Anda di halaman 1dari 11

Periode-Periode Periwayatan hadits

Mata Kuliah : Ulumul Hadits


Dosen Pengampu: Dahrun Sadjadi, M.A

DISUSUN OLEH:
Fajar Slastiawan (1120180029)

Aida Nur Azizah (1120180008)

Muhammad Imran (1120180003)

Muslim Aqil (1120180048)

Ahmad Ulinnuha (1120180051)

Alyaa Ayassy (1120180042)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Apabila mendengar kata “sejarah”, sudah pasti mengarah pada sesuatu yang
sudah berlalu. Dalam arti lain kata “sejarah” dapat diartikan sebagai sebuah jembatan
yang menghubungkan masa lampau dan masa kini dan menunjukan arah masa depan.
Hadits adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits
sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun
terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prakodifikasi. Mudah-
mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak dan arif
dalam menghadapi masa depan dan mampu membawa misi islam yang Rahmatan
lil’alamin.
Tiada gading yang tak retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami sadar bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan demi kesempurnaan dalam penyusunan makalah-makalah
selanjutnya.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul masalah-masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Hadits Pada Periode Rasulullah SAW?
2. Bagaimana Hadits Pada Periode Sahabat?
3. Bagaimana Hadits Pada Periode Tabi’in?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,maka tujuan yang hendak dicapai adlah
sebagai berikut :
1. Mengetahui periwayatan Hadits pada Periode Rosululloh SAW ?
2. Mengetahui periwayatan Hadits pada Periode al-khulafa’ al-rasyidin ?
3. Mengetahui periwayatan Hadits pada Periode sahabat kecil?
4. Mengetahui periwayatan Hadits pada Periode Tabi’in?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Periwayatan Hadits pada Periode Nabi Hidup


Hadits yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena,
para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadits Nabi dan
kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan beberapa
pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut :
a) Umar bin Al-Khathab
Umar bin al-Khathab telah membagi tugas dengan tetangganya
untuk mencari berita yang berasal dari Nabi, maka Umar pada esok
harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan
memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia
segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dengan
demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat
menemui Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh hadits dari
sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi.
b) Malik bin al-Huwayris,
pengalaman Malik bin al-Huwayris menunjukkan bahwa pada
zaman Nabi para sahabat sangat besar minatnya menimba pengetahuan
langsung dari Nabi. Pengetahuan yang mereka peroleh, termasuk juga
hadits Nabi, mereka ajarkan kepada keluarga mereka masing-masing.

Di samping itu, kebijaksanaan Nabi mengutus para sahabat ke berbagai daerah,


baik untuk tugas khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan, tidak kecil
peranannya dalam penyebaran hadits. Berbagai peperangan yang banyak dimenangkan
oleh Nabi dan umat islam di berbagai daerah, juga turut mempercepat proses
penyebaran hadits. Seiring dengan itu, umat Islam menyebar ke berbagai wilayah yang
telah tunduk pada kekuasaan Islam. Penyebaran umat Islam bukan hanya untuk mencari
nafkah, melaikan juga untuk kepentingan dakwah. Melalui dakwah-dakwah itu, tersebar
pulalah hadits Nabi.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadits pada zaman Nabi
berjalan dengan lancar. Kelancaran periwayatan hadits terjadi karena 2 hal yaitu cara
yang ditempuh oleh Nabi dalam menyampaikan haditsnya dan minat yang besar dari
para sahabat.
Nabi melihat minat yang besar para sahabat untuk menyebarkan hadits akan
dapat menjerumuskan mereka ke dalam penyampaian berita yang tidak benar. Karena
pada galibnya, manusia cenderung senang membumbui berita yang disampaikannya.
Selain itu, masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita yang sensasional dan yang
didramatisasikan. Keadaan ini telah mendorong Nabi bersabda :
“Telah cukup seseorang dinyatakan berdusta apabila orang itu menceritakan
seluruh yang didengarnya.” (Riwayat Muslim dan al-Hakim dari Abu Hurayrah)
Hadtis ini dan berbagai pernyataan sahabat Nabi yang semakna dengannya,
dinyatakan oleh al-Nawawiy sebagai petunjuk tentang larangan menceritakan semua
berita yang telah didengar. Berita yang didengar ada yang benar dan ada yang bohong.
Jika semua berita yang didengar diceritakan, berarti orang itu telah menyampaikan
berita bohong. Muslim dan al-Hakim tampak cenderung memahami hadits diatas bukan
hanya berkaitan dengan berita pada umumnya, melainkan ada juga hubungannya
dengan periwayatan hadits Nabi. Berdasarkan petunjuk hadits di atas dapat dinyatakan,
bahwa Nabi merasa khawatir bila minat yang besar untuk menyebarkan berita ini tidak
terkendali, maka akan timbul dampak yang negatif.

