bahasan
hukum fiqih seperti diyah, pembebasan budak, dan tidak diperbolehkannya
membunuh seorang mukmin dihadapan orang kafir. (Al Syafi’i, 1986 : 221)
b. Pembukuan Ushul Hadits
Ushul hadis ini merupakan fitur utama dasar-dasar hadis Syi’ah. Usul hadis
disusun oleh sahabat-sahabat para Imam a.s. Dengan adanya dorongan untuk menulis
hadis ditambah dengan banyaknya jumlah sahabat para Imam, maka usul yang
dibukukanpun sangat banyak jumlahnya. Usul ini disebut dengan “Usul Arba’miah”
(Kitab Usul 400) dikarenakan perkiraan jumlahnya yang mencapai 400, atau juga
karena alasan lain. Usul Arba’miah ini banyak dibukukan oleh murid-murid Imam
Baqir, Imam Shadiq, dan Imam Kadzim. (Amin, 2018 : 23)
c. Pembukuan Hadits Pada Abad Ke-3
Pasca wafatnya Imam Ja’far Sadiq pada tahu 148 H, mayoritas para Imam
Syi’ah berpindah dari Madinah ke Irak. Hal ini mengakibatkan terbatasnya hubungan
kaum Syi’ah dengan para Imam. Untuk mengatasi permasalahan keagamaan, kaum
Syi’ah mengandalkan para ahli hadis di kalangan mereka. Ratusan murid Imam
Shadiq pada masa itu menukil dan menyebarkan hadis di berbagai pusat keilmuan.
Rata-rata ribuan hadis yang tidak ber-bab ada pada mereka. (Amin, 2018 : 23)
Pada abad ke-3 ini, diawali sejak masa Imam Rida a.s., klasifikasi riwayat-
riwayat yang ditulis sesuai dengan berbagai topik fiqih, teologi, dan akhlak. Penulisan
masa ini berjalan dengan cepat dan mengalami kemajuan pesat. Di antara tokoh pada
masa itu adalah Hasan bin Sa’id Ahwazi dan saudaranya Husain, dan Ali bin
Mahziyar Ahwazi. Dua bersaudara ini secara bersamaan menulis 30 kitab yang
masing-masing kitab tersebut menjadi kitab jami’ riwayat dalam kitab khusus. Selain
mereka yang juga menulis 30 kitab adalah Ibnu Mahziyar.
d. Penulisan Kutub Arba’ah
Menurut kalangan Syi’ah, setelah Imam ke-12 ghaib dari dunia dan hubungan
para pengikutnya terputus dengan Imam mereka, perbedaan dan kontradiksi hadis-
hadis mereka menjadi jelas dan kebenaran hadis mereka menjadi samar bahkan bagi
orang yang berilmu. Sehingga dalam kondisi seperti ini, para ahli hadis mereka pun
merasa butuh untuk memurnikan hadis-hadis mereka dan membukukan kembali
hadis-hadis yang dapat dipercaya. Pembukuan Kutub Arba’ah oleh Muhammad bin
Ya’qub alKulaini, Muhammad bin ‘Ali bin Babawaih dan Muhammad bin Hasan
Tusi (yang populer dengan tiga nama Muhammad di awal) dan pembukuan karya-
karya hadis lainnya, khususnya lagi kitabkitab karangan Ibnu Babawaih dan Syeikh
Tusi pada abad ke-4 dan ke-5 adalah merupakan langkah penting dalam upaya
mengatasi permasalahan dan pertentangan yang ada di sekitar hadis tersebut.
Dengan disusunnya Kutub Arba’ah dan kitab-kitab hadis lainnya di abad ke-4
dan ke-5, terutama kitab-kitab haids Syeikh Saduq, Seyikh Tusi, Sayed Murtada dan
Syeikh Mufid, maka berakhirlah pembukuan hadis Syi’ah di masa mutaqaddimin.
Para fuqaha dan mutakallimin di kalangan Syi’ah pun menulis karyakarya fiqih dan
teologi dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut. Di sisi lain, pasang surut kondisi
sosial politik Syi’ah telah menghambat proses pembukuan karya-karya mereka yang
baru. Para ‘ulama Syi’ah lebih memperhatikan penyalinan kitab-kitab yang ada
sebelumnya melalui cara ijazah, kitabah, dan wijadah. Meskipun demikian, kajian
ilmu hadis dan pembahasan rijal dan dirayah (yang merupakan ilmu dasar dan penting
dalam kajian hadis) juga banyak bermunculan. Tokoh-tokoh seperti Najasyi, Kasyi,
Ibnu Gadairi, Ahmad bin Tawus, ‘Allamah Hilli dan Ibnu Daud Hilli telah
mengambil langkah yang efektif dalam hal ini.
Di antara karya penting studi hadis yang dibukukan oleh kalangan Syi’ah
dalam rangka studi kritis terhadap Kutub Arba’ah, terutama dalam hal sanad, kejelian
perawi, dan dhabit, adalah kitab Muntaqā al-Jumān fī al-Ah diṡ al-Sihāh wā al-Hisān.
Kitab ini ditulis oleh Hasan bin Zainuddin ‘Amili, seorang yang faqih dan ahli ushul
ternama, yang juga dikenal dengan penulis Ma’alim. (Amin, 2018 : 25)
e. Pembukuan Hadis Periode Mutaakhkhirin
Dengan berkuasanya Pemerintahan Syi’ah Syafawi pada abad ke-10,
terciptalah ruang baru penyebaran ajaran-ajaran Syi’ah. Banyak ‘ulama Syi’ah dari
berbagai kita berdatangan ke Iran. Di antaranya adalah Husain bin Abdul Samad, dan
puteranya yang bernama Bahauddin Muhammad yang dikenal juga dengan Syeikh
Baha’i, dan Muhaqqiq Karaki. Ketiganya berasal dari Jabal Amil. Kemudian ada pula
Muhaqqiq Misi dari Irak dan juga Sayed Majid Bahrani dari Bahrain. Hal ini
membuat karya-karya Syi’ah di bidang hadis dan fiqih menjadi berjalan lagi setelah
beberapa waktu terhenti.

