Muqaddimah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan
di dunia Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat dilihat
dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat banyak yang
mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada mereka. Ada juga sejumalah sahabat yang
menyimpan surat-surat nabi atau salinannya. Hudzaifah r.a. menutukan bahwa Nabi
meminta dituliskan nam orang-orang yang masuk Islam, maka Hudzaifah menuliskannya
sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan registrasi nama orang-orang yang
mengikuti perang.2
Bahkan seperampat abad sesudah Nabi wafat, di Madinah sudah terdapat gudang
kertas yang berhimpitan dengan rumah Utsman bin Affan. Dan menjelang akhir abad
pertama pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada para gubernur.3
Rasulullah SAW yang menjadi kepala negara Madinah semenjak tahun pertama
Hijriyah hidup di tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat bisa bertemu dengan
beliau secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit seperti sekarang ini. Rasulullah
SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar, ruma dan dalam perjalanan.
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai
hadits4 – akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba
mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua
sahabat mendengar satu hadis secara bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan
hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah bin Amru bin Ash.
Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said al Khudri meyebutkan
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia sahifah-sahifah berisi hadits-
hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah Jabir Ibn Abdullah,
1
Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Study Hadits, yang dibimbinh Oleh Dr. Luthfi Fathullah,
MA, pada Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor jurusan Pendidikan dan Pemikiran Islam.
2
Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000. Hlm. 103
3
Ibn Abd al-Hakam, Sirah Umar bin Abdul Aziz, yang dikutip oleh M.M. Azami dalam buku beliau
Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Hlm. 104
4
Lihat A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007. hlm. 17. ditambahkan
dengan sifat-sifat beliau SAW.
Sejarah Penulisan Hadits
Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya5. Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD
menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa
sejak awal pertama hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar6.
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits
ini tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah
berlalu, padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan
mensarikannya dalam sebuah kitab. pengarang fajrul Islam memberi komentar
Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat
sukar. Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag
mendengarkan dan meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-
masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan sebuah hadits di
hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain7.
Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau
dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan
ada yang di kota. Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah
kewanitaan dan rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan
menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim
”Dan ceritakanlah dariadaku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa
yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia
bersedia menempati kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua cara :
a. Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah
Saw.
b. Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan
makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti
Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah
seorang dari yaman datang dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku”,tulislah
Abu Syah ini.”9
5
Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997. hlm. 67
6
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. hlm. 121
7
Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968. hlm. 285
8
M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998. hlm. 47 et Seq
9
Lihat Bukhari dalam Shahihnya kitab Ilm yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
2
Sejarah Penulisan Hadits
.» ج مِ ُن فمى ِإ ّل حَ ّق
ُ ُخر
ْ ب فَوَالّذِى نَفْسِى بِيَدِ ِه مَا َي
ْ ُ« اكْت
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku
kecuali kebenaran”
Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini adalah pendapat
para ulama untk mengkomromikan kedua hadits ini;
1. Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang
memerintahkan menulis
2. Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus
diizinkan
3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan
mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan
kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
4. Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-
Qur’an, sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
5. Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan
dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.
Pada masa erintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan hadits tidak begitu
pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua khalifah ini dalam masalah hadits, mereka
menginstruksikan agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah Uimar
r.a dengan tegas melarang memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar
al-Qur’an terpelihara kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam
pengkajian al-Qur’an dan penyebarannya.
Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang sekali,
pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan hadits yang ada
padanya lalu Abu Bakar membakarnya.
Lain halnya ada masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit memberi
kelonggaran dalam mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar
tidak bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali r.a, melarang penulisan selain al-Qur’an
yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau sendiri memiliki
sahiofah yang berisi kumpulan hadits.10
2
Sejarah Penulisan Hadits
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitna besar,
dimana mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan pendukung Ali (syi’ah),
golongan pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.
Dalam perkembangannya golongan-golongan ini mulai memalsukan hadits dengan
tujuan membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan golongan lain. Hal ini
mendorong para sahabat dan tabi’in lebih berhati-hati dalam meriwatkan dan
mengumpulkan hadits. Tapi walau bagaimanapun belum ada kodifikasi secara formal.