2. Periwayatan Hadits pada Periode Sahabat Besar (al-khulafa’ al-


rasyidin)
Setelah nabi wafat kepemimpinan umat berada di tangan shahabat nabi. Yang
menerima kepemimpinan itu ialah Abu Bakar al-Sidiq(w.13H/632M) dilanjutkan oleh
Umar bin abiy thalib (w.23H/644M). Usman bin Affan (w.35H/656M), Aliy bin abiy
thalib (w.40H/661M). ke-empat khaligah ini dikenal dengan sebutan al-khulafa’ al-
rasyidin dan periodenya disebut dengan Zaman Shahabat Besar. Sikap al-Khulafa’ al-
rasyidin mengenai periwayatan hadits nabi menurut masa kepemimpinan ialah sebagai
berikut:
a) Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabbiy (W.748h/1447M). Abu Bakar
adalah shahabat nabi yang pertama-tama menunjukan kehati-hatiannya dalam
periwayatan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy didasarkan pengalaman Abu Bakar ketika
menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Abu Bakar tidak melihat petunjuk dalam
Al-Qur’an dan praktek nabi. Tetapi ketika Abu Bakar bertanya kepada Shahabat Al-
Mughirah bin Syu’bah menyatakan Abu Bakar,bahwa nabi memberikan seperenam
bagian. Lalu Abu Bakar meminta agar al-mughirah menghadirkan saksi. Akhirnya Abu
Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan
Hadits Nabi yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.
Kasus tersebut menunjukan bahwa Abu Bakar tidak bersegera menerima riwayat
Hadits, sebelum meneliti periwayatnya.Dalam penelitiannya Abu Bakar meminta para
periwayat Hadits untuk memberikan saksi. Sikap Abu Bakar sangat ketat dalam
periwayatan hadits itu dibuktikan dalam tindakannya membakar beberapa catatan-
catatan Haditsnya.
Oleh karena itu, jumlah Hadits yang diriwayatkan relatif tidak banyak.
Walaupun beliau adalah shahabat yang telah bergaul lama dan sangat akrab dengan
nabi.Data sejarah mengenai kegitatan periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu
Bakar sangat terbatas. Karena umat islam dihadapkan berbagai ancaman dan kekacauan
yang membahayakan pemerintahan. Atas desakan Umar bin al-Khathab,abu bakar
segera melakukan penghimpunan Al-Qur’an(jam al-Qur’an) dan mengesampingkan
periwayatan Hadits.
b) Umar bin al-khathab
Periwayatan Hadits pada zaman Khalifah Umar bin al-khathab menjadi sesuatu
yang cukup diminati terbukti oleh banyaknya hadits-hadits yang sudah di riwayatkan
akan tetapi Umar juga memberi perhatian khusus terhadap periwayatan hadits. agar
tidak memperbanyak periwayatan hadits dan berkonsentrasi untuk membaca dan
mendalami Al-Qur’an. Abu hurairah pernah menyatakan “sekiranya dia banyak
meriwayatkan hadits pada zaman Umar,niscaya dia akan dicambuk oleh Umar” . alasan
Umar bin al-Khathab melarang memperbanyak periwayatan hadits karena:
1. Umar pernah menyuruh umat islam mempelajari hadits Nabi dari para
ahlinya, karena mereka mengetahui kandungan Al-Qur’an
2. Umar sendiri cukup banyk meriwayatkan hadits Nabi. Ahmad bin
Hambal (w.241H/855M) telah banyak meriwayatkan Hadits Nabi
yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus Hadits.
3. Umar pernah merencanakan menghimpun Hadits Nabi secara tertulis.
Umar meminta pertimbangan kepada para shahabat.Umar juga
meminta petunjuk pada Allah dengan cara sholat istikharah. Hingga ia
mengurungkan niatnya untuk menghimpun Hadits. beliau khawatir
himpunan hadits itu memalingkan perhatian umat islam dari Al-
Qur’an.
4. Umar cukup ketat dalam periwayatan hadits agar tidak adanya hadits
