Sahabat-sahabat Nabi terdiri dari beberapa golongan, yang dimana tiap-tiap golongan
itu mempunyai lahjah/dialek (bunyi suara, atau sebutan) yang berlainan satu sama lainnya.
kemudahan, Allah swt Yang Maha Bijaksana menurunkan Al-Qur'an mempunyai beberapa
(macam) lahjah/dialek. Lahjah/dialek yang biasa dipakai di tanah Arab, ada tujuh. Di
samping itu ada beberapa lahjah/dialek lagi.
Para Sahabat berpencar ke berbagai kota dan daerah, inipun atas dasar perintah dari
Nabi Muhammad saw. dengan membawa dan mengajarkan cara baca Al-Qur'an yang
mereka ketahui sehingga cara baca Al-Qur'an menjadi populer dikota atau daerah tempat
mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan cara baca Al-Qur'an dari suatu kota ke kota
yang lain. Kemudian, para Tabi'in menerima cara baca Al-Qur'an tertentu dari Sahabat
tertentu.[2]
Abul Aswad Ad Dualy (seorang dari ketua-ketua Tabi'in) memberi baris huruf
penghabisan dari kalimah saja dengan memakai titik diatas sebagai baris diatas dan titik di
bawah sebagai tanda baris di bawah dan titik di samping sebagai tanda didepan dan dua titik
sebagai tanda baris dua.[4]
[1] ibid, hal. 74
[2] H. Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an edisi revisi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, hal. 139
[3] R.H.A. Soenarjo, SH., Al-Qur'an dan terjemahnya edisi revisi, Mahkota Surabaya, 1989,
hal. 74
[4] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Tafsir,
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hal. 90
Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: "Sebaik-baik umatku adalah yang
hidup pada kurun sahabatku, kemudian setelah kurun mereka (tabiin), kemudian setelah kurun mereka (tabiit
tabiin)…" (HR. Al-Haris bin Abi Usamah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya).
Secara praktek memang hampir sulit membedakan antara dua masa salafus shalih, masa sahabat dan masa
tabi'in, karena begitu dekat jaraknya antara zaman tabi'in dengan masa nabi Muhammad saw, namun secara
ilmiyah dan historis, kita dapat menemukan akan perbedaan yang detail dan gamblang antara dua periode
tersebut, karena dengan meninggalnya nabi saw telah menjadi batasan secara ilmiyah akan awal masa sahabat,
sehingga umat yang hidup pada masa itu dianggap bahagiaan dari masa tabi'in, terutama mereka-mereka yang
menjadi murid pada sahabat, menimba ilmu dari mereka; baik ilmu Al-Quran (tafsir) ataupun Sunnah.
Sedangkan dari sisi sejarah juga dapat ditemukan akan perbedaan dua masa tersebut, yaitu sejak meninggalnya
sahabat nabi saw. Namun dapat kita simpulkan disini bahwa masa keemasan Islam itu terdapat pada ini juga,
seperti yang telah disampaikan oleh nabi dalam hadits yang tertera di atas.
Adapun yang dimaksud dengan tabi'in adalah orang-orang beriman yang tidak bertemu dengan Nabi Muhammad
saw, akan tetapi bertemu dan belajar agama Islam dengan Sahabat-Sahabat Nabi Muhammad saw.
Diantara para tabi'in yang terkenal pada masanya adalah mereka yang telah banyak menimba ilmu dari para
sahabat. Hal itu terjadi karena semasa hidupnya para sahabat tidak tinggal diam, namun terus berdakwah
menyampaikan apa yang telah didapat, dilihat dan didengar dari nabi mereka. Sehingga tidak salah kalau
diantara mereka banyak mendirikan madrasah tafsir; seperti
Ibnu Taimiyah berkata: "Adapun tafsir, yang paling memahaminya adalah penduduk Makkah, karena mereka
adalah murid dari Abdullah bin Abbas, seperti Mujahid, Atho bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Sa'id bin
Jubair, Thawus, dan ulama tabi'in lainnya. Begitupun penduduk Kufah dari murid imam Abdullah bin Mas'ud
seperti Al-qamah bin Qais, Masruq, AL-Aswad bin Zaid, Murrah Al-Hamdani, 'Amir As-Sya'bi, Al-Hasan Al-Basri
dan Qatadah bin Da'amah As-sudusi serta ulama tabi'in lainnya, dan ulama penduduk Madinah, murid dari imam
Ubay bin Ka'ab, seperti Zaid bin Aslam, Abdurrahman dan Abdullah bin Wahab, dan ulama tabi'in lainnya". (Lihat
Tafsir wal mufassirun: jil. 1 hal 101)
Dan dari tiga madrasah itulah para tabi'in menimba ilmu dari para sahabat dimana mereka tinggal, terutama ilmu
yang berkaitan dengan tafsir dan hadtis nabi saw, dan mereka mendapatkan riwayat hadits nabi langsung dari
lisan para sahabat, menerima penjabaran tafsir Al-Quran sehingga setelah itu mereka menjadi ulama tafsir dan
hadits terkemuka. dan dari merekalah tersebar ilmu-ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya, walaupun pada
masa saat itu ilmu-ilmu yang disampaikan belum dibukukan namun hanya disampaikan melalui talaqqi dan tadris
saja.
