Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH ILMU TAKHRIJ AL-HADITS

Takhrij Hadits merupakan suatu kegiatan yang amat penting, khususnya bagi seorang
peneliti hadis. Tanpa dilakukan kegiatan Takhrij Hadits terlebih dahulu, maka kita akan
kesulitan untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai riwayat yang
telah meriwayatkan hadis itu, dan ada-tidak adanya penguat, baik itu syahid atau mutabi’.
Bagi para ulama terdahulu, kegiatan Takhrij Hadits tidaklah diperlukan, mengingat luasnya
pengetahuan mereka dan adanya kedekatan hubungan dengan sumber-sumber hadis. Dari
karena luasnya pengetahuan dan kedekatan itulah mereka dapat dengan mudah menentukan
kualitas suatu hadis, menjelaskan kitab-kitab asal yang menjadi sumbernya, bahkan dapat
mengetahui metode-metode penyusunan kitab asal.

Munculnya kegiatan Takhrij Hadits ini disebabkan berkembangnya berbagai macam


disiplin ilmu lain, seperti fiqh, tafsir, dan sejarah. Di dalam karya disiplin ilmu lain itulah
terkadang penulisnya tidak menyebutkan sumber-sumber hadis yang mereka kutip di
dalamnya. Hal inilah yang mendorong para ahli hadis untuk melakukan penelusuran hadis ke
sumber-sumber asalnya. Dari sinilah bermunculan kitab-kitab Takhrij Hadits, seperti yang
ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) yang berjudul Takhrij al-Fawaid al-
Muntakhabah al-Shihhah wa-al-Gharaib, al-Zayla’i (w. 762 H) yang berjudul Nashb al-
Rayah li-Ahadits al-Hidayah, atau karya Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H) yang berjudul al-Badr
al-Munir fi Takhrij al-Ahadits wa-al-Atsar al-Waqiah fi Syarh al-Kabir.

Namun sangat disayangkan, para ahli hadis yang menyusun kitab-kitab Takhrij itu tidak
memberikan langkah-langkah atau metode melakukan Takhrij Hadits. Tercatat, baru pada
abad ke-20-lah ditemukan buku yang secara khusus menyusun metode Takhrij Hadits.
Sekiranya ada dua tokoh yang dianggap menjadi inisiator atau perintis metode Takhrij
Hadits, yaitu Ahmad bin Ash-Shiddiq al-Ghumari (1320-1380 H/1902-1960 M) dengan
bukunya yang berjudul Hushul al-Tafrij bi-Ushul al-‘Azw wa-al-Takhrij dan Mahmud al-
Thahhan (1353 H/1935 M – Sekarang) dengan bukunya Ushul al-Takhrij wa-Dirasah al-
Asanid.

Dilihat dari jarak usia, Ahmad al-Ghumari lebih senior dari Mahmud al-Thahhan.
Ahmad al-Ghumari lahir di tahun 1902 M, sedangkan Mahmud al-Thahhan lahir di tahun
1935 M. Akan tetapi, buku yang ditulis oleh Ahmad al-Ghumari bukan berarti menjadi buku
pertama yang menulis tentang metode Takhrij Hadits, karena Mahmud al-Thahhan sendiri
dalam Muqaddimah bukunya mengaku belum menemukan buku yang secara khusus
menyusun tentang metode Takhrij Hadits:

.‫ ال في القديم وال في الحديث‬،‫ فال أعلم أن أحدا تعرض للبحث أو التصنيف فيه‬،‫وأما موضوع أصول التخريج‬

Adapun mengenai Ushul al-Takhrij (Dasar-dasar Takhrij), saya tidak mengetahui ada-
tidaknya seseorang yang telah menyusun tentangnya dalam bentuk penelitian atau karya,
baik dahulu maupun sekarang. Kemudian dari sini, timbul kebimbangan, “Siapakah perintis
metode Takhrij itu?”. ‘‘Abdullah bin Abdul Muhsin al-Tuwayjiri memberikan jawaban atas
permasalahan ini dalam artikelnya Nasy’ah ‘Ilm al-Takhrij wa-Athwaruh. Menurutnya,
perintis dari metode Takhrij  adalah Ahmad al-Ghumari, karena Mahmud al-Thahhan baru
menyelesaikan bukunya di tahun 1398 H/1978 M, sedangkan Ahmad al-Ghumari wafat di
tahun 1380 H/1960 M. Artinya, kitab yang ditulis oleh Ahmad al-Ghumari tentang metode
Takhrij, yaitu Hushul al-Tafrij bi-Ushul al-‘Azw wa-al-Takhrij sudah ada 18 tahun lebih dulu
sebelum buku Mahmud al-Thahhan diselesaikan, yaitu Ushul al-Takhrij wa-Dirasah al-
Asanid. Meskipun Ahmad al-Ghumari adalah perintis metode Takhrij Hadits, akan tetapi
bukunya kalah populer dengan buku yang ditulis oleh Mahmud al-Thahhan, termasuk di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena buku Mahmud al-Thahhan dijadikan bahan ajar di
Universitas al-Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah, Riyadh, Arab Saudi, selama
hampir 20 tahun. Universitas tersebut merupakan salah satu Universitas terbesar di Arab
Saudi dan memiliki puluhan ribu mahasiswa.1

