Anda di halaman 1dari 24

PERIODISASI SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Qur’an dan Hadits
yang Diampu oleh Bapak Bustian, MA

Oleh:
Fikran Firmansyah (2310201014)

Faizah Meilani (2310201013)

Anadhia Rahmadani (2310201004)

Olipia Afrilianti (2310201021)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KERINCI

2023
A. SEJARAH HADITS PADA ZAMAN NABI
1. HADITS PADA MASA RASULULLAH

Pada periode ini sejarah hadits di sebut Ashr al-Wahyi Wa al-Takwin'(masa


turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Wahyu yang diturunkan
Allah dijelaskan Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa
yang didengar dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah
dan ubudiah mereka. Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada para
sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan dan menyebar luaskan hadis-hadis.
Nabi sendiri tidak hanya memerintahkan, namun beliau juga banyak memberi
spirit melalui doa-doanya, dan tak jarang Nabi juga menjanjikan kebaikan akhirat
bagi mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain. Hal
Itulah yang kemudian memotivasi para sahabat untuk menghafalkan hadis.

Tempat yang dijadikan Nabi dalam menyampaikan hadis sangat fleksibel,


terkadang hadis disampaikan ketika Nabi bertemu dengan sahabatnya di Masjid,
pasar, ketika dalam perjalanan, dan terkadang juga di rumah Nabi sendiri. Ada
beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari
Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun al-
Awwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib,
dan Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah),

2. Cara Rasulullah SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat

Dalam riwayat imam Bukhori, di sebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa
Rasulullah menyampaikan Haditsnya dengan berbagai cara sehingga para sahabat
selalu ingin mengikuti pengajian dan tidak mengalami kejenuhan cara tersebut di
antaranya:

Pertama, melalui majlis ilmu, yakni temat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jamaah di pusat pembinaan atau majlis Al
ilmi. Dengan didirikan nya majelis Ilmi, ada kebijakan lain yang dilakukan oleh
Rasulallah yaitu dengan mengirimkan guru dan khatib ke berbagai wilayah diluar
madinah.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.
Jika hadis yang disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan
biologis, maka hadis tersebut disampaikan melalui istri-istri Nabi sendiri.

Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, misalnya ketika haji
wada’ dan fath Almakkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada Tahun 10 H, Nabi
menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang sedang melakukanIbadah haji, isinya terkait dengan bidang
Muamalah, ubudiah Menyampaikan hadis

Keempat, melalui media tertulis atau Rasul mendikte-kan kepada sahabat yang
pandai menulis. Ini menyangkut seluruh surat Rasul yang ditujukan kepada para
raja, penguasa, kepala suku dan gubernur-gubernur muslim. Beberapa di antara
surat tersebut berisi tentang ketetapan-ketetapan hukum Islam seperti ketentuan
tentang zakat, tata cara peribadatan dan sebagain melalui media tertulis.

Disamping para sahabat laki-laki, Rasul-pun mengajar para sahabat wanita Pada
waktu-waktu tertentu secara tersendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa
sekelompok wanita datang kepada Rasul dan memohon supaya mereka diajar
secara terpisah dari laki-laki, maka Rasul pun mengabulkannya. Beliau selalu
datang mengajar mereka setelah sebelumnya berjanji akan memberikan
pengajaran pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan bahkan banyak dari
kalangan wanita sahabiah yang bertanya langsung kepada Rasul apabila
mendapati masalah yang tidak diketahui hukumnya.

Sehingga dari sini dapat dilihat bahwa para sahabat semenjak awal telah
memperhatikan benar segala ucapan, perbuatan dan segala perilaku Rasul SAW
karena memang mereka mengetahui bahwa segala apa yang dilakukan oleh Rasul
adalah menjadi sumber ajaran Islam. Dan dengan kelebihan daya hafalan yang
dimiliki para sahabat dan usaha mereka dalam mencari dan menggali ajaran Islam
dari Rasul inilah sehingga umat Islam sampai saat ini menjadi satu-satunya umat
Yang senantiasa menjaga kemurniaan kitab Allah dan hadis Rasulnya yang
Dijadikan sebagai pedoman Hidup.

Pada masa Nabi SAW, hadis tidak Ditulis secara resmi sebagaimana al-Qur’an,
Hal ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi. Larangan menulis hadis dari Rasul
Sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah
SAW Bersabda

:‫ال تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه‬

Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang Berasal
daripadaku, kecuali al-Qur’an, dan Barangsiapa telah menulis daripadaku selain
Al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapus kannya1

Setelah diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda:“Tulislah apa yang kamu


dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada ditangannya, tidak keluar dari
mulutku kecuali Kebenaran.2

Namun ketika kekhawatiran Tersebut mulai hilang karena para sahabat Telah
mengetahui dan terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an, sehingga
mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana yang bukan, maka
Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan hadis. Jadi larangan itu bersifat
umum sedangkan Izin hanya berlaku untuk sahabat tertentu.

