Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
Berawal dari Aliran teologi Kontemporer merupakan aliran yang bergerak dalam bidang
ekonomi, social dan politik serta benar-benar fokus dan maju dibidang kajiannya untuk
memperjuangkan nasib manusia yang terengut, bukan aliran telogi negatif yang ditakuti
menentang dunia.
Secara praktis teologi klasik walaupun berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah dan
Sunnah berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, imamah, khalifah dan
perbuatan-perbuatan manusia, ternyata pandangan ini tidak bisa memberi motivasi tindakan
dalam menghadapi kenyataan kehidupan konkrit manusia.
Sebab, format atau penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai
perbuatan manusia. Karena itu, perlu ada rekonstruksi terhadap teologi Islam sehingga
semangat teologi pembebasan dan teologi lingkungan yang merupakan perintah ajaran Islam
dapat terwujud. Semangat teologi pembebasan belakangan muncul dari gereja, kalaupun kita
terinspirasi darinya itu tidak bertentangan dengan Islam. Bukankah secara histori Nabi
Muhammad SAW adalah orang yang pertama memberikan contoh, beliau sangat peduli
dengan orang tertindas, dan peduli dengan lingkungan.
Sungguh kepada umat Islam agar berbuat sesuatu untuk membebaskan saudara kita dari
jeratan yang dilakukan rentenir menghisap darah masyarakat miskin berpenghasilan rendah
dengan pinjaman-pinjaman yang berbunga. Terjunlah ke masyarakat untuk mengarahkan,
membimbing, dan menggerakkan masyarakat miskin untuk berwirausaha dan bekerja secara
mandiri serta memperhatikan, memelihara dan menjaganya bukan merusakannya, terkutuklah
mereka yang berbuat kerusakan di bumi.(Ar-rum: 41):
}41: {
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka
kembali.(Q.S.Ar-Rum:41)
Munculnya gerakan/paham/ aliran dengan keyakinan yang mantap untuk berbuat dan
menerjunkan diri pada tatanan social merupakan deklarasi keimanan yang diterjemahkan atau
dioperasionalkan ke dalam masyarakat. Sekiranya mau membentangkan catatan sejarah sejak
Nabi Muhammad SAW dan dilanjuti oleh ulama-ulama yang setia tetap eksis melakukan
gerakan dan inovasi untuk mengayomi, melindungi dan mengawasi masyarakat dan
lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
Teologi lingkungan merupakan konsep baru dalam diskursus kajian teologi. Kajian ini
merupakan respon penyikapan secara teologis terkait dengan persoalan lingkungan. Dalam
diskursus akademisi teologi muslim klasik, kajian mengenai teologi lingkungan belum
mendapat porsi. Akademisi muslim klasik masih berkutat dalam diskursus teologi yang
memfokuskan pada kajian mengenai Tuhan. Kajian pada fase akademisi teologi
pertengahan sudah mulai berkembang, namun belum menyentuh persoalan lingkungan. Hal
ini dikarenakan persolan lingkungan pada fase itu belumlah menimbulkan persoalan. Namun
dimasa kontemporer, persoalan lingkungan sudah begitu memprihatinkan, sehingga
membutuhkan respon yang serius dari berbagai kalangan, termasuk didalamnya adalah para
akdemisi teologi.
Dalam diskursus teologi lingkungan, Islam bukanlah satu-satu agama yang mencoba
merumuskan konsep teologinya terkait dengan lingkungan. Namun kajian teologi lingkungan
juga dikembangkan oleh para agama-agama lainnya. Dengan kata lain, persoalan lingkungan
hidup merupakan problem dan memunculkan keprihatinan bagi semua agama. Berlandaskan
hal tersebut, para akademisi berusaha menelaah khazanah literaturnya untuk merumuskan
konsep teologinya untuk merespon krisis-krisis lingkungan yang semakin parah.
