Anda di halaman 1dari 29

A.

IMAM SYAFI’I
a. Biografi Imam Syafi’i
Nama lengkap Imam Syafi’i dengan menyebut nama julukan dan silsilah dari ayahnya
adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin As-Saib bin Ubaid bin
Abdu Yazid bin Hasyim bin Al Muthalib bin Abdul Manaf bin Qusayy bin Kilab. Nama
Syafi’i diambilkan dari nama kakeknya, Syafi’i dan Qusayy bin Kilab adalah juga kakek
Nabi Muhammad SAW. Pada Abdul Manaf nasab Asy-Syafi’i bertemu dengan Rasulullah
SAW.
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H, di tengah-tengah keluarga miskin di palestina
sebuah perkampungan orang-orang Yaman. Ia wafat pada usia 55 tahun (tahun 204H),
yaitu hari kamis malam jum’at setelah shalat maghrib, pada bulan Rajab, bersamaan
dengan tanggal 28 juni 819 H di Mesir.
Dari segi urutan masa, Imam Syafi’i merupakan Imam ketiga dari empat orang Imam
yang masyhur. Tetapi keluasan dan jauhnya jangkauan pemikirannya dalam menghadapi
berbagai masalah yang berkaitan dengan ilmu dan hukum fiqih menempatkannya menjadi
pemersatu semua imam. Ia sempurnakan permasalahannya dan ditempatkannya pada
posisi yang tepat dan sesuai, sehingga menampakkan dengan jelas pribadinya yang ilmiah
Ayahnya meninggal saat ia masih sangat kecil kemudian ibunya membawanya ke
Makkah, di Makkah kedua ibu dan anak ini hidup dalam keadaan miskin dan kekurangan,
namun si anak mempunyai cita-cita tinggi untuk menuntut ilmu, sedang si ibu bercita-cita
agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama pengetahuan agama islam.
Oleh karena itu si ibu berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai anaknya
selama menuntut ilmu.
Imam asy-Syafi’i adalah seorang yang tekun dalam menuntut ilmu, dengan
ketekunannya itulah dalam usia yang sangat muda yaitu 9 tahun ia sudah mampu
menghafal al-Qur’an, di samping itu ia juga hafal sejumlah hadits. Diriwayatkan bahwa
karena kemiskinannya, Imam Syafi’i hampirhampir tidak dapat menyiapkan seluruh
peralatan belajar yang diperlukan, sehingga beliau terpaksa mencari cari kertas yang tidak
terpkai atau telah dibuang, tetapi masih dapat digunakan untuk menulis. Setelah selesai
mempelajari Al-qur’an dan hadits, asy-Syafi’i melengkapi ilmunya dengan mendalami
bahasa dan sastra Arab. Untuk itu ia pergi ke pedesaan dan bergabung dengan Bani
Huzail, suku bangsa Arab yang paling fasih bahasanya. Dari suku inilah, asy-Syafi’i
mempelajari bahasa dan syair-syair Arab sehingga ia benar-benar menguasainya dengan
baik.
Pada awalnya Syafi’i lebih cenderung pada syair, sastra dan belajar bahasa Arab
sehari-hari. Tapi dengan demikian justru Allah menyiapkannya untuk menekuni fiqih dan
ilmu pengetahuan. Disini ditemukan beberapa riwayat yang membicarakan tentang
beberapa sebab yang menjadikan Syafi’I seperti itu yaitu:
1. Suatu hari dimasa mudanya ketika ia berada di atas kendaraan. Dibelakangnya terdapat
sekretaris Abdullah az-Zubairi. Syafi’i lalu membuat perumpamaan dengan sebuah syair.
Maka sang sekretaris itu memukulkan cambuknya layaknya seorang pemberi nasehat dan
berkata, “orang seperti anda mencampakkann kepribadiannya seperti ini? ,bagaimana
perhatian Anda terhadap fiqih?”, Hal ini mempengaruhidirinya dan membangkitkan
semangatnya untuk bergegas belajar kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, Mufti Makkah.
2. Ketika Syafi’i belajar nahwu dan sastra, ia bertemu dengan Muslim bin Khalid az-Zanji.
Ia bertanya kepada Syafi’i, “ Darimana Anda?” Syafi’I menjawab, “ Saya dari Makkah.”
