Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Abdul Arif

Matkul : Ulumul Hadist

TAKHRIJ
Takhrij secara bahasa bermakna  menyatukan dua hal yang berbeda. Ia seakar dengan
kharaja-yukharriju-takhrij. Kata takhrij juga  bermakna istinbat (menggali, mengeluarkan),
tadrib (pembiasaan, latihan), taujih  (penjelasan), ibraz (mengeluarkan), dan izhar
(melahirkan).

Secara istilah dalam ilmu hadis, takhrij bermakna upaya untuk mengetahui sumber
kitab utama suatu  hadis, menelusuri dan menilai rangkaian silsilah para periwayat hadis
tersebut, menjelaskan  tingkatannya serta mempertimbangkan apakah hadis tersebut dapat
dijadikan suatu dalil.

Definisi takhrij sendiri adalah sebagai berikut:

َ ‫ ثُ َّم بَيَ****انُ َمرْ تَبَتِ**** ِه ِع ْن**** َد ْال َح‬،‫ص****لِيَّ ِة الَّتِي َأ ْخ َر َج ْت****هُ بِ َس****نَ ِد ِه‬
‫اج**** ِة‬ ْ ‫ص****ا ِد ِر ِه اَأْل‬ ِ ‫ض**** ِع ْال َح**** ِدي‬
َ ‫ث فِي َم‬ َ ْ‫اَلدِّاَل لَ****ةُ َعلَى َمو‬ 

Artinya, "Menunjukkan asal suatu hadits di dalam sumber aslinya yang meriwayatkan hadits
tersebut beserta sanadnya, lalu menjelaskan status hadits tersebut bila dibutuhkan.". Yang
dimaksud sumber asli adalah kitab-kitab induk hadits, seperti al-Kutubus Sittah, Musnad
Ahmad, al-Muwaththa', Tafsîruth Thabari, al-Umm, dan semisalnya. Kitab-kitab tersebut
berisi hadits yang diriwayatkan langsung oleh para penulisnya, bukan mengutip dari kitab
lain. Karenanya, penyebutan asal suatu hadits tapi tidak pada sumber aslinya, tidak sah
disebut sebagai takhrij. Misalnya kita mendapati hadits di dalam salah satu kitab yang ingin
kita takhrij, namun kita menyebutkan hadits tersebut ditemukan di dalam kitab al-Jâmi'ush
Shaghîr, Riyâdlush Shâlihîn, atau kitab lain yang bukan sumber asli, maka hal ini tidak bisa
dinamakan takhrij, karena kitab yang kita sebutkan memuat hadits tersebut bukanlah kitab
induk. Al-Jâmi'ush Shaghîr, Riyâdlush Shâlihîn, dan sejenisnya adalah kitab-kitab yang
menukil hadits-hadits dari kitab induk.

Melihat pengertian di atas, sebenarnya menyebutkan status hadits bukanlah sebuah syarat
mutlak dalam melakukan takhrij. Hanya dilakukan jika menurut mukharrij atau  orang yang
mentakhrij dianggap penting. Misalnya hadits tersebut belum dijelaskan statusnya di dalam
sumber aslinya, atau mukharrij memiliki hasil penelitian (ijtihad) yang berbeda dengan
penulis sumber asli dalam menilai status hadits. 

Ada banyak sekali kitab-kitab yang ditulis khusus untuk takhrij. Seperti Takhrîju Ahâdîtsil
Muhadzdzab karya al-Hafidh al-Hazimi (wafat 584 H), dua kitab takhrij karya al-Hafidh
al-'Iraqi (wafat 806 H) terhadap hadits-hadits dalam kitab Ihyâ'; yang besar dan yang ringkas.
Yang ringkas ini diberi nama al-Mughni 'an Hamlil Asfâr dan di kemudian hari dicetak
bersama Ihyâ'. Lalu at-Talkhîshul Habîr karya al-Hafidh Ibnu Hajar (wafat 852 H) yang
mentakhrij hadits-hadits dalam asy-Syarh al-Kabîr karya Imam ar-Rafi'i (wafat 623 H).
B. URGENSI TAKHRIJ HADIS

Adapun tujuan utama dilakukan tahrij al-hadits diantaranya adalah:


