TAKHRIJ
Takhrij secara bahasa bermakna menyatukan dua hal yang berbeda. Ia seakar dengan
kharaja-yukharriju-takhrij. Kata takhrij juga bermakna istinbat (menggali, mengeluarkan),
tadrib (pembiasaan, latihan), taujih (penjelasan), ibraz (mengeluarkan), dan izhar
(melahirkan).
Secara istilah dalam ilmu hadis, takhrij bermakna upaya untuk mengetahui sumber
kitab utama suatu hadis, menelusuri dan menilai rangkaian silsilah para periwayat hadis
tersebut, menjelaskan tingkatannya serta mempertimbangkan apakah hadis tersebut dapat
dijadikan suatu dalil.
َ ثُ َّم بَيَ****انُ َمرْ تَبَتِ**** ِه ِع ْن**** َد ْال َح،ص****لِيَّ ِة الَّتِي َأ ْخ َر َج ْت****هُ بِ َس****نَ ِد ِه
اج**** ِة ْ ص****ا ِد ِر ِه اَأْل ِ ض**** ِع ْال َح**** ِدي
َ ث فِي َم َ ْاَلدِّاَل لَ****ةُ َعلَى َمو
Artinya, "Menunjukkan asal suatu hadits di dalam sumber aslinya yang meriwayatkan hadits
tersebut beserta sanadnya, lalu menjelaskan status hadits tersebut bila dibutuhkan.". Yang
dimaksud sumber asli adalah kitab-kitab induk hadits, seperti al-Kutubus Sittah, Musnad
Ahmad, al-Muwaththa', Tafsîruth Thabari, al-Umm, dan semisalnya. Kitab-kitab tersebut
berisi hadits yang diriwayatkan langsung oleh para penulisnya, bukan mengutip dari kitab
lain. Karenanya, penyebutan asal suatu hadits tapi tidak pada sumber aslinya, tidak sah
disebut sebagai takhrij. Misalnya kita mendapati hadits di dalam salah satu kitab yang ingin
kita takhrij, namun kita menyebutkan hadits tersebut ditemukan di dalam kitab al-Jâmi'ush
Shaghîr, Riyâdlush Shâlihîn, atau kitab lain yang bukan sumber asli, maka hal ini tidak bisa
dinamakan takhrij, karena kitab yang kita sebutkan memuat hadits tersebut bukanlah kitab
induk. Al-Jâmi'ush Shaghîr, Riyâdlush Shâlihîn, dan sejenisnya adalah kitab-kitab yang
menukil hadits-hadits dari kitab induk.
Melihat pengertian di atas, sebenarnya menyebutkan status hadits bukanlah sebuah syarat
mutlak dalam melakukan takhrij. Hanya dilakukan jika menurut mukharrij atau orang yang
mentakhrij dianggap penting. Misalnya hadits tersebut belum dijelaskan statusnya di dalam
sumber aslinya, atau mukharrij memiliki hasil penelitian (ijtihad) yang berbeda dengan
penulis sumber asli dalam menilai status hadits.
Ada banyak sekali kitab-kitab yang ditulis khusus untuk takhrij. Seperti Takhrîju Ahâdîtsil
Muhadzdzab karya al-Hafidh al-Hazimi (wafat 584 H), dua kitab takhrij karya al-Hafidh
al-'Iraqi (wafat 806 H) terhadap hadits-hadits dalam kitab Ihyâ'; yang besar dan yang ringkas.
Yang ringkas ini diberi nama al-Mughni 'an Hamlil Asfâr dan di kemudian hari dicetak
bersama Ihyâ'. Lalu at-Talkhîshul Habîr karya al-Hafidh Ibnu Hajar (wafat 852 H) yang
mentakhrij hadits-hadits dalam asy-Syarh al-Kabîr karya Imam ar-Rafi'i (wafat 623 H).
B. URGENSI TAKHRIJ HADIS
Misalnya hadis, man gassana fa laisa minna (barang siapa menipu, bukan
umatku). Potongan hadis ini dapat ditelusuri dari kitab takhrij bab mim dan nun
karena huruf awal dan kedua dari kata tersebut terdiri dari huruf mim dan nun. Pada
kitab takhrij akan ditemui hadis utama yang mencantumkan hadis tersebut ada di
kitab mana saja.
Keberadaan kitab takhrij yang disusun berdasar metode alfabetis ini sangat
penting. Beberapa ulama menuliskan kitab takhrij dengan model ini, seperti al-Jami
as-Sagir min Hadis al-Basyir an-Nazir, al-Farh al-Kabir fi Damni az-Ziyadah ila
al_jami as-Sagir, dan Jam'u al-Jawami' karya Imam Suyuti. Ada pula Kanz al-Haqaid
fi Hadis Khair al-Khalaiq karya Abdur Rauf bin Tajuddin Ali.
2. Metode kedua dengan mendasarkan pada lafal-lafal matan hadis. Metode ini
dilakukan dengan cara menelusuri hadis berdasarkan huruf awal kata dasar pada
lafal-lafal yang ada pada matan hadis. Baik itu berupa ism (kata benda) maupun fi'il
(kata kerja). Dalam metode ini huruf tidak dijadikan pegangan.
Beberapa kitab takhrij yang menggunakan metode ini, antara lain, al-Mu'jam al-
Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi karya AJ Weinsinck yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Dr Muhammad Fu'ad Abdul Baqi. Muhammad Fu'ad Abdul
Baqi juga menulis Fihris Sahih Muslim (Indeks Shahih Muslim)
3. Metode ketiga adalah takhrij menggunakan perawi paling atas. Menelusuri hadis
dengan cara ini lebih dahulu harus mengetahui perawi paling atas dari hadis tersebut.
Kitab-kitab yang memuat hadis dengan metode ini, antara lain, Musnad Imam
Ahmad karya Imam Ahmad, Atraf as-Sahihain karya Abu Mas'ud Ibrahim bin
Muhammad, Atrar Kutub as-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadl.
4. Metode keempat berdasarkan tema. Penelusuran dilakukan berdasar tema bahasan
hadis apakah hukum, fikih, tafsir, atau yang lain. Contoh kitab yang memakai metode
ini adalah Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af'al karya al-Burhanpuri, al
Mughni Haml al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar karya al-Iraqi.
5. Kelima, metode berdasar sifat lahir hadis. Cara penelusuran ini dilakukan misal pada
hadis mutawatir, qudsi, mursal, dan maudu. Para ulama mengumpulkan hadis-hadis
mutawatir dalam satu kitab seperti al- Azhar al-Mutanasirah fi al-Akhbar al-
Mutawatirah karya Imam Suyuti. Kitab yang memuat hadis qudsi di antaranya al-
Ittihafat as-Sunniah fi al-Ahadis al-Qudsiah karya al-Madani.