Muslim berkata, “ Dimana rumahnu?” jawab Syafi’i,” Di Syaib Al-Khaif.” “ Dari suku
mana Anda?” Jawab Syafi’i, “ Dari Abu Manaf.” Kemudian Muslim berkata, “ Hebat!
Sungguh Allah telah memuliakan Anda di dunia dan Akhirat. Sebaiknya kepandaianmu
Anda curahkan kepada ilmu fiqih. Itu lebih baik bagimu”
3. Sesungguhnya Syafi’i itu pandai dalam bersyair dan pernah sampai naik bukit Mina.
Tiba-tiba terdengar suara, “ hendaklah kamu mendalami fiqih!” Akhirnya, berpalinglah
Syafi’i padanya. Namun dugaan cerita ini lebih berbau ilusi daripada realitas.
4. Mush’ab bin Abdullah bin Az-Zubair pernah bertemu dengan Syafi’i ketika sedang
giat-giatnya mempelajari syair dan nahwu. Mush’ab berkata kepadanya, “ Sampai kapan
ini? Jika Anda mau mendalami hadits dan fiqih niscaya akan lebih baik bagimu.
Kemudian Mush’ab dan Syafi’i menghadap Malik bin Anas dan menitipkan Syafi’i
kepadanya. Sehingga tidak sedikit pun ilmu yang ia tinggalkan dari Malik bin Anas dan
tidak sedikitpun ilmu yang ia lepaskan dari para syaikh di Madinah. Akhirnya ia berangkat
ke irak dan menghabiskan waktunya bersama Mush’ab melalui Makkah. Setelah
menceritakannya pada Ibnu Dawud ia diberi 10 ribu dirham.
Dari cerita tersebut diatas bahwa seluruh atau sebagian besar ceritanya benar-benar
terjadi dan yang jelas salah satunya memang terjadi dan apapun adanya cerita-cerita
tersebut memberikan sesuatu kepada kita untuk menerimanya. Sesungguhnya Allah telah
mempersiapkan Syafi’i menjadi seseorang yang mengenalkan nilai-nilai fiqih dan itu lebih
penting daripada bahasa dan sastra.
Syafi’i menuntut ilmu di Makkah dan mahir disana. Ketika Muslim bin Khalid az-
Zanji memberikan peluang untuk berfatwa, Syafi’i merasa belum puas atas jerih payahnya
selama ini. Ia terus menuntut ilmu hingga akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu
dengan Imam Malik. Sebelumnya ia telah mempersiapkan diri membaca kitab Al-
Muwaththa’ ( karya Imam Malik ) yang sebagian besar telah dihafalnya. Ketika Imam
Malik bertemu dengan Imam Syafi’i, Malik berkata, “ Sesungguhnya Allah SWT telah
menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan
maksiat.”Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya hingga
Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Selama itu juga ia mengunjungi ibunya di Makkah.
Kematian Imam Malik berpengaruh besar terhadap kehidupan
Imam Syafi’i. Semula ia tidak pernah memikirkan keperluan-keperluan penghidupannya,
tetapi setelah kematian gurunya, hal itu menjadi beban pikiran yang tidak dapat diatasinya.
b. Pemikiran Dan Karya Imam Syafi’i
Sebagaimana Imam Malik di mana pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh tingkat
kehidupan sosial masyarakat dimana beliau tinggal, maka demikian pula Imam Syafi’i,
ketika beliau berada di Hijaz, sunnah dan hadits dengan tatanan kehidupan sosial yang
sederhana hingga relatif tidak banyak timbul problem kemasyarakatan dan cara
pengambilan yang langsung dari teks al-Qur’an serta sunnah telah mamadahi untuk
menyelesaikannya, maka wajar sekali jika Imam Syafi’i lalu cenderung kepada aliran ahli
hadits, karena memang beliau belajar dari Imam tersebut. akan tetapi setelah beliau
mengembara ke Baghdad (Irak) dan menetap untuk beberapa tahun lamanya serta
mempelajari Fiqh Abu Hanifah dan Madzhab ahli ra’yu, maka mulailah beliau condong
kepada aliran rasional ini.