palsu.
c) Usman bin Affan
Secara umum,kebijakan Usman mengenai periwayatan hadits tidak jauh berbeda
dengan kedua khalifah pendahulunya. Hanya saja, langkah Usman tidaklah setegas
Umar bin al-Khathab. Dalam suatu khutbah, ‘usman meminta kepada para shahabat
agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang tidak pernah mereka mendengar hadits
pada zaman Abu bakar dan Umar’. Usman hanya meriwayatkan sekitar empat puluh
hadits Nabi. Itu pun banyak matn Hadits mengenai cara berwudhu yang di riwayatkan
oleh Ahmad bin Hanbal.
Pada zaman Khalifah Usman kegiatan periwayatan hadits lebih longgar dan
cakupan wilayah islam telah menjadi lebih luas mengakibatkan pengendalian kegiatan
pengendalian hadits mengalami kesulitan.
d) Aliy bin Abiy Thalib
Secara umum aliy bin Abiy Thalib baru bersedia menerima riwayat Hadits Nabi
setelah periwayat Hadits tersebut mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang
disampaikannya berasal dari nabi. Fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi aliy
tidaklah syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. sumpah dianggap tidak perlu, bila
orang yang menyampaikan riwayat hadits telah diyakini dan tidak mungkin keliru. Aliy
sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits. hadits yang diriwayatkan berupa lisan dan
tulisan(catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang :
1. Hukuman denda (diyat)
2. Pembebasan orang islam yang ditawan oleh orang kafir
3. Larangan melakukan hukuman kisas (qishash) terhadap orang islam
yang membunuh orang kafir
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan Hadits dari Aliy bin Abiy Thalib sebanyak
780 hadits. sebagian matn dari hadits tersebut berulang-ulang karena perbedaan sanad-
nya. Dalam Musnad Ahmad. Aliy dan Abiy thalib merupakan periwayat hadits
terbanyak bila dibandingkan dengan khalifah pendahulunya.
Pada masa khalifah Aliy bin Abiy Thalib situasi sama sekali berbeda dengan
sebelumnya. Pertentangan politik, peperangan antara kelompok pendukung Aliy dengan
pendukung Mu’awiyah. Hal ini membawa dampak negative dalam kegiatan periwayatan
hadits. yang menyebabkan tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.

Dai uraian di atas dapatlah dinyatakan bahwa kebijaksanaan al-Khulafa al-


Rasyidin mengenai periwayatan hadits sebagai berikut :
1. Seluruh khalifah sependapat mengenai pentingnya sikap hati-hati
dalam periwayatan hadits
2. Larangan memperbanyak periwayatan hadits, ditekankan oleh Khalfah
Umar, tujuan pokoknya agar periwayat bersikap selektif dalam
meriwayatkan hadits dan agar umat tidak dipalingkan perhatiannya
dari Al-Qur’an
3. Penghadiran saksi atau pengucapan sumpah bafi periwayat hadits
merupakan slah satu cara meneliti riwayat hadits. periwayat dinilai
memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban
mengajukan saksi atau bersumpah
4. Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. riwayat hadits
yang telah diriwayatkan oleh ketiga Khalifah berupa lisan selain Aliy
bin Abiy Thalib
5. Di kalangan umat islam, sikap hati-hati dalam periwayatan hadits
lebih menonjol pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar bin al
Khathab dibandingkan dengan kedua khalifah sesudahnya. Untuk
mendapatkan hadits yang berkualitas shahih diperlukan penelitian
mendalam, baik terhadap masing-masing periwayatnya maupun matn-
nya

3. Periwayatan Hadits pada masa Sahabat kecil


Anas bin Malik pernah berkata, “seandainya dia tidak takut keliru,niscaya
semua yang di dengarnya dari Nabi disampaikannya kepada orang lain” biasa di
sebut dengan masa sahabat kecil. Pada masa ini muncullah Tabi’in

Diantara sahabat Nabi yang masih hidup setelah masa Periode al-khulafa’ al-
rasyidin. Yang mempunyai peranan besar dalam periwayatan hadis Nabi adalah Siti
A’isyah istri Nabi yang wafat pada 57 H.Selain Siti A’isyah sahabat Nabi yang
mempunyai peranan besar dalam periwayatan hadits ialah Abu Hurayrah wafat setahun
setelah Siti A’isyah wafat 58 H, Abdulloh bin Abbas 68 H, ‘Abdulloh bin Umar 73 H.
Sama seperti para pendahulunya generasi ini sangat hati-hati dalam meriwayatkan
hadist nabi.

Anas bin Malik pernah berkata, “seandainya dia tidak takut keliru,niscaya
semua yang di dengarnya dari Nabi disampaikannya kepada orang lain”

Pernyataan Anas bin Malik ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadist yang
pernah di dengar dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau para tabi’in.Dia
berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadist.

Namun kehati-hatian dalam periwayatan hadits pada masa sahabat sesudah


periode al-khulafa’ al-rasyidin tidak lagi menjadi ciri yang menonjol, walaupun
dinyatakan bahwa periwayat yang sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits tidak
sedikit jumlahnya. Ini berarti, tidaklah setiap periwayat hadits dapat dipercaya
riwayatnya. Karenanya untuk memperoleh riwayat hadits yang matn-nya sahih, terlebih
dahulu diperlukan penelitian yang mendalam, bukan hanya terhadap matn hadits,
melainkan juga kapada kepribadian periwayatnya

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadits Nabi pada zaman
sahabat setelah al-khulafa’ al-rasyidin telah lebih banyak dan luas di bandingkan
dengan kegiatan periwayatan hadits yang dilakukan pada ,masa sah.abat al-khulafa’ al-
rasyidin.

4. Periwayatan Hadist Sesudah Generasi Sahabat(Tabi'in)


Pada masa generasi tabi’in ini tata cara penyampaian dan penerimaan riwayat
Hadits Nabi telah dibakukan. Hal ini berkaitan dengan upaya Ulama untuk
menyelamatkan Hadits Nabi dari pemalsuan-pemalsuan Hadits yang sedang
berkembang. Sikap hati-hati dalam periwayatan Hadits dikalangan tabi’in tidak jauh
berbeda dengan sikap para sahabat Nabi.
Dan pada masa ini kegiatan periwayatan Hadits tampak semakin semarak.
Berikut ini beberapa nama tokoh yang menggambarkan secara umum besarnya
perhatian Ulama Hadist terhadap periwayatan Hadist pada zaman tabiin tersebut,
khusunya sampai masa penghimpunan Hadist :

A. Sa’id bin Al-Musayyab (w. 94H/712M).


Beliau mengadakan perjalanan siang malam untuk mendapatkan
sebuah Hadist Nabi.
B. Muhammad bin Muslim bin Syihad Al-Zuhri (w. 124H/742M).
Pernah mengdiktekan Hadist Nabi sebanyak 400 Hadist dan
mengdiktekan ulang 400 Hadist tersebut setelah 1 bulan berikutnya.
Dan sungguh luar biasa 400 Hadist yang di diktekan diawal dan
setelah 1 blan berikutnya sama persis dan tidak ada perbedaan
lafadznya. Hal tersebut menunjukan betapa tinggi kemampuan
hafalannya mengenai Hadist Nabi.
C. Abu ‘Amr ‘Abd al-Rahman bin ‘Amr’ al-Awza’iy (w. 157H/774M).
Terbiasa melakukan penelitian dan pengujian sebelum menerima
Hadist.
D. ‘Aliy bin al-madiniy (w.234H/848M).
Menyatakan, bahwa mendalami makna Hadist merupakan
separuh pengetahuan dan mengenal dengan baik keadaan periwayat
Hadist merupakan separuhnya lagi.
E. Al- Syafi’iy (w. 206H/820M).
Telah mencari Hadist yang ada pada Malik bin Anas di Madinah,
kemudian menuju Iraq.
F. Ahmad bin Hanbal (w. 241H/855M).
Telah mencari dan mengumpulan Hadist Nabi yang ada di Iraq,
Yaman, Jazirah Arab, dan Syam.
G. Al-Bukhary (w. 256H/870M).
Telah mencari dan meneliti Hadist abi ke berbagai Kota dan
Daerah. Pernah diuji dimuka umum oleh Ulama Bagdad tanpa
persiapan dan diberikan 100 Hadist yang ditukar-tukar Matan dan
Sanad nya. Lalu Bukhary diminta untuk menyesuaikan Sanad dan
Matan nya yang telah ditukar-tukar secara benar.
Tokoh-tokoh diatas adalah bukti kehati-hatian dan keluasan pengetahuan serta
hafalan Ulama sesudah zaman generasi sahabat Nabi dalam hal periwayatan Hadist.
Mereka tidak hanya mengkaji Matannya saja melainkan juga nama-nama periwayat dan
susunan Sanadnya.
Para Ulama memberikan beberapa gelar Honoris Kausa. Gelar yang terendah
adalah Al-Musnid kemudian Al-Muhaddits, Al-Hafidzh, Al-Hakim dan yang tertinggi
Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits. Kemunculan gelar-gelar tersebut adalah bukti bahwa
Hadist Nabi telah menjadi perhatian yang sangat besar dikalangan Ulama dan
masyarakat.
Riwayat Hadits pada zaman ini tidak memperoleh Hadits secara langsung dari
Nabi, karena memang tidak sezaman dengan Nabi. Mereka menerima riwayat Hadits
dari :
A. Generasi sebelum mereka, tapi masih sempat sezaman dengan
mereka(sahabat)/tabiin.
B. Berasal dari 1 generasi dengan mereka.
C. Berasal dari generasi berikutnya yang sempat sezaman dengan
mereka.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hadits ialah pedoman umat islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karenanya
kegiatan periwayatan hadits mendapat perhatian khusus oleh umat islam. Kegiatan
periwayatan hadits menjadi poin pertama yang diperhatikan dalam meneliti sebuah
hadits. Berdasarkan uraian di atas periwayatan hadits terbagi dalam empat periode.
Yaitu, periode Nabi, periode al-Khulafa al-Rasyidin, periode sahabat kecil, dan periode
setelah sahabat atau lebih dikenal dengan Tabi’in. pada periode-periode tersebut
kegiatan periwayatan hadits menjadi sebuah kegiatan yang penting dan mendapat
perhatian yang besar dalam penyampaian sebuah hadits oleh karenanya dalam setiap
penyampaian hadits para periwayat hadits sangatlah berhati-hati dalam
penyampaiannya. dan kegiatan periwayatan hadits juga memperhatikan matn-nya atau
runut penyampaian sebuah hadits agar dapat dipastikan bahwa hadits yang di sampaikan
ialah shahih atau sesuai dengan petunjuk dan perbuatan nabi. Selain itu mengurangi
adanya hadits palsu.

Anda mungkin juga menyukai