Namun selain adanya realitas lingkungan kontemporer yang semakin rusak, munculnya
kajian teologi lingkungan juga didorong oleh adanya kritik-kritik yang menjustifikasi bahwa
agama-agama khususnya monoteisme- harus bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan.
Arnold Toynbee misalnya, menyatakan bahwa krisis lingkungan hidup disebabkan oleh
agama-agama monoteisme yang menghilangkan rasa hormat terhadap alam ilahi, sehingga
tidak ada lagi yang menahan ketamakan manusia (Martin, 2001: xv). Kenyataan ini tentunya
memicu para teolog untuk merespon kritik tersebut dengan memberikan pemahaman yang
proposional mengenai konsep teologi agama-agama.
Antroposentrisme Paradigma Manusia
Dalam masyarakat, teologi yang berkembang dan dianut lebih condong kepada
antropsentrisme. Paradigma ini ditandai dengan muncul dan melonjaknya kesadaran bahwa
manusia merupakan makhluk istimewa dan berkuasa atas alam. Dengan kata lain, paradigma
ini mengacu pada keyakinan bahwa manusia merupakan makhluk elite, exlusive, dan segenap
oganisme di luar manusia diciptakan dan disediakan untuk kepentingan dan kebutuhan
manusia. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa paradigma antroposentrisme merupakan
ekologi arogan yang mana memposisikan lingkungan sebagai nilai untung bagi manusia. Hal
inilah yang kemudian memberi jalan kepada manusia terjerusmus dalam keangkuhan,
kesombongan, dan tamak terhadap lingkungan. Lingkungan dieksploitasi seenaknya demi
kepentingan manusia tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Dapat ditebak, dengan
perilaku ini otomatis lingkungan menjad rusak, tercemar, dan memprihatinkan.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang memiliki paradigma antroposentrisme juga semakin
membuat manusia semakin mengukuhkan dominasinya atas alam. Hal ini dikarena ilmu dan
teknologi yang diciptakan merupakan alat untuk mengekploitasi lingkungan dan sumberdaya
alam demi memenuhi ambisi kebutuhan manusia. Lingkungan direkayasa sedemikian rupa
tanpa memperhatikan aspek negatif yang muncul. Implikasinya tentu saja membuat
lingkungan menjadi tidak seimbangan serta merusak ekosistem yang ada. Sebagai misal
adalah pemakaian bahan kimia yang satu segi meningkatkan produktifitas, namun dalam segi
yang lain menimbulkan pencemaran dan merusak ekosistem. Namun bagi masyarakat
berparadigma antroposentisme, hal tersebut tetap dilakukan, karena titik tolak nilai yang
dikejar adalah keuntungan bagi manusia.
Pandangan Islam tentang Lingkungan
Teologi lingkungan adalah tuntutan kesadaran beragama yang memiliki keterlibatan dan
keberpihakan penuh kepada lingkungan yang bertujuan dan berperan untuk mendekonstruksi,
menguji kembali sikap hidup dan tingkah laku kita terhadap alam. Baik itu meliputi alam
(Thabiah) diciptakan Allah seperti bintang, matahari, bumi dan sebagainya, serta begitu juga
alam industri (shinaiyah) yang diciptakan manusia seperti rumah, pohon yang ditanam dan
lain-lain.
Dari penjelasan di atas bahwa teologi lingkungan merupakan tuntutan dengan penuh
kesadaran kepada lingkungan baik meliputi alam ciptaan Allah swt dan alam yang dibuat
oleh manusia untuk dijaga dan jangan dirusak, atau dengan kata lain bagaimana kita berkhlak
kepada alam sesuai dengan tuntutan agama. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan
Harun Nasution, sebagaimana dikutip Tsuroya Kiswati, bahwa alam merupakan ciptaan Allah
SWT yang tidak bisa diabaikan. Visi dan misi seorang berteologi harus sampai pada aspek
keselamatan yang bersifat universal, karena seluruh alam luas ini akan menjadi rahmat bagi
manusia tidak ada yang sia-sia.