Apalagi beliau saksikan sendiri bahwa tigginya tingkat kebudayaan di Irak sebagai
daerah keruwetannya yang para ahli Fiqh seringkali tidak menemukan ketegasan
jawabannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Keadaan ini lalu mendorong mereka
untuk melakukan ijtihad dan menggunakan rasio. Seperti penulis kemukakan diatas bahwa
yang paling menentukan keorisinilitas madzhabnya adalah kehidupan selama empat tahun
di Mesir. Memang banyak kota dimana Imam Syafi’i mengembangkan dan mengambil
ilmu, seperti Yaman, Persia, baghdad dan kota-kota lainnya, tetapi di Mesirlah sampai
beliau meinggal dunia. Banyak digunakan untuk menulis karya-karyanya, bahkan untuk
merivisi buku-buku yang telah ditulisnya, juga meletakkan dasar-dasar madzhab barunya
yang dikenal dengan Qaul Jadidnya.
Dengan perpaduan pemikiran beliau akibat pengaruh dari corak pendidikan dan
pengalamannya dari berbagai negara, disinilah Imam Syafi’i mengkompromikannya,
mengkombinasikan serta mendiskusikan Fiqih negara Hijaz yang menjadikan beliau
terkenal dengan ahli ra’yu. Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahli hadits)
dalam mengambil al-Qur’an sebagai dasar pertama hukum Islam, karena menurutnya as-
Sunnah berfungsi menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an maka ia menjadikan as-Sunnah
sebagai dasar hukum kedua. Di lain pihak, Imam Syafi’i sepakat dengan Madzhab Hanafi
(ahli ra’yu) dalam kecenderungan memakai ijtihad atau rasio, namun Imam Syafi’i
memberikan suatu batasan bahan dasar ijtihad atau ra’yu tersebut berbentuk qiyas
(analogi), dan dalam pemakaian qiyas ini Imam Syafi’i memberikan ketentuan-
ketentuannya. Beliau juga sependapat dengan golongan Malikidalam mengambil ijma’
sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi beliau memberikan
persyaratan-persyaratan yang ketat sebagai ijma’ bukan semata-mata hasil pemikiran, hasil
pemikiran tanpa ketentuan-ketentuan yang pasti.
Terhadap karya-karya Imam Syafi’i Qadi Imam Abu Muhammad bin Husain bin
Muhammad al-Muzani, yaitu salah seorang murid Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa
Imam Syafi’i telah mengarang kitab sebanyak 113 kitab, baik kitab dalam ilmu Ushul al-
Fiqh, dan lain-lain, sebagai pegangan dan pengetahuan yang sempat kita nikmati sampai
sekarang.
Khususnya untuk kepustakaan Indonesia adalah diantaranya sebagai berikut:
a). Ar-Risalah
Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul fiqh yang didalamnya diterangkan
mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan suatu hukum.
b). Al-Umm
Kitab induk ini berisikan hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i yang telah dikondisikan dalam
bentuk juz dan jilid yang membahas masalah taharah, ibadah, amaliyah, sampai pada
masalah peradilan seperti jinayah, muamalat, munakahat dan lain-lain.
c). Ikhtilaf al-Hadits
Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkap perbedaan para ulama dalam
persepsinya tentang hadits mulai dari Sanad sampai Perawi yang dapat dipegangi,
termasuk analisisnya tentang hadits yang menurutnya dapat dipegangi sebagai hujjah.
d. Musnad
Di dalam musnad isinya hampir sama dengan yang ada di dalam kitab ikhtilaf al-Hadits,
kitab ini juga menggunakan persoalan mengenai hadits hanya dalam hal ini terdapat kisah
bahwa hadits yang disebut dalam kitab ini adalah hadits yang dipergunakan Imam Syafi’i,
khususnya yang berkaitan dengan fiqh dalam kitab al-Umm, dimana dari segi sanadnya
telah dijelaskan secara jelas dan rinci.
c. Fiqh Imam Syafi’i
Ilmu fiqih yang dibawa oleh Imam Syafi’i adalah merpakan suatu zaman
perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan Islam. Oleh karena itu, beliau
mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan pikir dengan ilmu fiqih ahli-
ahli akal dan hadits. Ilmu fiqih Imam Syafi’i merupakan ikatan sunnah dengan qiyas dan
pemikiran dengan beberapa cara-cara atau peraturan untuk memahami al-Qur’an dan
Hadits. Juga beliau menerapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulannya,
oleh karena itulah beliau berhak dianggap sebagai penulis ilmu Ushul Fiqih.
Menurut apa yang terbukti di atas bahwa Imam Syafi’i mulai menyusun madzhab
fiqihnya setelah beliau mempelajari ilmu fiqih di Madinah dan fiqih orang-orang Irak.
