Anda di halaman 1dari 82

PEMBAHASAN

A. Pengertian Penerimaan dan Periwayatan Hadits Para ulama ahli hadis mengistilahkan menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode peneriamaan hadist dengan istilah al tahammul. Sedang menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain mereka istilaahkan dengan al ada1[1]

B. Peristiwa Penyampaian Hadist

Sebaimana yang telah kita ketahui, bahwa hadist Rasul, ada yang berbentuk sabda, perbuatan, hal ihwal dan taqrir, dan hadist hadist beliau disampaikan dalam beragam peristiwa diantaranya:2[2] 1. Pada majlis majlis Rasulullah Rasulullah secara khusus dan teratur mengadakan majlis majlis yang berhubungan dengan kegiatan pengajaran islam. Dan bukun hanya terkhusus untuk kaum pria saja tetapi ada juga untuk kaum wanita. Pada majlis inilah para saabat menerima hadist yang disampaikan Rasulullah, kemudian setelah pengajian para sahabat kembali mengulang atau menghapal nya kembali. Anas bin malik mengatakan: kami berada disis Rasulullah kami mendengengarkan hadist dari beliau, apabila telah selesai, maka kami mempelajariny kembali dan menghapal nya. 2. Pada peristiwa yang rasulullah mengalaminya kemudian beliau menerangkan hukum nya. Adakalanya Rasulullah menyaksikan suatu peristiawa kemudian beliau menjelaskan hal hal yang berhubungan dengan peristiwa itu. Abu hurairah meriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah lewat dimuka seorang saudagar bahan makanan. Rasullah bertanya bagaimana barang itu dijual, kemudian penjual itu menjelaskan nya. Rasulullah lalu menyuruh penjual untuk memasukkan tangan nya, maka penjual pun memasukkan nya sehinngah tampak bahwa bagian bawah barang itu dicampur air. Menyaksikan hal demikian Rasulullah bersabda:


bukan lah dari golongan kami, siapa yang menipu (H.R Ahmad)

1[1] Drs. Munzier Suparta, MA. Ilmu hadis, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003, hal. 195 2[2] Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu

3. Pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin kemudian meraka menanyakan hukum nya kepada Rasulullah. Adakalanya para sahabat mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan dirinya, dan adakala berhubungan dengan orang lain. Dan untuk menenangkan bathin nya, maka mereka menanyakan hal yang mereka alami kepada Rasulullah. Sehingga beliau mengeluarkan atau memberikan fatwa mengenai hukum nya. 4. Pada peristiwa yang dialami langsung oleh para sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan Rasulullah. Banyak sekali yang menyangkut hal ini. Karena rasulullah dan para sahabat hidup dalam kebersamaan di keseharian mereka. Umpanya yang berhubungan dengan ibadah puasa, sholat, sedekah, haji dan lain sebagai nya.

C. Cara Sahabat Menerima Dan Menyampaikan Hadist

Jumlah sahabat rasulullah begitu banyak, sehingga sangat memungkinkan bagi beliau untuk mentrasfer ilmu kepada mereka, tetapi karena keanekaragaman kesibukan maka cara mereka menerima hadistpun tidak sama.3[3] Cara cara sahabat dalam menerima hadist diantara nya: a) Secara langsung dari Nabi Maksud nya ialah mereka secara langsung mendengar, melihat, atau menyaksiakan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau berhubungan dengan Rasulullah. Hal demikian di alami sahabat saat di pengajian Rasul atau dengan mengajukan pertanyaan kepada Rasul b) Secara tidak langsung dari nabi. Maksudnya ialah mereka secara tidak langsung melihat, mendengar, atau menaksikan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau yang berhubungan dengan Rasul. Para sahabat yang mengalami hal seperti ini karena: 1) Dalam keadaan sibuk untuk mengurus keperluan hidup nya atau kesibukan lain nya. mereka terkadang tidak sempat ikut. Tetapi walaupun mereka tidak ikut, mereka dapat mengetahui hadist secara tidak langsung, dengan bertanya kepada sahabat yang hadir. 2) Tempat tinggal yang berjauhan dengan tempat tinggal nabi. Sudah pasti tidak semua sahabat rumah nya berdekatan dengan nabi. Dan jauh nya tempat tidak menjadi penghalang untunk mereka mempelajari sunnah nabi

3) Merasa malu untuk bertanya langsung kepada nabi, karena masalah yang ditanyakan kepada nabi menyangkut masalah yang sangat pribadi.Sahabat yang memiliki masalah demikian biasa nya minta tolong kepada sahabat lain nya untuk menanyakan mashalah nya kepada nabi.Jadi orang yang tidak bertanya itu, menerima jawaban dari nabi berupa hadist, secara tidak langsung. 4) Nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat ( biasa nya kepada istri beliau sendiri) untuk mengemukakan masah masalah khusus. Misal nya yang berhubungn dengan soal kewanitaan. Dengan demikian peneriamaan hadist seperti itu diterima para sahabat secara tidak langsung. Adapun tentang penyampaian hadis oleh para sahabat, dilakukan dengan dua cara: 1) Secara lafdziyah Yakni, menurut lafazd yang mereka terima dari Nabi. Para sahabat yang dapat melaksanakan dengan cara ini karena selain mereka mempunyai ingatan yang kuat, mereka selalu mengulangi hapalan nya dengan ketelitian. Periwayatan hadist dengan cara ini hanya untuk hadis qouliyah saja, sedang hadis filiyah dan taqririyah tidak dapat disampaikan secara lafdziyah 2) Secara maknawy Hadis yang disampaikan sahabat dengan makna nya saja, tidak menurut lafadz yang disampaikan Nabi. Jadi, bahasa dan lafadz disususn oleh sahabat, sedang isi nya berasal dari Nabi. Menurut Prof. Dr. T.M Hasbi ash shiddieqy,4[4] bahwa yang penting dari hadist ialah isi nya, sedang lafazd dan bahasa nya boleh disususn dengan makna lain. Asal isi nya tidak berbeda.

D. Penerimaan Hadist Oleh Anak anak Orang kafir Dan Orang fasik5[5]

Jumhur ulama ahli hadist berpendpat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadist oleh anak yang belum sampai umur ( belum mukallaf) dianggap sah apabila periwayatan hadist tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat tabiin dan ahli ilmu setelah nya yang menerima periwayatan hadist seperti hasan, Abdullah bin zubair, ibnu abbas, numan binbasyir, dan lain nya tanpa mempersalahkan mereka baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia bertahammul, sebab masa ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut.

Al Qadhi iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak kemudian disampaikannya setelah memeluk islam, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadist oleh orang fasik yang diriwayatkan nya setelah ia bertobat.

E. Cara Penerimaan Hadist

Para ulama hadist menggolongkan metode menerima periwatan suatu hadist menjadi delapan macam:6[6] 1. Sama min lafdzi Syaikh

Yakni suatu cara penerimaan hadist dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan guru nya dengan cara didektekan baik dari hapalan nya maupun dari tulisn nya. sehingga yang menghadiri nya mendengar apa yang disampaikan nya tersebut. Menurut jumhur ahli hadist bahwa cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatan nya. sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa as sima yang dibarengi dengan al kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih kuat. Karena terjamin kebenaran nya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara lain nya. disamping itu, para sahabat juga menerima hadist Nabi dengan cara seperti ini. Termasuk dalam kategori sama juga, seseorang yang mendengarkan hadist dari syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas). Jumhur ulama membolehkan nya karna para sahabat juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadist Rasulullah melalui para istri nya Menurut Al Qadhi Iyad, yang dikutip oleh Al Suyuthi, didalam cara ini para ulama tidak memperselisihkan kebolehan para rawi dalam meriwayatkan nya menggunakan kata kata:

(seseorang telah menceritakan kepada kami) (seseorang telah mengabarkan kepada kami) (seseorang telah memberitahukan kepada kami) (saya telah mendengar dari seseorang) (seseorang telah berkata kepada kami) (seseorang telah menuturkan kepada kami)

2. Al Qiraah ala Al Syaikh (Aradh Al Qiraah)

Yakni suatu cara seseorang membacakan hadist dihapan guru nya, baik dia sendiri yang membacakan ataupun orang lain, sedang sang guru mendengar atau menyimak nya baik sang guru hafal maupun tidak tetapi ia memegang kitab nya atau mengetahui tulisannya atau ia tergolong tsiqqah. Ajjaj Al khatib dengan mengutip pendapat imam Ahmad mensyaratkan orang yang membaca itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi syeikh menurut imam Haramain hendak nya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh Qori, sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah. Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai derajat al qiraah. Diantara mereka Abu Hanifa, Ibnu Juraih, Sufyan Al Tsauri menganggap bahwa al qiraa lebih baik jika disbanding al sama, sebab dalam qiraah jika bacaan guru salah murid tidak leluasa dalam menolak kesalahan. Tetapi dalam al qiraah bila bacaan murid salah guru segera membenarkan nya. imam Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al qiraan dan al sama mempunyai derajat yang sama. Sementara Ibnu Al Shalah, Imam Nawawi memandang bahwa al sama lebih tinggi derajata nya disbanding al qiraah.

3. Al Ijazah

Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang orang tertentu. Sekalipun murid tidak membacakan kepada guru nya atau tidak mendengar bacaan guru nya, seperti: ( saya mengizinkan kepada mu untuk meriwayatkan dariku) Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadist. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist dengan menggunakan ijazah ini dianggap bidah dan tidak diperbolehkan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendak nya sang guru benar benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah olah naskah tersebut adalah asli nya serta hendak nya guru yang memberi ijazah itu benar benar ahli ilmu. Al Qhadi iyad membagi ijazah ini dalam enam macam sedang ibnu Al sholah memambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Tujuh macam ijazah tersebut adalah: 1) Seseorang guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu sebuah kitab atau beberapa kitabyang dia sebutkan kepada mereka. Al ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur

2) Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti saya ijazahkan kepada mu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku. Cara seperti menurut jumhur ulama juga diperbolehkan. 3) Bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan saya ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang orang yang ada (hadir) 4) Bentuk Al ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak) 5) Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada. Seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah 6) Bentuk ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah. Seperti ungkapan saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan kuperdengarkan kepadamu cara seperti ini dianggap batal. 7) Bentuk al ijazah al mujaz, saya ijazahkan kepada mu ijazah ku bentuk seperti ini diperbolehkan.

4. Al Munawalah

Yakni seseorang guru memberikan hadist atau beberapa hadist atau kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al munawalah ialah seseorang guru memberi kepada seseorang murid kitab asli yang didengar dari guru nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan. Sambil berkata inilah hadist hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka Riwayatkanlah hadist ini dariku dan saya ijazahkan kepada mu untuk diriwayatkan. Al munawalah mempunyai dua bentuk: 1) Al munawah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab nya yang telah ia riwayatkan atau naskah nya yang telah dicocokkan atau beberapa hadist yang telah ditulis, lalu ia katakan kepada murid nya ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku. Termasuk al almunawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari guru nya kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada murid nya untuk diriwayatkan dari nya. cara ini menurut Al Qadhi iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadist. Hadist hadist yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasa nya menggunakan redaksi seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami) 2) Al munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada murid nya ini hadist saya inilah adalah hasil pendengaran ku atau dari periwayatan ku dan tidak mengatakan riwayatkan lah dariku atau saya ijazahkan kepada mu. Menurut kebanyakan ulama al munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi seseorang telah memberikan kepada ku/kami) Lafadz lafadz yang digunakan untuk memberikan munawalah berbareng dengan ijazah:

Ini adalah hasil pendengaran ku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah! Lafadz Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah:


Ini adalah hasil pendengaran ku atau berasal dari periwayatan ku Yang diucapkan bersama sama dengan memberikan naskah atau salainan kepada murid nya. Lafadz yang digunakan oleh Rawy dalam meriwayatkan hadist atas dasar: Munawalah bersama ijazah, , ( seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami) Munawalah tidak bersama ijazah, ,( seseorang telah memberikan kepada ku/kami)

5. Al Mukatabah

Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadist nya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapan nya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikan nya. Al mukatabah ada dua macam: 1) Al mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadist untuk diberikan kepada murid nya disertai dengan kata kata ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah atau saya ijazahkan kepada mu untuk meriwayatkan kepada orang lain. Kedudukan al mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima. Contoh: , ku izinkan apa apa yang telah aku tulis kepada mu 2) Al mukatabah yang tidak dibarengi dengan al ijazah, yakni guru memberikan hadist untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama Syafiiyah dan ulama usul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al Mawardi menganggap tidak sah. Contoh: telah memberitakan seseorang kepada ku 6. Al Ilam