1. Peran Manusia Terhadap Lingkungan Manusia memiliki peranan yang amat penting
dalam pemeliharaan lingkungan. Sebagaimana dikutip Yusuf al-Qaradhawi dalam
Araghib al-Asfahani bahwa, ada tiga tujuan manusia berperan terhadap lingkungan :
Pertama: Untuk mengabdi pada Allah swt, (Adz-Dzariyat: 56):
}56: {

Dan Aku tidak menciptakn jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ibadah ini meliputi seala sesuatu yang disenangi Allah swt dan diridhai-Nya baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Maka dalam konteks ini sebenarnya bentuk
ibadah mencakup semua aspek kehidupan. Kedua: Sebagai wakil (Khalifah) Allah
SWT di atas bumi. Allah berfirman (Al-baqarah: 30):

}30: {
Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Kata mereka, "Kenapa hendak Engkau
jadikan di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah padahal kami selalu bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu Allah
berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".( Al-
baqarah: 30)
supaya praktik kekhalifahan ini terwujud, mereka dituntut untuk menegakan
kebenaran dan keadilan, serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan. Ketiga:
Membangun peradaban dimuka bumi.
Dalam salah satu firmanNya (Hud: 61):

}61: {
Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadi pemakmurnya. Arti menjadi
pemakmur di sini mengandung pesan pada manusia untuk membangunnya.
(QS.Hud: 61)
Memperhatikan pendapat dan diperkuat oleh firman Allah swt di atas, maka manusia
mempunyai beban dan bertanggung jawab untuk membangun agar bumi bisa
sempurna lewat cara menanam, membangun, memperbaiki dan menghidup, serta
menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merusak.
Manusia melakukan tindakan kesalahan pengelolaan dalam interaksinya dengan
berbagai komponen alam dan sumberdaya dalam suatu ekosistem, maka akan terjadi
pencemaran, krisis lingkungan, degradasi mutu lingkungan dan bahkan bencana alam.
Menurut Gail Omvedt sebagaimana dikutip Amaladoss menyebutkan, merusak
lingkungan merupakan kemerosotan dan berdampak buruk pada kualitas diri sendiri.
Dan orang yang mengeksploitasi alam secara rakus dan merusak berarti ia berusaha
merampas eksistensi dan kehidupan alam semesta serta berusaha menggugat dan
merampas hak dan kekuasaan Tuhan. Oleh karenanya sebagai orang beriman maka ia
mesti mereflleksikan atau mempraktikkan teologi lingkungan dalam proses menuju
keselamatan seluruh ciptaan Tuhan.
Menurut Yusuf Qardhawi ada beberapa factor-faktor merusak lingkungan :
1. Mengubah ciptaan Allah. Mengubah sunnah Allah merupakan salah satu
pengrusak lingkungan yang sangat berbahaya , yang akan melampai batas-batas
asli penciptaanNya, yang disediakan bagi kemaslahatan manusia. Mengubah di
sini maksudnya yaitu mengubah fitrah manusia yang telah diciptakan Allah sesuai
dengan fitrahnya, dan setan akan berupaya menggoda manusia merusak (an-Nahl:
119):

}119: {
Kemudian sesungguhnya Rabbmu terhadap orang-orang yang mengerjakan
keburukan karena kebodohannya kemudian mereka bertobat sesudah itu dan
memperbaiki dirinya sesungguhnya Rabbmu sesudah itu benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.an-Nahl: 119)
2. Kezaliman
Kezaliman merupakan perusakan di laut dan darat dan ini merupakan pengrusakan
yang paling berbahaya, baik kepada manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda
padat, tanah, air, udara dan lain-lain. Sesungguhnya kezaliman dan kejahatan
adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah.