Madzhab Syafi’i mulai berkembag di Mesir, yang terkenal dengan qaul jadidnya, yang
diajarkan beliau di Masjid ‘Amr ibn Ash. Perkembangan ini semakin bertambah sejak
banyaknya para ulama dan para cendekiawan yang mengikuti pelajarannya. Seperti
Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakim, Ismail ibn Yahya al-Buwaithy, ar-Rabi, al-
Jizi, Asyhab Ibnu Qasim dan Ibn Mawaz.
Oleh karena itu, terdesaklah madzhab yang telah dianut sebelumnya, yaitu mazhab
Hanafi dan mazhab Maliki. Walaupun pada tahun 197 H beliau telah mengajarkan qaul
qadimnya di Baghdad, namun perkembangan madzhab Syafi’i barulah setelah beliau
meninggal dunia yang dikembangkan oleh Hasan ibn Muhammad al-Za’farani (wafat 260
H.).
B. IMAM ABU HANIFAH
a. Biografi Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal di Kufah pada
tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah
dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala daya pikir, daya cepat tanggapnya dimiliki
di masa Amawi, walaupun akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum
diketahui, istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Apa yang dikemukakan di
masa Amawi adalah lebih banyak yang dikemukakan di masa Abbasi.
Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah beliau
keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya
sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu beliau bukan keturunan bangsa Arab asli, tetapi
dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah
keluarga berbangsa Persia.
Bapak Abu Hanifah dilahirkan dalam Islam. Bapaknya adalah seorang pedagang, dan satu
keturunan dengan saudara Rasulullah. Neneknya Zauta adalah suku (bani) Tamim.
Sedangkan ibu Hanifah tidak dikenal dikalangan ahli-ahli sejarah tapi walau
bagaimanapun juga ia menghormati dan sangat taat kepada ibunya.
Dia pernah membawa ibunya ke majlis-majlis atau perhimpunan ilmu pengetahuan. Dia
pernah bertanya dalam suatu masalah atau tentang hukum bagaimana memenuhi panggilan
ibu. Beliau berpendapat taat kepada kedua orang tua adalah suatu sebab mendapat
petunjuk dan sebaliknya bisa membawa kepada kesesatan.
Pada masa beliau dilahirkan, pemerintah Islam sedang di tangan kekuasaan Abdul
Malik bin Marwan (raja Bani Umayah yang ke V) dan beliau meninggal dunia pada masa
Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur. Abu Hanifah mempunyai beberapa orang putra,
diantaranya ada yang dinamakan Hanifah, maka karena itu beliau diberi gelar oleh banyak
orang dengan Abu Hanifah. Ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang lain:
sebab beliau mendapat gelar Abu Hanifah karena beliau adalah seseorang yang rajin
melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban dalam
agama. Karena perkataan “hanif” dalam bahasa arab artinya “cenderung atau condong”
kepada agama yang benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa beliau mendapat
gelar Abu Hanifah lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan
“hanifah” menurut lughot Irak, artinya “dawat atau tinta”. Yakni beliau dimana-mana
senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh
oleh para guru beliau atau lainnya. Dengan demikian beliau mendapat gelar dengan Abu
Hanifah. Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama besar, dan terkenal disegenap kota-
kota besar, serta terkenal di sekitar Jazirah Arabiyah pada umumnya, maka beliau dikenal
pula dengan gelar: Imam Abu Hanifah.
Setelah ijtihad dan buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui
serta diikut oleh banyak orang dengan sebutan “Mazhab Imam Hanafi”.
