Anda di halaman 1dari 18

FILSAFAT EKONOMI ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Mikro Ekonomi Islam

Dosen Pengampu:
Dr. H. Ali Samsuri, M.EI

Disusun Oleh:
Kelompok 1
1. Yuni Nur Aini (21401004)
2. Marta Dwi Mulyanti (21401018)
3. Nandita Eka Saputri (21401019)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Filsafat Ekonomi Islam” dapat diselesaikan tepat waktu.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan
oleh dosen pengampu, Bapak Dr. H. Ali Samsuri, M. EI, mata kuliah Mikro
Ekonomi Islam pada Semester 4 Prodi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. Kami mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak selaku dosen mata kuliah. Tugas yang
telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang
ditekuni kami sebagai penulis.
Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon agar pembaca berkenan
memberi kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki dan menyusun makalah ini
lebih baik lagi kedepannya. Kami juga mengucapkan terima kasih sebanyak-
banyaknya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah Mikro Ekonomi Islam yang membahas mengenai Filsafat
Ekonomi Islam ini bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Kediri, 23 Februari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Konsep Islam Tentang Manusia ................................................................... 3
B. Manusia dan Kebutuhan Hidup.................................................................... 6
C. Pendekatan Manusia Tentang Problem Ekonomi ...................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 13
A. Kesimpulan ................................................................................................ 13
B. Kritik dan Saran ......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat merupakan induk segala ilmu. Secara sederhana filsafat dapat
diartikan sebagai berfikir menurut tata tertib dengan bebas dan sedalam-
dalamnya, sehingga sampai ke dasar persoalan. Pada perkembangannya
kajian filsafat tersebut melahirkan ilmu yang dikaji secara ilmiah. Dalam
tataran ekonomi misalnya, filsafat ekonomi yang dibangun hanya
berdasarkan rasionalitas semata sehingga dalam praktik ekonomi manusia.
senantiasa berpikir rasional tanpa didasari nilai-nilai agama yang menjadi
landasan absolut dalam kehidupan ekonomi.
Filsafat Ekonomi Islam merupakan pengejawantahan kandungan al-
Qur’an dan al-Hadits yang muncul sebagai upaya untuk meluruskan kembali
hegemoni kapitalis yang telah merasuki pikiran manusia sehingga
menciptakan manusia homo economicus. Menurut Agustianto, Filsafat
ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle: yakni filsafat Tuhan,
manusia dan alam. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan
ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme.
Hakikat manusia menurut Islam adalah wujud yang diciptakan. Ajaran
Islam memandang manusia sebagai khalifah Allah di bumi yang tugas
mengurus, membangun dan mengolah bumi serta memakmurkannya sesuai
dengan petunjuk Allah Ta‟ala dalam firman-Nya Al-Qur`an surat al-An’am
ayat 165. Dengan penciptaan manusia ini, manusia telah diberi oleh pencipta-
Nya (Allah) potensi-potensi untuk hidup yang – dalam hal ini - berhubungan
dengan konsep fitrah manusia. Menurut Abdul Aziz bahwa fitrah adalah
potensi manusia yang dapat digunakan untuk hidup di duinia. Dalam
kehidupannya manusia tidak terlepaskan dari banyaknya kebutuhan yang
tidak terbatas sementara sumber daya sebagai alat pemuas kebutuhan terbatas.
Inilah nantinya yang akan dibahas bagaimana cara manusia mencari solusi
dari masalahnya tersebut sesuai dengan perspektif ekonomi islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep islam tentang manusia?
2. Bagaimana manusia dikaitkan dengan kebutuhan hidupnya?
3. Bagaimana pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengatasi problem
ekonomi?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui konsep islam tentang manusia
2. Untuk mengetahui manusia dikaitkan dengan kebutuhan hidupnya
3. Untuk mengetahui pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengatasi
problem ekonomi.

2
BAB II \
PEMBAHASAN

A. Konsep Islam Tentang Manusia


Manusia dalam perspektif Islam adalah makhluk Allah yang paling
tinggi derajatnya dibanding makhluk lain dan sebagai khalifah Allah di bumi
yang tugasnya mengurus, membangun dan mengolah bumi serta
memakmurkannya sesuai petunjuk Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah
SWT menggunakan beberapa istilah yang menjelaskan konsep manusia.
Berikut lima istilah 'manusia' dalam Al Qur’an, sebagai berikut.1
1. Konsep al-Basyar
Kata 'basyar' disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan
hanya sekali dalam bentuk 'mutsanna' atau 'jama'. Secara etimologi al
Basyar merupakan bentuk jamak dari kata al Basyaraat yang berarti kulit
kepala, wajah dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.
Pemaknaan manusia dengan al Basyar. memberikan pengertian bahwa
manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat di dalamnya, seperti
membutuhkan makan, minum, perlu hiburan, hubungan seks, dan lain
sebagainya. Sebagai makhluk yang bersifat fisik, manusia tidak jauh
berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Kehidupan manusia terikat
kaidah prinsip kehidupan biologis ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-
Qur’an Surat al-Mu’minun (23): 33-34.

‫اْل ِخ َرةِ َواَتْ َر ْف ٰن ُه ْم فِى ْال َح ٰيوةِ الد ْنيَ ۙا َما‬


ٰ ْ ‫َوقَا َل ْال َم ََلُ ِم ْن قَ ْو ِم ِه الَّ ِذيْنَ َكف َُر ْوا َو َكذَّب ُْوا بِ ِلقَ ۤا ِء‬
)33( َ‫ش َرب ُْون‬ ْ َ‫ب ِم َّما ت‬ ُ ‫ٰهذَآ ا َِّْل بَش ٌَر ِمثْلُ ُك ۙ ْم يَأ ْ ُك ُل ِم َّما تَأ ْ ُكلُ ْونَ ِم ْنهُ َويَ ْش َر‬
)34( َ‫ط ْعت ُ ْم بَش ًَرا ِمثْلَ ُك ْم اِنَّ ُك ْم اِذًا لَّ ٰخس ُِر ْون‬
َ َ‫لَ ِٕى ْن ا‬
"(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, Dia Makan
dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum.
Dan Sesungguhnya jika kamu sekalian mentaati manusia yang seperti

1
Eka Kurniawati, Nurhasanah Bakhtiar, “Manusia Menurut Konsep Al-Qur`an dan Sains “, JNSI:
Journal of Natural Science and Integration, Vol. 1, No. 1, April 2018, hlm.81

3
kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar (menjadi) orang-
orang yang merugi”. (QS. al-Mu’minun (23): 33-34)2
2. Konsep al-Nas
Menunjukkan fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak
dapat hidup sendiri. Manusia harus menjaga hubungan baik dengan
manusia lainnya. Dari awal terciptanya, seorang manusia berawal dari
sepasang laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi
masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia
ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh
saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia
dalam konsep an-naas. Ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an
Surat al Hujurat: 13 yang berbunyi:
‫ارفُ ْوا ۚ ا َِّن اَ ْك َر َم ُك ْم‬ ُ ‫اس اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِم ْن ذَك ٍَر َّوا ُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم‬
َ ‫شعُ ْوبًا َّوقَ َب ۤا ِٕى َل ِلتَ َع‬ ُ َّ‫ٰ ٓياَي َها الن‬
‫ع ِل ْي ٌم َخ ِبي ٌْر‬ ‫ّٰللا اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ ِ ‫ِع ْندَ ه‬
"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal." (QS. Al-Hujarat: 13)3
3. Konsep Bani Adam atau Dzurriyat Adam
Manusia dalam istilah ini memiliki arti keturunan Adam. Istilah ini
digunakan untuk menyebut manusia bila dilihat dari asal keturunan nya.
Istilah 'Bani Adam' disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat Alquran.
Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar : penggunaan kata bani Adam
menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada
tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai

2
Alfurqan, Harmonedi, “Pandangan Islam Terhadap Manusia:Terminologi Manusia Dan Konsep
Fitrah Serta Implikasinya Dlaam Kehidupan, JURNAL EDUCATIVE: Journal of Educational Studies
Vol 2, No 2, Juli, Desember 2017 hlm. 130
3
Ibid, hlm. 131

4
ketentuan Allah, di antaranya dengan berpakaian guna manutup auratnya.
Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus bujuk
rayu setan yang mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan
semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan
mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus
peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding
makhluk-Nya yang lain ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an
Surah Yaasin ayat 60:

َ ‫شي ْٰط ۚنَ اِنَّهٗ لَ ُك ْم‬


‫عد ٌُّو مبِي ٌْن‬ َّ ‫ي ٰادَ َم اَ ْن َّْل تَ ْعبُدُوا ال‬
ْٓ ِ‫اَلَ ْم اَ ْع َه ْد اِلَ ْي ُك ْم ٰيبَن‬
“Bukankah Aku Telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya
kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagi kamu". (QS. Yaasin: 60).4
4. Konsep al-Ins
Al-ins memiliki arti tidak liar atau tidak biadab. Istilah al-ins
berkembalikan dengan istilah al jins atau jin yang bersifat metafisik dan
liar. Jin hidup bebas di alam yang tidak dapat dirasakan dengan panca
indra. Berbeda dengan manusia yang disebut menggunakan istilah al-ins.
Manusia adalah makhluk yang tidak liar, artinya jelas dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kata al-ins disebutkan
sebanyak 18 kali dalam Al qur’an, masing-masing dalam 17 ayat dan 9
surat, Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin,
maka manusia adalah makhluk yang kasat mata. Sedangkan jin adalah
makhluk halus yang tidak tampak, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-
Qur’an surah Al-An’am ayat 112.
ٍ ‫ض ُه ْم ا ِٰلى بَ ْع‬
َ ‫ض ُز ْخ ُر‬
‫ف‬ ُ ‫ش ٰي ِطيْنَ ا ْ ِْل ْن ِس َو ْال ِج ِن ي ُْو ِح ْي بَ ْع‬ َ ٍ ‫َوك َٰذلِكَ َج َع ْلنَا ِل ُك ِل نَ ِبي‬
َ ‫عد ًُّوا‬
َ‫غ ُر ْو ًرا َۗولَ ْو ش َۤا َء َربكَ َما فَ َعلُ ْوهُ فَ َذ ْر ُه ْم َو َما َي ْفت َُر ْون‬ ُ ‫ْالقَ ْو ِل‬
"Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri
dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau

4
Ibid, hlm. 132

5
Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka
biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan."
Makna manusia dari kata al-ins juga berarti makhluk spritual,
pengabdi dan mendambakan bantuan dan pertolongan Allah. Hal ini dapat
disarikan dari al Quran Surat Adzariyat: 56 sebagai berikut:
‫س ا َِّْل ِليَ ْعبُد ُْو ِن‬ ِ ْ ‫َو َما َخ َل ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepadaKu.” (QS. Adzariyat: 56)5
5. Konsep al-Insan
Al-Ihsan memiliki arti melihat, mengetahui, dan minta izin. Istilah
ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan menalar dan
berpikir dibanding dengan makhluk lainnya. Manusia dapat mengambil
pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang salah,
serta dapat meminta izin ketika menggunakan sesuatu yang bukan
miliknya. Manusia dalam istilah ini merupakan makhluk yang dapat
dididik, memiliki potensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan. ditegaskan oleh Allah SWT dalam al Qur’an Surat al
Tin: 4
‫س ِن تَ ْق ِوي ٍْم‬
َ ْ‫ي اَح‬ ِ ْ ‫لَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْل ْن‬
ْٓ ِ‫سانَ ف‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.” (QS. al Tin: 4)6

B. Manusia dan Kebutuhan Hidup


1) Manusia
Dengan kekuasan Allah manusia diciptakan sebagai makhluk yang
paling istimewa dan sempurna dari pada makhluk Allah yang lain. Dengan
memiliki akal budinya, manusia bisa membedakan mana yang bermanfaat
dan mana yang tidak bermanfaat, sehingga derajat manusia mengungguli

5
Ibid, hlm. 133
6
Ibid, hlm. 134

6
derajat makhluk yang lain. Dengan akal budinya manusia menemukan
berbagai cara untuk melindungi diri terhadap pengaruh lingkungan yang
merugikan. Dengan akalnya pula manusia bisa menemukan penemuan-
penemuan baru. Bermacam-macam ilmu dipelajari, mulai dari perjalanan
hidupnya sendiri, lingkungannya, hingga keberadaan alam semesta, semua
diamati dan diteliti secara seksama dan sistematis. Dengan akal inilah
diharapkan manusia bisa menggelola bumi ini dengan baik.7
2) Kebutuhan Hidup
Secara umum, kebutuhan bersifat terbatas pemenuhannya. Dalam
Islam, kebutuhan dipandang sebagai segala sesuatu yang diperlukan agar
manusia dapat berfungsi secara sempurna. Pemenuhan kebutuhan akan
menghasilkan manfaat fisik, spiritual, intelektual ataupun material.
Pemenuhan kebutuhan dalam Islam bisa meningkat martabat manusia.
Semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun
manusia diperintahkan untuk mengonsumsi barang atau jasa yang halal
dan baik saja secara wajar dan tidak berlebih-lebihan.8
Sesungguhnya kebutuhan itu merupakan salah satu dari aspek
psikologis setiap manusia yang menggerakkannya dalam melakukan
berbagai aktivitas. Kebutuhan juga menjadi dasar atau alasan atau faktor
untuk melakukan usaha. Contohnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup
setiap orang harus bekerja.9
Menurut Abraham Maslow, membagi kebutuhan mendasar
manusia dalam lima tingkat yaitu:
1. Kebutuhan Aktualisasi diri
2. Kebutuhan harga diri
3. Kebutuhan rasa cinta dan kasih sayang
4. Kebutuhan rasa aman dan nyaman
5. Kebutuhan fisiologis (oksigen, makan, minum, eliminasi, tidur)

7
Haderani, Tinjauan Filosofis Tentang Fungsi Pendidikan Dalam Hidup Manusia, Jurnal Tarbiyah,
Vol. 7 No. 1. Juni 2018, hlm.43
8
Syaparuddin, Ilmu Ekonomi Mikro Islam, (Yogyakarta: TrustMedia Publishing, 2017), hlm. 10
9
Ibid, hlm. 11

7
3) Konsep Islam Tentang Kebutuhan dasar Manusia
Dalam Islam, konsumsi tidak bisa dipisahkan dari peranan
keimanan. Hal ini menjadi salah satu tolak ukur yang terpenting karena
keimanan akan memberikan tentang cara pandang yang mempengaruhi
kuantitas dan kualitas konsumsi dalam kepuasan material atau spiritual
yang bisa membentuk sifat kecenderungan prilaku konsumsi di pasar.
Konsep kebutuhan dalam Islam yaitu bersifat dinamis melihat tingkat
ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Al-Syathibi,
rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdapat tiga jenjang, yaitu:
1. Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat
kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kebuthan dharuriyat mencakup:
a) Menjaga Agama (din)
Ini merupakan dharûriyyât yang terpenting dan berada pada urutan
tertinggi. Sebagaimana firman Allah SWT:

ِ ۡ ‫َو َما َخلَ ۡقتُ ۡال ِج َّن َو‬


َ ‫اْل ۡن‬
‫س ا َِّْل ِليَعۡ بُد ُۡو ِن‬
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzâriyat 51: 56)
Agar Allah SWT menjaga din (agama) dari kerusakan, karena din adalah
dharuriyat paling besar dan terpenting, maka syari’at juga mengharamkan
riddah (murtad), memberi sanksi kepada orang yang murtad dan dibunuh.10
b) Menjaga Jiwa (Hifzhun-Nafsi)
Menjaga jiwa termasuk dharûriyatul-khamsi, dan agama tidak akan bisa
tegak, kalau tidak ada jiwa yang mampu menegakkannya. Jika kita ingin
menegakkan din, kita harus mampu menjaga jiwa yang ingin menegakkan
agama. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa ini, Allah SWT
berfirman:

ِ ‫اص َح ٰيوة ٌ يٓهاُو ِلى ْاْلَ ْلبَا‬


َ‫ب لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْون‬ ِ ‫ص‬َ ‫َولَ ُك ْم فِى ْال ِق‬

10
Heru Juabdin Sada, “Kebutuhan Dasar Manusia Dalam Perspektif Pendidikan Islam”, Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No II 2017, hlm. 217

8
Artinya “Artinya dan dalam qishaash itu ada (jaminan) kehidupan bagimu,
wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah
2:179)
Hifzhun-nafs dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, di antaranya:
1) Pada saat darurat (sangat terpaksa), wajib memakan apa saja demi
keberlangsungan hidup, meskipun sesuatu yang haram pada asalnya.
2) Memenuhi kebutuhan diri berupa makanan, minuman dan pakaian.
3) Mewajibkan pelaksanaan qishash (hukum bunuh bagi siapa yang telah
membunuh, jika sudah memenuhi syarat-syaratnya)
4) Dan diharamkan untuk menyakiti atau menyiksa diri.
c) Menjaga Akal (Hifzhul-Aqli)
Salah satu sarana menjaga akal yaitu ilmu. Kalimat wahyu yang pertama
kali sampai kepada Rasulullah SAW dan menyentuh telinga Rasulullah
SAW adalah kalimat iqra’ (bacalah!), setelah itu adalah kalimat:
‫سانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ۗ ْم‬ ِ ْ ‫علَّ َم‬
َ ‫اْل ْن‬ َ
Artinya: “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (Al-Alaq: 96: 5)]
Karena membaca merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan ilmu,
meskipun bukan satu-satunya, akan tetapi merupakan jalan terpenting.11
d) Menjaga Keturunan (Hifzhun-Nasli)
Di antara dharûriyyâtul-khams yang dipelihara dan yang dijaga dalam
syari’at, yaitu dengan menjaga keturunan. Allah Azza wa Jalla berfirman :
‫يرا‬
ً ‫ص‬ِ َ‫يرا ب‬ ِ ‫وح ۗ َو َكف َٰى بِ َربِكَ بِذُنُو‬
ً ِ‫ب ِعبَا ِد ِه َخب‬ ِ ‫َو َك ْم أَ ْهلَ ْكنَا ِمنَ ْالقُ ُر‬
ٍ ُ‫ون ِم ْن بَ ْع ِد ن‬
Artinya: "Dan berapa banyak kaum setelah Nuh, yang telah Kami
binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Yang Maha Mengetahui, Maha
Melihat dosa hamba-hambaNya." [Al-Isrâ/17:32]12
e) Menjaga Harta (Hifzhul-Mali)
Bagian terakhir dari dharuriyâtul-khams yang dijaga oleh syari’at yaitu
sesuatu yang menjadi penopang hidup, kesejahteraan serta kebahagiaan,
yaitu dengan menjaga harta. Sebagaimana firman Allah SWT :

11
Ibid, hlm. 219
12
Ibid, hlm. 221

9
ُ ‫ار ُزقُ ْو ُه ْم فِ ْي َها َوا ْك‬
‫س ْو ُه ْم‬ ‫َو َْل تُؤْ تُوا السفَ َه ۤا َء اَ ْم َوالَ ُك ُم الَّتِ ْي َج َع َل ه‬
ْ ‫ّٰللاُ لَ ُك ْم قِ ٰي ًما َّو‬
‫َوقُ ْولُ ْوا َل ُه ْم قَ ْو ًْل َّم ْع ُر ْو ًفا‬
Artinya: dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik. [An-Nisâ‘/4 : 5].13
2. Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan sekunder atau kebutuhan setelah
kebutuhan dharuriyat. Kebutuhan ini merupakan penguat dari kebutuhan
dharuriyat. Maksudnya untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan
pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia.
Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan, tidak akan mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Pada dasarnya jenjang
hajiyat ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan
melindungi jenjang dharuriyat. Atau lebih spesifiknya lagi bertujuan untuk
memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
3. Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang tidak mengancam kelima hal
pokok yaitu khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan),
khifdu’aql (menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), serta khifdu maal
(menjaga harta) serta tidak menimbulkan kesulitan umat manusia. Kebutuhan
ini muncul setelah kebutuhan dharuriyah dan kebutuhan hajiyat terpenuhi,
kebutuhan ini merupakan kebutuhan pelengkap.14

C. Pendekatan Manusia Tentang Problem Ekonomi


Pemikiran manusia selalu menitikberatkan pada masalah-masalah ekonomi
seperti kemiskinan, uang, barter, fluktuasi harga, pajak dan aturan campur tangan.
Permasalahan-permasalahan tersebut bukan hanya terjadi di masa sekarang. Namun,
jauh sebelum saat ini. Permasalahan yang dihadapi oleh ilmu ekonomi Islam adalah
kesenjangan antara perilaku ideal dengan perilaku riil. Kesenjangan inilah yang

13
Ibid, hlm. 222
14
Darwis Harahap, Ferri Al Fadri, Ekonomi Mikro Islam, (Medan: Media Kreasi, 2021)

10
kemudian dijadikan alasan bahwa teori-teori ekonomi Islam tidak dapat dibuktikan
pada tataran yang empiris oleh para ekonom aliran positivisme. Berikut dua
pendekatan utama yang digunakan untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam.15

a. Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif diawali dengan mengekstraksi inti ajaran Islam menjadi
elemen-elemen teori ekonomi Islam. Metode berpikir induktif adalah metode
berpikir yang menerapkan hal-hal yang khusus terlebih dahulu untuk seterusnya
dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang umum. Di dalam Islam, istilah
induktif disebut istiqra’. Umumnya, induktif bersumber kepada pengalaman dan
berbentuk eksploratif. Pendekatan induktif diartikan metode penarikan hukum
yang berangkat dari pendekatan induktif ini harus melalui tiga tahapan, yaitu:
1. Memahami Fakta (fahmul waqi’)
Manusia mampu memahami fakta yang ada apabila mampu menggunakan
ilmu pengetahuan yang mereka miliki dan bersumber dari akal fikiran mereka.
Setelah itu, manusia mampu melakukan penelitian dan pengamatan sehingga
akhirnya menemukan akar permasalahan yang sesungguhnya.
2. Memahami nash (fahmun nushush)
Pada tahap memahami fakta ini terdapat proses verifikasi t erlebih dahulu.
Proses verifikasi adalah proses mengonfirmasikan apakah obyek yang dibahas
memiliki kesamaan dengan obyek yang dibahas pada fakta permasalahan yang
telah ditetapkan atau tidak.
b. Pendekatn deduktif
Pendekatan deduktif diawali dengan mengekstraksi inti ajaran Islam
menjadi elemen-elemen teori ekonomi Islam. Metode berpikir deduktif adalah
metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk
seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Dengan kata lain,
metode ini digunakan untuk menghasilkan hukum syariat Islam yang diturunkan
langsung dari nas-nas Alquran dan sunah. Di dalam Islam dikenal qiyas dalam
ushul fiqh yang dapat dikatakan mirip dengan metode deduktif ini, atau dalam
arti lain, qiyas dihasilkan dari logika deduktif analogis (perbandingan). Ulama
yang banyak melakukan metode ini adalah Imam Syafi’i.

15
Azharsyah Ibrahim, Pengantar Ekonomi Islam, (Jakarta : Departemen Ekonomi dan Keuangan
Syariah - Bank Indonesia, 2021) hlm. 24

11
Di dalam melakukan penelitian, diperlukan metodologi yang dapat
membina teori dan menguji hipotesis di lapangan. Dari bagian metodologi
penelitian itu terdiri dari komponen falsafah dan operasionalnya. Komponen
falsafah di antaranya tasawuf, epistemologi, ontologi, dan aksiologi.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pendekatan
deduktif dalam Islam identik dengan cara untuk menghasilkan hukum syariat.
Hukum syariat diartikan sebagai seruan dari Pembuat Hukum yang mengikat
perbuatan hamba. Dari definisi tersebut, salah satu syarat bahwa nas Alquran dan
sunah dapat menjadi hukum syariat yakni harus mengandung seruan/tuntutan.
• Metode Penarikan Hukum (Istinbathul Ahkam)
Pada tahap ini, kita akan mengalami proses penarikan hukum syara’ terhadap
status perbuatan manusia yang hendak dihukuminya. Lalu, bagaimana proses
dalam penarikan hukum ini? Proses yang dilakukan adalah sama dengan
proses penarikan hukum syariat dengan pendekatan deduktif. Hal tersebut
dikarenakan ketika hendak menarik hukum suatu perbuatan maka paling tidak
akan melewati beberapa langkah sebagai berikut.
➢ Menentukan jenis khithob atau seruan. Apakah mengandung perintah atau
larangan
➢ Mencari qarinah/tanda. Apakah bersifat jazm atau ghairu jazm
➢ Menentukan status hukum syariatnya. Apakah wajib, sunah, mubah,
makruh, atau haram.16