PENERIMAAN HADIST PARA SAHABAT

Tidak semua sahabat selalu bersama-sama Rasul, ada yang sering Bersama-sama
beliau dan ada pula yang hanya sekali-kali, oleh karena itu derajat Para sahabat
berbeda-beda dalam mengetahui hadis Rasul. Di samping itu Rasulpun tidak
selalu memberikan pengajaran umum, hal itu hanya diadakan oleh beliau Pada
saat hari Jum‟at, hari-hari Raya dan waktu-waktu tertentu apabila keadaan
Menghendakinya Cara para sahabat dalam menerima hadis dari Rasul-pun
berbeda-beda, kadangkala dengan cara

1
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, alDarimi dan Ahmad ibn Hanbal. A.J.Wensinck, alMu’jam al-
Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi VI, (Leiden: E.J. Brill, 1936), 176
2
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadis,60
1). berhadapan secara langsung dengan Rasul (Musyafahah), kadangkala dengan
cara

2). Menyaksikan (Musyahadah) perbuatan atau taqrir Rasul, dan kadangkala


hanya dengan

3). Mendengar dari sahabat lain yang mengetahui secara langsung dari Rasul
karena sebagaimana telah dikemukakan tidak semua sahabat dapat menghadiri
Majlis Rasul karena Kesibukannya masing-masing3.

Adapun pegangan para sahabat dalam menerima hadis dari Rasul adalah Dengan
kekuatan hafalan mereka, hal ini karena para sahabat yang pandai menulis Sangat
sedikit jumlahnya. Tetapi korisinalan hadis sangat dimungkinkan tetap Terjaga
karena bangsa Arab pada saat itu mempuntai kekuatan hafalan yang luar Biasa,
sehingga merupakan sesuatu hal yang mudah bagi mereka untuk menghafal
Hadis-hadis yang datang dari Rasulullah.

Disamping itu Muhammad „Ajjaj al-Khatib menyatakan bahwa para Sahabat


memperoleh hadis dari Rasul sekurangnya dengan empat macam cara, Yaitu
sebagai berikut :

1.Dari majlis-majlis Rasul. Seluruh majlis Rasul adalah majlis ilmu, beliau
Selalu menentukan terlebih dahulu waktu untuk mengajar para sahabatnya Dan
hal ini ditanggapi dengan rasa antusiasme yang tinggi oleh para Sahabat, namun
sebagian mereka ada yang tidak bisa menghadiri majlis Tersebut karena
kesibukannya sehingga hanya bisa bergantian dengan Tetangganya, sebagaimana
dilakukan oleh Umar.

2.kejadian-kejadian yang dialami oleh Rasul sendiri, kemudian beliau


Menjelaskan hukum kejadian tersebut sehingga hukum yang ditetapkan oleh
Rasul itu (hadis) diketahui oleh para sahabat dan kemudian menyebar Keseluruh
orang muslim.

3
Muhammad Abu Zahwi, op. Cit., h. 53. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah Perkembangan, Op. Cit.,
h. 7
3.Kejadian-kejadian yang dialami oleh para sahabat, kemudian mereka
Menanyakan hukumnya kepada Rasul, sehingga Rasul memberikan Penjelasan
tentang hukum kejadian yang ditanyakan. Hal ini sangat sering Terjadi, para
sahabat tidak segan-segan untuk menanyakan sesuatu hukum Yang dialami oleh
mereka kepada Rasul.

4. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasul yang disaksikan oleh para


Sahabat, hal ini banyak sekali seperti tata cara shalat, puasa, ibadah haji, Ketika
beliau dalam perjalanan dan sebagainya. Dan selanjutnya para Sahabat
meriwayatkan hal-hal tersebut kepada generasi tabi‟in

4.KEADAAN PARA SAHABAT DALAM MENERIMA DAN MENGUASAI


HADITS DARI RASULULLAH

Dalam perolehan dan penguasaan hadis, antara satu sahabat dengan sahabat yang
lain tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang se dan g bahkan ada pula
yang sedikit. Hal iniDisebabkan Karena:

•Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.

•Perbedaan dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.

•karena faktor tempat tinggal,pekerjaan dan usia lain sebagainya


B. Hadist Pada Masa Sahabat
1. Pengertian Sahabat dan Sikap serta Cara Sahabat Mengembangkan
Hadits
Pada masa ini disebut “ Zaman kehati-hatian dan penyederhanaan
riwayat.” Periode ini terjadi pada zaman Khulafa’ur Rasyidin, atau zaman
Sahabat Besar. Yakni, dimulai sejak wafatnya Rasul sampai berakhirnya
pemerintahan Ali bin AbiThalib. (Drs. H. M. Syuhudi Ismail)

Kata Sahabat (arabnya: Shahabat) menurut bahasa adalah musytaq


(pecahan) dari kata shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain
tanpa ada batas waktu dan jumlah. Berdasarkan inilah para ahli hadits
mengemukakan rumusan tentang Sahabat sebagai berikut Ibn Hajar al-
Asqalani mengatakan, Sahabat ialah orang yang pernah bertemudengan
Nabi Muhammad SAW, dengan ketentuan ia beriman dan hidup bersama
beliau, baik lama atau sebentar, meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak.
Demikian pula orang yang pernah melihat Nabi SAW walaupun sebentar
atau pernah bertemu dengan beliau namun tidak melihat beliau karena
buta.