Dan secara histori interaksi mereka terhadap Al-Quran begitu intens, sehingga dengan pemahaman mereka
terhadap Al-Quran menjadikan dunia cerah dan mampu mempertahankan posisi mereka sebagai sebaik-baik
zaman dan abad sebagaimana yang disabdakan oleh nabi saw sebelumnya.
1. Al-Fudhoil bin Iyadl berkata : "Selayaknya bagi para penghapal Al-Quran tidak membutuhkan kepada
seorangpun dari penguasa dan orang yang berada dibawah mereka, namun hendaknya merekalah yang
membutuhkan kepadanya". Beliau juga berkata : "Para penghafal Al-Quran adalah para pembawa panji Islam,
tidak layak bagi mereka ikut lalai bersama orang yang lalai, lupa bersama orang yang lupa, tidak sesat bersama
orang yang sesat, demi mengagungkan Al-Quran…" (At-Tibyan 28-29, dan Ihya Ulumuddin : 1 : 499)
2. Ibrahim Al-Khowash –disebutkan namanya Ibrahim An-Nak'I- berkata : "Obat hati ada lima : membaca Al-
Quran dan mentadabburkannya, mengosongkan perut, qiyamullail, memohon ampun di waktu sahur dan duduk
bersama para shalihin".
3. Al-A'masy berkata : "Ketika saya masuk kerumah Ibrahim (An-Nakh'I) yang sedang membaca Mushaf, namun
ada seseorang meminta izin kepadanya maka belaiupun menutup mushafnya !! dan dia berkata : Tidak
seorangpun saya melihat seseorang membaca Al-Quran setiap saat kecuali anda". Dari Abu Al-'Aliyah berkata :
Saat duduk bersama sahabat Rasulullah saw maka seorang dari mereka berkata : Semalam saya membaca Al-
Quran segini…, mereka berkata : ini adalah nasibmu-ganjaran- darinya". Seakan-akan tidak ada ganjaran lain
dari sisi Allah, karena meminta pujian dari manusia, karena itu dia mengambilkan upah sebagai pujian dari
manusia. (At-Tibyan : 60)
4. Dari Thowus berkata : "Sebaik-baik manusia yang indah bacaan Al-Quran adalah yang lebih takut kepada
Allah". (Fadoil Al-Quran, Ibnu Katsir : 36)
5. Abu Abdurrahman bin Habib As-Sulmi Al-Kufi telah pensiun dari mengajarkan Al-Quran kepada manusia
semenjak Utsman menjadi khalifah sampai musim haji tiba…mereka berkata; bahwa batas beliau mengajarkan
Al-Quran selama 70 tahun". (Fadail Al-Quran : 40)
6. Ad-Dhohak bin Muzahim berkata : "Tidak ada seoranpun yang belajar Al-Quran lalu dia melupakannya kecuali
akan menerima dosa, karena Allah SWT berfirman : "Tidak ada musibah yang menipa seseorang kecuali karena
ulah mereka sendiri". (Asy-Syura : 30) karena sesungguhnya melupakan Al-Quran adalah merupakan musibah
terbesar".
