Anda di halaman 1dari 31

ILMU NAQD AS-SANAD

Mata Kuliyah : Hadist wa Ulumuh


Doesn Pengampu : Dr. Kholiliurrrahman, M.A.

Oleh :
Awwab Al-Ubbadi
Mufti
Pendahuluan
 Kata sanad berasal dari bahasa arab yang artinya sandaran dan pegangan (Manna’
al-Qaththan: 1992, 207). Bentuk jamaknya adalah asnad. Secara bahasa sanad
juga berarti puncak bukit (Ibn Manzhur: t.th., XIII: 205). Menurut istilah, sanad
dimaknai dengan jalan yang menyampaikan kepada matn (teks) hadis. Maksudnya,
sanad adalah rangkaian perawi yang menukilkan teks hadis dari sumber pertama
(‘Ajjaj al-Khatib: 1989, 32).
 Kata ini dipergunakan dalam istilah ilmu hadis karena makna sanad secara bahasa
dipandang sama dengan perbuatan para perawi hadis dan atau ulama hadis.
Seorang perawi yang hendak menukilkan sebuah hadis, biasanya akan
menyandarkan sanad tersebut kepada perawi yang berada di atasnya (gurunya),
demikian seterusnya sampai kepada akhir (puncak) sanad.
Pendahuluan
 Juga dikarenakan ulama hadis telah menjadikan rangkaian perawi hadis (baca:
sanad hadis) sebagai pegangan atau sebahagian syarat untuk menilai keshahihan
hadis. Ada kata lain yang maknanya hampir sama dengan sanad, yaitu isnad. Isnad
adalah mengangkat suatu hadis kepada sumber yang meriwayatkannya. Di
samping kata isnad, kata thariq (jalan) dan wajh terkadang juga dipakai untuk
menggantikan istilah sanad
 Kritik sanad (naqd al-sanad) adalah penelitian, penilaian dan penelusuran sanad
hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka
masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam
rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (shahih, hasan
dan dhaîf).
Kebutuhan Data
1. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadīṡ yang
bersangkutan.
2. Lambang-lambang periwayatan hadīṡ yang telah digunakan oleh
masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadīṡ yang
bersangkutan.
sumber-sumber referensi rijal hadis
1. Kitab yang disusun berdasarkan generasi (thabaqat)
2. Kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad (alfabetis)
3. Kitab yang khusus membahas biografi para sahabat Nabi
4. Kitab-kitab yang membicarakan para perawi enam kitab
5. Kitab yang menyebutkan riwayat hidup para perawi 10 kitab hadist
6. Kitab yang membicarakan tentang biografi para perawi yang tsiqah
7. Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya diragukan
8. Kitab riwayat hidup para periwayat yang menggunakan nama samaran
Kitab yang disusun berdasarkan generasi (thabaqat)

a) Kitab al-Thabaqat al-Kubra, karya Abu Abdillah Muhammad ibn Sa’ad


Katib al-Waqidi (168-230 H). kitab ini ada delapan jilid, yang semuanya
memuat biografi para sahabat, tabi’in, dan para perawi hadis
sesudahnya sampai kepada para perawi hadis yang hidup semasa
dengan penulis kitab tersebut.
b) Thabaqat al-Riwayat, karya Khalifah ibn Khayyath al-‘Ushfuri (w. 250
H).
c) Kitab Tadzkirat al-Huffadh, karya Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w.
746 H/ 1348 M).
Kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad (alfabetis)

Kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad (alfabetis) agar
mudah digunakan, seperti al-Tarikh al-Kabir, karya al-Imam Muhammad ibn
Ismail al-Bukhari (194-256 H). menurut al-Bukhari kitab yang disusunnya itu
menuat nama-nama yang disusun berdasarkan abjad, akan tetapi dia
memulai penulisan nama dengan nama Muhammad karena kemuliaan
nama Muhammad Saw. Kemudian nama-nama yang ditulis berikutnya
adalah nama-nama selain Muhammad yang berdasarka urutan abjad.
Kitab yang khusus membahas biografi para sahabat Nabi

a) Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab, karya ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H/ 1071 M).
Di antara kitab tentang biografi sahabat, kitab ini tergolong besar. Tidak
kurang dari 3500 sahabat dipaparkan biografinya dalam kitab ini.
b) Usud al-Ghabar fi Ma’rifat al-Sahabah, katya ‘Izzuddin ibn al-Atsir (w.
630 H/ 1232 M). Penulisnya telah mencurahkan segala kemampuannya
untuk mewujudkan karya besar dan bagus ini. Kitab ini memuat 7554
biografi sahabat yang disusun secara alfabetis.
c) Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, karya ibn Hajar al-Asqalani (w. 852H/
1449 M).
Kitab-kitab yang membicarakan para perawi enam kitab

Kitab-kitab yang membicarakan para perawi enam kitab (Sahih al-Bukhari,


Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tumudzi, Sunan al-Nasai, dan
Sunan ibn Majah), antara lain Kitab Al-Kamal fi Asma al-Rijal, karya Abdul
Ghani al-Maqdisi (w. 600 H/1202 M). Kitab ini diringkas oleh Abu al-Hajjaj
Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi (w. 742 H) dengan nama Tahdzib al-Kamal. Akan
tetapi kitab yang terakhir ini juga diringkas dengan nama Tahdzib al-Tahdzib.
Setidaknya ada dua orang yang menulis kitab dengan judul yang sama
dengan kitab yang disebutkan terakhir ini, yaitu Muhammad ibn Ahmad al-
Dzahabi (w. 748 H/ 1348 M) dan ibn Hajar al- Asqalani (w. 852 H/ 1449 M).
kitab ini pun diringkas lagi oleh ibn Hajar al-Asqalani dengan nama Taqrib al-
Tahdzib.
Kitab yang menyebutkan riwayat hidup para perawi 10 kitab hadist

Kitab yang menyebutkan riwayat hidup para perawi 10 kitab hadis (enam
kitab di atas ditambah al-Muwatta’, Musnad al-Syafi’i, Musnad Ahmad dan
Musnad yang berisi hadis riwayat Abu Hanifah himpunan al-Husain ibn
Muhammad ibn Khurs), yakni al-Tadzkirah fi Rijal al-‘Asyarah.
Kitab yang membicarakan tentang biografi para perawi yang tsiqah

Kitab yang membicarakan tentang biografi para perawi yang tsiqah, antara
lain Kitab al-Tsiqah, karya Muhammad ibn Ahmad ibn Hiban al-Busti (w. 354
H), kitab ini disusun berdasarkan tabaqat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah
dan disajikan dalam tiga juz. Juz pertama untuk tabaqat sahabat, juz kedua
untuk tabaqat tabi’an, dan juz ketiga untuk tabaqat tabi’i altabi’an. Kitab yang
lain Tarikh Asma’I al-Tsiqah min Man Naqala ‘anhum al-‘Ilm karya Umar bin
Ahmad bin Syahin (w. 385 H). Kitab ini disusun berdasarkan huruf hijaiyah.
Pada setiap biografinya hanya disebutkan nama perawi, nama bapaknya, dan
pendapat ahli jarh dan ta’dil tentang kredibilitas perawi tersebut.
Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya diragukan

Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya diragukan, seperti


al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal karya Abu Ahmab ‘Abdullah ibn ‘Adi al-Jurjani (w.
365 H), kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal karya al- Dzahabi, dan Kitab
Lisan al-Mizan karya ibn Hajar al-Asqalani.
Kitab riwayat hidup para periwayat yang menggunakan nama samaran

Kitab riwayat hidup para periwayat yang menggunakan nama samaran,


seperti kitab Nadhaf al-Albab fi al-Alqab.
Pengumpulan data dan ketepatan sosok periwayat hadis