Sikap sahabat dalam mengembangkan hadits sangat memperhatikan rawi


dan matan hadits dalam hal periwayatan dan penerimaan hadits dan tidak
memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits. Dan cara sahabat
menyampaikan hadits yaitu dari mulut ke mulut (belum tertulis) ke,udian
periwayatan dengan cara lafadziyah dan ma’nawiyah dan banyak
bersandar pada ingatan dan hafalan.
2. Pemeliharaan Hadits Pada Masa Sahabat

Pada masa Kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits adalah
sedikitdan agak lamban. Dalam periode ini periwayatan hadits dilakukan
dengan cara yang ketat dan sangat hati-hati.

Demikian juga halnya dengan Umar, bahwa dia tidak mudah menerima
suatu hadits sebagaimana yang terlihat dalam keterangan berikut. Ketika
Abu Musa al-Asari bertamu kepada Umar, dia mengucapkan salam sampai
tiga kali. Umar mendengarnya, namun tidak menjawab, karena ia mengira
Abu Musa akan menemuinya. Dugaan tersebut melesat ternyata ia berbalik
langsung pulang.

Ketika Umar mengejarnya dan menanyakan mengapa dia balik pulang.


Abu Musa menjawab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, Apabila
seseorangmengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak juga dijawab oleh
si pemilik rumah, maka hendaklah dia pulang kembali.

Umar tidak puas atas keterangan Musa, bahkan Umar mengancam untuk
menghukumnya kalau tidak menghadirkan seorang saksi atas keterangan
yang disampaikan Abu Musa tersebut. Dan, pada saat itu tampilah Ubay
ibn Ka’ab memberikan penjelasan tentang kebenaran hadits tersebut.

Sebagaimana halnya Abu Bakar dan Umar, Utsman dan Ali juga sangat
teliti dan hati-hati dalam menerima hadits. Ia pernah mengatakan dalam
khotbahnyaagar para Sahabat tidak banyak meriwayatkan hadits yang
mereka tidak pernahmendengarnya di masa Abu Bakar dan Umar.

Sejarah mencatat, bahwa pada periode Khulafa al-Rasyidin, khususnya


pada masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits sangat sedikit dan
lamban. Hal ini dikarenakan kecenderungan mereka secara umum untuk
menyedikitkan riwayat.

3. Masa penyebarluasan periwayatan hadits

Setelah Nabi SAW wafat yakni dalam periode Sahabat, para Sahabat tidak
lagi mengurung diri di Madinah. Mereka telah mulai menyebar ke kota-
kota selain Madinah. Terutama pada masa Khalifah Utsman ibn Affan
terlihat begitu besarmemperluas kekuasaan Islam dan telah meliputi
seluruh Jazirah Arab, wilayahSyam (Palestina, Yordania, Siria, Libanon),
seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia,dan kawasan Samarkand.
Pada umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat
mendirikan masjid-masjid di daerah baru itu, dan ditempat baru itu
sebagian darimereka menyebarkan ajaran-ajaran Islam dengan
mengajarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Diantara kota-kota yang
banyak terdapat para Sahabat dan aktivitas periwayatan hadits adalah:

a. Madinah

Di kota ini terdapat para Sahabat yang mempunyai ilmu yang luas dan
mendalamtentang haditsd, diantaranya Khulafa al-Rasyidin, Aisyah ra, Ab
Allah ibn Umar,Abu Said al-Khudri, Zaid ibn Tsabit dan lainnya.

b. Mekkah

Setelah kota Mekkah ditaklukkan pada masa Rasulullah SAW, disana


ditunjuk Muadz ibn Jabal sebagai guru yang mengajari para penduduk
setempat tentang masalah halal dan haram, dan memperkenalkan serta
memeperdalam pengetahuan mereka mengenai ajaran Islam dan sumber-
sumbernya yaitu al-Qu’ran dan hadits. Di kota ini pula lahir beberapa
nama dari kalangan seperti Said ibnMussayyab, Urwah ibn Zubair, ibn al-
Syihab, Ubaidillah ibn Utbah ibn Masud,dan lainnya.

c. Kufah

Setelah Irak ditaklukkan pada masa Khlaifah Umar ibn al-Khaththab, di


kota Kufah tinggal sejumlah besar Sahabat, di antaranya Ali ibn Abi
Thalib, Saad ibn Abi Masud, dan lainnya. Ibn Masud mempunyai peran
yang penting dalam penyebaran agama Islam, termasuk di Kufah dan
daerah sekitarnya.Terdapat sejumlah 60 orang murid Ibn Masud di Kufah
yang berperan dalam penyebaran hadits. Diantaranya adalah Kamil ibn
Zaid al-Nakhai, Amir ibnSyurahil al-Syabi, said ibn Jubair , Ibrahim al-
Nakhari, dan lainnya.

d. Basrah
Anas Ibn Malik yang dikenal sebagai Imam fi al-Hadits di Basrah, Abu
Musa al-Asyri, Abn Allah ibn abbas, dan lainnya. Para Sahabat tersebut
melahirkan tokoh terkenal dari kalangan tabiin, seperti Hasan al-Bashri
dan Muhammad ibn Sirrin.