Abad pertama seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab sahabat-sahabat yang
banyak meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama Hijriyah ini, walaupun ada
yang meninggal sesudah itu. Tidak dipungkiri bahwa pada abad pertama penulisan hadits
yang dilakukan oleh tabi’in juga sudah ada. Oleh karena itu perlu dipisahkan antara
hadits-hadits yang di tulis oleh para Sahabat dan hadits-hadits yang ditulis oleh Tabi’in.
Dalam pembahasan ini akan dikhususkan pada tulisan para Sahabat.
Disini akan dituliskan nama-nama sahabat, serta kegiatan mereka berkenaan dengan
penulisan hadits, serta tahun mereka lahir dan kapan wafatnya. Hal ini penting kita
ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan hadits.
2
Sejarah Penulisan Hadits
Beliau wafat sebelum tahun 40 H. Abu Bakr bin Abd Rahman mengatakan, ia
diberi kitab oleh Abu Rafi’ yang berisi hadits-hadits tentang pembukaan shalat16.
Hadits-hadits dari Abu Rafi’ ditulis oleh Abdullah bin ’Abbas; seperti yang
dituturkan Salma, ia melihat Abdullah bin Abbas membawa papan-papan untuk
menulis hadits-hadits amaliah Nabi dari Abu Rafi’17.
6. Abu Sa’id al-Khudri
Nama aslinya Sa’ad bin malik, RA, (w. 74 H). Beliau dekenal sebagai orang yang
melarang murid-muridnya untuk menulis hadit-hadits daripadanya. Tetapi beliau
menulis hadits untuk dirinya sendiri, sebagaimana dikutip al-Khatib al-Bagdadi
dalam kitab Taqyyid al-’Ilm bahwa belai berkata ”Saya tidak menulis apapun
selain al-Qur’an dan tasyahhud18.
7. Abu Syah, orang dari Yaman
Ketika Rasulullah SAW menaklukkan kota Makkah, beliau berpidato, lalu Abu
Syah memohon kepada Rasulullah agar isi pidato itu dituliskan untuknya. Maka
Rasulullah bersabda, ”Tuliskanlah untuk Abu Syah...”19.
8. Abu Musa al-Asy’ari
Nama aslinya Abdullah bin Qais, RA (w. 42 H). Konon beliau menentang
penulisan hadits Nabi. Tetapi beliau menulis surat kepada Abdullah bin Abbas
dengan mencantumkan beberapa hadits nabi20.
9. Abu Hurairah, RA (19 SH – 59 H)
Belaiu adalah tokoh orang-orang yang hafal hadits. Pada awalnya Abu hurairah
tidak memiliki kitab hadits, tetapi pada masa-masa belakangan beliau menuturkan
bahwa beliau mempunyai kitab-kitab hadits, seperti dalam kisah yang
diriwayatkan oleh Fadlbin ’Amr bin Umayyah al-Dlamri21.
10. Abu Hind al-Dari, RA
Hadits-haditsnya ditulis oleh Ma,khul22.
11. Ubai bin Ka’ab bin Qais al-Anshari, RA (w. 22 H)
Beliau adalah tokoh sahabat ahli qira’at. Hadits-hadits beliau ditulis oleh Abu
al-’Aliyah Rufai’ bin Mahran dalam sebuah naskah (buku) besar. Hadits-haditsnya
menyangkut masaalah penafsiran al-Qur’an23.
12. Asma binti ’Umais, RA (w. Sesudah 40 H)
Semula beliau adalah istri Ja’far bin Abu Thalib, lalu menikah dengan Abu bakar,
kemudian dengan Ali bin Abi Thalib. Dan dari ketiga suami tersebut beliau
melahirkan putra-putra. Beliau nenyimpan sahifah yang berisi hadits-hadits
Nabi24.