Melakukan i’tibar sanad dengan cara pembuatan skema seluruh jalur sanad.
Paling tidak, ada 3 (tiga) tujuan dari kegiatan ini.
1. Pertama, untuk mengetahui keadaan seluruh sanad hadis, dilihat dari ada
atau tidaknya pendukung baik yang berfungsi sebagai syahid atau mutabi’.
2. Kedua, i’tibar sanad juga akan membantu mengetahui nama perawi secara
lengkap sehingga membantu proses pencarian biografi dan penilaian mereka
dalam kitab rijal dan kitab al-jarh wa al-ta’dil.
3. Ketiga adalah untuk mengetahui lambang periwayatan yang digunakan para
perawi sebagai bentuk gambaran awal tentang metode periwayatan
mengingat ‘cacat sebuah sanad seringkali berlindung di bawah lambang-
lambang tersebut.
Analisis data penelitian sanad hadis
1. Langkah pertama, dengan menghimpun semua sanad hadis itu lalu melakukan
i‘tibar sanad menggunakan skema semua rangkaian sanad.
2. Langkah kedua, dengan menelaah periwayat serta bagaimana cara periwayatan
yang dipakai. Dalam langkah ini, semua data tentang informasi perawi seputar
biografi, jarh wa ta’dil di kitab-kitab tabaqat siyar dan lainnya. Selanjutnya
adalah menelaah atas kualitas rawi dari segi ke-’adl-an dan ke-dabitan-nya. Jika
setelah analisis ternyata diketahui bahwa perawi adalah siqqah, maka
periwayatan tersebut diterima.
3. Langkah ketiga yakni menelaah data-data yang telah diadapat guna mengetahui
apakah suatu rawi dengan murid dan gurunya pernah bertemu, sezaman dan
apakah mempunyai hubungan guru dan murid. Sehingga bisa diketahui apakah
rangkaian rawi tersebut Ittisal/bersambung atau tidak.
4. Langkah keempat adalah dengan membuat kesimpulan dari hasil penelitian
sanad. Kesimpulan meliputi hukum sanad dari segi kualitas: seperti apakah
termasuk kategori sahih, hasan atau dha’if, dan dari segi kuantitas sanad:
apakah kategori mutawattir, masyhur atau ahad.
Ilmu Naqd al-Sanad
1. Ittishalu as-Sanad (Tersambungnya sanad)
Maksud dari kaedah ini adalah para perawi yang terdapat dalam suatu sanad menerima
langsung hadis tersebut dari perawi sebelumnya, begitu seterusnya hingga akhir sanad.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sebuah sanad, biasanya para ulama
hadis melakukan hal sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama perawi dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing perawi untuk mengetahui ke-tsiqah-an
perawi dan hubungan guru-murid antar perawi.
c. Meneliti kata-kata periwayatan yang digunakan perawi untuk menegaskan proses
periwayatan hadis
Ilmu Naqd al-Sanad
Jadi, suatu sanad baru dapat dinyatakan bersambung apabila ia memenuhi unsur
kebersambungan yang ditunjukkan dengan adanya kesezaman antar perawi
(mu’asharah) dan hubungan periwayatan hadis berupa pertemuan dalam penyampaian
hadis sebagai guru – murid (liqa’).
Ilmu Naqd al-Sanad
2. Al-’adalah (Kadlialn para periwayat hadist)
Kata adil dalam istilah ilmu hadis, dipahami sebagai suatu sifat yang timbul dalam jiwa
seseorang yang mampu mengarahkan orang tersebut kepada perbuatan taqwa dan
memelihara muru’ah hingga ia dipercaya karena kejujurannya, terpelihara dari
dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil, dan menjauhi halhal mubah yang dapat
menghilangkan muru’ah.
Menurut Syuhudi Ismail, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
persyaratan bagi perawi yang dikatakan ‘adil.
Ilmu Naqd al-Sanad
Dari berbagai perbedaan tersebut, ia menyatakan bahwa syarat adil mengacu kepada
kualitas keberagamaan perawi dan mencakup 4 (empat) persyaratan, yaitu: beragama
Islam, mukallaf, taqwa (menjalankan keajiban agama), dan memelihara muru’ah.