Daftar Pustaka:

https://www.academia.edu/38573756/
MAKALAH_SEJARAH_HADITS_PRAKODIFIKASI_PADA_MASA_RASUL
ULLAH_SAW_SAHABAT_DAN_TABIIN_docx

https://id.scribd.com/document/361456741/Makalah-Hadist-Pada-Masa-Sahabat-
Dan-Tabiin

https://tafsirweb.com/9776-surat-al-hujurat-ayat-6.html
C. Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Tabi’in
1. Definisi Tabi’in dan Perannya dalam Pertumbuhan Sejarah Hadits
Tabi’in menurut asal bahasanya berasal dari bahasa arab yang berarti
pengikut. Sedangkan menurut istilah arti dari Tabi’in adalah orang islam
awal yang masa hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami
asa hidup Nabi Muhammad SAW. Usianya tentu saja lebih muda dari
Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa
Sahabat hidup. Atau bisa juga disebut bahwasannya Tabi’in merupakan
murid Sahabat Nabi. Pada tingkatannya, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
membagi para Tabi’in menjadi empat tingkatan berdasarkan usia dan
sumber periwayatannya, yaitu Para Tabi’in tertua (Kibar at-tabi’in)
mereka yang seangkatan dengan Said bin Al-Musayyab, para Tabi’in
kelompok pertegahan (al-wustha min at-tabi’in) mereka yang seangkatan
dengan Al-Hasan Al-Bashri, para Tabi’in kelompok muda (sighar at-
tabi’in) yang banyak meriwayatkan hadits dari tabi’in tertua contohnya
Ibnu Syihab az-Zuhri, para Tabi’in kelompok termuda yang seangkatan
dengan Sulaiman bin Mihran al-A’masy.4

Peran Tabi’in dalam perkembangan sejarah hadits tidak dapat


dipungkiri merupakan peranan kesinambungan dan pemeliharaan hadits.
Pada masa itu banyak para Tabi’in yang menimba ilmu kepada para
sahabat. Mereka menerima hadits dari para sahabat sekaligus belajar
kepada sahabat tentang makna dan arti hadits yang mereka terima. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan hadits, dan berguru kepada para Sahabat,
para Tabi’in harus menempuh perjalanan yang jauh. Hal ini dibuktikan
dari riwaya Bukhari, Ahmad, Thabrani ataupun Baihaqi, bahwa Jabir
pernah pergi ke Syam, yang memakan waktu sebulan untuk perjalanannya
hanya untuk menanyakan satu hadits saja yang belum pernah di
dengarnya. Sahabat yang didatanginya adalah Abdullah Ibnu Unais al-
Anshary.

4
https://googleweblight.com
2. Perkembangan Hadist Pada Masa Tabi’in
Ketika Pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan
islam sampai meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan
Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam, dan Khurasan.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran
para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini
dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (Intisyar al-
riwayah ila al-amshar).5 Pada masa ini terdapat kota-kota sebagai pusat
pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para Tabi’in
dalam mencari hadits. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-Munawarah,
Makkah al-Mukarramah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Maghrib (Afrika
Selatan) dan Andalusia(Spanyol), Yaman, Jurjan, Quzwain, Khurasan
3. Munculnya Pemalsuan Hadist
Pada Masa ini terjadi pergolakan politik yang disebabkan perebutan
kekuasaan antara Khalifah Ali dan Muawwiyah. Dan pada masa tersebut
umat Islam terbagi menjadi beberapa golongan. Golongan pertama yaitu
golongan Syiah yang medukung Khalifah Ali, golongan kedua yaitu
pendukung pihak Muawwiyah, dan golongan terakhir yaitu kelompok
Khawarrij yang tidak mendukung Ali maupun Muawwiyah.
Ketiga golongan tersebut, sudah barang tentu ingin saling berebut
pengaruh dimata masyarakat. Bukan hanya itu, mereka juga saling
berusaha untuk menjatuhkan lawan masing-masing dengan tidak segan-
segan membuat hadits palsu. Usaha ini pertama kali dilakukan oleh
golongan Syi’ah, dan diikuti oleh golongan yang lainnya. Kota yang
terkenal sebagai pusat pembuatan hadits palsu pada waktu itu adalah Irak.
Kalaulah pada masa Ali itu telah timbul pemalsuan Hadits, maka
bentuknya barulah tingkat permulaan, yang secara keseluruhan belum
banyak berpengaruh terhadap keaslian Hadits Rasul. Adapun pada periode
ketiga, yakni mulai masa Muawwiyah sampai akhir abad 1 Hijry,
pemalsuan Hadits telah berkembang pesat , yang sebabnya bukan hanya

5
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal 85.
factor pertentangan golongan,6 akan tetapi juga dilakukan oleh para kaum
zindiq yang yang motifnya ingin memecah belah kaum islam.7
Faktor munculnya keliruan pada masa tabi’in adalah:
a. Periwayatan hadist adalah manusia, jadi tidak lepas dari kekeliruan
b. Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadist
c. Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat.

