Anda di halaman 1dari 3

BAB VI INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia


berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk
yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual,
bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya
yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di
letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang
pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan
kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu
berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa
perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi
di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa
individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya
masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat,
individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti
dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan
karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi
lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu
meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-
mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.

Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat


merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya
hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang
berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi
Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-
individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk
sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah
keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul
dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan
proses kesadaran sebagai langkah terbaik dalam memperlancarkan
keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan
sepakat bekerja sama sebagai langkah terbaik dalam mencapai
tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat didefinisikan
sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-
individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan
dan cita-cita bersama adalah membentuk apa yang kita sebut
sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah
“badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam
mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa”
masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan
sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu), individu
merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat.
Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada.
Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman
senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran,
cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat
kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi
(kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan
mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu
eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat
mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi
masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan
kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.

Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi


tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan
adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang
dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu
ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan individu
lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan
keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih
besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain.
Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan
kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi
setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini
karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah
perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan
sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam
perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau
peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan
lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut
menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang
memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab
material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam
mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah
masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.

Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman


ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil
yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid
(Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan
dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak
ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan
diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan
secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut
memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan
kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara
individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap
alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan
budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba
Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-
masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam
menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah,
mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh
Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan
sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di
muka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun
dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial.

Anda mungkin juga menyukai