Yakni pemberitahuan seseorang kepada murid, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya

untuk meriwayatkan nya. sebagiab ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan pendapat ulama ahli hadist, ahli fiqh dan ahli ushul memperbolehkannya. Contoh: seseorang telah memberitahukan kepada ku: telah berkata kepada kami

7. Al Wasiyah

Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitab nya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara ibnu sirin membolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkan nya atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari sipemberi wasiat dengan redaksi ( seseorang telah memberitahukan kepadaku begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya. Tetapi lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadist berdasarkan wasiat seperti:7[7] ..... seseorang telah berwasiat kepada ku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu: telah bercita kepada mu

8. Al Wijadah

Yakni, seseorang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab kitab hadist dan tidak melalui cara al sama, al ijazah, ataupun al munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan periwayatan hadist dengan cara ini. Imam SyafiI dan segolongan pengikut nya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatan nya melalui cara ini. Ibnu al Shalah menagtakan, bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkan nya bila diyakini kebenaran nya. Lafadz lafadz yang digunakan, ialah seperti: ( saya telah membaca khath seseorang)

F. Periwayatan Hadist

Sebagaiman yang telah kita tulis diatas, bahwa al ada` ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menuntut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidak nya suatu hadist juga sangat tergantung pada nya. Mengingat hal hal seperti ini, jumhur ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadist. Yakni sebagai berikut:

1. Islam

Pada waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang perawi harus muslim. Dan menurut ijma, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja, kita disuruh bertawakuf, apalagi perawi yang kafir, kaitannya dengan masalh ini bias kita bandingkan dengan firman Allah:


Artinya: Hai orang orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatan mu itu. (Al Hujurat 49: 6)

2. Baligh

Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah:


Artinya: Hilang kewajiban menjalankan syariat islam dari tiga golongan , yaitu, orang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak anak sampai ia mimpi. (H.R Abu Daud dan Nasi) 3. Adalah

Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai jiwa tersebut, tetap taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenaran nya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian

dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal hal mubah tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadiannya.

4. Dhabit

Dhabit ialah:


teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadist yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya Cara mengetahui kedhabitan perawi dengan jalan Itibar terhadap berita berita nya dengan berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat syarat yang sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadist yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadist hadist yang lebih kuat ayat ayat Al Quran

G. Kesimpulan

1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)

Para ulama hadist menggolongkan metode menerima periwatan suatu hadist menjadi delapan macam: Sama min lafdzi Syaikh Al Qiraah ala Al Syaikh (Aradh Al Qiraah) Al Ijazah Al Munawalah Al Mukatabah Al Ilam Al Wasiyah Al Wijadah jumhur ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadist. Yakni:

1) 2) 3) 4)

Islam Baligh adalah Dhabit

DAFTAR PUSTAKA Drs. Munzier Suparta, ILMU HADIST, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003 Drs. Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT Al maarif, 1985, Cet ke-IV Prof. Dr. T.M Hasbi ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta, Bulan Bintang, 1974, Cet ke-IV Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadits, Bandung, Angkasa, 1994

TAHAMMUL WA AL-ADA' (metode penerimaan hadits dan penyampaiannya)


TAHAMMUL WA Al-ADA (Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya) A. Pendahuluan Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi

syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits. Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama. Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan. Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu itu dan kaidahkaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap hadits menjadi shahih, hasan, dhaif dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu dan lain-lain. Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa adaul hadist yang akan kita bahas dalam makalah ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, penulis juga akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits B. Pengertian Tahammul wa al-Ada Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Al-Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. C. Syarat Penerima Hadits dan Penyampaiannya 1. Kelayakan Tahammul Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabiin dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Said al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.[5] Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Nuruddin Itr menyimpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.[6] Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian

mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:[7] Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-Rabi ra, katanya : Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun. Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar. Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun. Mengenai penerimaan hadits bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama menganggap sah, asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Rasulullah sebelum mereka masuk Islam. Salah satu sahabat yang mendengar sabda Rasululllah sebelum masuk Islam adalah Zubair. Dia pernah mendengar Rsulullah membaca surat Ath-Thur pada waktu sholat maghrib ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badr. Pada saat itu, dia dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia massuk Islam, bila penerimaan hadist oleh orang kafir yang disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah tentu penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertobat dianggap sah.[8] 2. Kelayakan Ada Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[9] a. Islam Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya: : ) 6( Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. alHujurat: 6) Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya. b. Baligh Ini merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud.

, , ( ) Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud) Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin. c. Sifat Adil Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkaraperkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orangorang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar. d. Dhabt Dhabtu adalah:[10] Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya. Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwavat pada umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun bila banyak berbeda dan sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah. [11] D. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya[12] a. As-Sima, ( , mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Menurut M.M.Azami metode as-sama ini ada beberapa bentuk:[13] a. Penyampaian hadist secara lisan oleh guru b. Pembacaan dari kitab

c. Tanya-Jawab d. Dikte Cara as-sama ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayat.[14] Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: atak naanuggnep satilauk toboB . -kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian . Alasannya adalah kata menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada , karena kata bias berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan samitu tadi. Seangkan kata , memberi petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan , [51].tubesret Kata Kana, Yakulu, Fala, Haddatsa, Zakara, Qala Fulan, atau yang serupa dengannya diperselisihkan dalam penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat cara-cara tersebut menunjukkan periwayatan secara as-sima. Sebagian lagi berpendapat kata-kata tersebut menunjukkan cara as-sima bila di dalamnya tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis) oleh periwayat yang menggunakan kata-kata dimaksud, pendapat yang terakhir ini menyamakan cara tersebut dengan penggunaan kata an.[16] b. Al-Qiraah ala asy-Syaikh ( , membaca di hadapan guru). Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnya (menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Quran kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak absah. Ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad keduaMayoritas ulama memperbolehkan metode ini. Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan menerimanya. Sandaran ulama dalam memperbolehkan metode ini adalah hadits Dhammam ibn Tsalabah, bahwa is berkata kepada Rasulullah SAW : Apakah Allah memerintahkan kepadamu untuk melakukan sholat lima waktu? Beliau menjawab : Benar. Mereka mengatakan : Itu adalah bacaan di hadapan Nabi SAW. Dhammam membcakan khabar tentang hal itu kepada kaumnya, lalu mereka memperbolehkannya. Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah [71] c. al-Ijazah ( , sertifiksi atau rekomendasi) Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: ( aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku). [18] Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan

diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ibn Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lainlain. Semuanya memperbolehkan mengamalkan ijazah dan mmyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya. Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz atau kitab. Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku. Inilah yang mereka sebut dengan Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu pula. Sebagian ulama menyebutkan delapan jenis ijazah. Bahkan ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis. d. Al-Munawalah ( ) Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[19] M. Ajaj al-Khatib memberikan defeni seorang guru memberikan beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya.[20] Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : Inilah haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama memperbolehkan metode ini. sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama ahli hadits dalam menerima munawalah ini. Bahkan ada yang menjadikan Al-Munawalah Al-Magrunah bi AlIjazah setingkat dengan as-Sima. Namun yang benar menurut Muhammad Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di bawah tingkat as-Sima dan al-Qiraah. Al-Qadhiy Iyadh dan al-Iraqiy juga mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah ini. Tak seorang pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti halnya dalam ijazah. Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah [12] Hujjah yang digunakan ulama dalam memperbolehkan metode munawalah adalah hadits Rasulullah SAW bahwa beliau berkirim surat kepada panglima perang, seraya bersabda : Jangan kamu baca kecuali setelah sampai di tempat ini. Dan ketika sampai di tempat yang dimaksud, ia membacanya dan memberitahukan kepada orang-orang tentang apa yang diperintahkan Nabi. e. Al-Mukatabah ( ) Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.[22] Lafadz yang digunakan adalah [ 23]

Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah [ 24] Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkannya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin dan mutaakhkhirin. f. Ilam asy-Syeikh ( ) Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqaddimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama mutaakhkhirin. Menurut M. Ajaj al-Khatib, ia tidak menemukan seorang pun yang menerima riwayat dengan cara ini pada masa-masa terdahulu selain Ibn Juraij dan yang menerima dengan cara itu harus menjelaskannya sewaktu menyampaikan. Misalnya mengatakan: Fi Ma Alamani Syaikhi, atau ungkapan lain yang senada. [25] g. A I- Washiyyah ( ) Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama mutaakhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid alJirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya.[26] Penyampaian riwayat yang diterima dengan cara wasiat menurut yang memperbolehkannya adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu menyampaikannya. Misalnya perawi mengatakan: Telah mewasiatkan kepadaku Fulan, mengatakan telah memberikan khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat, atau saya menemukan dalam wasiat Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan kepadanya begini-begini. Ternyata kami tak menemukan seorang pun dari ulama mutaqaddimin yang meriwayatkan dengan cara wasiat. h. Al-Wijadah ( , penemuan) Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu,

maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayatkan dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian periwayatan dengan metode wijadah ini pada masa klasik amat langka. Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab. Bahkan sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: Jangan kalian membaca al-Quran dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah. Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dhaif periwayatan dari kitab-kitab.[27] Lafadz yang digunakan atau . E. Periwayatan Hadits: Antara bi al-Lafzh dan bi al-Mana Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadist, hadist Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadist atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[28] Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan alistoqa (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[29] Sementara secara istilah ilmu hadist, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan alriwayah adalah: Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadist yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadist itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadist Nabi, yaitu: (1) orang yang melakukan periwayatan hadist yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-marwiy), (3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadist (at-tahamul wa ada al- Hadist). Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa salah satu tugas perawi adalah menjelaskan bentuk tahammul yang digunakan untuk menerima apa yang diriwayatkannya. Kita juga mengenal semangat dari ulama hadits terhadap hal itu. Di samping bersemangat menjelaskan bentuk tahammul hadits sewaktu menyampaikannya, ulama juga bersemangat untuk menyampaikan hadits persis seperti yang mereka dengar tanpa penggantian dan perubahan sedikit pun. Sebagian ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul bersikap ketat. Mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz, dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali. Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia diperbolehkan meriwayatkan dengan makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat, ia bisa menghindari perubahan makna dan pergeseran hukumhukum yang terkandurg didalamnya. Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami

kata-kata yang bisa merubah makna maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikannya riwayat dengan lafadz seperti yang didengarnya.[30] Seperti sudah disinggung dalam pendahuluan dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. 1. Periwayatan Hadist dengan Lafadz. Periwayatan hadist dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Di antara ulama yang menekankan periwayatan hadist dengan lafaz dan menolak periwayatan hadist dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja ibn Hayuh.[31] Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadist kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya.[32] Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai Madzhab Pengikut Lafadz yang Ekstrim.[33] 2. Periwayatan Hadist dengan Makna. Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi.[34] Dan periwayatan hadist bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadist qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi saw. Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadist bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu: Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadist yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya.[35] Kedua, perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh hadist itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami al-kalim) dan Keempat, memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.[36] Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadist-hadist Rasulullah baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah Nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa periwayatan hadist dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan ucapan Nabi.[37] Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadist dan nashnya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadist oleh perawi yang tidak mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan

periwayatan hadist dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat. Dari sini, jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah makna boleh meriwayatkan hadits secara makna, bila ia tidak ingat kata-kata persisnya. Karena ia telah menerima kata dan makna. Namun karena ia tidak mampu menyampaikan salah satunya, maka tidak ada halangan meriwayatkannya secara makna selama ia aman dari keterpelesetan dan kekeliruan. Bahkan Imam al-Mawardiy mewajibkan seseorang menyampaikan dengan makna bila ia telah lupa akan lafadznya. Karena bila tidak, maka ia termasuk menyembunyikan hukum. Kemudian beliau berkata: Namun bila ia tidak lupa akan lafadznya, maka tidak boleh baginya menyampaikan selainnya. Karena kalam Nabi SAW mengandung fashahah yang tidak dimiliki oleh kalam lainnya. Yang memperbolehkan periwayatan dengan makna hanya memperbolehkannya bagi orang yang benar-benar mengerti, di samping dengan syarat yang diriwayatkan bukan kata- kata yang merupakan bacaan ibadah atau ungkapan ungkapan Nabi SAW yang jami (padat makna). Sebenarnya kita juga telah menyaksikan hal itu pada praktek sahabat, tabiin dan ahli hadits sesudah mereka. Mereka tidak beralih dari redaksi aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan mengenai keadaan, peperangan ataupun peristiwa tertentu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang sangat berhati-hati, dan seusai meriwayatkan mereka mengatakan : au kama qala (atau seperti yang disabdakan Nabi), au nahwa hadza ( ) atau ungkapan sejenis, atau au syibhahu ( ( ) atau ungkapan yang serupa), seperti yang dipraktekkan oleh Abdullah ibn Masud, Abu ad-Darda, Anas ibn Malik dan lain-lain. Karena itu, seusai meriwayatkan hadits harus mengatakan : au kama qala ( ) atau yang sejenis, sebagai sikap hati-hati bila yang diriwayatkannya itu merupakan riwayat dengan makna.[38] F. Kesimpulan Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metodemetode tertentu. Sedangkan Al-Ada adalah adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz. Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam tahammul al-ada adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima, al-Qiraah ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, Ilam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN Ajaj, Muhammad al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993 Ibn, Al Hafidz Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt Ismail, M.Syhudi, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadits Terj, Mujiyo, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994

Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2005 Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985 Shalih, Subhi, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh. (tt.tt.tt) Soetari, Endang, Ilmu Hadist, Bandung: Amal Bakti Press, 1997 Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006 Zainimal, Ulumul Hadist, Padang: The

cara penerimaan dan penyampaian hadits.