6
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits: Cara-cara sahabat menerima dan
Menyampaikan Hadits, Bandung: Angkasa, 2009, hal. 98-99
7
Ibid., hal 107
D. Perkembangan Hadits Pada Zaman Sekarang

1. Pergulatan Hadits Di Era Modern

Jika kita telah secara seksama tentang perkembangan kajian terhadap


hadis Nabi, maka kita akan menemukan bahwa sejak pertengahan abad
kesembilan belas, definisi autoritas Rasulullah menjadi masalah penting
bagi para pemikir keagamaan muslim. Abad kesembilan belas merupakan
periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan
agama masyarakat muslim telah menciptakan dorongan kuat diadakannya
reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam, baik untuk mengakomodasi
nilai-nilai barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Desakan untuk
dilakukannya reformasi pada gilirannya menghasilkan tekanan untuk
mengkaji kembali fondasi esensial kewenangan agama didalam Islam. Hal
inilah yang menjadi keprihatinan mengenai hadis Nabi SAW yang pada
perkembangannya menjadi titik pusat dalam proses pengkajian kembali
hadis-hadis Nabi SAW tersebut.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Brown dalam bukunya


Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern yang menjelaskan bahwa
sejumlah aspek pengalaman kolonial mendorong perhatian istimewa
terhadap hadis Nabi Saw. Skripturalisme paramisionaris Protestan jelas
mempengaruhi cara pandang orang Muslim terhadap hadis Nabi, yaitu
dalam memandang hubungan antara Hadis dan kitab suci karena abad
kesembilan belas merupakan periode aktivitas gencar para misionaris
Kristen dan perdebatan antar agama, terutama di India. Akhir abad
kesembilan belas juga merupakan periode ketika oranng muslim
menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana orientalis yang mulai
saja bersikap kritis terhadap keauntetikan literature hadis. Dampak ini
paling terasa di India, Namun adalah suatu kesalahan serius kalau
menyimpulkan bahwa perhatian muslim modern terhadap pertanyaan
mengenai hadis Nabi Saw semata mata merupakan reaksi terhadap
kolonialisme (Brown, 2000, hal. 39). Selanjutnya Brown menjelaskan
bahwa pola peninjauan ulang hadis Nabi sebagai alat untuk beradaptasi
dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang Muslim
merasakan dampak langsung dari hegemoni Barat. Perhatian masa kini
terhadap autoritas Rasulullah berkaitan dengan kecenderungan yang telah
berlangsung sebelum dirasakannya tantangan khususnya dari Eropa. Hal
penting dari kecenderungan ini adalah munculnya gerakan kaum reformis
yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 yang mengadopsi sikap kritis terhadap
warisan klasik dengan menolak sikap taqlid. Gerakan tersebut dapat
dipetakan menjadi empat (4) periodesasi sebagaimana berikut ini (Brown,
2000):

a. Periode Pertama

Periode gerakan reformasi abad ke-18. Selama abad kedelapan


belas, gagasan kaum tradisional yang memahami bahwa sunnah
seharusnya menjadi basis utama hukum Islam, bahwa status hukum itu
bisa dan seharusnya menjadi bahan penelitian yang cermat dengan
berdasarkan hadis Nabi SAW. Gagasan ini bukanlah kontribusi asli para
reformis abad kedelapan belas, sepanjang periode klasik tesis kaum
tradisional tetap terpelihara di dalam madzab Imam Ahmad bin Hanbal
(Hanbali). Para reformis memberikan kekuatan baru terhadap
pemahaman orang Islam yang telah banyak menyimpang dari sunnah
Rasul Saw dan dipengaruhi oleh bid’ah dan taklid terhadap ajaran dan
penafsiran hukum klasik. Obatnya adalah dengan kembali kepada al-
Qur’an dan sunnah hadis, guna meraih kembali kemurnian ajaran Nabi
yang terkandung di dalam sunnah Nabi SAW tersebut. Di antara banyak
ulama’ aktivis modernis yang dipengaruhi gagasan ini, dua di antaranya
adalah Syah Waliyullah dan Muhammad Al-Syaukani. Perhatian Syah
Waliyullah tertuju pada perpecahan dan dampaknya pada masyarakat
Muslim. Kebangkitan kembali studi Hadis menjadi inti programnya.
Syah Waliyullah menolak taklid pada ketentuan mazhab, menurutnya
harus lebih rendah daripada sunnah. Dia pada prinsipnya, menolak taklid
buta kepada ajaran hukum, mendukung ijtihad dan menempatkan sunnah
pada kedudukan yang pertama dalam proses ini.