16
Ibid, hlm. 27

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Manusia dalam perspektif Islam adalah makhluk Allah yang paling
tinggi derajatnya dibanding makhluk lain dan sebagai khalifah Allah di bumi
yang tugasnya mengurus, membangun dan mengolah bumi serta
memakmurkannya sesuai petunjuk Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah
SWT menggunakan beberapa istilah yang menjelaskan konsep manusia.
Berikut empat istilah 'manusia' dalam Al Qur’an yaitu Konsep al-Basyar,
Konsep al-Nas, Konsep Bani Adam atau Dzurriyat Adam, Konsep al-Ins, dan
Konsep al-Insan.
Secara umum, kebutuhan bersifat terbatas pemenuhannya. Dalam
Islam, kebutuhan dipandang sebagai segala sesuatu yang diperlukan agar
manusia dapat berfungsi secara sempurna. Pemenuhan kebutuhan akan
menghasilkan manfaat fisik, spiritual, intelektual ataupun material.
Pemenuhan kebutuhan dalam Islam bisa meningkat martabat manusia. Semua
yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun manusia
diperintahkan untuk mengonsumsi barang atau jasa yang halal dan baik saja
secara wajar dan tidak berlebih-lebihan. Konsep kebutuhan dalam Islam yaitu
bersifat dinamis melihat tingkat ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang di
ungkapkan oleh Al-Syathibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam
terdapat tiga jenjang, yaitu Kebutuhan dharuriyat (primer), Kebutuhan
Hajiyat (sekunder), dan Kebutuhan Tahsiniyat (tersier).
Permasalahan yang dihadapi oleh ilmu ekonomi Islam adalah
kesenjangan antara perilaku ideal dengan perilaku riil. Kesenjangan inilah
yang kemudian dijadikan alasan bahwa teori-teori ekonomi Islam tidak dapat
dibuktikan pada tataran yang empiris oleh para ekonom aliran positivisme.
Berikut dua pendekatan utama yang digunakan untuk mengembangkan ilmu
ekonomi Islam. Pertama, Pendekatan induktif diawali dengan mengekstraksi
inti ajaran Islam menjadi elemen-elemen teori ekonomi Islam. Metode
berpikir induktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang
khusus terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-
bagiannya yang umum. Kedua, Pendekatan deduktif diawali dengan
mengekstraksi inti ajaran Islam menjadi elemen-elemen teori ekonomi Islam.
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal
yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-
bagiannya yang khusus.

13
B. Kritik dan Saran
Kami sebagai penyusun makalah ini sangat berharap agar makalah ini
dapat berguna untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai ilmu
yang diajarkan dalam mata kuliah Mikro Ekonomi Islam, terutama tentang
“Filsafat Ekonomi Islam”. Alangkah baiknya jika para pembaca dapat
memahami dengan betul apa yang dapat diserap dan dapat bermanfaat dari
bahasan makalah kami ini. Disini kami juga sangat menyadari bahwa dalam
makalah kami ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal tata bahasa,
penyusunan maupun kata sambung yang kurang tepat. Kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan makalah kami ini sangat kami harapkan
dan akan kami terima dengan sebaik mungkin. Kami harap agar dosen
ataupun teman - teman mahasiswa dapat memberikan kritik dan saran
terhadap makalah kami ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawati, Eka Nurhasanah Bakhtiar, “Manusia Menurut Konsep Al-Qur`an dan


Sains “, JNSI: Journal of Natural Science and Integration, Vol. 1, No. 1,
April 2018
Alfurqan, Harmonedi, “Pandangan Islam Terhadap Manusia: Terminologi Manusia
Dan Konsep Fitrah Serta Implikasinya Dlaam Kehidupan, JURNAL
EDUCATIVE: Journal of Educational Studies Vol 2, No 2, Juli, Desember
2017
Haderani, Tinjauan Filosofis Tentang Fungsi Pendidikan Dalam Hidup Manusia,
Jurnal Tarbiyah, Vol. 7 No. 1. Juni 2018, hlm.43
Syaparuddin, 2017, Ilmu Ekonomi Mikro Islam. Yogyakarta. TrustMedia
Publishing
Sada, Heru Juabdin “Kebutuhan Dasar Manusia Dalam Perspektif Pendidikan
Islam”, Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No II 2017
Harahap, Darwis Ferri Al Fadri, 2021. Ekonomi Mikro Islam, Medan. Media Kreasi,
Ibrahim, Azharsyah. 2021. Pengantar Ekonomi Islam, Jakarta. Departemen
Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia

15

Anda mungkin juga menyukai