Posted by Motivator Muda Posted on 06.47 with 1 comment I. Pendahuluan Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang perawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan (dhabith) ditulis di tadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut. Hadits bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang disebut Shahih al-Riwayah, diwurudkan kepada sahabat sebagai rawi pertama atau thabaqah pertama, kemudian thabaqah tabiin, tabi al-tabiin dan seterusnya, akhirnya ditadwin oleh mudawwin sebagai rawi terakhir pada diwan/kitab hadits. Kini hadits terhimpun pada kitab Mushannif hasil tadwin pada masa pertama diawal abad I Hijriyah, pada kitab musnad hasil tadwin kualifikasi diakhir abad II Hijriyah, pada kitab sunan dan shahih hasil tadwin seleksi di akhir abad III Hijriyah. Esensi periwayatan adalah tahammul, naql, dhabith, tahrir, dan ada al-Hadits, atau disingkat tahammul wa al-ada. Suatu thariqah atau cara penerimaan dan penyampaian hadits.

II. Pembahasan 1. Pengertian tahammul al-hadits dan ada al-hadits menurut bahasa dan istilah: Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fiil madli tahmmala ( ) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah: :

Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru. Sedangkan pengertian ada al-hadits menurut bahasa, ada ( ) adalah masdar dari - - : menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya. - : Menyampaikannya. Bararti ada al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits. Sedangkan ada al-hadits menurut istilah adalah: : Meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid. Kaifiyah Tahammul wa al-ada ini termasuk kajian ilmu Hadits Dirayah karena berupa system yang analitik, dan walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul-mardudnya hadits, namun mempengaruhi pengamalan hadits dalam thariqah tarjib, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan (tanakud).

2. 8(delapan) Macam Shigat Kaifiyah Tahammu Wa al-Ada atau system cara Penerimaan dan Penyampaian Hadits, sebagai berikut: 1. Sama min lafazh al-Syaikh, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca dari tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab, asal berkeyakinan bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain. Cara sama ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar sama adalah: a. : Seseorang telah bercerita kepadaku/kami b. : Saya telah mendengar, kami telah mendengar 2. Al-Qiraah ala Syaikh (aradh) yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkannya. a. Saya telah membacakan dihadapannya b. Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarkan. c. Telah menceritakan kepadaku secara pembacaan dihadapannya. Dan metode ini merupakan praktik yang sangat umum semenjak awal abad kedua Hijriyah. 3. Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya: a. Ijazah fi muayyanin li muayyanin: izin untuk meriwayatkan untuk sesuatu yang tertentu kepada

oaring tertentu: Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan si fulan dari saya. b. Ijazah fi ghairi muayyanin, yaitu izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang tertentu: Saya ijzahkan kepada seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan. c. Ijazah fi ghairi muayyanin li ghairi muayyanin, izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu: Saya ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa yang saya dengar semuanya. Sampai abad ketiga, sukar ditemukan suatu indikasi system ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup luas. Ada perbedaan opini tentang keabsahan metode ini. 4. Munaawalah. yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan : a. Diberi ijazah: Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah Lafazh periwayatannya: , b. Tidak diberi ijazah: Ini adalah hasil pendengaranku atau hasil dari periwayatanku Lafazhnya: , Seseorang telah memberikan kepadaku/kami Munawalah (memberikan buku kepada seorang murid). Praktik ini sudah dilakukan pada paruh kedua abad pertama hijrah, seperti Zuhri (51 124 H) memberikan manuskripnya kepada sejumlah ahli seperti al-Tsauri, al-AwzaI, dan Ubaidillah ibn Umar. Dan cara ini bukanlah suatu praktik yang umum dipakai di awal masa kelahiran Islam. 5. Mukatabah, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau ada yang dihadapannya Kitabah (korespondensi), yaitu seorang hadis menuliskan hadis yang diriwayatkanya untuk diberikan kepada orang tertentu untuk diriwayatkan. praktik metode ini sudah cukup dikenal pada masa-masa awal kelahiran Islam dan diduga cara ini digunakan paling pertama sekali. Hal ini dapat dilihat dari surat-surat kenegaraan khulafaur rasyidin memuat sejumlah hadis yabg diriwayatkan oleh para ahli. Disamping beberapa sahabat, sejumlah ahli menulis hadis-hadis dan mengirimkanya kepada murid-murid mereka, seperti halnya Ibn Abbas yang menulis kepada Abu Mulaikah dan Najdah. a. Dibarengi ijazah:

Saya izinkan apa-apa yang telah saya tulis kepadamu b. Tidak dibarengi ijazah: Telah memberikan seseorang kepadaku Lafazhnya: Seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat Seseorang telah mengabarkan kepadaku dengan melalui surat

6. Wijadah, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama, qiraah maupun selainnya, dari pemilik hadits maupun tulisan tersebut. Lafazhnya: Saya telah membaca khat/tulisan seseorang , Saya dapati khot/tulisan seseorang, bercerita pada kami Cara ini tidak diakui keberadaanya dalam pengajaran hadis, akan tetapi praktik ini dapat ditemukan pada masa awal Islam, sebagi contoh adalah buku Saad ibn ubaidah (w.15). 7. Washiyah, yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab tulisannya supaya diriwayatkan. Lafazhnya: Seseorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu; telah bercerita padaku si fulan Sebagai contoh Abu Qilabah (w.104 H) yang mewariskan buku-buku hadisnya kepada Ayyub al-Syaukani. 8. Ilam, yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya. Lafazhnya: Seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku. Memperhatikan cara di atas, maka ada dua tipe periwayatan, yakni: 1. Rawi mendengar langsung dari gurunya, dengan demikian murid bertemu dengan gurunya, dan diketahui betul tentang pertemuannya itu. Lafazh-lafazh periwayatannya:

a. : b. : c. : d. , e. ) ( f. ) ( g. : 2. Rawi yang belum pasti tentang pertemuan-pertemuannya dengan guru, mungkin mendengar sendiri dengan langsung, atau tidak mendengar sendiri. Lafazh-lafazh periwayatannya: a. ; diriwayatkan oleh, b. ; dihikayatkan oleh, c. ; dari, d. ; bahwasannya, Hadits yang diriwayatkan dengan lafazh tamrid ini tidak dapat untuk menetapkan bahwa Nabi SAW atau guru benar-benar menyabdakan, kecuali dengan adanya qarinah lain. System periwayatan atau kaifiyat tahammul wa al-ada dari hadits tersebut, dapat dipahami dalam teks dibawah ini. ) ( Dari hadits tersebut sanadnya adalah: Dalam sanad tersebut lafazh sanad, yakni lafazh yang digunakan untuk menulis sanad tersebut menunjukan kaifiyat tahammul wa al-adanya. Lafazh sanadnya adalah: , , Lafazh menunjukkan kaifiyat riwayah sama min lafazh al-syaikh, maksudnya Abu Daud sebagai mudawwin menerima dari gurunya (Abdullah ibn Maslamah) dengan cara sama secara oral muhaddatsah. Lafazh artinya saya membaca dihadapan, menunjukan bahwa Abdullah bin Maslamah menerima hadits dari gurunya (Malik ibn Anas) dengan cara qiraah. Maksudnya Abdullah membaca hadits Malik di hadapan Malik. Lafazh , artinya dari hal ini menunjukkan bahwa tidak diketahui dengan cara apa hadits itu diterima murid dari guru, yakni Abu Daud sebagai mudawwin tidak tahu (lupa, atau tidak ada penjelasan dari gurunya karena juga lupa) bagaimana Malik menerima hadits dari gurunya Nafi. Begitu

pula tentang kaifiyat penerimaan Nafi dari ibn Umar (Abdullah ibn Umar al-Khattab). Dari berbagai macam cara atau sistem periwayatan tersebut terlihat bahwa proses periwayatan hadits ditekankan pada superioritas penyampaian hadits secara langsung, pribadi, dan lisan, sedangkan tulisan hanyalah untuk membantu mengingat. Menurut argumen umum, penyampaian hadits secara lisan tidak hanya dapat dipercaya tetapi juga lebih baik daripada dokumen-dokumen yang tersebar. Lebih jauh lagi, keandalan penyampaian hadits secara lisan ini juga dijamin dengan daya ingat orang-orang Arab yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan catatan tertulis yang memiliki sedikit nilai karena tanpa dibuktikan kebenarannya oleh saksi yang hidup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari banyak sedikitnya, telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada Nabi, yaitu secara lisan dan juga melalui media tulisan. Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab dan al Bara bin Azib yang berkata, Tidak semua hadits kami mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta. Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang kuat hafalannya. Lebih populernya sistem periwayatan secara lisan bila dibandingkan dengan periwayatan secara tulisan mungkin disebabkan jumlah antara sahabat yang menulis dan yang tidak menulis masih jauh lebih banyak yang tidak menulis tentang segala hal yang disandarkan kepada Nabi. Padahal, dengan lebih ditekankannya pada penyampaian secara lisan, maka tidak menutup kemungkinan terjadi penyampaian yang tidak sama persis redaksinya karena sahabat sendiri tidak semua menulis ketika bersama Nabi, juga secara sadar tidak menghafal kata per kata Nabi. Disini hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah menyampaikan yang mereka ingat. Dalam hal ini tentunya para muhadditsun tidak punya pilihan lain kecuali menerima penyampaian semacam ini meskipun akan menimbulkan akibat, yaitu pada saat kata berubah, maknanya pun berubah. Hal demikian dapat kita lihat pada hadits Nabi tentang suatu peristiwa, namun disampaikan shahabat dengan redaksi yang berbeda-beda, misalnya hadits Nabi: . . . Dengan kenyataan seperti ini, memunculkan pendapat bahwa sebenarnya riwayat hadits pada periode shahabat sampai dengan periode kodifikasi kitab-kitab hadits adalah riwayat hadits bil mana, dan hal demikian memang biasa terjadi. Namun begitu, bukan berarti riwayat hadits bil alfaadz tidak ada sama sekali, malah merupakan suatu yang lumrah. Tetapi walaupun demikian, Jumhur ulama telah membolehkan riwayat hadits bil mana dengan beberapa persyaratan yang begitu ketat dengan maksud agar yang diriwayatkan itu benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya. Kembali pada masalah munculnya bias makna - saat kata berubah, maknanya pun berubah- yang ditimbulkan dari sistem periwayatan, serta jauhnya masa Nabi dengan masa kodifikasi hadits, maka untuk mengeliminir keraguan-keraguan bahwa hadits benar-benar berasal dan bersandar pada apa yang diucapkan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi, maka generasi selanjutnya mengembangkan disiplin

ilmu hadits, dimana dalam salah satu kajiannya memunculkan konsep hadits shahih, hasan, ataupun dlaif. Salah satu contoh misalnya kriteria tentang hadits shahih, yaitu rawi-nya harus adl, dlabith, sanadnya bersambung, matan-nya marfu, tidak ada illat, dan tidak janggal. Disamping itu, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa dalam memahami hadits sangat banyak diperlukan disiplin ilmu pengetahuan yang harus dimiliki, disamping beberapa aspek lain yang perlu diperhatikan. Dalam kenyataannya, yang kita lihat atau metode pemahaman hadits yang digunakan masih berupa generalisasi, artinya semua hadits dipahami secara sama, tanpa membedakan struktur dari hadits, riwayat bil alfaadz atau bil mana, bidang isi hadits yang muthlaq atau muqayyad, yang menyangkut akidah, ibadah, atau muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam memahami hadits dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik konteks histories, psikologis, sosiologis maupun konteks antropologis.