Pendekatan Syah Waliyullah terhadap hadis, penafsirannya dan


hubungannya dengan sunnah bukan tidak canggih, dan pendekatannya
tidak beda jauh dengan pendekatan para faqih klasik. Seperti halnya
mereka, dia sangat menyadari adanya jurang yang memisahkan hadis dari
aplikasi hukumnya. Dia menirima perbedaan standar antara tindakan
Nabi Muhammad Saw. Sebagai Rasul dan tindakan non Rasul, tindakan
non rasul seperti dibidang kesehatan dan pertanian. Dia sepakat dengan
teori hukum klasik bahwa tidak semua sunnah secara hukum dapat
diterapkan.

Sedangkan Muhammad Ibn’ Ali Al-Syaukani, memperlihatkan


pandangan serupa meski lebih ekstrim mengenai persoalan taklid dan
ijtihad. Bagi Al-Syaukani Ijtihad hanya dibatasi oleh kemampuan dan
pengetahuan mujtahid. Al-Syaukani menentang argument tradisional
yang menentang ijtihad, bahwa hanya generasi awal yang cukup dekat
dengan Rasulullah yang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan.
Bukannya menjadi lebih sulit, ujarnya, ijtihad sekarang menjadi lebih
mudah dibandingkan dengan sebelumnya karena sumber-sumber telah
terhimpun, tersusun dan tersedia dalam skala yang luas. Dalam hal ini
penolakan Al-Syaukani lebih radikal dibandingkan Syah Waliyullah.
Penolakan Syah Waliyullah terhadap taklid dilakukan dalam kerangka
konservatif yang menerima banyak pembatasan klasik atas mujtahid;
metode Syah Waliyullah sama dengan talfiq memilih diantara keputusan
berbagai mazhab. Syaukani sebaliknya, Ia menolak seluruh struktur
Islam klasik atau paling tidak menjadikannya sebagai bahan untuk diuji
dengan bacaannya.

Penolakan terhadap hadis oleh Syaukani dan para pengikut Syah


Waliyullah, dan penggunaan hadis untuk mengkritik hadis
menggambarkan penyimpangan penting dari sikap mazhab hukum klasik
terhadap sunnah. Menurut teori klasik yurisprudensi, hadis secara formal
diakui sebagai satu-satunya basis hukum bagi sunnah, tetapi dalam
metode aktual fuqaha, ijma’ mendapat tempat yang lebih tinggi. Pada
prinsipnya, Syah Waliyullah dan Syaukani banyak mengikuti pola para
pembaharu abad kesembilan belas dan kedua puluh. Dalam menghadapi
krisis dan perubahan, mereka mencari hadis untuk melandasi
penyelesaian yang relevan dengan dilema zaman mereka (Brown, 2000).

b. Periode Kedua

Reformasi berbasis Hadis pada abad ke-19 (kesembilan belas). Di


India penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap hadis menjadi
satu sekte reformis, yaitu Ahli Hadis yang langsung menggunakan tradisi
Syah Waliyullah dan Imam asy-Syaukani. Hampir seluruh penguasa awal
yang berpengaruh dengan kelompok ini memiliki hubungan langsung
dengan garis Syah Waliyullah. Kelompok Ahli Hadis ini dapat dipandang
sebagai hasil pertumbuhan langsung dan perwujudan sikap diam
mujahidin. Sebagai basis untuk ikon kelas mereka, mujahidin
mengembangkan sikap penolakan Syah Waliyullah terhadap taklid yang
menjadi titik pusat ajarannya.

Dalam hal sikap mereka terhadap masalah-masalah hukum, Ahli


Hadis mengombinasikan penolakan terhadap taklid dalam tradisi mazhab
Syah Waliyullah dengan literalisme ekstrem dalam pendekatan terhadap
hadis. Dalam hal ini mereka menyimpang dari doktrin moderat Syah
Waliyullah dan dengan kesadaran diri berusaha menyamai tradisionis
kuno yang paling ekstrem, yaitu gagasan mazhab Zhahiri. Bagi kelompok
Ahli Hadis, keseluruhan tradisi klasik pengetahuan Islam diragukan.
Hanya dalam sunnah, yang terwakili melalui hadis shahih, kemurnian
Nabi Muhammad Saw terpelihara. Setelah masa Rasulullah, sejarah tak
lain merupakan catatan kemunduran, suatu periode kegelapan yang
diterangi kilas cahaya sewaktu warisan Nabi Muhammad SAW
menempati posisi penting dalam karya pembaharu agama dan dengan
demikian sunnah terhidupkan kembali.

Idealnya Ahli Hadis adalah mereka para ulama yang menjalani


kehidupannya dengan menjaga akhlaknya yang suci/terpuji atau dalam
bahasa hadis adalah Tsiqah sebagaimana mengikuti contoh Rasulullah
Saw. Hadis sebagai pedoman tentang sunnah Rasul, menjadi fokus
sentral kehidupan mereka dan pedoman ideal tentang tingkah laku sosial
dan kesalehan individu. Bagi Ahli Hadis, prinsip pemandu dalam
pembaharuan salafi adalah keyakinan bahwa kaum muslim harus
berusaha agar bisa menyamai generasi pertama muslim, yaitu generasi
salaf ash-shalih dan kembali mengambil Islam murni sebagaimana ajaran
Rasulullah Saw. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan cara kembali
kepada sumber dasar autoritas, al-Qur’an dan sunnah, karena hanya dari
sumber inilah esensi Islam yang sesungguhnya dapat ditemukan kembali.