D. Kesimpulan
Perbedaan perumusan perjalanan pembukuan hadis hingga metodologinya antara
kelompok Sunni dan Syi’ah adalah sebenarnya – di samping dampak politik yang terjadi
antara mereka – karena perbedaan mereka dalam memahami dan menginterpretasi sejarah.
Perjalanan sejarah yang mereka temui adalah sama, hanya saja persepsi mereka dalam
memahami, menginterpretasi dan menerima sejarah yang berbeda-beda. Kelompok Sunni
misalkan menganggap bahwa pembukuan hadis pertama dilakukan oleh ‘Umar bin ‘Abd
al-’Azizyang memerintahkan bawahannya Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm al-
Anshari dan dalam riwayat lain juga menyuruh Ibn Syahab al-Zuhri untuk mengumpu
lkan hadis demi terjaganya sabda-sabda Rasulullah saw. di muka bumi ini. Menurut
orang-orang Sunni, pembukuan hadis belum ada terjadi sebelum masa ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Aziz. Sebelumnya ada beberapa sahabat yang membukukan hadis namun setelahnya
buku-buku tersebut mereka binasakan atau bahkan mereka bakar karena khawatir itu akan
mengganggu keotentikan alQur'an. Sementara menurut kelompok Syi’ah, orang yang
pertama membukukan hadis adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan dilanjutkan oleh Ja’far, hingga
seterusnya. Menurut mereka, pembukuan hadis malah sebenarnya sudah ada semenjak
Rasulullah saw. masih hidup.
Perbedaan ini tentunya terjadi dikarenakan pemahaman dan pengetahuan mereka
terhadap sejarah Nabi berbeda-beda. Hingga pada akhirnya kesimpulan yang mereka
paparkanpun terkait tahapan perumusan pembukuan hadis ini berbeda-beda. Meski begitu,
perbedaan ini mestinya tidak menjadi sebuah fanatisme atau truth claim yang berakibat tidak
mau menerima sama sekali pendapat-pendapat kelompok yang berbeda aliran, khususnya
dalam kasus di tulisan ini adalah kelompok Sunni dan Syi’ah. Perbedaan itu hendaknya
menjadi khazanah pengetahuan baru yang terus digali, dicermati dan dijadikan bahan rujukan
untuk pengetahuan yang lebih objektif ke depannya.

E. Daftar Pustaka
Muhajirin. 2015. Ulumul Hadits II. Palembang : NoerFikri Offset.
Sholahudin, Agus & Agus Suyadi. Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia.
Alfiah dkk. 2016. Studi Ilmu Hadits. Pekanbaru : Kreasi Edukasi.
Ismail, Muhammad Syuhudi. 1991. Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta :
Bulan Bintang.
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah (Ibnu Majah). Sunan Ibnu Majah. Juz II.
Beirut : Dar al Fikr.
Khatib, Muhammad `Ajjaj. Al-Sunnah Qabl al-Tadwin.1990. Beirut : Dar al-Fikr.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari). al-Jami` al Shaheh (Shaheh al
Bukhari). Juz I. Beirut : Dar al-Fikr.
Subhi al-Shaleh. 1977. `Ulm al-Hadis wa Mushthalahuh. Beirut : Dar `Ilm al-Mayalyin.
Munzir, Suparta. 1993. Ilmu Hadis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Jhon M. Echols dan Hassan Shandely. 1992. Kamus Inggris – Indonesia. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Musthafa al-Shiba`iy.1994. al-Sunnah wa Wakanaha fi al-Tasyi`iy alIslamiy. Beirut : Dar a-
Tsaqafah.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. 1989. Ushul al-Hadis `Ulumuhu wa Mushthalahah. Beritu :
Dar al-Fikr.
Al-Kulaini, Muhammad bin Ya’qub. al- Kāfī. Juz 2. Iran : Dār al-Kutub al-‘Islamiyyah.
1363. h. 667.
al-Hamd, Ganim Qadduri. 1982. Rasm al-Muṣḥaf : Dirāsah Lugawiyyah Tārikhiyyah
Bagdad.
Al-Syāfi’ī, Muhammad bin Idris. 1986. Ikhtilāf al-Hadiṡ. Beirut.
Amin, Ahmad Phaisal. 2018. Historiografi Pembukuan Hadis Menurut Sunni dan Syi’ah.
Jurnal Studi Al Qur’an dan Al Hadits. Yogyakarta : Al Dzikra UIN Sunan Kalijaga.

Anda mungkin juga menyukai