7. Ibnu Abu Al-Jawari menyebutkan : "Saat kami datang menghadap Fudhoil bin Iyadl beliau sedang berjamaah,
lalu kami berdiri di depan pintu dan tidak diizinkan masuk, akhirnya sebagian dari kami berkata : jika beliau
menginginkan sesuatu maka akan kami persilahkan dari kami membaca Al-Quran ! maka kamipun
memerintahkan salah seorang membaca Al-Quran lalu iapun membaca, maka muncullah suara memerintahkan
kami ke dalam, maka kamipun berkata : Assalamua 'alaika warahmatullah, beliau menjawab :
Wa'alikumussalam. Kami berkata kepadany a: Bagaimana keadaan anda wahai Abu Ali, dan keadaanmu ?
baliau menjawab : Berkat Allah SWT dalam keadaan sehat, dan diantara ada yang sakit, dan sesungguhnya
tidak ada diantara kalian yang menimpanya dalam Islam, sungguh kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah
kami akan kemabli ! bukan begini kami menuntut ilmu, namun kami datang kepada guru dan kami menyangka
kami tidak berhak duduk bersama mereka, maka kami duduk ditempat lain dan menjadi pendengar, jika ada
penjelasan terhadap suatu hadits maka kami bertanya kepada mereka pengulangannya dan kami ikat –hapal-
terus, namun kalian ingin menuntut ilmu karena kebodohan, dan kalian telah menyia-nyiakan Kitabullah,
seandainya kalian menerapkan Kitabullah maka kalian mendapati didalamnya Syifa –penyembuh yang ampuh-
sesuai dengan keinginan kalian. Kami berkata : Kami telah belajar Al-Quran ! beliau berkata : Kalian belajar Al-
Quran hanyalah sekedar kesibukan untuk menghabiskan umur kalian dan anak-anak kalian. Apa maksudnya
wahai Abu Ali ? beliau berkata : kalian jangan belajar Al-Quran sampai kalian memahami I'rabnya, muhkam dari
mutasyabihnya, naskh dari mansukhnya, jika kalian telah mengetahui hal tersebut maka tidak perlu kalian
mendengar ucapan Fudhoil dan Ibnu uyainah". (Al-Qurtubi : 1 : 23)
8. Mujahid berkata : "Makhluk yang paling dicintai Allah adalah orang yang mengamalkan apa yang telah Allah
turunkan - Al-Quran-". (Al-Qurtubi 1 : 26)
9. Al-Hasan Al-Basri berkata : "Demi Allah, tidak pernah Allah menurunkan ayat kecuali Dia akan cinta kepada
seseorang yang mengajarkan apa yang telah diturunkan dan memahami maksud yang terkandung didalamnya".
(Ihya Ulumuddin : 1 : 1 : 499)
10. Abu Sulaiman Ad-Darami berkata : "Az-Zabaniyah akan lebih cepat menuju kepada para penghafal Al-Quran
yang berbuat maksiat kepada Allah dari mereka ketimbang orang yang menyembah berhala…" (Ihya ulumuddin :
1 : 499)
11. Al-Hasan Al-Basri berkata : "Sesungguhnya kalian menjadikan Al-Quran beberapa fase, sedangkan dimalam
harinya kalian jadikan satu kumpulan, kalian mengendarainya namun kalian jadikan beberapa etape..padahal
umat sebelum kalian memandangnya surat-surat dari Tuhan mereka, mereka mentadabburkannya di malam hari
dan mengamalkannya disiang hari". (Al-Ihya : 1 : 500)
12. Malik bin Dinar berkata : "Apa yang telah Al-Quran tanamkan di dalam hati kalian wahai para penghafal Al-
Quran ? sesungguhnya Al-Quran adalah seperempat orang beriman, sebagaimana hujan bagian dari
seperempatnya bumi…
13. Qatadah berkata : "Tidak duduk seseorang belajar Al-Quran kecuali baginya penambahan dan atasnya
kekurangan. Allah SWT berfirman : "Dan Kami turunkan Al-Quran yang terdapat didalamnya Penyembuh dan
Rahmat bagi orang-orang beriman dan tidak akan bertambah bagi orang-orang yang dzalim kecuali kerugian".
(Al-Isra : 82)
14. Tsabit Al-Banani berkata : "Al-Quran direngkuh selama 20 tahun kemudian memberikan kenikmatan selama
20 tahun pula". (Al-Ihya : 1 : 522)
15. Berkata Mujahid dalam menafsirkan Firman Allah : "Meraka membaca Al-Quran dengan penuh
kesungguhan". (Al-Baqarah : 121) Mereka mengamalkan Al-Quran dengan benar".