Dalam mencari model yang autentik, para pembaharu salafi


menekankan untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini tentu
saja menghadapkan kepada mereka pada masalah penentuan yang tepat
mengenai bagaimana sumber-sumber ini dipahami dan diterapkan. Para
pembaharu menekankan penafsiran terbuka. Mereka menolak penafsiran
esoterik dan berpendapat bahwa teks yang sulit harus diterima sebagai
masalah keimanan tanpa mencoba menafsirkan. Para pembaharu sangat
menekankan pentingnya sunnah sebagai sumber hukum yang kedua,
namun mereka tidak mudah mempercayai hasil kritisisme klasik hadis.
Sementara Ahli Hadis mempercayai bahwa penilaian muhaddisin
terdahulu harus diterima, para pembaharu salafi mau mengakui
kebutuhan untuk mengevaluasi lagi hadis, akan tetapi para pembaharu
tidak menolak system klasik kritisisme hadis.

Dalam pendekatan terhadap sunnah, Ahli Hadis dan pembaharu


salafi menegaskan kembali penekanan kaum tradisionalis pada sentralitas
praktik Nabi Saw. Bagi kedua gerakan ini, penyimpangan dari sunnah
dipandang sebagai penyakit gawat yang menimpa Islam. Pendekatan
mereka terhadap sunnah sangat menyimpang dari teori klasik. Sebaliknya
bagi Ahli Hadis, sunnah menjadi standar yang mandiri, yang didasarkan
hanya pada hadis, untuk menilai tradisi klasik salafiyyah dan ahli Hadis
sama-sama menolak dan mengklaim mampu membangkitkan kembali
sunnah Rasulullah Saw (Brown, 2000).

c. Periode Ketiga

Periode para Modernis Awal: Ahmad Khan dan Muhammad Abduh.


Tantangan besar pertama terhadap sunnah di periode modern datang dari
modernis besar India, Syir Ahmad Khan, yang akhirnya menganggap
seluruh hadis tidak dapat dipercaya. Ia mengkritik tajam metode klasikl
kritisme hadis, dan akhirnya percaya bahwa hanya hadis yang berkaitan
dengan masalah spiritual saja yang relevan dengan muslim kontemporer,
dan hadis yang bertalian dengan hal-hal duniawi tidaklah mengikat.

Perhatian Sayyid Ahmad Khan tentang mengikuti sunnah,


membawanya pada perhatian terhadap kandungan autentik sunnah.
Perhatian ini mengantarkan satu tahap dalam pandangan keagamaan
Sayyid Ahmad Khan, sewaktu ia mengemukakan gagasan mengenai
sunnah yang mirip dengan gagasan yang dilontarkan oleh Ahli Hadis. Dia
tidak pernah melepaskan keterkaitannya dengan jiwa para pembaharu
Ahli Hadis. Dia menjadikannya sebagai motivasi utama dalam upayanya
di bidang pemikiran keagamaan untuk memberikan sumbangsih bagi
tegaknya kembali Islam yang sesungguhnya. Ini merupakan tujuan Ahli
Hadis. Meskipun pandangannya mengenai Islam yang sesungguhnya
berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ahli Hadis (Brown, 2000).

Evolusi Sayyid Ahmad Khan mengenai hadis dipengaruhi langsung


oleh sarjana orientalis dan polemik misionaris. Pada saat yang sama ia
mengasimilasikan pengaruh ini kedalam pola sikap keagamaan dasar
yang telah terbentuk. Tantangan langsung dari Sayyid Ahmad Khan
mengenai sunnah dan hadis datang dari pena misionaris dan oriental Sir
William Muir, Muir perpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
terpercaya bagi biografi Nabi Muhammad Saw, potret sejati dan akurat
pemikiran Nabi Muhammad Saw. Literatur Hadis menurutnya,
mengalami penyelewengan dan terbatas nilainya sebagai sumber untuk
mengetahui sejarah awal Islam. Muir sepenuhnya mengabaikan nilai
kritisme hadis klasik yang berdasarkan pengujian mata rantai
periwayatan isnad. Dia berpendapat bahwa teks hadis harus kukuh atau
gugur karena nilainya sendiri. Ia tidak mempercayai hadis yang
memajukan bias umum yang lazim bagi semua muslim (Brown, 2000).