Adapun cara untuk mengetahui ke-‘adalah-an seorang perawi adalah berdasarkan


kepada popularitas keutamaan perawi, penilaian dari ulama kririkus hadis (ulama ‘jarih
wa mu’addil), dan penerapan kaedah al-jarh w al-ta’dil jika para ulama tidak sepakat
tentang kualitas seorang perawi.
Ilmu Naqd al-Sanad
3. Dhabtu Ruwaat (Kedhabitan para perawi)
Yang dimaksud dengan dhabith adalah sikap penuh ingat dan tidak lalai, berupa
kekuatan hafalan bila hadis yang diriwayatkan berdasarkan hafalan, dan benar
tulisannya bila hadis yang diriwayatkan berdasarkan tulisan. Sementara bila perawi
meriwayatkan secara makna, maka ia tahu hal-hal yang dapat mengubah makna.

Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalaniy dan al-Syarkawi, seperti dijelaskan oleh Syuhudi Ismail,
dhabith adalah kuat hafalan terhadap apa yang didengar dan mampu
menyampaikannya kapan saja dikehendaki.
Ilmu Naqd al-Sanad
Dari dua definisi di atas, dapat dipahami bahwa pada hakekatnya sifat dhabith bukan
hanya sekedar kekuatan hafalan seorang perawi, tetapi juga mensyaratkan
kemampuan memahami hadis dan penguasaan pengetahuan lainnya terutama
yang terkait dengan periwayatan bil makna. Karena alasan inilah Syuhudi Ismail
membagi dhabith kepada khafif al-dhabith, dhabith dan tamm al-dhabith.
Ilmu Naqd al-Sanad
• Khafif al-dhabith mengacu kepada perawi yang memiliki kekurangan dari segi
ingatan dan hafalan. Dhabith (dalam arti umum) diperuntukkan bagi perawi yang
hafal dengan sempurna.
• Tamm al-dhabith (dhabith plus) khusus bagi perawi yang hafal dengan sempurna
hadis yang diterimanya, paham dengan baik hadis tersebut dan sekaligus mampu
menyampaikannya.
Tetapi patut ditegaskan bahwa adanya syarat kedhabithan ini tidak berarti
menafikan sifat pelupa atau keliru pada diri seorang perawi. Apabila seorang perawi
sesekali mengalami kesalahan dalam periwayatan, maka ia masih dapat dinyatakan
sebagai perawi yang dhabith dan hal ini tidak akan sampai menjatuhkan kredibilitasnya
sebagai perawi tsiqah (adil dan dhabith).
Ilmu Naqd al-Sanad
Hanya saja pada kasus dimana kesalahan itu terjadi, hadis yang ia riwayatkan harus
ditolak dan dinilai dhaif. Disinilah seorang ulama kritikus hadis harus jeli dan cermat
melakukan analisis dengan tidak menggeneralisir seluruh periwayatan perawi tsiqah
sebagai bernilai shahih, ataupun sebaliknya, menolak seluruh periwayatan hanya
karena satu kealpaan seperti kasus hadis di atas.
Ilmu Naqd al-Sanad
4. ‘Adamu Syaadz (ketiadaan syad)
Ulama berbeda pendapat tentang pengertian syadz dalam hadis. Dari berbagai
pendapat tersebut, yang paling diikuti adalah pendapat Imam al-Syafi’i. Menurutnya,
suatu hadis dinyatakan mengandung syaz bila hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi tsiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak
perawi yang juga bersifat tsiqah. Terkait dengan keshahihan sanad, maka sebuah
sanad tidak boleh mengandung syaz atau pertentangan dengan hadis lain. Faktor
syaz sendiri dapat diketahui setelah dilakukan metode muqaranah (perbandingan).
Metode ini diawali dengan menghimpun seluruh sanad hadis yang mempunyai
pokok masalah yang sama, selanjutnya dilakukan i’tibar dan diperbandingkan.
Ilmu Naqd al-Sanad
Disini kemudian akan diketahui ada atau tidaknya unsur syaz pada sebuah hadis.
Langkah berikutnya adalah meneliti biografi dan kualitas setiap perawi pada
seluruh sanad tersebut. Apabila seluruh perawi bersifat tsiqah, tetapi ternyata ada
sebuah sanad yang menyalahi sanad-sanad lainya, maka sanad yang menyalahi
tersebut disebut sanad syaz dan sanad yang menyelisihinya disebut sanad
mahfuz. Dalam hal ini yang dipegang adalah sanad yang banyak karena dinilai lebih
kuat dan lebih tsiqah.
Ilmu Naqd al-Sanad
4. ‘Adamu Illat (ketiadaan Illah)
Dimaksudkan dengan ‘illat adalah cacat yang merusak kualitas hadis sehingga
hadis yang lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih. ‘Illat disini
bukanlah cacat pada hadis yang dapat diketahui secara kasat mata oleh seorang
peneliti, yang umum disebut tha’n atau jarh, seperti perawi pendusta, melainkan cacat
tersembunyi (‘íllat qadihah) yang membutuhkan kecermatan ulama kritikus hadis.

Bahkan menurut Abdurrahman al-Mahdiy diperlukan intuisi untuk mengetahui cacat


tersembunyi (‘illat) tersebut. Menurut ulama hadis, ‘illat dapat terjadi pada sanad, matan
atau keduanya secara bersamaan.
Ilmu Naqd al-Sanad
Tetapi yang terbanyak ditemukan pada sanad hadis dalam bentuk:
(1) sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil – mawquf
(2) sanad yang tampak muttsahil – marfu’, ternyata muttashil – mursal
(3) terjadi percampuran hadis dengan hadis lain
(4) terjadi kesalahan penyebutan nama perawi karena ada lebih dari seorang perawi
yang memiliki kemiripan nama, sementara kualitas mereka berbeda.
Dua yang pertama terkait dengan kebersambungan sanad, sementara dua yang
terakhir berkenaan dengan faktor ke-dhabith-an perawi. Adapun cara mengetahui ‘illat
pada sanad, sama seperti upaya untuk mengetahui ke- 9 syaz-an, yaitu dengan
mengumpulkan semua hadis yang semakna dan dilanjutkan dengan menempuh jalan
yang sama.
Ilmu Naqd al-Sanad
Inilah kelima syarat yang harus dipenuhi oleh suatu sanad untuk dapat dinyatakan
berkualitas shahih dan selajutnya baru dilakukan analisis uji keshahihan matan (teks)
hadis. Apabila salah satu dari kelima syarat ini tidak terpenuhi, maka derajat hadis
tersebut jatuh kepada peringkat yang lebih rendah (dha’if), dan hadis yang mendapat
penilaian seperti ini tidak dapat diterima dan menjadi hujjah
Ilmu Naqd al-Sanad
Penelitian sanad hadis
ada empat langkah  penting yang harus dilakukan, yakni:
(1) melakukan takhrijul-hadis, sebagaimana juga telah dijelaskan di bab sebelumnya
(2) membuat i’tibar (yakni membuat skema tentang sanad hadis)
(3) meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
(4) mengambil natijah (kesimpulan)
Untuk mempermudah proses kegiatan al-i’tibar, diperlukan pembuatan skema untuk
seluruh sanad hadis yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting
yang perlu diperhatikan, yakni:
(5) jalur seluruh sanad
(6) nama-nama periwayat untuk seluruh sanad
(7) metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat
Ilmu Naqd al-Sanad
Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya. Langkah ini hendaknya
memperhatikan :
(1) kaedah kesahihan sanad sebagai acuan yang meliputi: sanad hadis yang
bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrij-nya sampai kepada Nabi;
seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat adil dan dabit; sanad dan matan
hadis itu harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) cacat (illat)
(2) segi-segi periwayat yang diteliti yang meliputi: kualitas pribadi periwayat; dan
kapasitas intelektual periwayat
Ilmu Naqd al-Sanad
Langkah keempat dilakukan untuk menilai hadis yang diteliti terutama yang
berkaitan dengan kelemahan yang ditemukan pada sanad hadis yang diteliti sehingga
dapat ditetapkan  kategori tertentu pada hadis tersebut. Pembahasan mengenai
langkah-langkah penelitian sanad hadis ini disertai contoh-contoh praktis yang sangat
bermanfaat bagi pengkaji hadis pemula.

Anda mungkin juga menyukai