Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan
oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha
untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya
kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits,
para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh
Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan
kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi
menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan tentang
seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang telah
suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman mestinya,
tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda :
“Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kasturi, maka
bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi, “bagaimana saya
membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”. Wanita tersebut
masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda : Subhanallah hendaklah
kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata : “Wanita itu saya tarik kearah
saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas
darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal
sensitif berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-
hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW.
Sering kali mereka bertanya kapada istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh
Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M),
Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang
muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu
dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan
muamalah.
1. Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai
dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran ia
secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping di hafal. Sedang
terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi dalam
hal ini ia bersabda yang artinya.
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku
selain al-Qur’an, hendaklah di hapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak
mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat
duduknya di neraka”. (HR Muslim). Alasan Nabi SAW tidak memperkenankan para Sahabat
untuk menulis hadis , salah satunya adalah karena dikhawatirkan akan bercampur dalam
catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak sengaja. Oleh karena itu Nabi
SAW melarang mereka menulis hadits, beliau Khawatir sabda-sabdanya akan bercampur
dengan firman Ilahi.[12]
Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh para sahabat diingatkan secara
sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk
tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang di terimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam
kegiatan menghafal hadis ini. Petama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa
Arab yang telah di warisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat
hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-
doanya; ketiga, seringkali ia menjajikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal
hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
2. Menulis Hadis
Di balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri di atas, ternyata
ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap
hadis dan memiliki catatan –catatannya, ialah:
1. Abdulillah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya
dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga di berinya nama al-sahifah al-shadiqah. Menurut suatu
riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdulillah ibn Amr, karena
sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW mereka berkata: “Engkau
tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara
dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul
menjawabnya dengan mengatakan yang artinya:
“tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya
kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)[13]
Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis , yang menurut
pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdua
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan
menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar
atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan,
sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-
Imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah.
Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh
perhatian trhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul
SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat
berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan
karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis
merupakan sumber Tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruannya
sebagaimana al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, ibn Abbas dan Abu
Ubaidah berusaha memperketat periwayatandan penerimaan hadis.[19]
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara
hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima hadis
dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek
bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa
hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadis. Al-Mughirah
menyebutkan bahwa, Rasul SAW memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta
supaya Al-Mughirahmengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima.[20]
Setelah rasul SAW wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka
ia berkata:”kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasul SAW yang diperselisihkan orang-
orang setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian
meriwayatkan hadis (tersebut).[21]
Sikap kehati-hatian juga oleh Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka
meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi untuk masalah
tertentu acapkali iapun menerima periwayatan tanpa Syahid dari orang tertentu, seperti hadis-
hadis dari Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti oleh usman dan Ali. Ali, selain dengan
cara-cara di atas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.
a. Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan Lafzhi, adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW ini hanya bisa
dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha
agar periwayatan hadis sesuai dengan redksi dari Rasulullah SAW bukan menurut redaksi
mereka. Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan
jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang
berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya terhadap Ubaid ibn amir. Suatu
ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang Lima prinsip dasar islam dengan
meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar
meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.
b. Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena
tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara
maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasul SAW. Akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.