III. Kesimpulan Periwayatan hadits adalah proses pemerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang perawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihapal, dihayati, diamalkan (dhabith) ditulis di tadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut. Esensi periwayatan adalah tahammul, naql, dhabith, tahrir, dan ada al-Hadits, atau disingkat tahammul wa al-ada. Suatu thariqah atau cara penerimaan dan penyampaian hadits. Kaifiyah Tahammul wa al-ada ini termasuk kajian ilmu Hadits Dirayah karena berupa system yang analitik, dan walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul-mardudnya hadits, namun mempengaruhi pengamalan hadits dalam thariqah tarjib, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan (tanakud).

Metode penyampaian hadist


28 Apr 2012 Tinggalkan Sebuah Komentar by dieena dalam Tsaqofah BAB I PENDAHULUAN

1. I.

Latar Belakang

Hadits sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir da hal ihwal nabi Muhammad SAW. Merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Quran. Pada masa Nabi, sesungguhnya sudah ada beberapa sahabat Nabi yang menulis hadits Nabi, tetapi jumlah mereka selain tidak banyak, juga materi hadits yang mereka catat masih terbatas. Namun, setelah rasulullah wafat, kebutuhan akan pentingnya hadits meningkat. Sehingga hadits mengalami oroses transmisi atau penyebaran. Untuk itu kita perlu tahu akan penyebaran hadits tersebut. Dalam makalah ini penulis memaparkan mengenai bagaimana proses periwayatan(transmisi) semenjak masa hidup nabi, sahabat dan sesudahnya.

1. II. Rumusan Masalah

Makalah ini disusun dengan rumusan masalah sebagai berikut:


1. Bagaimana metode penyampaian hadits sebagai sumber ajaran islam yang kedua? 2. Bagaimana metode penyampaian hadits pada masa Nabi sampai sekarang?

1. III. Tujuan 1. Mengetahui bagaimana metode penyampaian hadits sebagai sumber ajaran islam yang kedua. 2. Mengetahui metode penyampaian hadits pada masa Nabi sampai sekarang.

BAB II PEMBAHASAN

1. A. Pengertian

Sebelum kita masuk kedalam inti dari masalah proses transmisi hadist, pertama kita harus tahu dulu apa pengertian atau makna dari transmisi. Transmisi adalah penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadist bisa di artikan yaitu proses peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke perawi.

Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Atau ketika dia menyampaikan hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan hadits.[1] Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits, yakni: 1 Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits; 2 Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain; 3 Ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya(sanad) disebutkan.

1. Cara nabi menyampaikan hadistnya 1. Cara rasulullah menyampaikan haditsnya pada dasarnya dengan cara natural saja. Ada masalah lalu dia memberikan penyelesaian. 2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh. 3. Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa nabi telah berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.

1. Periwayatan hadits pada jaman nabi sampai zaman sesudah generasi sahabat nabi

Berbagai hadist Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadist sekarang ini, asal mulanya adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal Nabi. Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadits pada zaman nabi tidaklah sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi tidaklah sama dengan zaman sesudahnya. a. Periode Pertama: Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW Pada saat inilah hadits lahir berupa sabda (aqwal), afal dan traqrir Nabi yang berfungsi menerangkan al-quran dalam rangka menegakkan syariat islam dan membentuk masyarakat Islam. Para sahabat dapat menghafal dengan baik ajaran-ajaran Rasul karena di samping dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta kecerdasan dan kecepatan dalam memahamu sesuatu. Hadits diterima para sahabat baik secara langsung maupun tidak langsung dari segala kegiatan Nabi semasa hidup beliau. Majlis Nabi semuanya merupakan majlis ilmiah, perilaku, penuturan, isyarat, dan diamnya merupakan pedoman bagi hidup dan kehidupan ummat islam. Penerimaan hadits secara langsung misalnya sewaktu Nabi SAW memberi ceramah, pengajian, khutbah atau penjalasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun yang tidak langsung seperti mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang dating kepada Nabi SAW. Hadits yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat

untuk memperoleh hadits nabi kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mereka( sahabat) secara bergantian menemui nabi. Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh sahabat lainnya kepadanya. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, maka Nabi menekankan untuk menghafal hadits, memahami, memelihara, memantapkan dalam amalan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain. Proses penyampaian hadits pada masa nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi karena 2 hal yaitu:
1. Cara penyampaian hadits oleh rasulullah secara langsung. 2. Minat yang besar dari para sahabat.

b. Periode Kedua: Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa al-Rasyidin (11H-40 H)


1. Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq

Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits.[2] Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadist. Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak melihat petunjuk Quran dan praktek nabi yang memberikan harta warisaan kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syubah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian. Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadits yang diriwayatkannya relative tidak banyak.[3] Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini karena pada pemetintahan Abu Bakar tersebut, umat islam dihadapkan ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan Negara.
1. Pada masa Umar Bin Khattab

Pada masa Umar penyebaran hadits kurang berjalan. Karena pada masa umar lebih memfokuskan pada membaca dan mendalami Quran. Akan tetapi lebih banyak dari masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan Quran dan lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits.
1. Pada masa Utsman Bin Affan

Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab. Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan

Umar.[4] Penyebaran hadits pada masa Utsman lebih banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah islam meluas dan perawi jumlahnya bertambah dan meluas.
1. Pada masa Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum ali bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits mengucapkan sumpah, bahwa hadits itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk bersumpah. Transmisi hadits pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak negatif dalam penyebaran hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits.[5]Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya. Periode ini disebut Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah (Masa pematerian dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11H. kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Quran dan Hadits yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Adapun perhatian Khulafa al-Rasyidin terhadap Hadits pada dasarnya adalah:
1. Para Khulafa al-Rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri, maka setiap malam syariat islam selalu nerpedoman kepada Hadits bersama-sama atau selalu berpedoman kepada ketentuan al-Quran. 2. Para sahabat berusaha mentablighkan segala Hadits yang diterima mereka. Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni;

Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.

Adapun menulis Hadits masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun Khalifah Umar pernah mempunyai gagasan untuk membukukan Hadits, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah. Para sahabat tidak melakukan penulisan Hadits secara resmi karena pertimbangan-pertimbangan:
1. Agar tidak memalingkan perhatian ummat dari Al-quran. Perhatian sahabat masa khulafa alrasyidin adalah pada Al-quran seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi mushaf. 2. Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis Hadits.

c. Periode Ketiga: Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat Kecil dan Thabiin (40 H -100 H) Pada masa ini daerah islam meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkhand bahkan pada tahun 93 Hijriyah sampai ke Spanyol. Pengalaman generasi setelah sahabat, yakni sahabat kecil dan tabiin, yang memerlukan untuk mengetahui hadits-hadits Nabi SAW. Mereka kemudian berangkat mencari hadits, menanyakan dan belajar dari para sahabat besar yang sudah tersebar di seliruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Karena meningkatnya periwayatan Hadits tersebut, maka muncullah bendaharawan-bendaharawan Hadits, dan muncul pula lembagalembaga Hadits di berbagai daerah di seluruh negeri. Penghimpunan Hadits pada periode ini masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaranlembaran yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib pada masa ini sudah dihimpun perbab. Materi yang diperoleh dari periwayatan sahabat atau tabiin sebelumnya baik secara tulis maupun lisan.

d. Periode Keempat dan Kelima: Perkembangan Hadits pada Abad Kedua dan Ketiga Hijriyah (100 H-200 H & 200 H-300 H) Periode keempat disebut Ashr al-Kitabah wa al-Tadwin (masa penulisanan pembukuan). Maksudnya penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah secara umum. Sebab jika secara perorangan sebelum abad 11 H, Hadits sudah banyak ditulis baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar bahkan sejak masa Nabi SAW. Metode penyampaian pada masa ini ialah: Si pengarang menghimpun Hadits-hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab lain yang berisi masalah-masalah lain dalam satu karangan; dan dalam kitab ini masalah bercampur antara hadits dengan fatwa sahabat dan tabiin Masa ini dapat dianggap masa yang paling sukses dalam pembukuan Hadits, sebab pada masa ini ulama Hadits telah berhasil memisahkan Hadits-hadits Nabi dari yang bukan Hadits (fatwa sahabat dan tabiin) dan telah berhasil pula mengadakan penyaringan yang sangat teliti terhadap apa saja yang dikatakan Hadits nabi (diteliti matan dan sanadnya).

e. Periode Keenam dan Ketujuh: Perkembangan Hadits pada Masa Mutaakhirin (300 H)

Periode keenam disebut Ashr al-Tahdzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jamii (masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan). Ulama yang hidup sebelum tahun 300 H disebut ulama Mutaqaddimin, yang menghimpun Hadits-hadits Nabi dalam kitabnya, tidak mengutip dari kitab-kitab hadits yang ada sebelumnya, tetapi dengan jalan mendengar langsung Hadits-hadits itu dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri tentang matan Haditsyna dan perawi-perawinya. Setelah mereka mengadakan penelitian yang seksama telah berhasil menghimpun Hadits-hadits Nabi antara lain Kutub Sittah. Sedangkan ulama yang hidup sesudah tahun 300 H disebut ulama Mutaakhkhirin. Periwayatan Hadits pada masa Mutakhkhirin dengan berpegang pada kitab-kitab Hadits yang sudah ada. Usaha mereka hanya terbatas pada penyusunan hadits-hadits secara lebih sistematis atau membuat ulasan terhadap kitab-kitab Hadits yang sudah ada. Tetapi dalam abad IV H masih terdapat ulama-ulama Hadits yang mempunyai kesanggupan dan kemampuan seperti ilama Mutaqaddimin, meskipun jumlahnya tidak banyak. Pada Periode ini penyampaian dan penerimaan Hadits-hadits dilakukan dengan jalan suratmenyurat dan ijazah (ijazah disini maksunya ailah memberi izin kepada murid untuk meriwayatkan Hadits-hadits yang telah dituliskan oleh seorang guru dalam kitabnya).

4. Metode menerima hadits dan penyampaiannya

Yang dimaksud dengan jalan menerima hadits (thuruq at- tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh. Dan yang dimaksud dengan bentuk penyampaian (sighatul- ada) adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : samitu Aku telah mendengar; haddatsani telah bercerita kepadaku; dan yang semisal dengannya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak. Jalan untuk menerima hadits ada delapan, yaitu as-sama atau mendengar lafadh syaikh; alqiraah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-Ilam, al-

washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing :
1. As-Sama atau mendengar lafadh syaikh (guru).

Metode ini bisa berbentuk pendekatan (iml) Hadis atau yang lainnya, bisa dari hafalan dan bisa juga dari tulisan seorang guru Hadis. Menurut jumhur ahli Hadis, ini merupakan metode yang paling tinggi. Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain.

1. Al-Qiraah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya : Al-Ardl

Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh- lafadh : aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qiraah seperti : haddatsana qiraatan alaih (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
1. Al-Ijazah

Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :

Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad- Dimasyqi; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya. Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).

1. Al-Munaawalah atau menyerahkan

Al-Munawalah ada dua macam :


1. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macammacam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama dan al-qiraah. 2. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : Ini adalah riwayatku. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan. 3. Al-Kitabah

Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
1. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah. 2. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk

meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri. 3. Al-Ilam (memberitahu)

Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-Ilam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : Alamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
1. Al-Washiyyah (mewasiati)

Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
1. Al-Wijaadah (mendapat)

Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadits- haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,Wajadtu bi kaththi fulaanin (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau qaratu bi khththi fulaanin (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.

BAB III ANALISA DAN KESIMPULAN

3.1 Analisa Kita telah membahas berbagai macam metode-metode penyampaian atau peralihan atau penyebaran hadits-hadits. Yang mana dapat dikatakan proses peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke perawi dengan istilah lain al-riwayat. Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Atau ketika dia menyampaikan hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan hadits. Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits, yakni:
1. Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits; 2. Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain; 3. Ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya(sanad) disebutkan.