Sayyid Ahmad Khan yang terusik dengan karya muir membuat


bantahan, Khan dia mempertahankan nilai kritisme isnad; ia berpendapat
bahwa Muir tidak masuk akal menisbahkan penyimpangan karena para
perawi hadis awal; dan dia menuduh bahwa lawanya telah begitu
meremehkan kekuatan daya ingat. Penekanan Sayyid Ahmad Khan
bahwa sunnah berada dibawah Al-Qur’an dipengaruhi oleh Muir, Sayyid
Ahmad Khan menganngap Al-Qur’an sebagai standar tertinggi untuk
menguji semua informasi mengenai Rasulullah Saw. Dia hanya
mempertimbangkan hadis mutawatir hadis yang disampaikan oleh
banyak orang sehingga menyingkirkan kemungkinan terjadinya
persekongkolan untuk menyelewengan sebagai landasan andal untuk
dipercaya selain Al-Qur’an. Di satu sisi dia pada prinsipnya tidak
menolak historisitas hadis, dan tidak menolak kewenangan atau otoritas
sunnah.

Muhammad Abduh mulai menyatakan sikap skeptinya terhadap


hadis pada sekitar masa yang sama dengan Sayyid Ahmad Khan, namun
jauh lebih hati-hati. Bukti langsung sikap Abduh terhadap keauntetikan
hadis terlihat dalam karyanya yang menyebutkan bahwa dia memandang
bahwa hanya hadis mutawatir yang mengikat. Abduh membuka pintu
bagi penilaian pribadi dalam memutuskan mana hadis yang akan diterima
atau ditolak. Namun mereka tidak menolak kewenangan Sunnah.
Informasi ini hanya memberikan informasi yang samar bahwa Abduh
ingin melepaskan diri dari pendekatan tradisional terhadap hadis dalam
kasus tertentu. Akan tetapi, dia tidak pernah menawarkan pendekatan
sistematis terhadap kritisme hadis. Abduh lebih merasa akrab dengan
masalah teologi daripada fiqih, dan lebih spekulatif daripada skripturalis
dalam metodenya (Brown, 2000).

d. Periode Keempat

Periode Skripturalisme Qur’ani, yaitu generasi setelah Ahmad


Khan dan Abduh, yang merupakan garis lainnya dalam spectrum
pendekatan modern terhadap kewenangan Rasulullah Saw. Generasi ini
terbentuk berkat munculnya skripturalisme Qur’ani. Tanda pertama
kecenderungan ini terlihat di Punjab pada awal abad kedua puluh dengan
munculnya ahli Qur’an. Gerakan ini berawal sebagai kelompok yang tak
sepakat dengan Ahli Hadis. Kalau Ahli Hadis memandang taklid sebagai
sumber penyimpangan dan perpecahan dalam Islam, Ahli Qur’an
memandang mengikuti Hadis sebagai penyebab kemalangan Islam.
Kalau Ahli Hadis mengklaim bahwa warisan autentik Rasulullah dapat
diraih kembali hanya dengan kembali pada Hadis, Ahli Qur’an
memandang bahwa Islam yang murni dapat ditemukan hanya dalam al-
Qur’an. Al-Qur’an saja, menurut mereka, member landasan yang adil
bagi keimanan dan tindak keagamaan (Brown, 2000).

Shidqi berargumen bahwa detail-detail perilaku Nabi Muhammad


Saw, tak pernah dimaksudkan untuk ditiru dalam setiap perinciannya.
Oleh karena itu orang Muslim harus hanya bersandar pada Al-Qur’an.
Motivasi shidqi sendiri, yang tertulis secara eksplisit dalam atikel
tersebut, secara langsung berkaitan dengan ajaran sentral salafiyyah
penolakan terhadap pentaqlidan dan pencarian keauntetikan. Shidqi dan
kontroversi yang diciptakannya juga penting karena mengungkap pula
tentang sikap Rasyid Ridho terhadap masalah sunnah dan keauntetikan
Hadis. Tinjauan Ridha terhadap karya Shidqi, menyebutkan bahwa Ridha
dimotivasi terutama oleh keinginan mengguncang al-Azhar, ia ingin
membamgkitkan mereka untuk mempertahankan pandangan mereka
mengenai sunnah (Brown, 2000).

Pandangan Ridha sendiri mengenai sunnah terekspresikan secara


mendetail hanya setelah munculnya artikel Shidqi dan pendekatannya
dapat dianggap sebagai kompromi antara penolakan sepenuhnya terhadap
sunnah dan ketaatan terhadap gagasan klasik mengenai hadis. Pada satu
sisi Ridha tidak menolak secara besar-besaran terhadap kewenangan Nabi
Saw. Disisi lain dia merasa perlu untuk meninjau dan menilai kembali
sumber sunnah (yaitu hadis). Satu-satunya sunnah yang tidak
diperselisihkan bagi Ridha adalah sunnah amaliyyah seperti misalnya
ibadah shalat. Motivasi Ridha dan Shidqi dalam memperlakukan sunnah
pada hakikatnya sama. Keduanya dimotivasi terutama keinginan untuk
meruntuhkan belenggu taqlid dan menegaskan hak untuk kembali kepada
sumber dan menemukan kembali Islam autentik untuk diri mereka sendiri
(Brown, 2000).

SUMBER

Karim A. Pergulatan Hadis di Era Modern. Riwayah J Stud Hadis. 2018;3(2).

Brown, D. W. (2000). Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung:


Mizan.

Anda mungkin juga menyukai