Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Al Ada wa Tahammul

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Ilmu Hadis
Diampu Oleh : Ikhrom, M. Ag

Disusun Oleh :

Sholikin

: 113911147

Tarsoni

: 113911148

Muhamad Khayat

: 113911149

Nor Rifan

: 113911150

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PGMI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2012

Kata Pengantar
A. Pendahuluan
Hadis Nabi Saw. merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran yang
dihadirkan sebagai salah satu petunjuk bagi umat Islam dalam menjalankan tuntunan
agamanya. Keberadaan hadis dalam kehidupan masyarakat sangatlah penting tatkala
dalam al-Quran tidak didapatkan penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan.
Namun, kehadiran hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam, memang banyak
dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang
kesemuanya menjadi penentu boleh atau tidaknya suatu hadis untuk dijadikan hujjah.
Hal ini yang menyebabkan ijtihad para ulama hadis bisa melahirkan dua komponen
ilmu dalam mempelajari, memahami, menganalisa dan mengamalkan hadis Nabi saw,
yaitu yang dikenal dengan ilmu riwayah dan ilmu dirayah hadis. Keduanya tidak
dapat dipisahkan sebagai dasar untuk mengetahui otentisitas hadis.
Di awal masa Islam sudah timbul perbedaan pemahaman dalam penyampaian
redaksi hadis yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual
sehingga melahirkan apa yang disebut dengan periwayatan hadis bi al-lafi wa almana. Pada tingkat selanjutnya ada permasalahan dalam tata cara penerimaan dan
penyampaian hadis yang dikenal dengan istilah tahammu al-hadis wa adauhu, yang
bisa menentukan kualitas sebuah hadis karena terkait dengan orang yang
meriwayatkannya. Dalam makalah ini kami akan mendeskripsikan dan menganalisa
lebih jauh tentang tahammu al-hadis wa adauhu. Kami berharap persembahan
makalah yang singkat ini dapat membuka wawasan bagi kita untuk memahami hadis
khususnya permasalahan yang berkaitan dengan penyampaian priwayatan hadis.
B. Rumusan Masalah
1. Proses Ada wa tahammul al-hadis
2. Syarat Mutahammil dan Muaddi

3. Komponen-komponen dalam proses Mutahammil dan Muaddi


4. Metode PTH dan perbedaanya
C. Pembahasan
1. Proses Ada wa Tahammu Al-Hadis
Menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru
dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis sering disebut dengan
istilah al-tahammul, sedangkan menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada
orang lain di istilahkan dengan nama al ada.1
a. Penerimaan Anak-Anak Orang Kafir dan Orang Fasik
Jumhurul ulama berpendapat, bahwa penerimaaan periwayatan suatu
hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum Mukallaf) dianggap syah
bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu
sudah mukalaf. Hal ini di dasarkan pada keadaan para sahabat, tabiin, dan
ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis sepertyi Hasan, Abdullah
bin Zubair, Ibnu Abbas, Numan bin Basyir, salid binYazid dan lain-lain tanpa
mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka
berbeda pendapat menganai batas minimal usia anak yang di perbolehkan
bertahamul.
Al Qadhi Iyad menetapkan, bahwa usia minimal diperbolehkan
bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun. Karena pada saat itu anak
sudah mampu menghafal dan mengingat apa ia dengar. Pendapat ini

Suparta Munzier; Ilmu Hadis; hal:

didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori 2 dari sahabat
Muhammad bin Rubai:


Saya ingat Nabi SAW. Meludahkan air yang diambilnya dari timba ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun.
Abu Abdullah Al Zubai, sebaiknya anak diperbolehkan menuliskan hadis
pada saat mereka telah mencapai usia sepuluh tahun, sebab pada masa itu akal
mereka telah dianggap sempurna, dalam arti mereka telah mampu menghafal
dan mengingat apa yang telah ia dengar serta telah menginjak masa dewasa.
Sementara ulama Syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk
meriwayatkan hadis setelah berusia 30 tahun, dan ulama Khufah berpendapat
minimal usia 20 tahun.3
Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan pada batasan usia bagi
anak untuk bertahmmul akan tetapi menitikberatkan pada tingkat ke- tamyisan mereka. Namun mereka juga berbeda pendapat mengenai ke- tamyis-an
tersebut. Menurut Imam Ahmad bahwa ukuran tamyis adalah adanya
kemampuan menghafal yang di dengar dan meningat yang di hafal. Ada juga
yang mengatakan ukuran tamyis adalah kemampuan anak memahami
pembicaraan dan menjawab pertanyaan dengan benar atau tidak. Perbedaan
ulama tentang masalah ke- tamyis-an seseorang tidak terlepas dari kondisi
yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan pada usia. Sebab bisa
saja pada usia yang sama seseorang sudah mumayis karena keadaan dan
2

Nama lengkapnya Imam Bukhari ialah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughairah bin Bardizab, Al-Jufi
Al Bukhari. Jufi adalah nama daerah di negeri Yaman, Mughirah adalah nama kakeknya yang sangat disegani di
daerah itu. Seluruh keturunannya berbangga dengan daerah itu dan di pakai sebagai pelengkap nama-namnya
termasuk Imam Al-Bukahri.
3
Ulama Khufah dalam kehidupan sehari-hari tidak mengizinkan putera-puteranya untuk belajar hadis sebelum
mereka berusia 30 tahun. Untuk usia di bawah itu disibukkan dengan menghafal Al-Quran, belajar ilmu faraid,
fiqih dan lain-lain. Lihat Al-Syuyuthi, tadrib Al-Rawi, Jilid 2, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), hal 5.

situasi yang terjadi pada individu tersebut. Oleh karenanya ke- tamyis-an
seseorang bukan diukur dari usia tetapi dari tingkat kemampuan anak tersebut
menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan
dengan benar serta adanya kemampuan menghafal yang di dengar dan
mengingat yang di hafal.
b. Penerimaan Orang Kafir dan Fasik
Mengenai penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhurul
ulama ahli hadis berpendapat sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan
kepada orang lain pada saat mereka masuk Islam atau sudah bertaubat. Alasan
yang mereka kemukakan karena banyaknya kejadian mereka saksikan dan
banyaknya sahabat Nabi SAW sebelum mereka masuk islam. Pernyataan ini di
dasarkan pada firman Allah dalam surat al hujurat ayat 6




Artinya:
kepadamu

Hai

orang-orang

orang

fasik

yang

membawa

beriman,

jika

suatu

berita,

datang
Maka

periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu


musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
(Q.S Al Hujurat:6)
Diantara sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka
masuk Islam adalah sahabat Zubair. Dia pernah mendengar Rasul saw
membaca surat At Thur saat shalat maghrib, ketika ia tiba di Madinah untuk
menyelesaikan urusan perang Badar dalam keadaan masih kafir. Akhirnya ia
masuk Islam.

Menerima hadis hanya sebatas menyimpan tidak ada

pengaruhnya sama sekali dalam hadis baik dari lafdzi maupun maknawi.

Untuk lebih jelasnya akan kami bahas dalam syarat mutahammil dan muaddi
berikut ini.
2. Syarat Mutahammil dan Muaddi
a.

Syarat Mutahammil
Mutahammil adalah orang yang menerima Hadis dari Rasulullah,

sebagai seorang penerima hadis tidak mempunyai banyak pengaruh terhadap


matan hadis itu sendiri, karena ia hanya sebagai perekam dan penyimpan apa
yang telah nabi lakukan pada saat itu. Persyaratan yang harus dipenuhi bagi
seorang mutahammil hanyalah mumayis. Karena ringannya tugas yang ia
emban maka tidak banyak pula ketentuan yang mesti dipenuhi, pembahasan
tentang mumayis telah dibicarakan pada bab penerimaan hadis bagi anak-anak
dan orang fasik diatas.
b. Syarat Muaddi
Muaddi

mempunyai

peranan

penting

dalam

penyampaian

dan

periwayatan sebuah hadis maka jumhurul ulama ahli hadis menetapkan


beberapa persyaratan bagi seorang muaddi, adapun syarat tersebut adalah:
a. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadis, maka seorang perawi harus
beragama Islam, dan menurut ijma, periwayatan orang kafir tidak syah.
Meskipun orang kafir tersebut tidak berdusta. Seandainya perawinya fasiq kita
disuruh bertawaquf, Allah menyuruh kita untuk berhati-hati menerima
riwayat orang fasiq maka lebih-lebih perawinya adalah seorang yang kafir hal
di dasarkan pada firman Allah yang telah kami sebutkan ayatnya pada bahasan
penerimaan hadis oleh anak-anak dan orang fasik.
b. Baligh
6

Yang dimaksud dengan baligh adalah perawinya cukup usia ketika


meriwayatkan suatu hadis, meskipun penerimaanya sebelum baligh. Hal ii di
dasarkan pada hadis Nabi SAW yang bebunyi:

( )

Artinya: Hilang kewajiban menjalankan syariaat islam dari tiga golongan


yaitu: orang gila, sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai ia bangun dan
anak-anak sampai ia mimpi. (HR. Abu Dawud dan Nasai).
Para mutaakhirin mensyaratkan bulugh (sampai umur dan akal para
mautaqadimin mensyaratkan akal saja).5 Para ulama tidak menerima riwayat
anak kecil, karena anak kecil belum menyadari akibat berdusta, dan syara
tidak memebenarkan anak kecil menjadi wali terhadap dirinya dalam urusan
keduniaan. Maka dalam urusan akhirat tentulah lebih utama.
c. Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa,
menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya,
menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, serta menjauhkan
diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik.6 Adil dalam
konteks riwayat, mereka dapat diterima tanpa persyaratan-persyaratan adil,
dan menyakini mereka sebagai orang-orang yang bersih tanpa ada prasangka
mereka melakukan sesuatu yang tercela. 7 Kita tidak perlu terpengaruh oleh
apa yang telah disebutkan ahli sejarah mengenai adanya sahabat yang
bertingkah laku kurang baik.
4

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz. 4 (suriyah: Dar Al-Hadis, 1974), cet. Ke- 1, hal. 559. Hadis
nomor 4.4-2.
5
Baca Badaiush Shanai 2:266, 9:94,
6
Suparta Munzier; Ilmu Hadis; hal. 207
7
Muhammad Alawi Al Maliki; Ilmu Ushul Hadis; hal. 171

Keterangan yang semacam itu tidaklah benar. Adil adalah perangai yang
senantiasa menunjukkan pribadi dan muruah (menjauhkan diri dari tingkah
laku yang tidak pantas dilakukan). Yang dimaksud adil di sini adalah adil
dalam meriwayatkan hadis, yaitu orang islam yang mukalaf (cakap bertindak
hukum) yang selamat dari fasiq dan sifat-sifat rendah. Oleh karena itu orang
kafir, fasiq, gila, dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak termsuk orang
yang adil. Sedangkan perempuan, budak dan anak yang sudah mumayis bisa
digolongkan orang yang adil bila memenuhi kriteria tersebut.8 Sifat-sifat adil
perawi sebagaimana dimaksud dapat diketahui melalui:
1.

Popularitas keutamaan perawi dikalangan ulama ahli hadis;


perawinya yang terkenal dengan keutamaan pribadinya;

2.

Penialian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan


kekurangan yang ada pada diri perawi dimkasud;

3.

Penerapan kaidah al-jarh wa al-tadil, bila tidak ada kesepakatan


diantara kritikus perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi
tertentu.9

d. Dhabit
Dhabit adalah


Perawi teringat kembali saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis
yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.

Op.cit; hal. 52
Ketenteuan ini adalah ketentuan Ibn Abd-Bar yang memang sedikit longgar. Bila memang seorang
perawi hadis tidak masthur dan/atau juga tidak ada penilaian dari para peneliti hadis ataupun kritikus
hadis yang lain, maka Ibn Abd-Bar menyatakan bahwa: Setiap orang yang menjaga ilmu dan dikenal
sebagai pecinta ilmu maka ia di anggap adil selamanya samapi diketahui kecacatannya atau
kekurangannya yang menjadikan kualitas hadis menurun. Akan tetapi pendapat ini kurang diterima
oleh ulama lain. Lih Al-Nawawi, Syarh Muslim bi Syarh Al- Nawawi
9

Dlabit, maksudnya tidak bertentangan dengan orang-orang yang sudah


terpercaya dan Rawi benar-benar menghafal apa yang didengarnya dan
sanggup mengemukakan hafalannya kapan saja.10
Penetapan kedlabitan rawi juga dapat ditentukan dengan cara : periwayatan
rawi banyak yang sama dengan periwayatan kebanyakan Muhadditsin.11
Jalan mengetahui ke-dhabit-an dengan jalan Itibar terhadap beritaberitanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Dalam
hal ini dhabit dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.

Dhabit hati: seseorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu


menghafal setiap hadis yang di dengarnya dan sewaktu-waktu ia dapat
mengutarakan atau menyampaikannya.

2.

Dhabit kitab: seseorang dikatakan dhabit kitab apabila setiap hadis yang
ia riwayatkan tertulis dalam kitabnya yang sudah ditashih (diteliti
kebenarannya) dan selalu di jaga.12 Ada yang mengatakan, bahwa
disamping syarat-syarat diatas, antara perawi dan perawi yang lain harus
bersambung, hadis yang di sampaikan tidak syadz, tidak ganjil dan tidak
bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat ayat-ayat Al Quran.
Jika banyak perbedaan dengan riwayat orang lain, maka riwayatnya tidak
di terima.

3. Komponen-komponen dalam Proses Penerimaan dan Periwayatan Hadis


Menerima dan meriwayatkan hadis bukanlah suatu perkara yang mudah,
karena ada persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses ini. Beberapa hal
yang harus dipenuhi bagi seorang Mutahammil adalah sanad dan matan.
Dalam pembahasan hadis sanad dan matan merupakan dua unsur penting
yang menentukan keberadaan dan kaulitas suatu hadis sebagai sumber otoritas

10

Tafsir Mustahal Al Hadis, Dr. Muhammad Athohan; hal; 121


Ibid, hal:121
12
Muhammad Alawi Al-Maliki; Ilmu Ushul Hadis op. cit. hal; 54
11

ajaran Nabi Muhammad saw. Karena pentingnya unsur tersebut, jika terjadi
kekosongan salah satunya akan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis.
Karena suatu sumber ajaran berkaitan dengan sanad dan matan, di
samping persoalan detailnya seperti: dari siapa sesungguhnya ia terima, siapa
yang membawanya, sehingga terhubung dengan Nabi Muhammad saw. Hadis
yang asli akan bersambung sanad dan matannya kepada Nabi Muhammad.
Pengertian matan menurut bahasa adalah:


Artinya: apa apa yang merngeras dan meninggi dari tiap-tiap sesuatu
Sedangkan menurut istilah adalah lafadz-lafadz hadis yang ditegakkan
dengan maknanya. Menurut Prof. Dr. T.M. Hasbi Asshiddiqi dalam bukunya
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis menyatakan bahwa matan ialah
penghubung sanad, yakni sabda nabi yang disebut sesudah sanad.
Pengertian sanad menurut bahasa adalah sandaran, yang kita tersanar
kepadanya.
Sedangkan menurut istilah muhaddistin adalah: silsilah atau rentetan
rawi-rawi yang menukilkan matan dari asalnya yang pertama, atau jalan yang
dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad saw.
4. Metode Tahammu al-Hadis dan perbedaanya
Ada 8 cara dalam meriwayatkan hadis
1) As-Sima min lafdzi As Syaikhi : yakni mendengar sendiri dari perkataan
gurunya baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca
dari tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab, asal berkeyakinan
10

bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan


kepada orang lain. Cara sama ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan
tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Lafazh-lafazh yang digunakan
oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar sama adalah:

, , , , , , , ,
2) Al qiroah ala As Syaikhi : membacakan sebuah Hadits kepada Guru, baik
yang membaca dia sendiri atau orang lain yang membaca tapi dia
mendengarkannya. Kata yang digunakan dalam metode ini adalah:
Saya baca di hadapan si fulan = atau
Telah dibaca dihadapan si-fulan sedang aku mendengarnya =


3) Al Ijazah al khossoh al muayyanah : izin seseorang kepada orang lain
untuk meriwayatkan hadits. Untuk ijazah ini di perlukan empat unsur,
yaitu:13
a.

Mujiz (orang yang memberikan ijazah) seorang mujiz harus


mengetahui apa yang terkandung dalam Kitab yang diijazahkan.

b.

Mujaz Lah (orang yang diijazahi) harus betul-betul memahami.


Mujaz bihi, adalah kitab atau juz dan seumpamya

b.

.a

Lafadz ijazah, ibarat yang menunjukkan keizinan periwayatan

4) Al Munawalah: seorang guru menyerahkan naskah asli kepada murid atau


salinan yang sudah dikoreksi untuk diriwayatkan, baik untuk diberikan atau
sekedar dipinjamkan, atau seorang murid menyerahkan naskah asli atau
salinan kepada sang guru untuk diteliti keabsahan naskah tersebut untuk
diriwayatkan. Dengan syarat harus ada Izin dari guru untuk meriwayatkan.
5) Al Mukatabah : seorang guru menulis sendiri beberapa hadits atau orang
lain tapi dengan izin kepada orang ditempat lain atau orang yang di
hadapannya.

13

Ash-Shiddiqie hasbi. T. M; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Hal:51

11

6) Al Wijadah : Memperoleh tulisan dari orang yang ia kenal yang dia belum
pernah meriwayatkan hadits darinya baik dengan lafadh, qiro'ah, selainnya
7) Al Washiyah bil Al kitabah: Pesan tertulis seseorang kepada keluarganya
untuk seseorang ketika ia akan meninggal dunia atau ia akan bepergian.
8) Al Iilam : Pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwasanya saya
meriwayatkan kitab ini dari fulan, dengan syarat ada izin untuk
meriwayatkan.14
5. Simpulan
Periwayatan hadits adalah proses pemerimaan (naql dan tahammul) hadits
oleh seorang perawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihapal, dihayati,
diamalkan (dhabith) ditulis di tadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang
lain sebagai murid (ada) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat
tersebut. Esensi periwayatan adalah tahammul, naql, dhabith, tahrir, dan ada
al-Hadits, atau disingkat tahammul wa al-ada. Suatu thariqah atau cara
penerimaan dan penyampaian hadits. Kaifiyah Tahammul wa al-ada ini
termasuk kajian ilmu Hadits Dirayah karena berupa system yang analitik, dan
walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbulmardudnya hadits, namun mempengaruhi pengamalan hadits dalam thariqah
tarjib, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan (tanakud).

14

Minhah al Mughits, Hasan Masud; hal:59-61

12

Daftar Pustaka
Ash-Shiddiqie Hasbi. T. M; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis.
Minhah al Mughits, Hasan Masud
Muhammad Alawi Al-Maliki; Ilmu Ushul Hadis
Tafsir Mustahal Al Hadis, Dr. Muhammad Athohan
Suparta Munzier; Ilmu Hadis

13

Anda mungkin juga menyukai