Cara nabi menyampaikan hadistnya 1. Cara rasulullah menyampaikan haditsnya pada dasarnya dengan cara natural saja. Ada masalah lalu dia memberikan penyelesaian. 2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh. 3. Dalam bentuk tulisan, banyak riwayat menyatakan bahwa nabi telah berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam. Dari pembahasan-pembahasan di atas kita bias melihat mengenai besarnya perhatian umat islam terutama para ulamanya dalam memelihara dan menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi yang berupa hadits-hadits nabi, mulai dari menghafalkan sampai kepada menuliskannya dan membukukannya dalam kitab-kitab Hadits yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan usahausaha seperti para ulama di atas, maka sampailah hadits-hadits nabi tersebut kepada kita dalam keadaan yang sudah baik, dan kita tidak perlu ragu-ragu lagi menerimanya.

3.2 Kesimpulan Proses penyampaian hadits dari masa rasulullah hidup dan setelah wafat tidaklah sama. Semakin lama jarak antara masa hidupnya akan semakin sulit mengontrol menyebaran dan kebenaran hadits tersebut. Sehingga memerlukan kehati-hatian yang tinggi dalam penyebaran hadits tersebut sehingga terhindar dari munculnya hadits palsu.

RIWAYAT BI AL-LAFZH WA BI AL-MANA DAN SEBAB-SEBAB KEBERVARIASIAN RIWAYAT

RIWAYAT BI AL-LAFZH WA BI AL-MANA DAN SEBAB-SEBAB KEBERVARIASIAN RIWAYAT A. PENDAHULUAN. Hadits merupakan sumber hukum yang secara otentik telah memberikan pengaruh signifikan dalam konstruksi hukum Islam. Hadits muncul dari peristiwa dalam bentuk dialog atau monolog, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW yang terjadi antara Nabi SAW dengan masyarakat pada eranya8[1]. Dengan demikian menempatkan posisi yang perlu pengkajian secara komfrehensif untuk menjamin keasliannya. Dalam kontek historis, periwayatan hadits telah menempuh rentang waktu yang amat panjang. Bahkan menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya yang berjudul al-sunnah Qabl al-Tadwin sebagaimana yang dikutip oleh Buchari dalam Kaidah Keshahihan Matn hadits mengungkapkan bahwa kodifikasi hadits (tadwin) hadits secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi atas perintah Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan tenggang waktu sekitar 90 tahun sesudah Nabi SAW wafat.9[2]

Dengan rentang waktu yang relatif panjang tersebut periwayatan hadits secara lafas dan makna tidak dapat terhindarkan. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ada pada masa tersebut. Dengan demikian periwayatan hadis menjadi problematic dan banyak mengundang kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang apriori terhadap otentisitasnya. sebab studi periwayatan hadis, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis harus dengan lafadz (riwayat bi al-lafzh) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja (riwayat bi al-mana), menjadi isu penting dikalangan ulama hadis. Berangkat dari permasalahan di atas menarik untuk dikaji seputar periwayatan hadits secara lafas dan makna dalam rangka memberikan kontribusi untuk melakukan pelacakan hadits dan memberikan pengkayaan akademis. B. PENGERTIAN RIWAYAT BI AL-LAFZH WA BI AL MANA. Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.10[3] kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa (pemberian minum sampai puas).11[4] Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat. Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan alriwayah adalah Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.12[5] Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang

lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam Ushul Hadits ulumuhu wa Mustalahuhu menegaskan bahwa periwayatan hadis adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain. Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu; (1). orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal (periwayat), seperti Bukhari, Muslim. (2). apa yang diriwayatkan (al-marwiy), keseluruhan hadis yang diriwayatkan periwayat dengan ar-rawiy

(3). susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad), sejak mulai dari pertama yang menerima langsung dari nabi hingga periwayat terakhir.

(4). kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan. (5). kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis). Berdasarkan definisi yang diuraikan diatas maka secara spesifik pengertian periwayatan hadits secara lafas dan makna selanjutnya akan dibahas dalam sub bagian dibawah ini. 1. Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh. riwayat bi al-lafzh dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. riwayat bi al-lafzh sering juga disebut dengan periwayatan secara lafzhi13[6]. Munzier Suparta memberikan terminologi periwayatan lafzhi adalah

periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya sama persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW dan hanya bisa dilakukan apabila di hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.14[7]

Dari beberapa pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian tentang riwayat bi al-lafzh yaitu redaki suatu hadits yang diriwayatkan tersebut sama persis seperti yang disampaikan rasulullah. contoh hadis yang diriwayatkan dengan lafaz (riwayat bi al-lafz) - Riwayat Abu Daud

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Saibah, menceritakan kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari Abu Ishaq dari al-Bara, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan memberi ampunan kepada keduanya sebelum mereka berpisah (HR. Abu Daud) - Riwayat Ahmad

- Riwayat Ibnu Majah


- Riwayat al-Tirmidhi

Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah al-Barrabin Azib. Nama-nama perawi dalam sanad hadis tersebut adalah orang yang sama pada tingkatan (tabaqat) pertama sampai dengan ketiga, yaitu : 1. Al-Barra bin Azib 2. Abu Ishaq 3. Ajlah bin Abdullah Akan 1. Ibnu Numair 2. Abu Khalid Pada tingkatan selanjutnya juga terjadi perbedaan. Imam Ahmad langsung sebagai mukharrij, sedangkan imam Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Timidhi masih memiliki rangkaian rawi, yaitu : 1. Sufyan bin Waqi 2. Ishaq bin Mansur 3. Abu Bakar Kelima hadis di atas dapat dikategorikan ke dalam hadis-hadis yang diriwayatkan secara lafal, karena kelimanya tidak memiliki perbedaan secara harfiyah.15[8] 2. Pengertian Riwayat Bi Al-Mana. riwayat bi al-mana yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi. riwayat bi al-mana merupakan sebuah proses periwayatan dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan yang didengar dari Rasul SAW namun dengan substansi makna yang tetap sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Rasul SAW. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh tetapi terdapat perbedaan perawi pada tingkatan keempat , yaitu:

Munzier Suparta bahwa riwayat bi al-mana adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.16[9] Dari ilustrasi tersebut maka kata kunci terminologi riwayat bi al-mana adalah proses penyampaian dan penerimaan hadis dengan redaksi yang berbeda akan tetapi tetap pada substansi makna dan maksud yang sama. C. KONTROVERSI PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KETIDAKBOLEHAN RIWAYAT BI AL-MANA. 1. Pendapat Yang Membolehkan, Alasan Dan Syarat-Syaratnya. Hampir semua ulama hadis memperbolehkan riwayat bi al-mana, mereka beralasan bahwa hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang disaksikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.17[10] Disamping itu, adanya larangan dari nabi untuk tidak menuliskan selain alquran juga menyebabkan riwayat bi al-mana, Karena tidak semua ingatan sahabat kuat sehingga hanya berupa makna dari hadis tersebut yang disampaikan. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki KEBOLEHAN DAN

pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.18[11] Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi (riwayat bi al-mana). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.19[12] Dari beberapa alasan para sahabat dan ulama hadis diatas, penulis simpulkan bahwa alasan para sahabat dan ulama hadis membolehkan riwayat bi al-mana adalah: a. Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis filiyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri. b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis c. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi hadis dalam meriwayatkan hadis secara makna (riwayat bi al-mana) adalah: 1). Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan. 2). Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah.

3). Yang diriwayatkan dengan makna ajaran yang prinsipil (jawami al-kalim)

bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang

sifatnya taabbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan pula merupakan

4). Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata atau atau yang semakna dengannya

setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan. 5).Kebolehan riwayat bi al-mana hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.20[13] Adapaun yang membolehkan riwayat bi al-mana yaitu : 1).Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadis yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hampir sama dalalahnya. Abu Bakar ibn al-Arabi (w. 54411) sebagaimana dikutip Shubhi al-Shalih, menambahkan persyaratan, bahwa yang dibolehkan meriwayatkan hadis dengan makna tersebut hanyalah para sahabat, sedangkan selain sahabat dilarang meriwayatkan hadis bi al-makna tersebut. Di boleh meriwayatkan hadis dengan makna karena di menguasai bahasa Arab dengan baik, baik fashahah maupun balaghahnya, selain itu di juga menyaksikan langsung ucapan, perbuatan dan taqrir nabi sehingga dengan demikian di sangat paham maksud ucapan, perbuatan, dan takrir nabi tersebut. 21[14] 2). perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya.22[15] Alasan yang di kemukakan untuk membolehkan periwayatan memberikan persyaratan khusus,

hadis bi al-makna adalah hadis yang diriwayatkan al-Thabrani dari Sulaiman ibn Uyaimah alLaits yang bertanya kepada Rosulullah Saw. Saya apabila mendengar hadis darimu ya Rasul, tidak sanggup menyampaikannya sebagaimana yang saya dengar darimu, bertambah satu huruf atau berkurang, Rasul menjawab: Selama kamu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, tidak masalah kamu menyampaikan maknanya 3). lafazh hadis itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dan lainlain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami al-Kalim). 4). memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.23[16] Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa periwayatan hadis secara makna memiliki persyaratan yang ketat sehingga tidak jauh dari substansi hadis yang dimaksud. 2. Pendapat yang melarang dan alasannya. Sebagian sahabat melarang riwayat bi al-mana seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam.24[17] sebagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar. Mereka yang menolak periwayatan hadits bi al mana beralasan bahwa, riwayat bil mana dapat merubah makna hadits. Sebab perawi berusaha mencari lafazh-lafazh yang semakna dengan lafazh hadits, sedangkan makna lafazh-lafazh itu dapat berbeda-beda. Mungkin saja perawi lupa akan sebagian makna yang samar serta terkadang menambah redaksi matan dan terjerumus pada kesalahan. Alasan mereka adalah : a) Perkataan nabi mengandung fashohah dan balagah yang tinggi, dan hadits-haditsnya

merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah.

b) Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadits. Pendapat mereka diperkuat dengan mengajukan beberapa faktor sebagai berikut: a) Daya hafalan yang sangat kuat. b) Pencatatan hadits oleh sebagian sahabat sangat membantu periwayatan secara lafal. c) Adanya majlis yang sering digunakan untuk menerima dan meriwayatkan hadits sangat membantu mereka untuk mengishlah bila terjadi kesalahan.25[18]

C. SEBAB-SEBAB KEBERVARIASIAN RIWAYAT. Sebab-sebab kebervariasian riwayat adalah sebagai berikut, di antaranya: 1. Berbilang/bermacam-macamnya kejadian Berbeda-bedanya redaksi dalam satu hadits bukanlah suatu aib/cela dalam sebuah hadits apabila maknanya satu, karena telah shahih riwayat dari Nabi SAW bahwa apabila beliau berbicara beliau mengulang-ulang tiga kali. Maka masing-masing orang (Sahabat) yang mendengar hadits itu menyampaikan kepada orang lain sesuai dengan apa yang dia dengar. Maka perbedaan dalam riwayat seperti ini tidak melemahkan hadits, apabila maknanya satu. 2. Riwayat dengan makna bukan dengan lafazhnya Dan hal ini adalah sebab yang paling sering menjadikan perbedaan riwayat dalam satu hadits. Karena sesungguhnya yang paling penting dalam menyampaikan haidts adalah menyampaikan kandungan dan isinya, adapun lafazh atau redaksinya tidak taabudi (membacanya bukanlah ibadah, maksudnya tidak memiliki pahala khusus dengan membacanya), sebagaimana al-Quran yang taabudi. Contohnya adalah hadits: - Riwayat Imam Muslim

Telah menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Mismai, telah menceritakan kepada kami Uthman bin umar, menceritakan kepada kami Abu Amit, meriwayatkan kepada Abu Imran lalu meriwayatkan kepada Abu Amir al-Khazzaz. Pada tingkatan selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang langsung kepada Imam Ahmad dan Usman bin Umar kemudian Abu Ghassan pada Imam Muslim. - Jalur riwayat Imam Ahmad