16
Al Kifayah, 330-331. Ibid
17
Tabaqat Ibn Saad, ii:2: 123. Thaqyyid al-Ilm, 91-92. Ibid
18
Taqyyid al-ilm, 93. Ibn al-Qayyim, Tahdzib al-Sunan, v:248. Ibid
19
Shahih Bukhari, al-Lugatah, 6, hadits 2434, 6880. Ibid
20
Musnad Imam Ahmad, iv: 396, 414. Ibid
21
Musnad Ibn Wahb, 66 â-B. al Ilal, 120 A. Ibid
22
N. Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri, ii: 238. Ibid
23
al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, i:115. Ibid
24
Tarikh al-Ya’qubi, ii:114. Ibid
2
Sejarah Penulisan Hadits
Beliau wafat pada masa Khalifah Marwan bin al-Hakam. Beliau menulis hadits-
hadits Nabi, keputusan-keputusan hukum yang yang ditetapkan oleh Abu Bakar,
Umar, Utsman. Tulisan beliau itu dikirimkannya keada Marwan25.
25
Musnad Imam Ahmad, iv: 226. Ibid
26
Tarikh Wasit, 38. Tarikh al Fasawi, iii:363A. Taqyyid al-‘Ilm, 95-96. disini tidak disebutkan bahwa
Anas bin Malik memperlihatkan catatan haditsnya kepad Nabi. Ibid
27
Al-Ilal, i: 42. Abu Khaitsamah, al-Ilm, 144. Ibid
28
Shahih Muslim, al-Amarah, 10 dan al-Fadhail, 105. Ibid
29
Tadzkirah al-Huffadh, 43 Ibid
30
Musnad Imam Ahmad, iv: 361. Ibid
31
Al-Ila, i: 104. Ibid
2
Sejarah Penulisan Hadits
32
Musnad Imam Ahmad, iv: 141. Ibid
33
Musnad Imam Ahmad, iv: 370 . Ibid
34
Ibn Sa’ad, ii/1:115. al-Mustadrak, i:75. Ibid
35
Musnad Imam Ahmad, v:285. al-Tsiqat, 396. Ibid
36
Al-Mizan, iv: 546 . Ibid
37
Al-Amwal, 393, 395. Ibid
38
Tahdzib, iv: 236-237. al-Isti’ab, Ibn al Madini, al-Ilal, 259 B. Ibid
39
Al-Kamil, iii:4 B. al-Razi, ii/2:382. Ibid
2
Sejarah Penulisan Hadits
Nabi SAW kepada kita untuk waktu beergian dan di rumah. Lalu beliau
mengimlakannya.40
30. Syamghun al-Anshari, Abu Raihana, RA.
Beliau termasuk tokoh penduduk Damaskus, dan orang pertama yang melipat
sahifah yang lebar untuk menulis hadits mudraj dan maqlub. Urwah al-â’ma,
hamba sahaya bani Sa’ad, menuturkan, pada waktu Abu Raihana naik perahu,
beliau membawa sahifah-sahifah hadits.41
31. al-Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi, RA.
Rasulullah SAW mengirimkan surat kepada al-Dhahhak dan memerintahkan agar
istri Asyim al-Dhababi diberi warisan dari diyat(denda pembunuhan) suaminya.
Kemudian al-Dhahhak menulis surat keada Umar bin Khattab, menerangkan
hadits tersebut.42
32. al-Dhahhak bin Qais al-Kilabi, RA. (wafat terbunuh tahun 64 H atau 65 H)
Beliau menulis surat untuk Qais bin Haitsman seraya menyebutkan beberapa
hadits Nabi.43
33. Umm al-Mu’minin ’Aisyah binti Abu Bakar al-Siddiq, RA. (w. 58 H)
Beliau adalah wanita yang sangat cerdas sangat paham al-Qur’an sunnah dan
perkara agama lainnya. Beliau bersama Rasulullah sejak umur 9 tahun sehingga
beliau banyak meriwayatkan hadits yang jumlahnya mencapai 2210 buah hadits.
Beliau pandai membaca dan sering menerima surat dari orang-orang yang
menanyakan sutu masalah dalam agama.44
34. ’Abdullah bin Abu Aufa, RA. (w. 86 H)
Beliau adalah Sahabat Nabi yang wafat aling akhir di Kufa. Ada beberapa murid
beliau yang menuliskan hadits dari beliau ataupun ada yang memintakan agar
dituliskan hadits.45
35. ’Abdullah bin al-Zubair, RA. (2 - 73 H)
Beliau menulis surat kepada salah seorang hakimnya yang bernama Abdullah bin
Utbah bin Mas’ud, seraya mencantumkan sebuah hadits Nabi.46
36. ’Abdullah bin ’Abbas, RA. (3 SH - 68 H)
Beliau sangat alim, sampai disebut tintanya ummat islam. beliau menulis hadits-
hadits Nabi dan terkadang menyuruh hamba-hambanya untuk menulis hadits.47
37. ’Abdullah bin ’Umar bin al-Khattab, RA(10 SH - 74 H)
Beliau adalah alim, dan selalu melakukan hal-hal yang dilakukan Rasulullah baik
hal yang kecil maupun yang besar. Dalam surat-suratnya beliau menulis hadits-
hadits Nabi. Beliau juga memiliki buku-buku hadits serta mempunyai naskah
kitab sadaqah milik Umar bin Khattab, yang ternya itu adalah naskah kitab
sadaqah Nabi SAW.48
40
Siyar â’lam al-Nubala, ii:331. Ibid
41
Al-Ishabah. i:157 . Ibid
42
Sunan Ibnu Majah, al-diyat, 12 (hadits no. 2642) Ibid
43
Musnad Imam Ahmad, iii:453 . Ibid
44
Lihat misalnya Shahih Muslim, alhajj, 369. Ibid
45
Musnad Imam Ahmad, iv: 353-354 . Ibid
46
Musnad Imam Ahmad, iv:4. Ibid
47
Ibn Sa’ad, ii/2:123. Ibid
48
Al-Buukhari, Tarikh al-Kabir, i/1:325. Ibid
2
Sejarah Penulisan Hadits
49
Tabrani, al-Mu’jam al-Kubra, iii:176 Ibid
50
Al Ilal, i:322 dan Jami, bayan al-Ilm, i:66. Ibid
51
Shahih Muslim, al-iman, 54. taqyyid al-ilm, 54-55. Ibid
52
Bisa dilihat antara lain di Musnad Imam Ahmad, i:79. Ibid
53
Lihat, al-Amwal, 393. Bukhari, Tarikh al-Kabir, i/1:218 Ibid
54
Ibn Tulun, I’lam al-Sailin, 48-52 Ibid
55
Musnad Imam Ahmad, vi:283 . Ibid
56
Shahih Muslim, al-Talaq, 39 . Ibid
57
Al-Ramahurmuzi, 56 A . Ibid
2
Sejarah Penulisan Hadits
Penutup
Sebagai kesimpulan bahwa adanya larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu
masih turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian
al-qur’an yang diikuti oleh para Khalifa Rasyidah dengan memberikan batasan secara
ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang
diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan
suatu permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan
tulis-menulis hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain. Ataupun hadits-hadits
Nabi ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.
Akhirnya kita memohon dan berdo’a kepada Allah agar kita senantiasa dapat
mengikuti sunnah-sunnah Rasul-Nya dan Menyebarkannya. Allahumma Amin.
58
Musnad Imam Ahmad, v:228 . Ibid
59
Musnad Imam Ahmad, iv: 94. Ibid
60
Shahih Bukhari, Adzan, 155. tentang surat Mughirah kepada Mu’awiyah, lihat shahih Bukhari,
Da’wat, 18. Ibid
61
Musnad Imam Ahmad, vi:333 . Ibid
62
Musnad Imam Ahmad, iv:277. Tarikh Ibn Abi Kaitsamah, 144-B. Ibid
63
Siyar â’lam al-Nubala, iv:259 . Ibid
2
Sejarah Penulisan Hadits
Daftar Pustaka
1. Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa
Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
2. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007.
3. Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise,
1997.
4. Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996.
5. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
6. M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998.
7. Bukhari, Shahih Bukhari