16. Al-Hasan Al-Basri berkata : "Sesungguhnya Al-Quran dapat dibaca oleh seorang hamba dan anak kecil yang
mereka tidak mengetahui cara membacanya…tidak bisa mentadabburkan Al-Quran kecuali hanya mengikuti,
tidak bisa menghafal huruf-hurufnya dan batasan-batasannya…sampai salah seorang dari mereka berkata :
Saya telah membaca Al-Quran seluruhnya dan tidak ada yang tertinggal satu hurufpun. Padahal demi Allah dia
telah menggugurkan seluruhnya, Al-Quran tidak dia aplikasikan dalam prilaku dan amalnya..yang lainnya berkata
saya telah membaca Al-Quran dengan satu nafas ! Demi Allah mereka bukanlah orang membaca Al-Quran,
bukan para ulama, para pemimpin dan ahli waro, ketika muncul para huffadz seperti demikian, maka Allah tidak
akan mengembangbiakkan orang seperti itu…". (Az-Zuhd : 274)
17. Qatadah berkata dalam menafsirkan firman Allah : "Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tiada berguna". (Al-Mu'minun : 3) Telah datang kepada mereka Al-Quran, demi Allah
merupakan perintah dari Allah, mereka tidak pernah terjerumus dalam kebatilan, maksudnya adalah mereka
berusaha menghindar dan menjauhi". (Az-Zuhd : 276)
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa mengalami perkembang yang sangat pesat dan
pada akhirnya mengalami masa keemasan.. Setelah masa Rosulullah saw dan sahabat berakhir
maka tafsir kemudian dipegang dan dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang
mulia yang dilakukan oleh para sahabat tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan
Al-Qur’an. Tegasnya, penafsiran Al-Qur’an dari apara sahabat diterima baik oleh generasi
Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali pakar-pakar ahli tafsir
yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad untuk dapat mengetahui hakikat
penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya
timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir.
Seperti timbulnya tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi, dan juga lainnya yang di dalam
penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi
rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
Berangkat dari prolog di atas, kami berusaha dengan menghadirkankan makalah ini akan
menguraikan masalah perkembangan penafsiran pada masa Tabi’in yang kemudian diteruskan
masa kodifikasi seperti timbulnya berbagai macam-macam tafsir yang digunakan oleh sebagian
ulama dan para ahli tafsir pada masa itu.
Kami berharap lewat makalah ini dapat membantu teman-teman mahasiswa dalam mengetahui
hakikat kandungan dalam sejarah pemikiran tafsir dari masa ke masa dalam rangka
menyadarkan kita , begitu pentingkah kita menjaga keutuhan ummat Islam, seperti halnya yang
dilakukan oleh para ulama terdahulu. Tidak lupa kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai
bahan pertimbangan dan penyempurnaan makalah kami.
PEMBAHASAN
Yang mengetahui secara pasti soal tafsir ialah orang-orang Makkah, karena mereka itu
kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir sebelumnya, sehingga memudahkan
mereka dalam memahami tafsir, seperti : Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas,
Said bin Jubair, dan lain-lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada waktu itu para ahli tafsir
berasal dari kota tersebut, seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq, Zaid bin
Aslam dan Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah.
Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para shabat Nabi Muhammad saw dan
mereka itulah oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi
bahan rujukan pada masa-masa selanjutnya.
Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
Al-Qur’an
Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
Tafsir dari para Sahabat
Cerita-cerita dari para ahli kitab
Ra’yu dan ijtihad
Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur,
seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan
mereka menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir
pada masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini mulai ada
perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti dengan
adanya tafsir bil ra’yi.
Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya
timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa selanjutnya. Beriring meningkatnya
kebutuhan akan tafsir pada masa itu, maka para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir
bagi semua kalangan, baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena
kedekatan mereka dengan sumbber risalah dan pelita kenabian. Di samping itu juga mereka
telah semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan mereka akan tafsir meningkat. Karena
semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat kajian Islam seperti madrasah
diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut diantaranya :
a. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Abbas (w. 63 H). Timbulnya
madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para
tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in
menambahkan pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya.
Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat
yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-murid beliau
diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Thawus bin Kasan al Yamani,
Atha’ bin Rabah.
b. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak mengajarkan tafsir Al-
Qur’an. Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H),
Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H), kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain
dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang
menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh
tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai masyhur dalam
menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini
antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat
Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak
meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat
al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-
Quradliy. (3) Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan
penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.
c. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana ada guru tafsir dari
Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Iraq
dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai
gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam
penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga karena
tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki
keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah khilafiyah dalam
penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode istid-lal sebagai
kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari Tabi’in Iraq yang
mempelajari tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-Qomah bin Qois,
Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-
Hamdani, dan lain-lain.
Pada umumnya mereka para ahli tafsir dalam menyampaikan dan menafsirkan Al-Qur’an masih
berpegang teguh pada periwayatan dan pembukuan.
4. Ijtihad Tabi’in
Periode ini terjadi kurang lebih abad II H-IV H, setelah berakhir masa Sahabat, muncul masa
Tabi’in. Generasi Tabi’in ini terdiri atas murid-murid para Sahabat. Mereka mendasarkan
pendapat mereka kepada pendapat para Sahabat. Secara garis besar , para Tabi’in melakukan
ijtihad dengan 2 cara, yaitu :
a. Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari pendapat Sahabat yang lain, bahkan
kadang-kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat. Hal
ini jika pendapat yang diutamakan itu menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
b. Mereka sendiri berijtihad, bahkan menurut mereka bahwa pembentukan hokum Islam
sesungguhnya secara professional dimulai pada masa Tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin, setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi
panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di
Makkah muncul seperti ‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyah, Ikrimah bin
Zubair, di Basrah muncul Muslim bin Yasir, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang
paling terkenal diantara para Tabi’in pada masa itu adalah Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair.
Mengenai kualitas daripada penafsiran pada masa Tabi’in, para ulama berbeda pendapat. Jika
tafsir tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan dari Rosulullah saw atau para Sahabat,
apakah pendapat mereka itu dapat dipegang atau tidak? Segolongan ulama berpendapat,
bahwa penafsiran yang dihasilkan oleh para ahli tafsir Tabi’in tidak harus dijadikan pegangan,
sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan
dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam
memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat tafsir mereka dapat
dijadikan pegangan, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Pendapat
yang kuat jika para Tabi’in sepakat atas suatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya,
tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalur yang lain. Pada umumnya pada masa
Tabi’in, tafsir tetap konsisten dengan metode pengajaran dan periwayatan, tetapi setelah banyak
ahli kitab masuk Islam, para Tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita israillat yang
kemudian dimasukan ke dalam tafsir, sehingga pada masa itu mulailah terjadi silang pendapat
mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat
mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman
pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional,
bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.
Usaha-usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak lebih dari penghimpunan sabda Rosulullah saw,
pendapat Sahabat dan Tabi’in tentang tafsir. Yang mula-mula menulis tentang hal itu adalah
Yazid ibn Harun Al-Maslami (w. 117 H), Syu’bah ibn Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan ibn Uyainah (w.
198 H), Waki’ ibn Al-Jarah (197 H), Ruh ibn Ubadah Al-Bashri (w.205 H), Aburrazzaq ibn
Humam (211 H), Abdul ibn Humaid (w. 249 H), dan lain-lain. Mereka semua merupakan imam
hadits, karena itu perhatian mereka bukanlah untuk menghimpun seluruh tafsir sebagai ilmu
tersendiri yang memang sengaja mereka himpun sejak awal, melainkan sebagai salah satu
cabangnya. Kemudian tafsir mulai memisah dari hadits dan menjadi ilmu tersendiri. Yang mula-
mula menulis tafsir sebagai ilmu tersendiri adalah Abdul Malik ibn Juraif Al-Makki (w.150 H) yang
menghimpun tafsirnya. Dari tafsir tersebut sejumlah dilengkapi dengan riwayat dari para Sahabat
dan Tabi’in, meski ia belum memberikan komentar sedikitpun terhadap riwayat-riwayat itu.
Berangkat dari situ, untuk lebih jelas dan memperinci, di bawah proses kodifikasi terhadap tafsir
yang dilakukan oleh para ulama mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin yang merupakan para
mujtahid handal yang dapat mengembangkan serta memberikan modifikasi-modifikasi yang
kemudian diteruskan terus oleh masa-masa selanjutnya.