- Jalur Riwayat al-Tirmidhi

perbedaan lafazh/redaksi ini sebabnya adalah meriwayatkan hadits dengan makna, karena sesungguhnya perawi hadits ini satu, yaitu: Yahya bin Said dari Muhammad bin Ibrahim atTaimi dari Alqamah dari Umar radhiyallahu 'anhu. Dan yang diperhatikan di sini adalah

bahwa makna yang dipahami dari kalimat-kalimat di atas adalah satu, maka kerusakan apa yang timbul dari banyaknya riwayat yang seperti ini?26[19] supaya para Ulama lebih tenang bahwasanya perawi (orang yang menukil hadits) telah menukil makna shahih (yang benar) dari sebuah hadits, maka mereka tidak menerima hadits yang diriwayatkan dengan makna kecuali dari orang yang paham dengan bahasa Arab, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat selainnya dari kalangan perawi yang tsiqah (terpercaya). Maka jelaslah bagi mereka kesalahan dalam menukilnya, seandainya ada. 3. Meringkas hadits ada seorang perawi yang hafal hadits secara sempuran, akan tetapi dia mencukupkan dengan menyebutkan sepotong dari hadits tersebut pada suatu kesempatan, dan menyebutkannya secara lengkap pada kesempatan yang lain. Contohnya adalah riwayat hadits Abu Hurairah ra tentang kisah lupanya Nabi SAW dua rakaat dalam shalat Dzuhur, dan semuanya (riwayatriwayat itu) datang dari Abu Hurairah, dan itu adalah satu kisah. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan riwayat-riwayat itu, sebabnya adalah sebagian perawi yang meringkas hadits. 4. Kesalahan seorang perawi kadang salah, lalu dia meriwayatkan hadits tidak sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi lain. Dan mungkin untuk mengetahui kesalahan ini adalah dengan saling membandingkan di antara riwayat-riwayat tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh kalangan Ulama di dalam kitab-kitab Sunan dan kitab Takhrij. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab al-Jawab ash-Shahih (3/39):Dan akan tetapi ummat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga untuk mereka apa yang Dia turunkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

) 9/ ( Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan pasti Kami menjaganya.(QS. Al-Hijr: 9) (pula) yang

Maka apa saja kekeliruan yang ada dalam tafsir al-Quran dan penukilan hadits, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membangkitkan dari kalangan ummat ini orang yang akan menjelaskannya (kekeliruan itu), dan menyebutkan bukti akan kekeliruan pelakunya dan kedustaan para pendustanya. Karena umat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan, dan senantiasa di antara mereka ada sekelompok orang yang berada jelas di atas kebenaran sampai datang hari kiamat, karena mereka adalah ummat terakhir, tidak ada Nabi lagi setelah Nabi mereka, tidak ada kitab lagi setelah kitab Nabi mereka. Dan adalah umat-umat sebelum mereka, apabila mereka mengganti dan merubah (kitab mereka) Allah SWT akan mengutus Nabi-Nya yang menjelaskan kepada mereka, memerintah mereka dan melarang mereka. Dan tidak ada setelah Muhammad SAW Nabi lagi.Allah SWT telah menjamin bahwa Dia akan menjaga apa yang Dia turunkan berupa Dzikir (al-Quran dan Hadits). selesai perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan Sunnah -sesuai dengan bentuk yang saya sebutkan di awal, yaitu sebagai wahyu dari Allah- menjelaskan (memperinci) kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka di dalam al-Quran, dan mengajari mereka hukum-hukum yang mereka butuhkan dalan Agama mereka. Dan seandainya perinciannya atau asalnya ada dalam al-Quran, maka kita katakan bahwa Sunnah dalam bentuk yang seperti ini adalah kekhususan Nubuwah, dan ini adalah salah satu tugas dari Nabi SAW. Maka manusia senantiasa memandang Sunnah dalam bentuk seperti ini, dengan apa yang terkandung dalam kitab-kitab Hadits, atau riwayat-riwayat secara lisan berupa perbedaan sebagian lafazh (redaksi). Dan hal tersebut tidak membuat mereka (kaum muslimin) ragu terhadap kedudukannya, atau mereka merasa pusing dalam menghafalnya, atau ragu-ragu terhadap kehujahaanya (kedudukannya sebagai dalil), atau membuat mereka ragu terhadap kebutuhan manusia terhadapnya.27[20] D. KESIMPULAN Maksud dari periwayat hadis dengan lafal adalah dimana dalam meriwayatkan hadis tersebut isi hadis atau matannya sama persis dengan apa yang disampaikannya oleh Rasulullah. sedangkan maksud dari riwayah bil-makna adalah periwayatan hadis yang isi atau matannya

berbeda secara bahasa dari yang disampaikan oleh Rasulullah, namun subtansi hadis tersebut tetap sama. Meskipun dalam sejarah hadis riwayah bil-mana telah diakui terjadi secara besarbesarana, diantara para ulama masih terjadi perbedaan boleh atau tidaknya riwayh bil-mana dilakukan. Bagi sebagian ulama yang menolaknya adalah seperti ulama fiqh dan ulama ushul fiqh (Ibnu Sirin dan Abu bakar al-Razi), Abu Rayyah yang menolak riwayah bil-mana, dengan argumentasi bahwa riwayah bil-mana jurtru akan merusak maksud dari matan hadis dan juga seorang perawi bukanlah sekelompok eksklusif yang tidak menutup kemungkinan mengurangi atau menanmbahi, lupa, lemah ingatanya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama yang membolahkan seperti Ibnu Masud, boleh apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurutkan Rasulullah, dan harus dengan hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama salaf, ulama khalaf di bidang hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat dengan ketentuanya:pertama, bahwa seorang perawi harus memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua, seorang perawi harus mengetahui perubahan makna bila terjadi perubahan lafal.

ulisan ini akan mengenyampingkan perbedaan pendapat tentang pengertian hadis dengan alsunnah. Pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyebutkan bahwa hadis dan alsunnah dua istilah yang semakna.[1] Meskipun diakui pendapat itu memunculkan kritik yang cenderung membedakan antara dua istilah tersebut. Nurcholis Madjid misalnya, dia menilai sunnah lebih luas dari hadis. Pemahaman Rasulullah terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk tradisi atau sunnah kenabian (al-sunnah nabawiyah). Sedangkan hadis merupakan bentuk reportasi atau penuturan tentang apa yang disebabkan Rasulullah SAW atau yang dijalankankan dalam praktik, atau tindakan orang lain yang didiamkan beliau.[2] Dalam ajaran Islam, hadis atau sunnah (selanjutnya disebut hadis) menempati posisi yang sangat penting , yaitu sebagai sumber ajaran kedua setelah Alquran. Jika diskusi lebih spesifik lagi, dari sudut pandang periwayatan, setidaknya ada dua cara periwayatan hadis. Pertama, periwayatan dengan lafaz (dalam tulisan ini disebut pula lafal) , yaitu hadis diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi atau lafal hadis yang diterimanya dari orang yang menyampaikan hadis tersebut kepadanya, tanpa ada perubahan, pengurangan, penambahan, atau perbedaan. Kedua, periwayatan dengan makna, yaitu periwayatan hadis dengan redaksi yang

berbeda dari redaksi hadis yang diterima oleh para perawi, namun isi maksud dan maknanya sama. Terkait dengan hal tersebut tulisan ini akan mencoba menyorot lebih jauh tentang periwayatan hadis dengan makna. Diskusi tentang periwayatan dengan makna sangat terkait dengan hadis qauliyah. Hal ini disebabkan hadis filiyah dan taqririyah redaksinya bukan berasal dari Rasulullah, melainkan dari sahabat yang membuat reportasi kehidupan beliau.
B. Beberapa Penyebab Periwayatan Bil Mana

Pada awal Islam sampai khalifah kedua, hadis tidak ditulis dalam buku-buku yang berjilid. Ketika itu hadis masih merupakan tulisan-tulisan yang terserak pada lembaran-lembaran hati (hafalan). Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa keengganan untuk menulis hadis tersebut disebabkan kekuatiran tercampurnya ayat al-Quran dengan hadis Nabi SAW. Lebih-lebih lagi bagi generasi selanjutnya yang tidak menyaksikan zaman tanzil ( masa turunnya wahyu ), yang tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu, hingga bercampur aduk antara al-Quran dan hadis Nabi SAW.[3] Mengutip Rasm Jafarian, Jalaluddin Rahmat mensinyalir keengganan menulis hadis pada era sahabat tersebut menjadi sebab periwayatan dengan makna. Lebih jauh dia menulis, karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksi hadispun dapat berubah-ubah. Makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.[4] Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, para sahabat menyebarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diketahuinya kepada orang lain baik dengan lapazh sebagaimana ia mendengar/menerima hadis tersebut dari Nabi SAW apabila hadis itu masih melekat pada telinga mereka. Atau mereka menyampaikannya berdasarkan makna yang dikandung hadis tersebut apabila mereka tidak hafal lagi dengan lafaznya.[5] Dengan demikian, faktor terjadinya periwayatan hadis bilmana adalah belum ditulisnya hadis sehingga berlanjut pada faktor ingatan dan hafalan perawi hadis dengan lapaz hadis yang diterimanya. Hal ini dikuatkan lagi dengan pendapat Muhammad Ajjaj al-Khatib, Jika seseorang perawi tidak lupa dengan lapazh hadis, maka ia tidak boleh meriwayatkannya bilmana, sebab kalam Nabi SAW adalah kalimat (perkataan) yang fasih (fashahah) yang tidak terdapat pada perkataan lainnya. Hal ini berarti perawi yang lupa dengan lapazh hadis yang diterimanya boleh meriwayatkan hadis itu dengan maknanya saja, dengan syarat-syarat tertentu.
C. Ketentuan Periwayatan Hadis Bilmana

Keabsahan periwayatan hadis bil mana memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan

alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW. [6] Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan. 2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah. 3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya taabbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami al kalim. 4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata atau atau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan. 5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz. [7]

Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.[8] Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafal dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafal-lafal tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan. Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut.[9] Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil mana , tetapi boleh meriwayatkan bil-lafzh. Imam Asy-Syafii menyebutkan tentang sifat-sifat seorang perawi sebagai berikut :
1. 2. 3. 4. 5. 6. Tsiqah dalam beragama Terkenal kejujurannya dalam periwayatan hadisnya. Mengetahui dengan apa yang diriwayatkannya Mengetahui seluk beluk makna hadis berdasarkan lapazhnya. Terkenal sebagai perawi hadis bil lafzh. Hafal jika ia meriwayatkan hadis dari hapalannya.

7. Hafal dengan tulisannya jika ia meriwayatkan hadis dari catatan (tulisannya).

Selain itu, orang yang mengetahui dengan segala makna hadis dari segi lapaznya, ia boleh meriwayatkannya dengan maknanya saja apabila ia tidak dapat mendatangkan lapazhnya yang asli, karena ia menerima hadis itu dengan lapaz dan maknanya. Namun ia tidak mampu untuk menyampaikan salah satunya (lapazhnya ), maka boleh saja ia meriwayatkan hadis itu dengan maknanya selama dapat menghindari kekeliruan (zalal) dan kesalahan (khatha), Sebab tidak menyampaikan hadis dengan maknanya dinilai menyembunyikan hukum. [10] Dari dua pendapat tersebut, paling tidak menunjukkan satu hal penting bahwa periwayatan hadis secara makna tidak bebas dilakukan oleh para perawi. Meskipun demikian, kebolehan tersebut juga membuka peluang perbedaan dan keragaman susunan redaksi matan. Perbedaan redaksi matan tersebut terjadi terutama karena adanya perbedaan sanad yang disebabkan perbedaan perawi. Perawi yang berbeda akan menyebabkan kemungkinan terjadinya perbedaan dalam menerima suatu riwayat dan perbedaan dalam ketentuan yang dipedomani serta aplikasinya dalam periwayatan hadis secara makna. Sebagai contoh perbedaan redaksi matan yang disebabkan perbedaan sanad adalah hadis tentang niat. Hadis itu ditemui dalam Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Al Tirmidzi, Sunan Al Nasai, Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Ahmad Ibnu Hambal. Sahih Bukhari menyebut hadis tentang niat dalam tujuh tempat. [11] Perbedaan tersebut dapat dilihat sejak awal matan pada empat redaksi hadis berikut : Hadis pertama :[12]

Hadis kedua : [13]

Hadis ketiga : [14]

Hadis Keempat : [15]

Dari empat buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah Umar ibn Al Khathab. Nama-nama perawi dalam sanad hadis tersebut adalah orang yang sama pada tingkatan (thabaqat) pertama sampai dengan keempat, yaitu :
1. 2. 3. 4. 1. Umar ibn al Khathab 2. Alqamah ibn Waqqash al Laitsi 3. Muhammad ibn Ibrahim al Tamimi dan 4. Yahya ibn Said al Anshari

Akan tetapi, terdapat perbedaan perawi pada thabaqat kelima, yaitu :


1. 2. 3. 4. 1. Hammad ibn Zaid 2. Abdul Wahab 3. Sufyan ibn Uyainah 4. Malik ibn Anas

Perbedaan perawi juga terjadi pada thabaqat keenam, yaitu sebelum Bukhari, yaitu :
1. 2. 3. 4. 1. Abu al Numan 2. Qutaibah 3. Al Humaydi Abd Allah ibn Zubair 4. Abd Allah ibn Maslamah

Dengan demikian terlihat bahwa periwayatan secara makna tidak hanya memunculkan perbedaan redaksi, tetapi juga dalam hal pemilihan kata-kata, sesuai dengan perbedaan waktu dan kondisi di mana perawi itu berada.[16] Sangat mungkin, kata-kata tersebut semakna dengan kata-kata yang lazim digunakan pada masa Rasulullah SAW.
D. Status Hadis yang Diriwayatkan Bilmana

Seperti telah disorot pada bagian awal tulisan ini bahwa periwayatan secara makna oleh selain sahabat memunculkan dua pendapat yang berbeda, yaitu pendapat yang membolehkan serta pendapat yang melarang periwayatan secara makna. Ibnu Sirin, Salab, Abdullah bin Umar dan Abu Bakar Razi merupalam tokoh yang tidak membolehkan sama sekali periwayatan hadis secara makna. Mereka yang menolak periwayatan hadis dengan makna mempunyai dalil seperti sebuah hadis yang diriwayatkan at Turmudzi, dan diriwayatkan pula oleh Ahmad bin Hanbal, Ibn Majah dan Ibnu Hibban.

Menceritakan kepada kami Mahmud bin Gailan, menceritakan kepada kami Abu Daud, mengabarkan kepada kami Syubah dari Simak bin Harb, ia berkata, aku mendengar Abd Rahman bin Abdullah bin Masud menceritakan dari ayahnya, katanya, aku mendengar Nabi SAW bersabda, Allah mempercantik rupa seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar. Banyak sekali orang yang menyampaikan lebih mengerti daripada orang yang menerimanya Selain dalil naqli tersebut, mereka juga mengemukan dalil rasional untuk menentang periwayatan hadis dengan makna. Pertama, periwayatan dengan makna dapat memunculkan perbedaan pengertian lafal yang disampaikan perawi dengan lafal aslinya. Sementara perawi tersebut menganggap perbedaan tersebut tidak ada. Kedua, jika seorang perawi boleh mengganti lafal yang diucapkan Rasulullah dengan lafalnya sendiri, tentunya, perawi berikutnya dapat mengganti lafal yang didengarnya dengan lafalnya sendiri. Jika kita berasumsi sama dengan pendapat yang melarang periwayatan secara maknawi, maka bisa disepakati bahwa hadis yang diriwayatkan dengan makna oleh selain sahabat patut diduga sebagai hadis dhaif. Akan tetapi, pendapat yang populer mengungkapkan bahwa keshahihan sebuah hadis berdasarkan cara periwayatan hadis bilmana atau billafazh bukanlah sebuah persoalan, asal perawi yang meriwayatkan hadis tersebut memenuhi syarat-syarat tertentu seperti yang telah disebutkan di atas. Tokoh-tokoh yang membolehkan periwayatan hadis dengan makna ini antara lain ialah Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Anas bin Malik, Abu Darda, Wasilah bin al Asqa, Abu Hurairah, Hasan al Bashri, asy Syabi, Amr bin Dinar, Ibrahim an Nakhai, Mujahid dan Ikrimah. Mereka tidak hanya sekedar membolehkan, tetapi juga meriwayatkan dengan makna.[17] Dengan demikian, dapat diduga bahwa sebenarnya ulama yang membolehkan periwayatan dengan makna bukan berarti tidak waspada terhadap kemungkinan pemalsuan hadis, mereka sangat waspada dan mengkhawatirkan akan terjadinya kekeliruan dalam periwayatan hadis dengan makna sehingga mereka menetapkan syarat-syarat yang berat. Jika sepakat dengan pendapat tersebut, maka kesahihan hadis tidak dilihat dari bentuk periwayatannya, lafaz atau makna. Sehingga hadis yang diriwayatkan dengan makna atau dengan lafaz bisa shahih bisa juga dhaif. Hadis tersebut harus dilihat dari syarat-syarat kesahihahan sebuah hadis. Dengan mengutip Hasby As Shiddieqy, bisa dipahami bahwa hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanadnya dengan riwayat orang yang dipercaya (tsiqah ) dari orang yang terpercaya sejak awal sampai akhir tanpa ada syadz tanpa ada Illat. Sedangkan hadis hasan adalah hadis yang selamat lafaznya dari keburukan susunan. Selamat maknanya dari menyalahi ayat atau khabar muttawatir, dan isnadnya bersambung dengan orang yang adil dan dhabit. [18] Jika dilihat dari sudut redaksi matan, periwayatan hadis dengan makna dapat ditolak jika matan hadis tersebut memiliki kelemahan kalimat, lemah dari segi makna, jelas bertentangan dengan

Alquran, berlebihan tentang pahala dan dosa, dan bertentangan dengan sejarah di masa Rasulullah SAW. [19] D. Penutup Tulisan ini menawarkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis. 2. Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna, namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafal lebih diprioritaskan.

Dafar Pustaka A. Hafiz Anshary AZ, Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna, dalam Khazanah Nomor 54 Oktober Desember 2000, IAIN Antasari, 2000 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2000 Ahmad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1995 Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, III, VII dan VIII, Dar el Fikr, Beirut, tth. Fatcthur Rahman, Ikhtisar Musththalahul Hadis, Al Maarif, Bandung, 1974. Jalaluddin Rahmat, Dari Sunnah ke Hadis atau Sebaliknya, dalam Budhy Munawar Rachman (ed), Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995 Mahmud Yunus, Ilmu Musthalah al Hadis, Al Maktabah al Sadiyah Putra, 1950 Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, Jakarta, 1999 Muhammad Ajjaj al Khatib, Ushul al Hadis, Dar al Fikr, 1989 Nawer Yuslem, Ulumul Hadis, Mutiara Suber Widya, Jakarta, 2001 Nurcholis Madjid, Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadis Implikasinya dalam Pengembangan Syariah, dalam Budhy Munawar Rachman (ed), Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995 TAMBAHAN : Dalam hal meriwayatkan hadist dengan makna ada beberapa pendapat ulama :

1. Boleh dilakukan demikian oleh orang yang benar-benar mengetahui makna lafaz. Sebagian ulama membolehkan jika khabar itu bukan dari jawamiul kalim . Kalau dari jawamiul kalim tidak boleh. 2. Tidak boleh meriwayatkan dengan maknanya. Wajib dinukilkan lafal baik oleh yang mengetahui maupun yang tidak. Inilah mazhab Malik. Namun dipandang menyempitkan keadaan karena para salaf juga sering meriwayatkan hadits dengan makna. Bahkan sahabat ada yang meriwayatkan hadits dengan suatu lafaz dan pada waktu lain dengan lafaz berbeda 3. Dibedakan pada lafal yang bisa ditakwil dan tidak bisa ditakwil. Apabila tidak bisa ditakwil boleh, sementara bila bisa ditakwil tidak boleh dengan lafal 4. Tidak boleh jika masih hapal lafal hadits dan boleh jika tidak hapal. Ini pendapat al Mawardy dan al Ruyani 5. Boleh meriwayatkan dengan makna jika yang diriwayatkan itu perintah atau larangan, tidak boleh jika pekabaran; umpamanya sabda Rasululah :

Jangan kamu menjual emas dengan emas Bunuhlah lipan dan ular dalam sembahyang Hadits pertama boleh diriwayatkan dengan lafal : . . Bahwasanya Nabi SAW mencegah menjual emas dengan emas . . Bahwasanya Nabi SAW memerintahkan membunuh lipan dan ular dalam sembahyang
1. Boleh pada lafal yang muhkam, tidak boleh pada lafal mujmal, musytarak dan majaz yang tidak mashur 2. Boleh dengan makna jika bermaksud mengemukakan hujjah, tapi tidak boleh jika dimaksudkan menyampaikan riwayah. 3. Tidak boleh dengan makna kalau nabi menyebut sesuatu jumlah yang mengandung makna, jika jumlah itu tidak dipahamkan oleh orang umum sebagaimana dimaksudkan Nabi, karena disampaikan dalam lafaz yang lain.

4. TAHAMMUL WA AL-ADA' (metode penerimaan hadits dan penyampaiannya)


5. 6. 7. 8. 9. TAHAMMUL WA Al-ADA (Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya) A. Pendahuluan Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-

kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits. 10. Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmuilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama. 11. Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan. 12. Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap hadits menjadi shahih, hasan, dhaif dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu dan lain-lain. 13. Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa adaul hadist yang akan kita bahas dalam makalah ini. 14. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, penulis juga akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits 15. 16. B. Pengertian Tahammul wa al-Ada 17. Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad Ajaj alKhatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. 18. Al-Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. 19. 20. C. Syarat Penerima Hadits dan Penyampaiannya 21. 1. Kelayakan Tahammul 22. Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabiin dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Said al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.[5]

23. Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Nuruddin Itr menyimpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.[6] 24. Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:[7] 25. Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-Rabi ra, katanya : Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun. 26. Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar. 27. Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun. 28. Mengenai penerimaan hadits bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama menganggap sah, asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Rasulullah sebelum mereka masuk Islam. Salah satu sahabat yang mendengar sabda Rasululllah sebelum masuk Islam adalah Zubair. Dia pernah mendengar Rsulullah membaca surat Ath-Thur pada waktu sholat maghrib ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badr. Pada saat itu, dia dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia massuk Islam, bila penerimaan hadist oleh orang kafir yang disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah tentu penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertobat dianggap sah.[8] 29. 2. Kelayakan Ada 30. Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:[9] 31. a. Islam 32. Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya: 33. : ) 6(

34. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6) 35. Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya. 36. b. Baligh 37. Ini merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud. 38. , , ( ) 39. Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud) 40. Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin. 41. c. Sifat Adil 42. Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkaraperkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar. 43. d. Dhabt 44. Dhabtu adalah:[10] 45. 46. Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan 47. Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya. 48. Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwavat pada umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun bila banyak berbeda dan sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah. [11] 49.

50. D. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya[12] 51. a. As-Sima, ( , mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. 52. Menurut M.M.Azami metode as-sama ini ada beberapa bentuk:[13] 53. a. Penyampaian hadist secara lisan oleh guru 54. b. Pembacaan dari kitab 55. c. Tanya-Jawab 56. d. Dikte 57. Cara as-sama ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayat.[14] Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: atak naanuggnep satilauk toboB . -kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian atak halada aynnasalA . menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata tapad isis utasid saja lebih tinggi kualitasnya daripada , karena kata bias berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan samitu tadi. Seangkan kata , memberi petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan [51].tubesret , 58. Kata Kana, Yakulu, Fala, Haddatsa, Zakara, Qala Fulan, atau yang serupa dengannya diperselisihkan dalam penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat cara-cara tersebut menunjukkan periwayatan secara as-sima. Sebagian lagi berpendapat kata-kata tersebut menunjukkan cara as-sima bila di dalamnya tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis) oleh periwayat yang menggunakan kata-kata dimaksud, pendapat yang terakhir ini menyamakan cara tersebut dengan penggunaan kata an.[16] 59. b. Al-Qiraah ala asy-Syaikh ( , membaca di hadapan guru). Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnya( menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Quran kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak absah. Ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad keduaMayoritas ulama memperbolehkan metode ini. Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan

menerimanya. Sandaran ulama dalam memperbolehkan metode ini adalah hadits Dhammam ibn Tsalabah, bahwa is berkata kepada Rasulullah SAW : 60. Apakah Allah memerintahkan kepadamu untuk melakukan sholat lima waktu? Beliau menjawab : Benar. Mereka mengatakan : Itu adalah bacaan di hadapan Nabi SAW. Dhammam membcakan khabar tentang hal itu kepada kaumnya, lalu mereka memperbolehkannya. 61. Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah [71] 62. c. al-Ijazah ( , sertifiksi atau rekomendasi) 63. Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: 1] .(ukirad naktayawir umak kutnu umadapek nakhazajignem uka) 8] 64. Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengannaskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ibn Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain. Semuanya memperbolehkan mengamalkan ijazah dan mmyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya. Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz atau kitab. 65. Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku. Inilah yang mereka sebut dengan Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu pula. Sebagian ulama menyebutkan delapan jenis ijazah. Bahkan ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis. 66. 67. d. Al-Munawalah ( ) 68. Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[19] M. Ajaj al-Khatib memberikan defeni seorang guru memberikan beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya.[20] Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : Inilah haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama memperbolehkan metode ini. sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama ahli hadits dalam menerima munawalah ini. Bahkan ada yang menjadikan Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah setingkat dengan as-Sima. Namun yang benar menurut Muhammad Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di bawah tingkat as-Sima dan al-Qiraah. Al-Qadhiy Iyadh dan al-Iraqiy juga

mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah ini. Tak seorang pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti halnya dalam ijazah. 69. Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah [ 21] 70. Hujjah yang digunakan ulama dalam memperbolehkan metode munawalah adalah hadits Rasulullah SAW bahwa beliau berkirim surat kepada panglima perang, seraya bersabda : Jangan kamu baca kecuali setelah sampai di tempat ini. Dan ketika sampai di tempat yang dimaksud, ia membacanya dan memberitahukan kepada orang-orang tentang apa yang diperintahkan Nabi. 71. e. Al-Mukatabah ( ) 72. Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.[22] Lafadz yang digunakan adalah [23] 73. Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah [ 24] 74. Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkannya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin dan mutaakhkhirin. 75. f. Ilam asy-Syeikh ( ) 76. Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqaddimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama mutaakhkhirin. 77. Menurut M. Ajaj al-Khatib, ia tidak menemukan seorang pun yang menerima riwayat dengan cara ini pada masa-masa terdahulu selain Ibn Juraij dan yang menerima dengan cara itu harus menjelaskannya sewaktu menyampaikan. Misalnya mengatakan: Fi Ma Alamani Syaikhi, atau ungkapan lain yang senada. [25] 78. g. A I- Washiyyah ( ) 79. Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama mutaakhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang

wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub asSakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya.[26] 80. Penyampaian riwayat yang diterima dengan cara wasiat menurut yang memperbolehkannya adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu menyampaikannya. Misalnya perawi mengatakan: Telah mewasiatkan kepadaku Fulan, mengatakan telah memberikan khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat, atau saya menemukan dalam wasiat Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan kepadanya begini-begini. Ternyata kami tak menemukan seorang pun dari ulama mutaqaddimin yang meriwayatkan dengan cara wasiat. 81. h. Al-Wijadah ( , penemuan) 82. Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayatkan dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian periwayatan dengan metode wijadah ini pada masa klasik amat langka. Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab. Bahkan sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: Jangan kalian membaca al-Quran dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah. Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dhaif periwayatan dari kitab-kitab.[27] Lafadz yang digunakan atau . 83. 84. E. Periwayatan Hadits: Antara bi al-Lafzh dan bi al-Mana 85. Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadist, hadist Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadist atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[28] Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[29] 86. Sementara secara istilah ilmu hadist, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah: Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah

melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadist yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadist itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. 87. Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadist Nabi, yaitu: (1) orang yang melakukan periwayatan hadist yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang diriwayatkan (al-marwiy), (3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad), (4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadist (at-tahamul wa ada al- Hadist). 88. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa salah satu tugas perawi adalah menjelaskan bentuk tahammul yang digunakan untuk menerima apa yang diriwayatkannya. Kita juga mengenal semangat dari ulama hadits terhadap hal itu. Di samping bersemangat menjelaskan bentuk tahammul hadits sewaktu menyampaikannya, ulama juga bersemangat untuk menyampaikan hadits persis seperti yang mereka dengar tanpa penggantian dan perubahan sedikit pun. Sebagian ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul bersikap ketat. Mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz, dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali. Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia diperbolehkan meriwayatkan dengan makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat, ia bisa menghindari perubahan makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandurg didalamnya. Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata yang bisa merubah makna maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikannya riwayat dengan lafadz seperti yang didengarnya.[30] 89. Seperti sudah disinggung dalam pendahuluan dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. 90. 1. Periwayatan Hadist dengan Lafadz. 91. Periwayatan hadist dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Di antara ulama yang menekankan periwayatan hadist dengan lafaz dan menolak periwayatan hadist dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja ibn Hayuh.[31] Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadist kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya.[32] Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai Madzhab Pengikut Lafadz yang Ekstrim.[33] 92. 93. 2. Periwayatan Hadist dengan Makna.

94. Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi.[34] Dan periwayatan hadist bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadist qauly atau perkataan Rosulullah yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi saw. 95. Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadist bi al-Makna memberikan persyaratan khusus, yaitu: Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadist yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya.[35] Kedua, perawi benar-benar lupa lafazhnya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh hadist itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami alkalim) dan Keempat, memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.[36] 96. Disamping pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa Ala al-Sunnah alMuhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadist-hadist Rasulullah baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah Nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa periwayatan hadist dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai dengan ucapan Nabi.[37] 97. Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadist dan nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat tentang tidak bolehnya periwayatan hadist oleh perawi yang tidak mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan periwayatan hadist dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat. 98. Dari sini, jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah makna boleh meriwayatkan hadits secara makna, bila ia tidak ingat kata-kata persisnya. Karena ia telah menerima kata dan makna. Namun karena ia tidak mampu menyampaikan salah satunya, maka tidak ada halangan meriwayatkannya secara makna selama ia aman dari keterpelesetan dan kekeliruan. Bahkan Imam al-Mawardiy mewajibkan seseorang menyampaikan dengan makna bila ia telah lupa akan lafadznya. Karena bila tidak, maka ia termasuk menyembunyikan hukum. Kemudian beliau berkata: Namun bila ia tidak lupa akan lafadznya, maka tidak boleh baginya menyampaikan selainnya. Karena kalam Nabi SAW mengandung fashahah yang tidak dimiliki oleh kalam lainnya. Yang memperbolehkan periwayatan dengan makna hanya memperbolehkannya bagi orang yang benar-benar mengerti, di samping dengan syarat yang diriwayatkan bukan kata- kata yang merupakan bacaan ibadah atau ungkapan ungkapan Nabi SAW yang jami (padat makna). Sebenarnya kita juga telah menyaksikan hal itu pada praktek sahabat, tabiin dan ahli hadits sesudah mereka. Mereka tidak beralih dari redaksi aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan mengenai keadaan, peperangan ataupun peristiwa tertentu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang sangat berhati-hati, dan seusai meriwayatkan

mereka mengatakan : au kama qala (atau seperti yang disabdakan Nabi), au nahwa hadza ( ) atau ungkapan sejenis, atau au syibhahu ( ( ) atau ungkapan yang serupa), seperti yang dipraktekkan oleh Abdullah ibn Masud, Abu ad-Darda, Anas ibn Malik dan lain-lain. Karena itu, seusai meriwayatkan hadits harus mengatakan : au kama qala ( ) atau yang sejenis, sebagai sikap hati-hati bila yang diriwayatkannya itu merupakan riwayat dengan makna.[38] 99. 100. F. Kesimpulan 101. Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-Ada adalah adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. 102. Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz. 103. Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam tahammul al-ada adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima, al-Qiraah ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, Ilam asy-Syaikh, al-Washiyyah, alWijadah.

PERIWAYATAN HADIS SECARA LAFAZ DAN MAKNA

A. Pendahuluan

Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadis memiliki kedudukan yang penting bagi umat Islam. Malahan, hadis menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama dan umat Islam, pelbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadis. Ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis dalam rangka upaya untuk memahami hadis dalam lingkup Ulumul Hadis28[1]. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.

Salah satu cabang ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis adalah tahammul wa adaul hadis. Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis29[2]. Muhammad Ajaj al-Khatib memberikan defenisi tahamul dengan kegiatan menerima dan mendengar hadis30[3]. Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadis dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadis. Menurut Nuruddin Itr , ada adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain31[4]. Jadi ada merupakan proses menyampaikan dan meriwayatkan hadis. Dalam periwayatan hadis tersebut, menerima (tahammul) maupun menyampaikan (ada), ada yang dilakukan dengan lafzi atau manawi. Lebih lanjut cara periwayatan hadis ini akan penulis bahas pada makalah ini, disertai dengan kedudukannya dalam periwayatan, apakah boleh atau tidaknya periwayatan manawi, serta syarat yang harus dipenuhi dalam periwayatan manawi.

B. Pengertian Periwayatan Hadis

Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan32[5]. Sesuatu yang di riwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat33[6].

Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan34[7]. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis. Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan. Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya35[8]. Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut: 1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan (periwayat) 2. Apa yang diriwayatkan 3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad) 4. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan rawi

5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).

C. Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafzi)

Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad SAW bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan maknawi36[9]. Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW. Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa, seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad SAW37[10]. Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:

Artinya: Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya seperti yang ia dengar, maka ia telah selamat38[11]

Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi sebagai berikut:

( Saya mendengar)
Contoh:

: : ) (
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka. (HR. Muslim dan lain-lainnya)

( ia menceritakan kepadaku)
Contoh:

:
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.

( Ia memberitakan kepadaku) ( Saya melihat)

Contoh:

: ) (
Artinya: Dari Abbas bin Rabi ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf. D. Periwayatan dengan mana (riwayat bil mana)

Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi. Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna39[12].

Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Maluf adalah proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu40[13]. Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadishadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap. Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna41[14]. Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda (wafat 32 H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin alKhattab dan Zaid bin Arqam42[15]. Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut: a. Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis filiyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.

b.

Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis

c.

Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya43[16]. Adapun contoh hadis manawi adalah sebagai berikut:

: , , ) ( ,
Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Alquran.

Dalam satu riwayat disebutkan: Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.

Dalam riwayat lain disebutkan: Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.

Dan dalam riwayat lain disebutkan: Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran. (Al-Hadis)

E. Hukum Periwayatan Hadis secara Makna

Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan hadis secara makna. Perselisihan itu terjadi sebelum dikodifikasinya hadis. Sedangkan setelah pentadwinan dengan berbagai karangan-karangan buku hadis maka tidak boleh adanya periwayatan hadis secara makna44[17]. Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara makna. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadis dengan maknanya sekali-kali. Sedangkan jumhur ulama, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan hadis secara makna bagi yang mempunyai ilmu terhadap lafaz-lafaz hadis dengan catatan bukan hadis yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah45[18]. Ulama-ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau

meriwayatkan hadis dengan pengertiannya tidak dengan lafaz aslinya. Apabila ia seorang yang menguasai ilmu Bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafaz-lafaz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadis tersebut dan wajib menyampaikan dengan lafaz yang ia dengar dari gurunya. Imam Syafii menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang

memalingkan makna dari lafaz dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna. Apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya. Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi lafaz yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafaz dan maknanya. Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya apabila lupa lafaznya, khawatir apabila hadis itu tidak disampaikan, kita termasuk golongan yang menyembunyikan hadis. Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadis itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode sahabat dan tabiin, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadis harus memakai kata-kata

dan serta yang serupa dengannya.

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan maknanya itu sebagai berikut: 1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadis, ahli fiqh dan ushuliyyin. 2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu. 3. Diperbolehkan, baik hadis itu marfu atau bukan asal diyakini bahwa hadis itu tidak menyalahi lafaz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hads itu dapat mencakup dan tidak menyalahi. 4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafaz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya. 5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadis itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafaz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafaz dengan murodif-nya.

6. Jika hadis itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadis mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan: a. Hanya pada periode sahabat

b. Bukan hadis yang sudah didewankan atau di bukukan c. Tidak pada lafaz yang diibadati, umpamanya tentang lafaz tasyahud dan qunut.

F. Syaratsyarat Periwayatan Secara Makna

Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.

Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu : 1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan. 2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah. 3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya taabbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami al kalim. 4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata

atau atau yang semakna dengannya

setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan. 5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.

Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-lafaz tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan. Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil mana, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh.

G. Kesimpulan

Dari kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut : 1. Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan hadis secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf. 2. Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan bahasa) disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadis secara makna. 3. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis. 4. Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna, namun menuntut

persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafaz lebih diprioritaskan dan diutamakan.

5. Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum mencukupi sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini untuk menjaga supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau merubah (memalingkan) isi hadis tersebut. 6. Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan melakukan periwayatan secara makna.

Demikianlah makalah ini penulis buat, kritik dan saran dari pembaca merupakan sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushulul Hadis: Pokok-pokok Ilmu Hadis, 2001, Jakarta: Gaya Media Pratama Al-Ramaharmuzi, al-Muhaddits al-Fashli Baina al-Rawi wa al-WaI, 1984. Beirut: Dar al-Fikri. Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang Itir, Nuruddin, Manhaj al-Naqdi fi Ulumul al Hadis, 1997, Damaskus: Dar el Fikri Jasim, Abdul Aziz Ahmad, Hukmu Riwayat Hadi

Anda mungkin juga menyukai