TUJUAN DAN MANFAAT TAKHRIJ AL-HADITS

Adapun tujuan utama dilakukan tahrij al-hadits diantaranya adalah :


1. Mengetahui sumber asli asal hadits yang di takhrij.
2. Mengetahui keadaan/kualitas hadits yang berkaitan dengan maqbul/diterima maupun
mardudnya/ditolaknya.
Sumber-sumber Hadits yang asli dimaksud adalah kitab-kitab Hadits , dimana para
penyusunnya menghimpun Hadits-hadits itu melalui penerimaan dari guru-gurunya dengan
rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW, seperti kitab al-Sittah (sahih
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’i dan Ibnu Majah).

1
https://bincangsyariah.com/khazanah/perintis-metode-takhrij-hadits/
Adapun penjelasan terhadap nilai-nilai Hadits, diterima atau tidaknya sebuah hadits atau
sahih, hasan atau daifnya dan lain-lain, dilakukan bila perlu saja dan tidak merupakan yang
esensial dalam tahrij.
Takhrij al-Hadits sangat berguna untuk memperluas pengetahuan seseorang tentang seluk
beluk kitab-kitab Hadits dalam berbagai bentuk dan system penyusunannya, mempermudah
seseorang dalam mengembalikan sesuatu Hadits yang ditemukannya kedalam sumber-sumber
aslinya, sehingga dengan demikian akan mudah pula untuk mengetahui derajat keshahihan
tidaknya Hadits tersebut, Selain itu, dengan takhrij al-Hadits secara tidak langsung seseorang
akan mengetahui hadits-hadits lain yang sebenarnya tidak dicari dan sempat membacanya
dalam kitab-kitab itu.
Ismail mengemukakan: sedikitnya ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan
takhrij al-hadits dalam melaksanakan penelitian hadits, yaitu :
1. Untuk mengetahui asal usul riwayat hadits yang akan diteliti;
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang akan diteliti;
3. Untuk mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada sanad yang akan diteliti.
Sedangkan manfaat dari kegiatan takhrij al-hadits diantaranya adalah :
1. Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal di mana suatu hadits berada,
beserta ulama yang meriwayatkannya.
2. Dapat menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang dirujuknya,
semakin banyak kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin banyak pula perbendaharaan
sanad yang kita miliki.
3. Dapat memperjelas keadaan sanad, dengan membandingkan riwayat hadits yang
banyak itu, maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut munqati’, mu’dal dan lain-lain,
demikian juga dapat diketahui, apakah status riwayat tersebut sahih, hasan atau daif.
4. Dapat memperjelas kualitas suatu hadits dengan banyaknya riwayat, suatu hadits
dhaif kadang diperoleh melalui satu riwayat, namun takhrij memungkinkan akan menemukan
riyawat lain yang sahih, hadits yang sahih itu mengangkat kualitas hadits yang daif tersebut
kederajat yang lebih tinggi.
5. Dapat memperjelas periwayat hadits yang samar, dengan adanya takhrij kemungkinan
dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara lengkap.
6. Dapat memperjelas periwayat hadits yang tidak diketahui namanya, yaitu melalui
perbandingan diantara sanad yang ada.
7. Dapat menafikkan pemakaian lambang periwayatan ‘an dalam periwayatan hadits
oleh seorang mudallis.
8. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya riwayat dan memperjelas nama
periwayat yang sebenarnya.
9. Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
10. Dapat menghilangkan unsur syaz dan membedakan hadits yang mudraj.
11. Dapat menghilangkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat.
12. Dapat membedakan antara periwayatan secara lafal dengan periwayatan secara makna.
13. Dapat menjelaskan waktu dan tempat turunnya hadits dan lain-lain.
Dengan demikian melalui kegiatan takhrij al-hadits peneliti dapat mengumpulkan berbagai
sanad dari sebuah hadits, dan juga dapat mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan
hadits.        
6. Dapat memperjelas periwayat hadits yang tidak diketahui namanya, yaitu melalui
perbandingan diantara sanad yang ada.
7.         Dapat menafikkan pemakaian lambang periwayatan ‘an dalam periwayatan hadits
oleh seorang mudallis.
8.         Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya riwayat dan memperjelas nama
periwayat yang sebenarnya.
9.         Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
10.     Dapat menghilangkan unsur syaz dan membedakan hadits yang mudraj.
11.     Dapat menghilangkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat.
12.     Dapat membedakan antara periwayatan secara lafal dengan periwayatan secara makna.
13.     Dapat menjelaskan waktu dan tempat turunnya hadits dan lain-lain.
Dengan demikian melalui kegiatan takhrij al-hadits peneliti dapat mengumpulkan
berbagai sanad dari sebuah hadits, dan juga dapat mengumpulkan berbagai redaksi dari
sebuah matan hadits.2

2
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Metodologi Penelitian, (Yogjakarta: 2006), hlm. 11-14.

Anda mungkin juga menyukai