Usaha keras yang dilakukan ulama Mutaakhirin dalam menafsirkan ayat Al Qur’an telah
menghasilkan kitab tafsir yang cukup lengkap banyak dan besar. Keadaan seperti itu
menyebabkan orang-orang yang datang kemudian merasa puas dengan tafsir yang telah ada.
Akibatnya tidak banyak ulama yang mau berusaha menafsirkan sendiri di samping karena
mereka benar-benar memenuhi syarat sebagai seorang musafir tidak sebanyak pada periode
Mutaqadimin. Oleh sebab itu pada zaman Mutaakhirin ini produksi baru kitab tafsir lebih sedikit
dibandingkan zaman sebelumnya.
Dilihat dari sumber-sumber tafsir pada masa mutaakhirin bahwasanya tafsir pada masa itu
berbentuk izdiwaj yang berarti perpaduan antara bentuk mat’sur dan dirayah. Sedangkan
menurut metode yang digunakan adalah menggunakan metode tahlili sama seperti periode
sebelumnya yaitu masa Ulama Mutaqadimin.
Pada masa itu para ulama memadukan antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Orientasi tafsir
yang muncul dan berkembang seperti ini telah mewarnai tafsir dengan berbagai corak yang
hamper-hampir menutupinya akan fungsi dasar tafsir. Kita dapat menemukan kitab-kitab tafsir
yang mencampurkan kedalamnya ilmu-ilmu filsafat dan para penafsir bertumpu kepada
pemahaman pribadi, terminiologi ilmiah, ideology-ideologi madzhab, dan budaya-budaya falsafi.
Dengan hal yang semacam ini, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah
semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius, dan ilmu-ilmu filsafat yang bercorak
rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli, ini semua menyebabkan tafsir ternoda.
Sehingga tidak heran, apabila para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada
pemahaman pribadi dan mengarah keberbagai kecenderungan. Tegasnya, banyak diantara
mufassir menafsirkan Al-Qur’an menurut selera mereka sendiri dan masing-masing mufassir
mengarahkan penafsirannya sesuai keahlian mereka ke dalam cabang ilmu yang dikuasainya,
sehingga lahirlah berbagai corak tafsir yang berbeda-beda.
Di samping itu, ada juga yang bertumpu pada ilmu bahasa Arab seperti nahwu, balaghoh, dan
semisalnya, yang membuat mereka para mufassirnya melakukan penyimpangan. Demikian pula
kitab-kitab tafsir yang mereka bukukan pada saat itu, di dalamnya bercampur aduk antara yang
berguna dengan yang berbahaya dan yang baik dengan yang buruk.
Kondisi seperti ini berlangsung sampai lama berabad-abad. Satu hal yang cukup menonjol dari
perkembangan tafsir , dengan berbagai coraknya itu ialah munculnya fanatisme madzhab, tidak
saja di kalangan fuqoha, tetapi juga di kalangan mufassirin. Tidak mengherankan apabila
keadaan ini kemudian menyeret ummat Islam ke lembah kejumudan, karena sikap jumud itu
dimulai oleh para kaum ulama sendiri.
Pada masa-masa selanjutnya kodifikasi-kodifikasi tafsir semakin berkembang pesat dan memiliki
corak baru, yakni mengkaji pemikiran-pemikiran modern seperti yang dilakukan oleh sebagian
mufassir dengan mengkaji teori-teori social, yang diikuti dengan adanya tafsir Al-Dhilal. Yang lain
mengorientasikan tafsirnya pada tori-teori ilmiah dan alamiah, sepeti Al-Jawahir. Yang lain lagi
mengkonsentrasikan diri pada aspek-aspek hidayah dan pembemtukan hukum, seperti Al-Manar
dan Al-Maraghi, dan masih banyak lagi corak lainnya. Kondisi seperti itu membuat tafsir Dirayah
mendesak tafsir bil-ma’tsur yang pada akhirnya tafsir Bir ra’yi menang atas tafsir bil-ma’tsur.
Penulisan tafsir pada masa selanjutnya masih mengikuti pola di atas. Keadaan demikian terus
berlanjut sampai berabad-abad sampai lahirnya pola baru dalam tafsir modern yaitu sekitar abad
ke 19 Masehi, yakni ketika Muhammad Abduh tampil sebagai mufassir yang menafsirkan Al-
Qur’an dengan menghembuskan nafas pembaharuan yang kelihatannya berupaya memadukan
antara Islam dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan .