Anda di halaman 1dari 64

I.

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK ALAMIAH DAN


SOSIAL

A. Pengertian Makhluk Alamiah Dan Makhluk Sosial

Manusia diartikan sebagai makhluk alamiah yaitu karena


manusia tidak bisa lepas dari alam. Manusia membutuhkan alam
untuk hidup. Sebagai contoh, kita memerlukan oksigen yang berasal
dari alam untuk bernafas. Kita juga menggunakan ikan, sayur mayur,
dan air yang berasal dari alam untuk melangsungkan kehidupan.
Manusia memiliki insting untuk menentukan apa yang akan dia
lakukan. Sebagai contoh jika manusia merasakan lapar, otomatis
manusia itu akan mencari makanan untuk mengatasi rasa laparnya.

Manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Artinya manusia


memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi
dengan manusia yang lain. Dalam hidup bersama dengan sesamanya
(bermasyarakat), setiap individu menempati kedudukan (status)
tertentu, mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing – masing,
namun demikian sekaligus ia pun mempunyai dunia bersama dan
tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Melalui hidup dengan
sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya.
Sehubungan dengan ini Aristoteles menyebut manusia sebagai
makhluk social atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987).

B. Hakekat Manusia Sebagai Makhluk Alamiah dan Sosial

Manusia sebagai makhluk alamiah yang mempunyai sifat dan


ciri-ciri sebagaimana makhluk alamiah lainnya, yang terikat dengan
hukum-hukum alamiah. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur
alam, ada unsur benda mati, ada unsur-unsur tumbuh-tumbuhan
(manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang), ada unsur
hewani, dengan kemampuan gerak, mempunyai nafsu, insting dan
sebagainya. Tetapi manusia lebih daripada itu. Manusia secara fisik
mempunyai bentuk lebih baik, lebih indah, lebih sempurna, jadi
secara alami manusia menjadi makhluk paling tinggi.
Dengan kata lain pula, manusia juga tidak dapat lepas dari alam
yang ada disekitarnya sebagai salah satu unsur biotik yang ada di
dalam ruang lingkup alam sekitar. Manusia dan alam memiliki
hubungan yang sangat berkaitan erat dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan sesuai jaman dan pengaruh teknologi yang dimiliki
manusia. Meskipun terkadang dalam proses pendidikan manusia dan
alam seringkali bertolak belakang dan saling merugikan satu sama
lainnya. Pendidikan yang didasari oleh tingkah laku manusia di alam
juga tidak dapat lepas baik dari unsur maupun sifat alamiah manusia
itu sendiri.
Manusia dan alam sangat terhubung erat, bagaimana tidak, tiap
sepersekian detik kita membutuhkan alam secara tidak langsung.
Manusia alamiah lebih cenderung memanfaatkan apa yang ada di
alam sekitarnya. Karena mereka lebih berpikiran bahwa apa yang
dibutuhkannya sudah ada dan sudah disediakan di alam semesta ini.
Hal tersebut mengakibatkan secara tidak langsung tanpa belajar dari
siapapun manusia sudah dapat belajar dan mempelajari
kehidupannya. Ini disebabkan karena manusia yang mempunyai sisi
alamiah yang telah lahir dari akal dan pikirannya sendiri.
Pada hakekatnya sebagai makhluk alamiah yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya terkadang manusia memiliki banyak
persamaan, namun secara psikologi mereka menunjukan perbedaanya
sendiri – sendiri. Kesadaran manusia akan dirinya sendiri merupakan
perwujudan dari sifat alamiah manusia. Kesadaran ini memberi bukti
bahwa manusia sadar terhadap eksistensi dirinya. Eksistensi diri
manusia mencakup pengertian yang luas termasuk kepercayaan
dirinya, harga dirinya, keegoisannya, martabat kepribadiannya,
persamaan dan perbedaan yang mencirikan dengan pribadi lainnya,
dan yang sangat mendasar adalah kesadaran akan potensi – potensi
yang menjadi kemampuan dari ririnya sendiri.
Manusia secara alamiah ingin memenuhi kebutuhan dan
kehendaknya masing – masing, ingin mewujudkan perkembangan
jamannya menurut pendidikan dan kemampuan yang dimilikinya.
Dalam arti ia memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi –
potensi dan membuka kesempatan dalam bidang pendidikan. Tidak
ada manusia yang betul – betul ingin menjadi orang lain, sehingga ia
selalu sadar akan kodrat alamiahnya. Maka setiap individu akan
berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan jati dirinya
sehingga membedakan dirinya dengan yang lainnya.
Manusia dalam perkembangannnya selalu berusaha menemukan
yang baru dan mengembangkan potensi serta arah tujuannya. Arah
perkembangan manusia adalah pribadi yang utuh dimana manusia
berperan penting terhadap setiap lapisan kesadarannya yang
berkembang secara sempurna. Itulah potensi yang dimiliki manusia
dalam dirinya. Itulah kodrat seorang manusia dalam sifat alamiahnya
walaupun barangkali ia belum mencapainya.
Manusia secara alamiah itu merupakan suatu keseluruhan yang
tidak dapat di bagi – bagi. Hal ini merupakan arti pertama dari ucapan
“manusia adalah makhluk alamiah” atau yang biasa disebut (in-
dividere). Aristoteles seakan – akan berpendapat bahwa manusia itu
merupakan penjumlahan dari beberapa kemampuan tertentu yang
masing – masingnya bekerja tersendiri, seperti halnya ada yang
disebut kemampuan – kemampuan vegetatif, seperti makan,
berkembang biak, dan ada sebagian orang yang menyebutnya
kemampuan sensitif seperti bergerak mengamati, bernafsu dan
berperasaan. Adapula yang disebut kemampuan intelektif yaitu
berkemauan dan berkecerdasan.
Descartes pun menyatakan bahwa manusia terdiri atas zat
rohaniah ditambah zat material yang masing – masingnya
mempunyai peraturan – peraturan tersendiri yang bertentangan.
Kaum asosiasionis berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri atas unsur
– unsur pengalaman sederhana yang lalu saling disambungkan secara
mekanis. Willhelm Wundt mengamati sesuatu bahwa kita bukanlah
hanya melihat sesuatu dengan indera mata kita, tetapi juga dengan
seluruh minat dan perhatian yang kita curahkan kepada objek yang
kita amati tersebut dan minat perhatian ini sangat dipengaruhi oleh
niat dan kebutuhan kita sebagai manusia alamiah pada waktu itu.
Manusia merupakan makhluk alamiah yang tidak hanya
memiliki arti bahwa makhluk keseluruhan jiwa raga tetapi juga dalam
arti bahwa setiap manusia itu merupakan pribadi yang khas menurut
corak kepribadiaannya termasuk kecakapan hidupnya sendiri.
Disamping itu, manusia juga tidak lepas dari kehidupan
dilingkungannya yang mana manusia membutuhkan manusia lainnya.
Sehingga manusia sangat berperan penting dalam proses
kehidupannya untuk saling bersosialisasi dengan sesamanya.
Manusia mempunyai peranan dalam kelompoknya yang memiliki
hubungan timbal balik dengan anggota lainnya. Kelompok itu tidak
hanya memiliki kesempatan untuk memperoleh sesuatu bagi dirinya
sendiri, tetapi ia juga mambutuhkan sumbangan dari orang lain.
Inilah hakekat manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah
kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan
bersama, serta bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya didalam
kebersamaan. Kebersamaan manusia yang belajar mengembangkan
kecakapannya dapat dikatakan memiliki tujuan untuk dapat
memberikan sumbangannya terhadap kelompok sosialnya. Manusia
belajar menyesuaikan dirinya dengan norma – norma yang sudah
terbentuk di dalam kelompoknya, atau ikut serta dalam pembentukan
norma – norma yang baru. Sehingga, manusia mulai belajar
mengebelakangkan keinginan – keinginan individual demi
kebutauhan kelompoknya.
Yang menjadi ciri manusia dapat dikatakan sebagai makhluk
sosial adalah adanya suatu bentuk interaksi sosial didalam
hubungannya dengan makhluk sosial lainnya. Manusia adalah
makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak
dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Sebagai
makhluk sosial karena manusia menjalankan peranannya dengan
menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan
perasaannya. Manusia sebagai makhluk sosial dapat Nampak pada
kenyataan bahwa tidak pernah ada manusia yang mampu menjalani
kehidupan ini tanpa bantuan orang lain.
Manusia sebagai makluk sosial artinya manusia sebagai warga
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup
sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai
kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan manusia lain.
Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan
bersosialisai dengan manusia lainnya. Dapat dikatakan bahwa sejak
lahir, dia sudah disebut sebagai makhluk sosial.
Hakekat manusia sebagai makhluk sosial akan membentuk
kaidah perilaku serta bekerjasama dalam sekelompok orang yang
lebih besar. Kemajuan manusia nampaknya akan bersandar kepada
kemampuan manusia untuk kerjasama dalam kelompok yang lebih
besar. Kerjasama sosial merupakan syarat untuk kehidupan yang baik
dalam masyarakat yang saling membutuhkan.
Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial, justru memberikan
rasa tanggungjawab untuk mengayomi individu yang jauh lebih
“lemah” daripada wujud sosial yang “besar” dan “kuat”. Kehidupan
sosial, kebersamaan, baik itu nonformal (masyarakat) maupun dalam
bentuk formal (institusi, negara) wajib mengayomi individu.
Didalam kehidupannya, manusia tidak hidup dalam kesendirian.
Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya.
Ini merupakan salah satu kodrat manusia yaitu selalu ingin
berhubungan dengan manusia lain. Hal ini menunjukkan kondisi
yang interpendensi. Di dalam kehidupan manusia selanjutnya, ia
selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat
dan warga negara. Hidup dalam hubungan interaksi sosial
mengandung konsekuensi baik dalam arti positif maupun negatif.
Keadaan positif dan negatif ini adalah perwujudan dari nila-nilai
sekaligus watak manusia, bahkan pertentangan yang diakibatkan oleh
interaksi antar individu. Tiap-tiap pribadi harus rela mengorbankan
hak-hak pribadi demi kepentingan bersama. Dalam hal ini
dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap
dan suasana kekeluargaan serta kegotongroyongan.
Tidak hanya terbatas pada segi badaniah saja, manusia juga
mempunyai perasaan emosional yang ingin diungkapkan kepada
orang lain dan mendapat tanggapan emosional dari orang lain pula.
Manusia memerlukan kasih sayang, harga diri pengakuan, dan
berbagai rasa emosional lainnya. Tanggapan emosional tersebut
hanya dapat diperoleh apabila manusia berhubungan dan berinteraksi
dengan orang lain dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat.
Dalam berhubungan dan berinteraksi, manusia memiliki sifat
yang khas dan dapat menjadikannya lebih baik. Kegiatan mendidik
merupakan salah satu sifat yang khas yang dimiliki manusia. Imanuel
Kant mengatakan, “manusia hanya dapat menjadi manusia karena
pendidikan”. Jadi jika manusia tidak dididik maka ia tidak akan
menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah
dibenarkan oleh hasil penelitian terhadap anak terlantar. Hal tersebut
memberi penekanan bahwa pendidikan memberikan kontribusi bagi
pembentukkan pribadi seseorang.
Dengan demikian manusia sebagai makhluk sosial berarti
bahwa disamping manusia hidup bersama demi memenuhi kebutuhan
jasmaniah, manusia juga hidup bersama dalam memenuhi kebutuhan
rohani. Manusia dalam hidup bermasyarakat, akan saling
berhubungan dan ssling membutuhkan stu sama lain. Kebutuhan
itulah yang dapat menimbulkan suatu proses interaksi social.
Mariyati dan Suryawati (2003), menyatakan bahwa “interaksi sosial
adalah kontak atau hubungan timbal balik atau respon antar individu,
antar kelompok atau antar individu dan kelompok”. Pendapat lain
dikemukakan oleh Murdiyat Moko dan Handayani (2004), “interaksi
social adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu
proses pengaruh mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap
dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur social”.
“interaksi positif hanya mungkin terjadi apabila terdapat suasana
saling mempercayai, menghargai, dan saling mendukung” (Siagian,
2004). Interaksi social adalah suatu hubungan antar sesame manusia
yang saling mempengaruhi satu sama lain, baik itu dalam hubungan
antar individu, antar kelompok, maupun antar individu dan
kelompok. Interaksi social terjadi jika adanya kontak sosial dan
komunikasi.

II. KEBUTUHAN DAN POLA HUBUNGAN MANUSIA


SEBAGAI INSAN PENDIDIKAN

A. Manusia Sebagai Makhluk Yang Perlu Dididik Dan


Mendidik Diri
Manusia adalah makhluk yang perlu dididik dan mendidik
drinya. Terdapat tiga prinsip antopologis yang menjadi asumsi
perlunya manusia mendapatkan pendidikan dan perlu mendidik diri,
yaitu: 1) prinsip historitas, 2) proinsip idealitas, dan 3) prinsip
posibilitas/aktualitas.
Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia.
Eksistensi manusia tersebut terpaut dengan masa lalunya sekaligus
mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan
demikian, mausia berada dalam perjalanan hidup, dalam
perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah manusia tetapi
sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sebagai
manusia (prinsip historisitas).
Bersamaan dengan hal diatas, dalam eksistensinya manusia
mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal. Sosok manusia ideal
merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang
seharusnya. Sebab itu, sosok manusia ideal tersebut belum
terwujudkan melainkan harus diupayakan untuk dapat
diwujudkan (prinsip idealitas).
Permasalahannya, bagaimana mungkin manusia dapat menjadi
manusia? Terlebih dahulu kita bandingkan sifat perkembangan hewan
dan sifat perkembangan manusia. Perkembangan hewan
bersifat terspesialisasi/tertutup. Contoh: Seekor anak kucing lahir
sebagai anak kucing, selanjutnya ia hidup dan berkembang sesuai
kodrat dan martabat ke-kucing-annya (menjadi kucing). Kita tidak
pernah menemukan bahwa ada seekor anak kucing yang berkembang
menjadi seekor kambing, karena hal itu sangatlah mustahil terjadi.
Sebaliknya, perkembangan pada manusia sifatnya terbuka. Manusia
memang telah dibekali berbagai potensi untuk mampu menjadi
seorang manusia, misalnya: potensi untuk beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, potensi untuk dapat berbuat baik,
potensi cipta, rasa, karsa, karya, dsb. Namun, setelah kelahirannya,
bahwaa potensi itu mungkin terwujudkan, kurang terwujudkan atau
bahkan tidak terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai
dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya (menjadi manusia
seutuhnya), sebaliknya mungkin pula ia brekembang ke arah yang
kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya
(kurang/tidak menjadi manusia).
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menemukan berbagai
fenomena perilaku orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhannya, orag-orang yang berperilaku sesuai dengan nilai dan
budaya masyarakatnya, dsb. Di samping itu, kita pun dapat
menyaksikan orang-orang yang berperilaku kurang/tidak sesuai
dengan perilaku manusia yang seharusnya, baik menurut nilai, norma
agama maupun budayanya. Misalnya seseorang yang berperilaku
koruptor bak tikus kantor?
Anne Rollet, ia melaporkan bahwa sampai tahun 1976 para
entolog telah mencatat 60 anak-anak buas yang hidup bersama dan
dipelihara oleh binatang. Tidak diketahui bagaimana awal
kejadiannya, yang jelas ia menemukan bahwa diantara ke-60 anak
tersebut ada yang dipelihara oleh serigala, kijang, kera, dsb. Anak-
anak tersebut akhirnya berperilaku tidak sebagaimana layaknya
manusia, melainkan betingkah laku sebagaimana binatang yang
memeliharanya. Mereka tidak berpakaian, bertindak agresif untuk
menyerang dan menggigit, tidak dapat tertawa, ada yang tidak dapat
berjalan tegak, tidak berbahasa sebagaimana bahasanya manusia,dll.
(Insisari No.160 Tahun ke XIII, No-VEMBER 1976:81-86).
Demikianah perkembangan hidup manusia bersifat terbuka atau serba
mungkin. Inilah prinsip posibilitas/prinsip aktualitas.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa berbagai
kemampuan yang seharusnya dilakukan manusia tidak dibawa sejak
kelahirannya., melainkan harus diperoleh setelah kelahirannya dalam
perkembangan menuju kedewasaannya. Di satu pihak, berbagai
kemampuan tersebut diperoleh manusia melalui upaya bantuan dari
pihak lain. Mungkin dalam bentuk pengasuhan, pengajaran, latihan,
bimbingan, dan berbagai bentuk kegiatan lainnya yang dapat
dirangkumkan dalam istilah pendidikan.
Di lain pihak, manusia juga harus belajar atau harus mendidik
diri. Dalam bereksistensi yang harus menjadikan diri itu hakikatnya
adalah manusia itu sendiri. Sebaik dan sekuat apapun upaya yang
diberikan oleh pihak lain (pendidik) kepada seseorang (peserta didik)
untuk membantunya menjadi manusia, tetapi apabila seseorang
tersebut tidak mau mendidik diri, maka upaya bantuan tersebut tidak
akan memberikan kontribusi apapun bagi kemungkinan seseorang tadi
untuk emnjadi manusia. Jika sejak kelahirannya perkembangan dan
pengembangan kehidupan manusai diserahkan kepada dirinya masing-
masing tanpa dididik oleh orang lain dan tanpa upaya mendidik diri
dari pihak manusia yang bersangkutan, kemungkinannya ia akan
hanya hidup berdasarkan dorongan instinknya saja.
Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani
keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya
menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu dididik dan
mendidik diri. “Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui
pendidikan” demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori
pendidikannya (Henderson,1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan
hasil studi M.J. Langeveld yang memberikan identitas kepada manusia
dengan sebutan Animal Educandum (M.J. Langeveld,1980).
B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG DAPAT
DIDIDIK
Manusia perlu dididik dan mendidik diri. Berdasarkan konsep
hakikat manusia, dapat ditemukan lima prinsip antropologis yang
melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu:

1. Prinsip Potensialitas
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia yang
ideal. Sosok manusia yang ideal tersebut antara lain adalah manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral
dan berakhlak terpuji/mulia, pintar, cerdas, mempunyai perasaan,
mempunyai kemamuan, mampu berkarya, menghasilkan sesuatu, dst.
Manusia pun memiliki berbagai macam potensi, yaitu potensi untuk
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, potensi untuk
berbuat baik, potensi cipta, potensi rasa, potensi karsa dan potensi
karya. Sebab itu, manusia akan dapat dididik karena manusia sudah
memiliki potensi untuk menjadi manusia yang ideal.
2. Prinsip Dinamika
Ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan diupayakan dalam
rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia yang
ideal. Manusia itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi manusia
yang ideal. Manusia seelalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun
spiritualnya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang
lebih dari apa yag telah ada atau yang telah dicapainya. Ia berupaya
untuk mengaktualisasikan diri agar menjadi manusia ideal, baik dala
rangka interaksi/komunikasinya secara horizontal maupun vertikal.
Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa ia akan dapat
dididik.
3. Prinsip Individualitas
Praktek pendidikan merupakan upaya membantu manusia
(peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menajdi
dirirnya sendiri. Di pihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu
yang memiliki kesendirian (subyektifitas), bebas dan aktif berupaya
untuk menjadi dirinya sendiri. Sebab itu, individualitas
mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
4. Prinsip Sosialitas
Pendidikan belangsung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi)
anatar sesama manusia (pendidik dan peserta didik). Melalui
pergaulan tersebut pengaruh pendidikan disampaikan pendidik dan
diterima peserta didik. Hakikat manusia adalah makhluk sosial, ia
hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupan bersama dengan
sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik di mana
setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya.
Sebab itu, sosialitas meimplikasikan bahwa manusia akan dapat
dididik.

5. Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normtif, artinya dilaksanakan berdasarkan
system nilai norma dan nilai tertentu. Di samping itu, pendidikan
bertujuan agar manusia berakhlak mulia agar manusia berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari
agama, masyarakat dan budayanya. Di pihak lain, manusia berdimensi
moralitas, manusia mampu membedakan yang baik dan yang jahat.
Sebab itu, dimensi moralitas mengimplikasikan bahwa manusia akan
dapat dididik.
Atas dasar berbagai asumsi di atas, jelas kiranya bahwa mnausia
akan dapat dididik, sehubungan dengan ini M.J. Langenveld (1980)
memberikan identitas kepada manusia sebagai “Animal Educabile”.
Dengan mengacu pada asumsi ini diharapkan kita sebagai manusia
harus bersikap sabar dan tabah dalam melaksanakan pendidikan.
C. MANUSIA MAKHLUK BERPENDIDIKAN
Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia dalam
perwujudannya sebagai individu yang menjadi bagian integral dari
masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang penting dan perlu
untuk proses dalam sistem pendidikan, agar dikemudian hari manusia
dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali
dinyatakan bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin bisa
menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai
dengan hakikat asal-mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan
dengan hal itu, pendidikan secara khusus difungsikan untuk
menumbuh kembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada
dalam diri manusia.
Potensi kejiwaan cipta, rasa dan karsa mutlak perlu mendapat
bimbingan berkelanjutan, karena ketiganya adalah potensi kreatif dan
dinamis khas manusia. Adapun sasaran pembimbingan dalam sistem
kegiatan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran atas eksistensi
kehidupannya sebagai manusia yang berasal mula dan betujuan. Di
dalam sistem kegiatan pendidikan berkelanjutan, kesadaran tersebut
menjadi dinamis untuk kemudian bisa membuahkan kecerdasan
spiritual.
Tersirat dalam kodratnya sebagai makhluk pendidikan, atas
potensi kodrat cipta, rasa dan karsanya, manusia berkemampuan untuk
dididik dan mendidik. Kemampuan dididik berarti tiga potensi
kejiwaannya itu sejak kecil bisa menerima perawatan, pertolongan dan
pembimbingan dari orang lain. Sedangkan kemampuan mendidik
berarti pada tingkat kesadaran dan keadaan tertentu, manusia bisa
melakukan perawatan, pembinaan dan pertolongan kepada orang lain.
Dengan kemampuan pendidikan inilah manusia terus membuat
perubahan untuk mengembangkan hidup dan kehidupan dirinya
sebagai manusia. Karena pendidikan adalah masalah khas kodrati
manusia, sepanjang ada manusia, pendidikan akan selalu ada. Jadi
bagi manusia, pendidikan adalah mutlak. Karena itu, tanpa
pendidikan manusia tidak mungkin mampu mencptakan perubahan
untuk mengembagkan hidup dan kehidupannya. Sebab, jika hanya
dengan insting saja, keberadaan manusia dipastikan akan segera
punah.
Manusia haruslah bersikap dan berpilaku adil terhadap diri
sendiri, masyarakat dan terhadap alam. Agar bisa berbuat demikian,
manusia harus berusaha mendapatkan pengetahuan yang benar
mengenai keberadaan segala sesuatu yang ada ini,dar mana asalanya,
bagaimana keberadaannya, dan apakah menjadi tujuan akhir
keberadaan tersebut. Untuk itu, manusia harus mendidik diri sendiri
dan sesamanya secara terus-menerus.

III. PENGERTIAN FILSAFAT DAN MAKNA PENDIDIKAN

A. Arti Filsafat

Apakah filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah


pertanyaan pertama. yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu
filsafat. Istilah "filsafat" dapat ditinjau dari dua segi yakni:

1. Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab


'falsafah', yang berasal dari bahasa Yunani,
'philosophia', yang berarti 'philos' = cinta, suka (loving), dan
'sophia' = pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi 'philosophia'
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran.
Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi
bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut
'philosopher', dalam bahasa Arabnya 'failasuf". Pecinta
pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai
tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya
kepada pengetahuan.

2. Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti


'alam pikiran' atau 'alam berpikir'. Berfilsafat artinya berpikir.
Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat
adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah
semboyan mengatakan bahwa "setiap manusia adalah filsuf".
Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan
tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak
semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah
orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan
sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: Filsafat adalah
hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain:
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-
sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.

Beberapa definisi karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu


filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat
memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan
definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:

1. Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur


murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat
adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan
yang berminat mencapai kebenaran yang asli).

2. Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah


ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya
terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan
asas segala benda).

3. Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) politikus dan ahli


pidato Romawi, merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan
tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk
mencapainya.

4. Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum


Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya.

5. Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa


pikir Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal
segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat
persoalan, yaitu:

" apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)


" apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
" sampai di manakah pengharapan kita?
6. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI,
menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir
radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya
suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan
penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai
kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

7. Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah


ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh
yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap
manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

B. Makna Pendidikan

Ada berbagai ragam makna rumusan pendidikan yang telah


dikemukakan oleh para pakar sesuai dengan sudut pandang dan
konteks penggunaan masing-masing rumusan
tersebut. Pendidikan (education) dalam bahasa Inggris berasal dari
bahasa Latin “educare” berarti memasukkan sesuatu
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pendidikan dimaknai
sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam suatu usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran itu sendiri.
2. Menurut Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 berisi tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal I disebutkan bahwa
makna pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

3. Driyarkoro (Madya Ekosusilo dan Kasihadi, 1989) mengatakan


bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk
memanusiawikan manusia. Dalam konteks
tersebut pendidikan tidak dapat dimaknai sekedar membantu
pertumbuhan secara fisik saja, tetapi juga keseluruhan
perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan
manusia yang memiliki peradaban.

4. Menurut Langgulung (1988: 3) makna pendidikan berarti


pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda,
agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Atau dengan kata
lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin
disalurkan dari generasi ke genarasi agar identitas masyarakat
tersebut tetap terpelihara.

5. Menurut Kneller (1967: 21) makna pendidikan


adalah :Education is the process by which society, through
schools, colleges, universities, and other institutions, deliberately
transmits its cultural heritage – its accumulated knowledge,
value, and skill from one generation to another. Artinya
pendidikan merupakan proses dimana masyarakat melalui
sekolah-sekolah, perguruan tinggi, universitas, dan institusi lain
dengan sengaja mewariskan warisan budayanya-yakni berupa
akumulasi pengetahuan, nilai, dan ketrampilan dari generasi ke
generasi yang lain.
6. Laska (1976: 3), bahwa: Education is one of the most important
activities in which human beings engage. It is by means of the
educative process and its role in transmitting the cultural
heritage from one generation to the next that human societies are
able to maintain their existence. Artinya pendidikan merupakan
salah satu aktivitas yang paling utama yang melibatkan tubuh
manusia. Pendidikan merupakan sarana proses mendidik dan
perannya di dalam mewariskankan warisan budaya dari satu
generasi kepada generasi berikutnya sehingga masyarakat
manusia bisa memelihara keberadaan mereka.
C. Hubungan Filsafat dan Pendidikan

Setelah kita membahas pengertian, jalan, dan tujuan filsafat


serta pendidikan, apa sesungguhnya hubungan antara keduanya
sehingga di sini mesti kita bahas dalam ruang bersamaan?
Jika ditelaah lebih jauh, filsafat dan pendidikan adalah dua hal
yang tidak terpisahkan, baik dilihat dari proses, jalan, serta tujuannya.
Hal ini sangat terpahami karena pendidikan pada hakikatnya
merupakan hasil spekulasi filsafat, terutama sekali filsafat nilai, yaitu
terkait dengan ketidakmampuan manusia di dalam menghindari
fitrahnya sebagai diri yang selalu mendamba makna-kesamaan di
dalam proses, ruang etika, dan ruang pragmatis.
Di satu sisi, manusia selalu menjadi satu-satunya primata yang
selalu menyerukan kebaikan, cinta, dan kebenaran. Namun,
bersamaan dengan itu, manusia pula satu-satunya makhluk yang dapat
membunuh diri dan sesamanya dengan begitu tanpa alasan sama
sekali, selain hanya sebuah kesenangan.
Dalam ruang inilah pendidikan bagi hidup manusia menjadi
sesuatu hal yang penting untuk membawanya pada hidup yang
bermakna. Dengan pendidikan, manusia akan mampu menjalani
hidupnya dengan baik dan benar. Dengan demikian, ia bisa tertawa,
menangis, bicara, dan diam mengambil ukuran-ukuran yang tepat.
Ini sangat berbeda dengan banyak diri yang tidak terdidik.
Hubungan ini menurut pakar merupakan ilmu yang paling tertua
dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Oleh karena itu,
mereka menyebut bahwa filsafat adalah induk semua ilmu-ilmu
pengetahuan di muka bumi ini.
Sementara, filsafat mengakui bahwa menurut substansinya yang
ada itu tunggal, dan berada di tingkat abstrak, bersifat mutlak, serta
tidak mengalami perubahan. Sedangkan, menurut eksistensinya, yang
ada itu plural, berada di tingkat konkret, bersifat relative, dan
mengalami perubahan terus-menerus.
Jadi, segala sesuatu yang ada di dunia pengalaman itu berasal
mula dari satu substansi. Persoalan yang muncul adalah bagaimana
menyikapi segala pluralitas ini agar tidak terjadi benturan antara satu
dan lainnya? Misalnya, pluralitas jenis, sifat, dan bentuk manusia,
binatang, tumbuhan, dan badan-badan benda berasal dari satu
substansi. Apakah yang seharusnya dilakukan agar antara manusia
satu dan lainnya tidak saling berbenturan kepentingan sehingga dapat
mengancam keteraturan social dan ketertiban dunia?
Jawaban terhadap persoalan di atas adalah manusia harus
bersikap dan berperilaku adil terhadap diri sendiri, masyarakat, dan
terhadap alam. Agar dapat berbuat demikian, manusia harus berusaha
mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai keberadaan segala
sesuatu yang ada ini, dari mana asalnya, bagaimana keberadaannya,
dan apakah yang menjadi tujuan akhir keberadaan tersebut. Untuk itu,
manusia harus mendidik diri dan sesamanya secara terus-menerus.
Bertolak dari pemikiran filsafat tersebutlah pendidikan muncul
dan memulai sesuatu. Manusia mulai mencoba mendidik diri dan
sesamanya dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap
eksistensi kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan
ditekankan pada materi yang berisi pengetahuan umum berupa
wawasan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan. Kesadaran
terhadap asal mula dan tujuan kehidupan menjadi landasan bagi
perilaku sehari-hari sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini
selalu bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir.
Tanpa filsafat, pendidikan tidak dapat berbuat apa-apa dan
tidak tahu apakah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, tanpa
pendidikan, filsafat tetap berada di dalam dunia utopianya. Oleh
karena itulah, seorang guru harus memahami dan mendalami filsafat,
khususnya filsafat pendidikan. Malalui filsafat pendidikan, guru
memahami hakikat pendidikan dan pendidikan dapat dikembangkan
melalui falsafah ontology, epistimologi, dan aksiologi.
Pengertian filosof pendidikan dan bagaimana penerapannya
serta apa dampak dari pendidikan harus diketahui oleh guru karena
pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi setiap
manusia, termasuk guru di dalamnya. Jadi, seorang guru harus
mempelajari filsafat pendidikan karena dengan memahami dan
memaknai filsafat itu, akan dapat memberikan wawasan dan
pemikiran yang luas terhadap makna pendidikan.
Filsafat pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan filsafat lainnya, misalnya filsafat hukum, filsafat agama,
filsafat kebudayaan, dan filsafat lainnya.
Dalam pengertian tersebut, filsafat tidak lain bertujuan
membawa manusia mengalami hidup yang dimilikinya dengan
pandangan, pengalaman, pengetahuan, serta penghayatan yang baik
dan benar. Dengan pemahaman tersebut, manusia mampu menyadari
hidup yang dimilikinya dengan benar tanpa adanya.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai
dengan rasa ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-
duanya. Oleh karena itu, dalam filsafat, jauh sebelum persoalan-
persoalan mesti dicari jawabannya, filsafat selalu terlebih dahulu
mempertahankan sejauh mana relevansi persoalan-persoalan tersebut.
Adakah ia sungguh-sunggu memang sebuah problem atau justru hanya
diproblematikakan saja?
Di sini, filsafat membahas sesuat dari segala aspeknya yang
mendalam. Maka, dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaan
menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang
sifatnya relative karena kebenaran ilmu yang ditinjau dari segi yang
dapat diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya, isi alam yang dapat
diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es,
hanya mampu melihat ang di atas permukaan laut saja. Sementara,
filsafat mencoba menyelami sampai ke dasar gunung es itu untuk
meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang
kritis.
Sedangkan, pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu,
sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya,
yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu
pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada
awalnya, pendidikan berada bersama dengan filsafat sebab filsafat
tidak pernah bias mebebaskan diri dengan pembentukan manusia.
Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami
kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup
manusia.
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam
pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan ruhani kea rah kedewasaan. Secara garis besar, pengertian
pendidikan dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, pendidikan; kedua,
teori umum pendidikan; dan ketiga, ilmu pendidikan.
Dalam pengertian pertama, pendidikan pada umumnya
mendidik yang dilakukan oleh masyarakat umum. Pendidikan seperti
ini sudah ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Pada zaman purba,
kebanyakan manusia memerlukan anak-anaknya secara insting atau
naluri, suatu sifat pembawaan, demi kelangsungan hidup
keturunannya. Tindakan yang termasuk insting manusia antara lain
sikap melindungi anak, rasa cinta terhadap anak, bayi menangis,
kemampuan menyusu air susu ibu, dan merasakan kehangatan
dekapan ibu.
Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu
yang bertalian dengan perkembangan manusia. Mulai dari
perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan,
kemauan, social, sampai kepada perkembangan iman. Kegiatan
mendidik bermaksud membuat manusia menjadi sempurna, membuat
manusia meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi
berbudaya. Kegiatan mendidik adalah membudayakan manusia.
Dalam pengertian kedua, pendidikan dalam teori umum,
menurut John Dewey, “The general theory og education dan
Philosophy is the general theory of education.” Dia tidak
membedakan filsafat pendidikan dengan teori pendidikan atau filsafat
pendidikan sama dengan teori pendidikan. Sebab itu, ia mengatakan
pendidikan adalah teori umum pendidikan.
Konsep di atas bersumber dari filsafat pragmatis atau filsafat
pendidikan progresif. Inti filsafat pragmatis yang berguna bagi
manusia itulah yang benar, sedangkan inti filsafat pendidikan
progresif mencari terus-menerus sesuatu yang paling berguna hidup
dan kehidupan manusia. Dalam pengertian ketiga, ilmu pendidikan
dibentuk oleh sejumlah cabang ilmu yang terkait satu dengan yang
lain membentuk suatu kesatuan. Masing-masing cabang ilmu
pendidikan dibentuk oleh sejumlah teori.
IV. PENDEKATAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN

A. Pengertian Filsafat Pendidikan


Menurut Al Syaibani dalam Jalaludin (1997:13), filsafat
pendidikan adalah aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan
filsafat tersebut sebagai cara untuk mengatur, dan menyelaraskan
proses pendidikan. Artinya, bahwa filsafat pendidikan dapat
menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan
untuk mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman
kemanusian merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan.
Sementara itu, filsafat juga didefinisikan sebagai pelaksana pandangan
falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan, falsafah
tersebut menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek pelaksana
falsafah umum dan menitik beratkan kepada pelaksanaan prinsip-
prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam
upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.
B. Pendidikan dalam Analisis Filsafat
Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan
kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang
bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan
keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu.
Pengertian yang luas dari pendidikan sebagaimana
dikemukakan oleh Lodge, yaitu bahwa: “life is education, and
education is life”, akan berarti bahwa seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan segala pengalaman
sepanjang hidupnya merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan
baginya. Dalam artinya yang sempit, pendidikan hanya mempunyai
fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar dan pandangan
hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya
identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan
kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol.
Bagaimanapun luas sempitnya pengertian pendidikan, namun
masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang berhubungan
langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan
merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan
kemanusiaanya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan
menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada
generasi mu, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan
bertanggung jawab akan tugas-tugasnya sebagai manusia, sesuai
dengan sifat hakikat dan ciri-ciri kemanusiannya dan pendidikan
formal di sekolah hanya bagian kecil saja dari padanya. Tetapi
merupakan inti dan bisa lepas kaitannya dengan proses pendidikan
secara keseluruhannya.
Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti bahwa
masalah kependidikan pun mempunyai ruang lingkup yang luas pula,
yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
Memang diantara permasalahan kependidikan tersebut terdapat
masalah pendidikan yang sederhana yang menyangkut praktek dan
pelaksanaan sehari-hari, tetapi banyak pula pula diantaranya yang
menyangkut masalah yang bersifat mendasar dan mendalam, sehingga
memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Bahkan
pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin
terjawab dengan menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi
memerlukan analisa dan pemikiran yang mendalam, yaitu analisa
filsafat. Berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah
kependidikan yang memerlukan analisa filsafat dalam memahami dan
memecahkannya, antara lain:
1. Masalah kependidikan pertama yang mendasar adalah tentang
apakah hakikat pendidikan itu. Mengapa pendidikan itu harus
ada pada manusia dan merupakan hakikat hidup manusia itu. Dan
bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan
kehidupan manusia.
Apakah pendidikan itu berguna untuk membawa kepribadian
manusia, apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian
manusia itu, atau faktor-faktor yang berasal dari luar/lingkungan
dan pendidikan. Mengapa anak yang mempunyai potensi hereditas
yang tidak baik, walaupun mendapatkan pendidikan dan
lingkungan yang baik, tetap tidak berkembang.
2. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu. Apakah pendidikan
itu untuk individu, atau untuk kepentingan masayarakat. Apakah
pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia
ataukah untuk pembinaan masyarakat. Apakah pembinaan manusia
itu semata-mata unuk dan demi kehidupan riel dan materil di dunia
ini, ataukah untuk kehidupan kelak di akhirat yang kekal. Masalah-
masalah tersebut merupakan sebagian dari contoh-contoh
problematika pendidikan, yang dalam pemecahannya memerlukan
usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis, atau analisa
filsafat. Dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.
analisa filsafat menggunakan berbagai macam pendekatan yang
sesuai dengan permasalahannya. Diantara pendekatan (approach)
yang digunakan antara lain:
1. Pendekatan secara spekulatif, yang disebut juga sebagai cara

pendekatan reflektif, berarti memikirkan, mempertimbangkan,


juga membayangkan dan menggambarkan.
2. Pendekatan normatif, artinya nilai atau aturan dan ketentuan

yang berlaku dan dijunjung tinggi dalam hidup dan kehidupan


manusia.

3. Pendekatan analisa konsep, artinya pengertian atau tangkapan

seseorang terhadap sesuatu objek. Setiap orang mempunyai


pengertian atau tangkapan yang berbeda-beda mengenai yang
sama, tergantung pada perhatian, keahlian dan kecendrungan
masing-masing.

4. Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan sekarang yang actual

(scientific analysis of current life) pendekatan ini sasarannya


adalah masalah-masalah kependidikan yang actual, yang
menjadi problem masa kini, dengan menggunakan metode
ilmiah dapat di diskripsikan dan kemudian di pahami
permasalahan-permasalahan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat dan dalam proses pendidikan serta aktivitas-
aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan.

C. Pendekatan Filosofi Dalam Pemecahan Masalah Pendidikan


Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang
bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai
sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan kata lain,
pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk
menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak.
Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat
diterapkan dalam aspek-aspek kehidupan manusia, termasuk dalarn
pendidikan. Filsafat tidak hanya melahirkan pengetahuan baru,
melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan
adalah filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan yang dihadapi. John Dewey (1964) berpendapat bahwa
filsafat merupakan teori umum tentang pendidikan. Filsafat sebagai
suatu sistem berpikir akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan
yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban filosofis pula.
Filsafat pendidikan sebagai filsafat terapan, yaitu studi tentang
penerapan asas-asas pemikiran filsafat pada masalah-masalah
pendidikan pada dasarnya mengenal dua pendekatan yang polaritis,
yaitu :

1. pendekatan tradisional,
2. pendekatan progresif.
Pengertian masing-masing pendekatan dan variasi pendekatan
daripadanya dan aliran-aliran filsafat pendidikan dihasilkannya
akan dijelaskan di bawah ini:

1. Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional dalam filsafat pendidikan melandaskan
diri pada asas-asas sebagai berikut:
a. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah filsafat, sehingga
untuk mempelajari filsafat pendidikan haruslah memiliki
pengetahuan dasar tentang filsafat.
b. Bahwa kenyataan yang esensial baik dan benar adalah
kenyataan yang tetap, kekal dan abadi.
c. Bahwa nilai norma yang benar adalah nilai yang absolut,
universal dan obyektif.
d. Bahwa tujuan yang baik dan benar menenukan alat dan
sarana, artinya tujuan yang baik harus dicapai dengan alat
sarana yang baik pula.
e. Bahwa faktor pengembang sejarah atau sosial (science,
technology, democracy dan industry) adalah sarana alat
untuk prosperity of life dan bukannya untuk welfare of life
sebagai tujuan hidup dan pendidikan sebagaimana yang
ditentukan oleh filsafat.
2. Pendekatan Progresif
Sebagai penghujung yang lain dari pendekatan di atas dan dari
kontinuitas aliran filsafat pendidikan adalah pendekatan
progresif kontemporer dengan dasar-dasar pemikiran sebagai
berikut:
a. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah sosiologi, atau filsafat
sosial humanisme ilmiah, yang skeptis terhadap kenyataan
yang bersifat metafisis transendental.
b. Bahwa kenyataan adalah perubahan, artinya kenyataan hidup
yang esensial adalah kenyataan yang selalu berubah dan
berkembang.
c. Bahwa truth is man-made, artinya kebenaran dan kebajikan
itu adalah kreasi manusia, dengan sifatnya yang relatif
temporer bahkan subyektif.
d. Bahwa tujuan dan dasar-dasar hidup dan pendidikan relatif
ditentukan oleh perkembangan tenaga pengembang sosial
dan manusia, yang merupakan sumber perkembangan sosial
masyarakat.
e. Bahwa antara tujuan dan alat adalah bersifat kontinu, bahwa
tujuan dapat menjadi alat untuk tujuan yang lebih lanjut
sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat.

D. Hubungan filsafat dan teori pendidikan


Hubungan antara filsafat dan teori pendidikan sangatlah penting
sebab ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan.
Filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran teratur yang
menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses
pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan serta menerangkan
nilai-nilai dan tujuan yang ingin di capai.
Sebagaimana telah di kemukakan bahwa tidak semua masalah
kependidikan dapat dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah
semata-mata. Banyak diantara masalah-masalah kependidikan tersebut
yang merupakan pertanyaan-pertanyaan filosofis, analisa filsafat
terhadap masalah-masalah pendidikan tersebut, dengan berbagai cara
pendekatannya, akan dapat menghasilkan pendangan-pndangan
tertentu mengenai masalah-maslah kependidikan bisa tersebut. Dan
atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori-teori pendidikan .
disamping itu jawaban-jawaban yang telah dikemukakan oleh jenis
dan aliran filsafat tertentu sepanjang sejarah terhadap problematika
kehidupan yang dihadapinya menunjukkan pandangan-pandangan
tertentu yang tentunya juga akan memperkaya teori-teori pendidikan.
Dengan demikian terdapat hubungan fungsional antara filsafat dan
teori pendidikan
Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan teori
pendidikan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu
cara Pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan
dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun
teori- teori pendidikannya, disamping menggunakan metode-
metode ilmiah lainnya. Sementara itu dengan filsafat, sebagi
pandangan tertentu terhadap sesuatu obyek, misalnya filsafat
idealisme, realisme, materialisme dan sebaginya, akan
mewarnai pula pandangan ahli pendidikan tersebut dalam teori-
teori pendidikan yang dikembangkannya. Aliran filsafat tertentu
terhadap teori- teori pendidikan yang di kembangkan atas dasar
aliran filsafat tersebut. Dengan kata lain, teori- teori dan
pandangan- pandangan filsafat pendidikan yang dikembangkan
oleh fillosof, tentu berdasarkan dan bercorak serta diwarnai oleh
pandangan dan airan filsafat yang dianutnya.
b. Filsafat, juga berpungsi memberikan arah agar teori pendidikan
yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan
dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai
relevansi dengan kehidupan nyata.artinya mengarahkan agar
teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah
dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek
kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup
yang juga berkembang dalam masyarakat. Di samping itu,
adalah merupakan kenyataan bahwa setiap masyarakat hidup
dengan pandangan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dengan sendirinya
akan menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah
letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan
mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga
merevisi teori pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan
dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari
masyarakat.
c. Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai
fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam
pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan
atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan
dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan
menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-
gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-
data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu.
Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan
arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk
selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori
pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah
ilmu pendidikan (pedagogik).
Di samping hubungan fungsional tersebut, antara filsafat dan teori
pendidikan, juga terdapat hubungan yang bersifat suplementer,
sebagai berikut :

a. Kegiatan merumuskan dasar-dasar, dan tujuan-tujuan


pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia, serta
konsepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral
pendidikannya.
b. Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of
education) yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan
pendidikan atau organisasi pendidikan, metodologi pendidikan
dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan
pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan Negara
Definisi di atas merangkum dua cabang ilmu pendidikan yaitu,
filsafat pendidikan dan system atau teori pendidikan, dan hubungan
antara keduanya adalah bahwa yang satu “supplemen” terhadap yang
lain dan keduanya diperlukan oleh setiap guru sebagai pendidik dan
bukan hanya sebagai pengajar di bidang studi tertentu”.

V. PANDANGAN ESENSIALISME DALAM PENDIDIKAN

A. Konsep Pendidikan Esensialisme


Esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan
kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan
ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya
yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan
yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan,
toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Dengan demikian, Renaissance adalah pangkal sejarah
timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu
timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan
sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul
dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad
pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi
tuntutan zaman.
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen
esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia
fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain,
pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan
ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki
kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat.
Penguatan kualitas esensialisme semakin terlihat dengan adanya
dukungan dari pandangan aliran yang berkualitas pula, karena
esensialisme mendapat dukungan dari kualitas-kualitas dari
pengalaman yang terletak pada dunia fisik dari aliran idealisme dan
realisme. Di sana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan
dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Dengan
demikian di sini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang
menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka
anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai
hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau
obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk
corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung
esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak
melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah
sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia
fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang
merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang
berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Menurut
pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau
gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua
ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang
menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit, serta
segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta
gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang
berdasarkan kepada sumber yang ada pada Tuhan.
Aliran esensialisme, dengan bercokol dari filsafat-filsafat
sebelumnya, dapat memenuhi nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan
dan falsafat yang korelatif sejak empat abad ke belakang, sejak zaman
Renaisance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme awal.
Sedangkan puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan abad ke-
19, dengan munculnya tokoh-tokoh utama yang berperan
menyebarkan aliran esensialisme.
1. Tokoh-Tokoh Esensialisme
Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal munculnya
adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831). Georg Wilhelm
Friedrich Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu
pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang
menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat
dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel
mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-
hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah
manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan
ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan
semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah
sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
George Santayana, dengan memadukan antara aliran idealisme
dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa
nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena
minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya
kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau
nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif
bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih,
melaksanakan).
Pada perkembangan selanjutnya, banyak tokoh-tokoh yang
muncul dan menyebarluaskan esensialisme, diantaranya adalah:
a. Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad
15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang
menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus
berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat
internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum
aristokrat.
b. Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah seorang yang memiliki
pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa
pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan
kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan
bertujuan.
c. John Locke (1632-1704), sebagai pemikir dunia berpendapat
bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
d. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), sebagai seorang tokoh
yang berpandangan naturalis Pestalozzi mempunyai kepercayaan
bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri
manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia
mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai transendental
langsung dengan Tuhan.
e. Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai tokoh yang
berpandangan kosmis-sintesis dengan keyakinan bahwa manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini,
sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum
alam. Terhadap pendidikan, Frobel memandang anak sebagai makhluk
yang berprestasi kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak
adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas pendidikan adalah
memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang murni,
selaras dengan fitrah kejadiannya.
f. Johann Friederich Herbert (1776-1841), sebagai salah seorang
murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis, Herbert berpendapat
bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan
kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-
hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan
pendidikan oleh Herbert sebagai pengajaran yang mendidik.
g. William T. Harris (1835-1909), tokoh dari Amerika yang
pandangannya dipengaruhi oleh Hegel dengan berusaha menerapkan
idealisme obyektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya
adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang
pasti, berdasarkan kesatuan yang memelihara nilai-nilai yang telah
turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada
masyarakat.

2. Beberapa Pandangan Esensialisme dalam Bidang


Pendidikan
Pandangan esensialisme dan penerapannya di bidang
pendidikan antara lain:
a. Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya
mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku.
Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan
adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk
memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke
makrokosmos. Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan
yang dicapai oleh manusia melalui indera memerlukan unsur apriori,
yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa
mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk,
ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada
pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi
kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi
membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil
landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang
berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa
membina dan menciptakan diri sendiri.
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L.
Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental.
Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang
berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah
tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu
adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara
sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk
ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada angkatan berikutnya.
Dengan demikian pandangan-pandangan realisme
mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi
terbatas. Pertama, determinisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar
adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya,
jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan
ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup
yang harmonis. Kedua, determinisme terbatas, memberikan gambaran
kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan
terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan
adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan
pengawas yang diperlukan.
b. Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu
hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat.
Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya
kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak
manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan
dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba
baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak
terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah
ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya
kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang
satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah
rumah yang mempunyai empat bagian:
1) Universum. Pengetahuan merupakan latar belakang adanya
kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya
adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya
dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu
pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2) Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat
hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu
mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya,
mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
3) Kebudayaan. Kebudayaan merupakan karya manusia yang
mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan,
agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4) Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan
kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan
kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan
ientelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang
harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya
kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas
pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman
mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan
perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian. Butler
mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru
haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci.
Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan
moralitas yang tinggi.
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok
yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling
sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat
diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana
merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang paling
kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang
demikian akan bersifat harmonis.

B. Konsep Pendidikan Esensialisme dalam Pandangan


Pendidikan
Esensialisme dalam permulaannya, telah meletakkan ajarannya
dalam hal-hal berikut: (a) Berkaitan dengan hal-hal esensial atau
mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya
tentang dunia di mana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan
hidupnya. (b) Menekankan data fakta dengan kurikulum yang tampak
bercorak vocational. (c) Konsentrasi studi pada materi-materi dasar
tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa asing,
matematika, sejarah, sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinya
bergerak dari skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks.
(e) Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien. (f)
Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu
sendiri. (g) Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi
mendasar tentang dunia yang didiami serta tertarik progressivism.
Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya
identik dengan dasar tujuan ajaran Islam itu sendiri, keduanya berasal
dari sumber yang sama, Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah. Menurut Al-
Syaibani, filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pendidikan
umum, merupakan pedoman bagi perancang dan orang-orang yang
bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran Islam. Filsafat
pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan landasan dasar bagi
penyusunan suatu sistem pendidikan Islam. Pemikiran-pemikiran
filsafat pendidikan Islam menjadi pola dasar bagi para ahli pendidikan
Islam mengenai bagaimana sistem pendidikan Islam yang dikehendaki
dan sesuai dengan konsep ajaran Islam yang berhubungan dengan
pendidikan.
Dalam kaitannya dengan pandangan filsafat pendidikan Islam
pada konsep pendidikan esensialisme ini, terdapat beberapa
pandangan yang perlu mendapatkan perhatian serius, sehingga dapat
dijadikan sebagai bahan dan alat ukur pada pengembangan ilmu
pendidikan Islam itu sendiri, pandangan yang dimaksudkan adalah:
1. Pandangan secara Ontologi
Ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini
dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada
ada pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat,
kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam
yang ada.
Dalam pandangan ini, filsafat pendidikan Islam memberikan
pandangan bahwa prinsip yang mendasari dalam pendidikan adalah
konsep mengenai sang pencipta (Khalik), ciptaan-Nya (Makhluk),
hubungan antara ciptaan-Nya dan pencipta serta hubungan antara
sesama ciptaan dan utusan yang menyampaikan risalah (Rasul).
2. Pandangan secara Epistemologi
Epistemologi esensialisme adalah Teori kepribadian manusia
sebagai refleksi Tuhan, inilah jalan untuk mengerti. Sebab jika
manusia mampu menyadari realita sebagai mikrokosmos dan
makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau
kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestaannya.
Berdasarkan kualitas inilah dia memperoduksi secara tepat
pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial, dan
agama.
hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus.”
3. Pandangan secara Aksiologi
Dasar ontologi dan epistemologi sangat mempengaruhi
pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal, tergantung
pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme sebab
esensialisme terbina oleh keduanya; idealisme melihat sikap, tingkah
laku maupun ekspresi feeling manusia mempunyai hubungan dengan
kualitas baik dan buruk. Sedang realisme melihat sumber pengetahuan
manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidup. Sehingga nilai
baik dan buruk didasarkan atas keturunan dan lingkungan.
Filsafat pendidikan Islam memiliki pandangan aksiologi dimana
di antara prinsip-prinsip yang terpenting yang mengandung nilai
praktis di bidang pendidikan adalah; keyakinan bahwa akhlak
termasuk diantara makna yang terpenting dalam hidup ini. Akhlak
tidak terbatas pada penyusunan hubungan antara manusia dengan yang
lainnya tetapi lebih dari itu juga mengatur hubungan manusia dengan
segala yang tercipta di dalam wujud dan kehidupan bahkan mengatur
hubungan antara hamba dengan Tuhan.
Satu hal pokok yang menjadi inti dalam konsep adalah tujuan,
tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia
di dunia dan akhirat. Isi pendidikan esensialisme mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan
kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esenisalisme semacam
miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan,
kebenaran dan keagungan. Maka dalam sejarah perkembangannya,
kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola idealisme, realisme
dan sebagainya.

VI. Pandangan Aliran Perenialisme


A. Hakikat Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah
sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kekacauan, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Perenialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai
pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip
umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan Zaman
Kuno dan Abad Pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah
kepercayaan – kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realita
dan nilai dari zaman – zaman tersebut. Motif perenialisme dengan
mengambil jalan regresif adalah berpendapat bahwa nilai – nilai
tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan
abad ke dua puluh.
Perenialisme merupakan filsafat yang susunan dirinya
merupakan kesatuan. Maka dari itu premis – premis yang disusun
merupakan hasil pikiran yang memberi kemungkinan bagi seseorang
untuk bersikap yang tegas dan lurus. Oleh karenanya tidak sejalan
dengan prinsip – prinsip yang evolusionistis dan naturalistis.
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang
lahir pada abad ke duapuluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi
terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan
moral, intelektual, dan sosio kultural. Oleh karena itu, perlu ada usaha
untuk mengamankan ketidakberesan tersebut.
Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis, adalah dengan jalan
mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai – nilai atau
prinsip – prinsip umum yang setelah menjadi pandangan hidup yang
kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Peradaban kuno
( Yunani Purba ) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar
budaya bangsa – bangsa di dunia dari masa ke masa, dari abad ke
abad.
Pandangan – pandangan yang telah menjadi dasar budaya
manusia tersebut, telah teruji kemampuan dan kekukuhannya oleh
sejarah. Pandangan para tokoh mengenai perenialisme yaitu:
1. Plato
Plato (427-347SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat
dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan
ukuran moral merupakan sofisme adalah , manusia secara pribadi,
sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada
kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah.
Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri manusia dari
asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut plato, “dunia
idea”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran,
pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang
semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak
mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan
nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu.
Dengan mengunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan
kembali oleh manusia.
2. Aritoteles
Aritoteles (348-322SM), adalah murid plato, namun dalam
pemikiranya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya. Yaitu idealisme.
Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme (realism klasik). Cara
berfikir Arithoteles berbeda dengan gurunya , Plato, yang menekankan
rasional spekulatif. Arithoteles mengambil cara berfikir rasional
empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas ,
yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Aritoteles hidup pada abad ke empat sebelum masehi, namun ia
dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya
Arithoteles merupakan dasar berfikir abad pertengahan yang
melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiri
menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai bapak sains moderen.
Kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan kebajikan, bukanlah
pernyataan atau perenungan pasif, melalaikan merupakan sikap
kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani
sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam
hidupnya dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk
rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang lebih tinggi
yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna.
3. Thomas Aquinas

Thomas Aquinas mencoba mempertemukan satu pertentangan


yang muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran kristen dengan
filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu
yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah neoplationalisme dan
plotinus yang dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquinas ,
tidak dapat pertentanganantara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles)
dengan ajaran agama (kristen). Keduanya dapat berjalan dalam
jalannya masing-masing. Thomas aquina secara terus menerus dan
tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aritoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala
sesuatu yang ada , adanya itu karna diciptakan oleh tuhan, dan
tergantung kepada-ny. Mengalir dari tuhan bagaikan air yang
mengalir dari sumbernya, seperti halnya”emansi”. Thomas Aquinas
menekankan dua hal dalam pemikiran tentang relitantanya, yaitu: 1)
dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar , dan 2) penciptaan
tidak terbatas untuk suatu saat saja, demikian menurut Bertnes
(1979).
Dalam masalah pengetahuan, Yhomas Aquina mengemukakan
bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan
akal budi, menjadi pengetahuan, selain pengetahuan manusia yang
bersumber dari wahyu , manusia dapat memperoleh pengetahuan
dengan melaui pengalaman dan rasionya, (disini ia mengemukakan
pandangan filsafat idealisme,realisme, dan ajaran gerejanya). Filsafat
aquinas disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan
antara neotonisme dengan perenialisme.
B. Pengaruh Aliran Perenialisme dalam Dunia Pendidikan

Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam


dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta
membahayakan, seperti kita rasakan dewasa ini, tidak ada satupun
yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta
kestabilan dalam perilaku pendidik.
Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan
perenialisme, bahwa pendidikan harus lebih mengarahkan pusat
perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan ideal. Perenialisme tidak melihat jalan yang meyakinkan,
selain kembali pada prinsip – prinsip yang telah sedemikian rupa
membentuk sikap kebiasaan, bahwa kepribadian manusia yaitu
kebudayaan dahulu (Yunani Kuno) dan kebudayaan abad pertengahan
(Sadulloh, 2012).
Tujuan dari pendidikan, menurut pemikiran perennialis, adalah
memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang
prinsip – prinsip atau gagasan – gagasan besar yang tidak berubah.
Tuntutan tertinggi dalam belajar, menurut perenialisme adalah
latihan dan disiplin mental. Maka teori dan praktek pendidikan
haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut. Manusia sebagai
makhluk yang memiliki sifat rasional dan sifat itulah yang
melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Manusia memiliki
senjata yang bersifat rasional tersebut untuk dapat menghilangkan
belenggu atau rintangan yang dihadapi dan menjadi merdeka.
Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam
pendidikan, supaya anak didik mempunyai kemampuan untuk
berbuat dengan sengaja. Atas dasar pandangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa belajar itu pada hakekatnya adalah belajar untuk
berpikir.
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan
pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains, bidang – bidang
yang merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan
oleh manusia untuk dapat menjadi “terpelajar secara kultural”. Hanya
satu pertanyaan untuk bidang kurikulum yang harus diajukan :
Apakah para siswa memperoleh muatan yang merepresentasikan
usaha – usaha yang paling tinggi dalam bidang itu ? Jadi, seorang
guru Bahasa Inggris SMU dapat mengharuskan para siswanya untuk
membaca Moby Dick-nya Melville atau sebagian dari drama
Shakepeare bukannya sebuah novel dalam daftar terlaris saat ini.
Sama halnya dengan siswa IPA akan mempelajari mengenai tiga
hukum gerakan atau tiga hukum termodinamika bukannya
membangun suatu model penerbangan ulang alik angkasa luar.
Kebijakan di dunia pendidikan yang relevan menyangkut
beberapa prinsip pendidikan perenialisme secara umum, yaitu :
1. Pada hakikatnya manusia di mana pun dan kapan pun ia berada
adalah sama walaupun lingkungannya berbeda. Tujuan
pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk
mencapai kebijakan dan kebajikan. Hutckin mengemukakan
bahwa pendidikan harus sama bagi semua orang, dimanapun
dan kapanpun ia berada, demikian juga tujuan pendidikan harus
sama yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia.

2. Manusia harus menggunakan rasio untuk mengarahkan sifat


bawaannya sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia
adalah bebas namun mereka harus belajar untuk memperhalus
pikiran dan mengontrol seleranya.

3. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang


kebenaran yang pasti dan abadi. Anak harus diberi pelajaran
yang pasti yang akan memperkenalkannya dengan keabadian
dunia. Anak tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran
yang tampaknya penting suatu saat saja.
4. Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup melainkan
merupakan suatu persiapan untuk hidup. Di sekolah anak
berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial
budaya.

5. Siswa seharusnya mempelajari karya – karya besar dalam


literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, kehidupan
sosial, politik dan ekonomi.

VII. TEORI PENGETAHUAN DAN NILAI

A. Pengertian Pengetahuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring,
pengetahuan berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian atau
segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata
pelajaran).Adapun pengetahuanmenurut beberapa ahli adalah:
1. Menurut Pudjawidjana (1983), pengetahuan adalah reaksi dari
manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar melalui persentuhan
melalui objek dengan indera dan pengetahuan merupakan hasil
yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan sebuah objek
tertentu.
2. Menurut Ngatimin (1990), pengetahuan adalah sebagai ingatan
atas bahan-bahan yang telah dipelajari dan mungkin ini
menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan yang
luas dari hal-hal yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang
diberikan menggunakan ingatan akan keterangan yang sesuai.
3. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan
hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan
terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga.

Dari beberapa pengertian pengetahuan di atas dapat disimpulkan


bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui yang
diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu.
Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat,
mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan
bersikap dan bertindak. Partanto Pius dalam kamus bahasa indonesia
(2001) pengetahuan dikaitkan dengan segala sesuatu yang diketahui
berkaitan dengan proses belajar.
B. Pengertian Nilai
1. Menurut (Antony Giddens, 1995), Nilai adalah gagasan-gagasan
yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tentang apa yang
dikehendaki, apa yang layak, dan apa yang baik atau buruk.
2. Menurut (Horton & Hunt, 1987), Nilai adalah gagasan-gagasan
tentang apakah suatu tindakan itu penting atau tidak penting.
3. Menurut (Richard T. Schaefer dan Robert P.Lmm, 1998), Nilai
merupakan gagasan kolektif (bersama-sama) tentang apa yang
dianggap baik, penting, diinginkan, dan dianggap layak. Sekaligus
tentang yang dianggap tidak baik, tidak penting, tak layak
diinginkan dan tidak layak dalam hal kebudayaan. Nilai menunjuk
pada hal yang penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat.
4. Pengertian Nilai Menurut Notonagoro: Membagi nilai dalam tiga
macam nilai pokok, yaitu nilai materiil, vital, dan kerohanian.
a. Nilai Materiil adalah segala sesuatu yang berguna bagi jasmani
manusia.
b. Nilai Vital adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia
untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas
c. Nilai Kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi
manusia.
Nilai kerohanian dibagi empat macam yaitu :
 Nilai kebenaran (kenyataan), yaitu nilai yang bersumber pada
unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta)
 Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada perasaan
manusia (estetika)
 Nilai moral (kebaikan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur
kehendak atau kemauan (karsa dan etika).
 Nilai religius, yaitu nilai ketuhanan yang tertinggi yang
sifatnya mutlak dan abadi.

Dari berbagai pengertian Nilai menurut para ahli dapat


disimpulkan pengertian nilai adalah pertimbangan terhadap suatu
tindakan untuk mengambil keputusan dalam diri manusia mengenai
apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk bagi dirinya dan
orang lain. Contohnya orang, menganggap menolong bernilai baik,
sedangkan mencuri bernilai buruk.
C. Teori Pengetahuan dan Nilai
1. Teori Pengetahuan (Epistimologi)
Epistimologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan
dengan hakikat ilmu pengetahuan, pengandai–pengandaian, dasar-
dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai
pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indra dengan
berbagai metode, diantaranya :
 Metode Induktif
 Metode Deduktif
 Metode Positivisme
 Metode Kontempletis
 Metode Dialektis
Metode – metode untuk memperoleh pengetahuan :
a) Empirisme
Empiris adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang
mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan memulai
pengalaman. John Locke, Bapak Empirisme Britania,
mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya
merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam
buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi.
Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan
jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama
dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat
penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-
objek material.Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak
kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-
tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
b) Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan
terletak pada akal.Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai
pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di
dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu.Jika
kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai
dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya
dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan
akal budi saja.
c) Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant.Kant
membuat uraian tentang pengalaman.Barang sesuatu
sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan
penalaran.Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan
tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan
hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita,
artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat
bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman
meskipun benar hanya untuk sebagian.Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-
bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d) Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau
pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan
dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam
intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya
suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati
oleh indera.Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat
merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping
pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan.Kant masih tetap
benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada
pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi
baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai
pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya.Intusionisme, setidak-tidaknya dalam
beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang
lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari
pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang
diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa yang
diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka,
sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu
kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah
merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan
hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita
keadaanya yang senyatanya.
e) Dialektis
Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan
metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk
mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam
kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk
melekukan perdebatan.Dalam teori pengetahuan ini merupakan
bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi
pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang
dua kutub.
2. Teori Nilai (Aksiologi)
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios
artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu.Jadi aksiologi adalah
teori tentang nilai.
Terdapat dua kategori dasar axiologi :
a. Objectivisme, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan
apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
b. Subjectivisme, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam
proses peniaian terdapaat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini mucul empat pendekatan etika, yaitu :
1) Teori nilai intuitif (The Intuitive Theory of Value).
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa
dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai
yang absolute.Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang
absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai
ditentukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang
bersifat baku.
Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti
obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan
validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau
perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui
nilai tersebut melalui proses intuitif, iaberkewajiban untuk
mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan
preskripsi moralnya.
2) Teori Nilai Rasional (Therational Theory of Value)
Bagi mereka janganlah percaya nilai yang bersifat
obyektif dan murni independent dari manusia.Nilai tersebut
ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa
seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu dengan
nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang
jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan
dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau
peran Tuhan nilai ultimo, obyektif, absolute yang seharusnya
mengarahkan perilakunya.
3) Teori Nilai Alamiah (Thenaturalistic Theory of Value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan
kebutuhan – kebutuhan dan hasrat – hasrat yang
dialaminya.Nilai adalah produk biososial, artefak manusia,
yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat
untuk melayani tujuan membimbing perilaku
manusia.Pendekatan naturalis mencakup teori nilai
instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi
bersifat relative.Nilai secara umum hakikatnya bersifat
subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4) Teori Nilai Emotif (Theemotive Theory of Value)
Jika aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan
status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep
moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya
merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku.Nilai tidak lebih
dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui
bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan
manusia.

VIII. Pendidikan sebagai pelestarian nilai dan perubahan sosial


IX. Pendidikan sebagai hak dan kewajiban semua warga negara
X. Peningkatan kesempatan dan mutu pendidikan yang adil
bagi semua warga negara

Anda mungkin juga menyukai