Dan Allah akan membalas perbuatan zalim (an- Naml: 52), (al-Kahfi: 59),
(Yunus: 23) dan (Hud: 117). Orang baik berbuat kebajikan tidak akan dihancurkan
oleh Allah meskipun tidak beragama Islam. Karena perbuatan baik untuk merka
sendiri dan Allah menunda hukuman sampai kiamat. Hal ini senada dengan
ungkapan Ibnu Taimiyah, Sesungguhnya Allah akan membiarakan Negara kafir
apabila berlaku adil dan akan memusnahkan Negara Islam yang banyak terjadi
kezaliman di dalamnya dengan kata lain, orang zalim tidak akan bermanfaat
Islamnya jika ia berlaku zalim terhadap makhluk Allah lainnya.
3. Berjalan sombong di muka bumi, (lihat,al-qoshos: 41)
}41: {
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru ke neraka dan
pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (QS.al-qoshos: 41)
4. Menuruti hawa nafsu
Bila manusia ditundukkan oleh hawa nafsu dan mementingkan kepuasan syahwat
serta hasrat dunia, mendahulukan hawa nafsu daripada akalnya maka
kerusakanpun terjadi, bahkan akan dibinasakan oleh Allah (al-Mukminun: 71)

}71:{
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka pasti binasalah langit dan
bumi dan semua yang ada di dalamnya.Sebenarnya Kami telah mendatangkan
kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.
(QS.al-Mukminun: 71)
5. Penyimpangan dari keseimbangan kosmos
Allah telah menciptakan sesuatu sesuai dengan ukurannya lalu diletaknya sesuatu
dengan segala perhitungan (Ar-Radu: 8), (al-hijr:19), (ar-Rahman: 5-9), ayat ini
mengisyarat pada keseimbangan kosmos. Kerusakan yang terjadi di muka bumi
disebabkan oleh tangan manusia.(Ar-rum: 41), bila ini terjadi kemerosotan
lingkungan berdampak buruk pada proses kita sendiri.
6. Kufur terhadap nikmat Allah
Manusia yang lupa mensyukuri dan memelihara dan menyalah gunakan
melanngar aturan Allah oran itu dikatakan kufur nikmat yang akhirnya
menyebabkan hilangnya nikmat tersebut. Pelakunya akan mendapat hukuman dari
Allah, banyak ayat tentang membicarakan tentang kufur nikmat akan mendapat
kesensaraan dan juga membuat kerusakan diantaranya: (Ibrahim: 7, Al-Ahzab:
182, Ali-Imran: dan an-Naml: 112 dan Ibrahim: 28).
2. Pandangan ahli tentang kewajiban memelihara lingkungan
Pandangan kalangan Ilmu Ushuluddin menyatakan semua ciptaan baik makhluk hidup
atau mati, semua itu makhluk bersujud kepada Allah SWT, termasuk kedalam
golongan manusia, diciptakan, (An-Nahl: 3-8). Ia ikut bersama manusia dalam
kafasitasnya memuji pada Allah, menaati perintahNya dan patuh terhadap semua
hukum yang berlaku bagi semua makhluk (Al-Hasyr: 1, at-Taghabun:1 dan al-Isra:
44) Akan tetapi karena manusia berikrar menyanggupi memikul amanat (al-
Ahzab:72), berarti manusia itu menerima amanat kekhilafahan Allah Swt di muka
bumi, (al-Baqarah: 30, al-Anam: 165).
Khalifah berarti wakil/pengganti. Dalam konteks ini manusia adalah wakil Allah Swt
yang memiliki kewajiban moral menjabarkan segala kehendak Allah Swt di muka
bumi ini agar bumi tetap dalam kondisi nature-nya (QS. Hud: 61)sebagai
pengayom/memelihara alam ini.

}61: {
Dan kepada Tsamud saudara mereka Saleh. Saleh berkata, "Hai kaumku! Sembahlah
Allah sekali-kali tidak ada bagi kalian Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kalian
dari bumi dan menjadikan kalian pemakmurnya karena itu mohonlah ampunan-Nya
kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat dekat lagi
memperkenankan.(QS. Hud: 61)
Sedangkan kalangan Ilmu Fiqih menyatakan, sesuai dengan ilmu fiqh yang mengatur
hubungan manusia dengan TuhanNya, sesamanya dan lingkungan. Menyebutkan
Perhatian terhadap lingkungan, mengatur dan memeliharanya adalah wajib. Di antara
kaedah-kaedah yang keras tentang menjaga lingkungan berbunyi, Keadaan darurat
tidak boleh dijadikan alasan untuk menganggu hak-hak yang lain (al-idhtiror la
yabthil haqqa al-ghair), ini merupakan prinsip yang dipakai untuk menetapkan hukum
yang berkaitan dengan pemeliharaan dan kelestariaan lingkungan. Tokohnya yang
berkutat adalah, As-Syuyuthi yang bermazhab Syafii dan Ibnu Najim bermazhab
Hanafi.
Dari kaedah diatas, kita bisa menetapkan hukum zaman sekarang, terutama terhadap
mereka yang sering menganggu ketertiban lingkungan, dan melampau batas, seperti
dilakukan oleh Industri-industri, Perusahaan yang tidak peduli dampak yang menimpa
masyarakat, mereka ini jelas salah dan menciptakan malapetaka bagi orang umum.
Mereka di ibaratkan seperti kaum yang mendayung perahu yang kemudian saling
menabrak mereka yang di atas dan dibawah. Mereka di bawah apabila minum dari air
akan berjalan di atasnya. Lalu mereka berkata kami buat lubang di bawah pasti tidak
akan menyusahkan yang di atas, sekiranya yang di atas membiarkan mereka di bawah,
maka semuanya mati tetapi jika mereka mencegahnya maka semuanya selamat (HR.
Buchori).
Kemudian dari kalangan Ushul fiqih, orang yang pertama kali meletakan pondasi
terhadap bangunan yang membahas kepentingan masyarakat, Abu Hamid Al-Ghazali
dengan bukunya al-Mustashfanim ilm ushul, setelah itu Izuddin dengan bukunya
Qawaid al-Ahkafi fi Mashalihil al-Anam yang memuat tentang kaidah hukum bagi
kemaslahatan manusia. Semua syariat mengandung unsur maslahat, baik yang
mempunyai orientasi menjaga dari unsure-unsur bahaya serta melaksanakan makruf
dan menghidari kejahatan.
Upaya perbaikan lingkungan dan pemeliharaan dapat dilakukan denga dua pijakan: 1.
Metode solutif dan positif atau metode eksestensi menrurut istilah Asy-Syatibi 2.
Metode pragmatis atau negative. Dua kerangka inilah dalam bukunya Pemeliharaan
yang tersirat kata perlindungan dalam aplikasinya mencakup perlindungan
terhadap keberadaannya dan sisi penjagaan dari kepunahannya. Pemeliharaan
lingkungan berarti:1. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga agama. 2. Menjaga
lingkungan sama dengan menjaga jiwa. 3. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga
keturunan. 5. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga akal. 6. Menjaga lingkungan
sama dengan menjaga harta.
Dari paparan teologi lingkungan di atas, kalau kita tarik benang merahnya berarti
jelaslah bahwa manusia dituntut menjaga dan memelihara lingkungan baik itu
meliputi alam (Thabiah) diciptakan Allah seperti manusia, bintang, laut, matahari,
bulan, bumi, tambang, mineral dan sebagainya, serta begitu juga alam industri
(shinaiyah) yang diciptakan manusia seperti bangunan-bangunan, hasil karya, pohon
yang ditanam dan lain-lain. Dan perlu dipahami kewajiban menjaga, memelihara dan
menggunakan atau mengelola serta mengayomi lingkungan dengan baik bukan
tuntutan dari norma adat dan negara akan tetapi merupakan perintah dari Allah SWT
(Lihat wahyu).
Teologi Lingkungan Islam
Dalam diskursus keislaman, istilah teologi biasanya diistilahkan dengan ilmu tauhid,
ilmu kalam, dan ilmi ushuluddin. Istilah ilmu tauhid dikarena obyek kajian ilmu
membahas mengenai keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa. Hal ini dikarenakan
keesaan Allah merupakan pokok sistem keyakinan Islam sebagai agama monoteisme.
Adapun istilah ilmu kalam dikarenakan kajian ilmu ini membahas mengenai firman
Allah yang termanifertasikan dalam kitab suci Al-Quran. Hal ini tercatat dalam
sejarah Islam bahwa persoalan al-Quran sebagai kalamullah -apakah qadim atau
hadits?- pernah menimbulkan polemik, dan berdarah-darah dikalangan umat Islam.
Sedangkan istilah ushuluddin muncul dikarenakan ilmu ini membahas mengenai
dasar-dasar ajaran agama Islam.
Secara konseptual, bila dihubungkan dengan kajian keislaman, maka teologi
lingkungan Islam merupakan teologi yang obyek material kajiannya adalah bidang
lingkungan dan perumusannya didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Dengan
bahasa yang lain, teologi lingkungan juga bermakna ilmu yang membahas tentang
ajaran-ajaran Islam mengenai lingkungan.
Teologi lingkungan Islam secara konseptual berbeda dengan teologi antroposentrisme
radikal yang menempatkan manusia dalam posisi paling berkuasa atas lingkungan
(Mujiono, 2006: 291). Dalam hal ini, teologi lingkungan Islam menempatkan manusia
dalam posisi yang proposional dan seimbang dengan alam. Konstruksi ini otomatis
menempatkan manusia sebagai bagaian integral dari lingkungan.
Landasan teologi lingkungan Islam didasarkan pada rumusan al-Quran antara lain
adalah Q.S. Ar-Rahman: 10 dan Q.S. Al-Baqarah: 29. Kedua ayat tersebut
menjelaskan bahwa lingkungan diciptakan dan untuk didayagunakan oleh manusia.
Dari ayat tersebut dapat ditarik makna secara teologis bahwa Allah telah menciptakan
sumber daya alam dan lingkungan untuk didayagunakan oleh manusia. Keyword dari
ayat tersebut adalah pada kata lam. Secara semantik, lam tersebut memiliki arti hak
memanfaatkan (lam lit-tanfi) bukan lam yang bermakna memiliki (lam lit-tamlik)
(Mujiono, 2006: 291). Dengan demikian, pada dasarnya manusia diberi hak dan
kewenangan untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Namun hal
tersebut diberi aturan dengan batas-batas keseimbangan dan kewajaran, karena di
ayat-ayat yang lain manusia juga diingatkan supaya tidak berbuat kerusakan terhadap
lingkungan. Dari landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa teologi Islam
mendasarkan pada paradigma keseimbangan, bukan pada paradigma antroposentrisme
radikal. Hal ini juga didasarkan pada keyakinan dalam teologi Islam bahwa pemilik
hakiki alam semesta adalah Allah.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa embrio dari teologi lingkungan ini
ialah keberadaan teologi islam klasik yang dinilai kurang mengikuti dinamika
perubahan, oleh karena itu diperlukan hasil pemikiran baru yang mampu mengatasi
persoalan-persoalan kemanusiaan. Dari paparan teologi lingkungan di atas, kalau kita
tarik benang merahnya berarti jelaslah bahwa manusia dituntut menjaga dan
memelihara lingkungan baik itu meliputi alam (Thabiah) diciptakan Allah seperti
manusia, bintang, laut, matahari, bulan, bumi, tambang, mineral dan sebagainya, serta
begitu juga alam industri (shinaiyah) yang diciptakan manusia seperti bangunan-
bangunan, hasil karya, pohon yang ditanam dan lain-lain. Dan perlu dipahami
kewajiban menjaga, memelihara dan menggunakan atau mengelola serta mengayomi
lingkungan dengan baik bukan tuntutan dari norma adat dan negara akan tetapi
merupakan perintah dari Allah SWT.
http://ariantiyoulie.blogspot.co.id/2014/11/teologi-lingkungan.html

Anda mungkin juga menyukai