Anda di halaman 1dari 8

 Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :

 Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan
oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha
untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
 Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya
kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits,
para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh
Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
 Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan
kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi
menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan tentang
seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang telah
suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman mestinya,
tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda :
“Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kasturi, maka
bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi, “bagaimana saya
membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”. Wanita tersebut
masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda : Subhanallah hendaklah
kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata : “Wanita itu saya tarik kearah
saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas
darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal
sensitif berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-
hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW.
Sering kali mereka bertanya kapada istri-istrinya.
 Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh
Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M),
Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang
muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
 Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu
dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan
muamalah.

Hadis pada masa Rasulullah Saw


Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun
awktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut
keseriusan dan kehatian-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.[1]
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya di jelaskan melalui perkataan (aqwal),
perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan di
saksikanoleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul Saw
merupakn contoh satu-satunya bagi para sahabat , karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan
keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kedudukan hadis dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu telah disepakati
oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada sekelompok kecil dari
kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua. Mereka dikenal sebagai inkar al-sunnah. [2]
a. Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya . Umat
Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasul Saw sebagaisumber
hadis. Antara Rasul Saw dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat
atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan al-Quran dan mengutus nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya
adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga
merupakan wahyu .
Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu
dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada protokolan-protokolan yang menghalangi
mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke
rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk kerumah dan
berbicara dengan istri-istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi SAW menggauli mereka di rumah, dimesjid, dipasar, di jalan, di dalam safar dan di
dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi , demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau
menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman
hidup.[3]
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan,dan
taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan
keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang
segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan ini sendiri
dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka
dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasulullah Saw cukup bervariasi,
seperti di mesjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam Perjalanan (safar) dan
ketika muqim (berada di rumah).[4]
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang
disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan
terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka
(melalui musyahadah).
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan
rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara,
sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa
cara Rasul SAW menyampaikan hadis kepada ara sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang di sebut majlis al-
‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis,
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan
ajaran yang diberikan oleh Nabi SAw.
Para sahabat begitu antusias untuk bisa tetap mengikuti kegiatan di majlis ini , ini
ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian hadir , seperti
yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid
(dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “kalau
hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi , demikian aku melakukannya
.”[5] Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini,
untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul Saw juga menyampaikan haidisnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang
ketika ia mewurudkan hadis , para sahabat yang datang hanya beberapa orang saja, baik karena
di sengaja oleh Rasul Saw sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya
beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang , seperti hadis-hadis yang di tulis oleh Abdullah
Bin Amr Ibnu Al- ‘Ash.
Untuk hal-hal yang sebsitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebetuln
biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.
Begitu juga sikap para sahabat ,jika ada hal-ahal yang berkaitan dengan soal di atas, karena
segan bertanya kepada Rasul Saw, seringkali di tanyakan melalui istri-istrinya.
ketiga , cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah atau pidato di tempat
terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.[6]
Tujuan Nabi SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya ialah ; a) karena
ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam
waktu yang cukup panjang ; b) ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu
peristiwa yang dilihat dan di alaminya sendiri; c) bermaksud meluruskan akidah yang salah
atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.[7]
b. Cara-Cara Sahabat Menerima Hadis Dari Rasulullah SAW
Apabila para shahabi berkata yang artinya:
“ saya mendengar Rasul SAW”[8]
Atau
“ Rasulullah SAW Mengkhabarkan kepadaku”
Atau
“ Rasulullah SAW menceritakan kepadaku”
Atau
“ Rasulullah SAW menerangkan kepadaku secara lisan”
Atau
“Aku lihat Rasulullah SAW berbuat”.
Maka semua ulama mengatakan, bahwa yang demikian itu menjadi Hujjah; karena terang
bahwa Shahabi itu berhadapan langsung dengan Nabi SAW:
Apabila seseorang shahabi membawa lafadhnya yang memungkinkan ada perantaraan,
seperti ia mengatakan:
“ bersabdalah Rasulullah SAW”
Atau
“Rasulullah SAW menyuruh “
“ Rasulullah SAW telah menegah”
“ Rasulullah SAW telah memutuskan”
Maka menurut pendapat Jumhur, juga menjadi Hujjah , baik perawi itu sahabat kecil ataupu
shahabi besar , kerena menurut Dhahair Shahabi itu meriwayatkan dari Nabi SAW jika di
takdirkan ada perantaraan maka hadis tersebut menjadi Mursal Shahabi, yang menjadi Hujjah
juga menurut Jumhur.[9]
Apabila Shahabi berkata:
“ kami diperintahkan begini”
Atau
“ kami di larang yang demikian “
Maka menurut pendapat Jumhur juga menjadi hujjah, karena menurut dhahir, yang
memerintah dan menegah itu adalah Nabi SAW sendiri.
Abu Bakar Shairafi Al-Isma’ili, Al Juwaini, Al Karakhi, mengatakan bahwa “ yang
demikian itu tidak menjadi Hujjah, kerena mungkin yang menyuruh dan menegah itu, bukan
Nabi, tetapi sebagian Khalifah.
Ibnu Daqiqiel ‘Ied menerangkan, bahwa sebagian ulama membedakan antara sahabat-
sahabat besar, seperti: Khalifah Empat, Ulama-ulama Sahabat, seperti Ibnu Mas’ud, Zaid ibn
Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Anas ibn Malik, Abi Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan antara
lain mereka.[10]

c. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis


Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang
memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali . hal ini tergantung kepada beberapa
hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul Saw. Kedua,
perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga ,perbedaan
mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari mesjid Rasul Saw.
Ada beberapa orang sahabat yang dicatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari
Rasul Saw dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al- Sabiqun Al- Awwalun (yang mula-mula masuk
islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu
Mas’ud . mereka banyak menerima hadis dari Rasul Saw, karena lebih awal masuk Islam dari
sahabat-sahabat lainnya.
b. Ummahat Al- Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah.
Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-
hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan
suami-istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis
yang di terimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-‘Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasu SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada
para sahabat lainnya secar sungguh-ungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya
kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW,
seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.[11]

d. Menghafal dan Menulis Hadis

1. Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai
dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran ia
secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping di hafal. Sedang
terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi dalam
hal ini ia bersabda yang artinya.
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku
selain al-Qur’an, hendaklah di hapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak
mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat
duduknya di neraka”. (HR Muslim). Alasan Nabi SAW tidak memperkenankan para Sahabat
untuk menulis hadis , salah satunya adalah karena dikhawatirkan akan bercampur dalam
catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak sengaja. Oleh karena itu Nabi
SAW melarang mereka menulis hadits, beliau Khawatir sabda-sabdanya akan bercampur
dengan firman Ilahi.[12]
Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh para sahabat diingatkan secara
sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk
tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang di terimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam
kegiatan menghafal hadis ini. Petama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa
Arab yang telah di warisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat
hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-
doanya; ketiga, seringkali ia menjajikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal
hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

2. Menulis Hadis
Di balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri di atas, ternyata
ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap
hadis dan memiliki catatan –catatannya, ialah:
1. Abdulillah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya
dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga di berinya nama al-sahifah al-shadiqah. Menurut suatu
riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdulillah ibn Amr, karena
sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW mereka berkata: “Engkau
tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara
dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul
menjawabnya dengan mengatakan yang artinya:

“tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya
kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)[13]

Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis , yang menurut
pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdua

tanpa ada orang lain yang menemaninya.[14]


2. Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al- Anshari (w. 78 H.). ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW
tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini
dikenal dengan sahifah Jabir.
3. Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al- Sahifah
Al-Sahihah. Hasil karyanya ini di wariskan kepada anaknya bernama Hammam.
4. Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul
SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah
sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang di lakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah
terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian bersabda yang artinya:

“kalian tuliskan untuk Abu Syah”.[15]


Di samping nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga
mengaku memiliki catatan hadis dan di benarkan Rasul SAW . seperti Rafi’ bin Khadij, Amr
bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.[16]

C. HADIS PADA MASA SAHABAT


Periode kedua sejarah pertumbuhan hadis adalah pada masa sahabat, khususnya
masa khulafah’ Al- Rasyidin (Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin
Abi Thalib ) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut
dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang , dan kelihataanya
berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama di anggap sebagai masa
yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
1. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain .
sebagaimana sabdanya yang artinya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berperang
kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadis). (HR. Malik).”[17]
Dan sabdanya pula:
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat /satu hadis”.[18]

Pesan-pesan Rasulullah SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat,


sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara
pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan
segala yang di contohkannya.
2. Berhati-hati Dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis

Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan
menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar
atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan,
sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-
Imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah.
Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh
perhatian trhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul
SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat
berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan
karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis
merupakan sumber Tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruannya
sebagaimana al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, ibn Abbas dan Abu
Ubaidah berusaha memperketat periwayatandan penerimaan hadis.[19]
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara
hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima hadis
dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek
bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa
hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadis. Al-Mughirah
menyebutkan bahwa, Rasul SAW memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta
supaya Al-Mughirahmengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima.[20]
Setelah rasul SAW wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka
ia berkata:”kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasul SAW yang diperselisihkan orang-
orang setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian
meriwayatkan hadis (tersebut).[21]
Sikap kehati-hatian juga oleh Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka
meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi untuk masalah
tertentu acapkali iapun menerima periwayatan tanpa Syahid dari orang tertentu, seperti hadis-
hadis dari Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti oleh usman dan Ali. Ali, selain dengan
cara-cara di atas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.

2. Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna


Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis ,yang di tunjukkan oleh para sahabat
dengan sikap kehati-hatiannya , tidak berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan.dalam batas-
batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan,khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup
masyarakat sehari-harinya, seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan
tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebutdan kebenaran isi
matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama, dengan
jalan periwayatan lafzy (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW), dan kedua,
dengan jalan periwayatan Maknawi (makna saja).

a. Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan Lafzhi, adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW ini hanya bisa
dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha
agar periwayatan hadis sesuai dengan redksi dari Rasulullah SAW bukan menurut redaksi
mereka. Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan
jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang
berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya terhadap Ubaid ibn amir. Suatu
ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang Lima prinsip dasar islam dengan
meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar
meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.

b. Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena
tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara
maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasul SAW. Akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.

D. HADIS PADA MASA TABI’IN


Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan
yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka , bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat
sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan
yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.
Dipihak lain , usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin,
khususnya masa Kekhalifaan Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah
kekuasaan islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelejari hadis.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam sampai
meliputi Mesir,Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah,
Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan
islam, penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada masa
ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (istisydar al-riwayah ila al-
amshdar).

1. Pusat-pusat Pembinaan Hadis


Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat
tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah, Makkah, Kufah,
Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, dan Andalaus, Yaman dan Khurusan. Dari sejumlah para
sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis
cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah,
Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.[22]
2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan
perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam kedalam
beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk
kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak ,dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif,
ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (Maudhu’) untuk mendukung kepentingan
politiknya masing-masung kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.[23]
Adapun pengaruh yang bersifat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yangmendorong
diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelematan dari pemusnahan dan
pemalsuan,sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.

Anda mungkin juga menyukai