a. Mengetahui sumber asli asal hadits yang di takhrij.
b. Mengetahui keadaan/kualitas hadits yang berkaitan dengan maqbul/diterima maupun
mardudnya/ditolaknya.
Sumber-sumber Hadits yang asli dimaksud adalah kitab-kitab Hadits , dimana para
penyusunnya menghimpun Hadits-hadits itu melalui penerimaan dari guru-gurunya dengan
rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW, seperti kitab al-Sittah (sahih
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’I dan Ibnu Majah).
Adapun penjelasan terhadap nilai-nilai Hadits, diterima atau tidaknya sebuah hadits
atau sahih, hasan atau daifnya dan lain-lain, dilakukan bila perlu saja dan tidak merupakan
yang esensial dalam tahrij[3].
Takhrij al-Hadits sangat berguna untuk memperluas pengetahuan seseorang tentang seluk
beluk kitab-kitab Hadits dalam berbagai bentuk dan system penyusunannya, mempermudah
seseorang dalam mengembalikan sesuatu Hadits yang ditemukannya kedalam sumber-sumber
aslinya, sehingga dengan demikian akan mudah pula untuk mengetahui derajat keshahihan
tidaknya Hadits tersebut, Selain itu, dengan takhrij al-Hadits secara tidak langsung seseorang
akan mengetahui hadits-hadits lain yang sebenarnya tidak dicari dan sempat membacanya
dalam kitab-kitab itu.
sedikitnya ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij al-hadits dalam
melaksanakan penelitian hadits, yaitu:
1. Untuk mengetahui asal usul riwayat hadits yang akan diteliti;
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang akan diteliti;
3. Untuk mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada sanad yang akan diteliti.
Sedangkan manfaat dari kegiatan takhrij al-hadits diantaranya adalah:
a. Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal di mana suatu hadits berada,
beserta ulama yang meriwayatkannya.
b. Dapat menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang dirujuknya,
semakin banyak kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin banyak pula perbendaharaan
sanad yang kita miliki.
c. Dapat memperjelas keadaan sanad, dengan membandingkan riwayat hadits yang banyak
itu, maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut munqati’, mu’dal dan lain-lain, demikian
juga dapat diketahui, apakah status riwayat tersebut sahih, hasan atau daif.
d. Dapat memperjelas kualitas suatu hadits dengan banyaknya riwayat, suatu hadits daif
kadang diperoleh melalui satu riwayat, namun takhrij memungkinkan akan menemukan
riyawat lain yang sahih, hadits yang sahih itu mengangkat kualitas hadits yang daif tersebut
kederajat yang lebih tinggi.
e. Dapat memperjelas periwayat hadits yang samar, dengan adanya takhrij kemungkinan
dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara lengkap.
f. Dapat memperjelas periwayat hadits yang tidak diketahui namanya, yaitu melalui
perbandingan diantara sanad yang ada.
g. Dapat menafikkan pemakaian lambang periwayatan ‘an dalam periwayatan hadits oleh
seorang mudallis.
h. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya riwayat dan memperjelas nama periwayat
yang sebenarnya.
i. Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
j. Dapat menghilangkan unsur syaz dan membedakan hadits yang mudraj.
k. Dapat menghilangkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat.
l. Dapat membedakan antara periwayatan secara lafal dengan periwayatan secara makna.
m. Dapat menjelaskan waktu dan tempat turunnya hadits dan lain-lain.

Macam-macam Metode Takhrij Hadis


1. Metode pertama takhrij berdasarkan awal kata dari isi hadis.Guna melakukannya
terlebih dahulu harus diketahui  seluruh atau minimal awal dari matan hadis tersebut.
Yang juga penting adalah huruf awal dari kata yang  paling awal dalam matan hadis
tersebut.

Misalnya hadis, man gassana fa laisa minna (barang siapa menipu, bukan
umatku). Potongan hadis ini  dapat ditelusuri dari kitab takhrij bab mim dan nun
karena huruf awal dan kedua dari kata tersebut  terdiri dari huruf mim dan nun. Pada
kitab takhrij akan ditemui hadis utama yang mencantumkan hadis  tersebut ada di
kitab mana saja.

Keberadaan kitab takhrij yang disusun berdasar metode alfabetis ini sangat
penting. Beberapa ulama  menuliskan kitab takhrij dengan model ini, seperti al-Jami
as-Sagir min Hadis al-Basyir  an-Nazir, al-Farh al-Kabir fi Damni az-Ziyadah ila
al_jami as-Sagir, dan Jam'u al-Jawami'  karya Imam Suyuti. Ada pula Kanz al-Haqaid
fi Hadis Khair al-Khalaiq karya Abdur Rauf bin Tajuddin  Ali.

2. Metode kedua dengan mendasarkan pada lafal-lafal matan hadis. Metode ini
dilakukan dengan cara  menelusuri hadis berdasarkan huruf awal kata dasar pada
lafal-lafal yang ada pada matan hadis. Baik  itu berupa ism (kata benda) maupun fi'il
(kata kerja). Dalam metode ini huruf tidak dijadikan  pegangan.

Beberapa kitab takhrij yang menggunakan metode ini, antara lain, al-Mu'jam al-
Mufahras li Alfaz  al-Hadis an-Nabawi karya AJ Weinsinck yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Dr Muhammad Fu'ad  Abdul Baqi. Muhammad Fu'ad Abdul
Baqi juga menulis Fihris Sahih Muslim (Indeks Shahih Muslim)

3. Metode ketiga adalah takhrij menggunakan perawi paling atas. Menelusuri hadis
dengan cara ini lebih  dahulu harus mengetahui perawi paling atas dari hadis tersebut.
Kitab-kitab yang memuat hadis dengan  metode ini, antara lain, Musnad Imam
Ahmad karya Imam Ahmad, Atraf as-Sahihain karya Abu Mas'ud  Ibrahim bin
Muhammad, Atrar Kutub as-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadl.
4. Metode keempat berdasarkan tema. Penelusuran dilakukan berdasar tema bahasan
hadis apakah hukum, fikih,  tafsir, atau yang lain. Contoh kitab yang memakai metode
ini adalah Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa  al-Af'al karya al-Burhanpuri, al
Mughni Haml al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar   karya al-Iraqi.

5. Kelima, metode berdasar sifat lahir hadis. Cara penelusuran ini dilakukan misal pada
hadis mutawatir,  qudsi, mursal, dan maudu. Para ulama mengumpulkan hadis-hadis
mutawatir dalam satu kitab seperti al- Azhar al-Mutanasirah fi al-Akhbar al-
Mutawatirah karya Imam Suyuti. Kitab yang memuat hadis qudsi  di antaranya al-
Ittihafat as-Sunniah fi al-Ahadis al-Qudsiah karya al-Madani.

Anda mungkin juga menyukai