Ciri-ciri Abu Hanifah yaitu dia berperawakan sedang dan termasuk orang yang
mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat
bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang-orang yang
diinginkannya (menurut pendapat Abu Yusuf). Abu Hanifah berkulit sawo matang dan
tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab
pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu dia tidak mau mencampuri persoalan yang bukan
urusannya (menurut Hamdan putranya). Abu Hanifah suka berpakaian yang baik-baik
serta bersih, senang memakai bau-bauan yang harum dan suka duduk ditempat duduk yang
baik. Lantaran dari kesukaannya dengan bau-bauan yang harum, hingga dikenal oleh
orang ramai tentang baunya, sebelum mereka melihat kepadanya. Abu Hanifah juga amat
suka bergaul dengan saudara-saudaranya dan para kawan-kawannya yang baik-baik, tetapi
tidak suka bergaul dengan sembarangan orang. Berani menyatakan sesuatu hal yang
terkandung didalam hati sanubarinya, dan berani pula menyatakan kebenaran kepada siapa
pun juga, tidak takut di cela ataupun dibenci orang, dan tidak pula gentar menghadapi
bahaya bagaimanapun keadaannya. Diantara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi
kebutuhan orang untuk menarik simpatinya. Sering ada orang lewat, ikut duduk di
majlisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, ia segera menghampirinya dan
bertanya tentang kebutuhannya. Jika dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan
memberinya. Kalau sakit, maka akan ia antarkan. Jika memiliki utang, maka ia akan
membayarkannya sehingga terjalinlah hubungan baik antara keduanya.
b. Karya-karya Imam Abu Hanifah
Sebagian ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa, Imam Abu Hanifah
meninggalkan banyak ide dan buah fikiran. Sebagian ide dan buah fikirannya ditulisnya
dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya untuk kemudian
dibukukan. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:
1. al-Fara’id: yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut
hukum Islam.
2. asy-Syurut: yang membahas tentang perjanjian.
3. al-Fiqh al-Akbar: yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah
(penjelasan) oleh Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidi dan Imam Abu al-Muntaha
al-Maula Ahmad bin Muhammad al-Maghnisawi.

Jumlah kitab yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak, didalamnya terhimpun
ide dan buah fikiran Abu Hanifah. Semua kitab itu kemudian jadi pegangan pengikut
mazhab Imam Hanafi. Ulama mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu kepada tiga
tingkatan. Pertama, tingkat al-Ushul (masalah-masalah pokok), yaitu kitab-kitab yang
berisi masalah-masalah langsung yang diriwayatkan Imam Hanafi dan sahabatnya kitab
dalam kategori ini disebut juga Zahir ar-Riwayah (teks riwayat) yang terdiri atas enam
kitab yaitu:
1. al-Mabsuth: (Syamsudin Al-Syarkhasi)
2. al-Jami’ As-Shagir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
3. al-Jami’ Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
4. as-Sair As-Saghir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
5. as-Sair Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
Kedua tingkat Masail an-Nawazir (masalah yang diberikan sebagai nazar), kitab-kitab
yang termasuk dalam kategori yang kedua ini adalah:
1. Harun an-Niyah: (niat yang murni)
2. Jurj an-Niyah: (rusaknya niat)
3. Qais an-Niyah: (kadar niat)
Ketiga, tingkat al-Fatwa Wa al-Faqi’at, (fatwa-fatwa dalam permasalahan) yaitu kitab-
kitab yang berisi masalah-masalah fiqh yang berasal dari istinbath (pengambilan hukum
dan penetapannya) ini adalah kitab-kitab an-Nawazil (bencana), dari Imam Abdul Lais as-
Samarqandi Adapun ciri khas fiqh Imam Abu Hanifah adalah berpijak kepada
kemerdekaan berkehendak, karena bencana paling besar yang menimpa manusia adalah
pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam pandangan syari’at wajib dipelihara.
Pada satu sisi sebagian manusia sangat ekstrim menilainya sehingga beranggapan Abu
Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dari Rasulullah SAW melalui mimpi atau
pertemuan fisik. Namun, disisi lain ada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga
mereka beranggapan bahwa beliau telah keluar dari agama. Perbedaan pendapat yang
ekstrim dan bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu dimana Imam
Abu Hanifah hidup. Orang-orang pada waktu itu menilai beliau berdasarkan perjuangan,
prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang kontrovensional, yakni beliau mengajarkan
untuk menggunakan akal secara maksimal, dan dalam hal ini itu beliau tidak peduli
dengan pandangan orang lain. Imam Abu Hanifah wafat didalam penjara ketika berusia 70
tahun tepatnya pada bulan rajab tahun 150 H (767 M).
c. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
Pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat
dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber
hukum yang ada. Abu Hanifah dikenal sebagai Ulama al-Ra’yi. Dalam menetapkan
hukum Islam, baik yang di istinbathkan dari al-Quran ataupun hadits, beliau banyak
menggunakan nalar.
Dari keterangan diatas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum
syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy menggunakan ra’yu. Dalam
menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang
terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah SAW.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh diatas, Imam Abu Hanifah berijtihad untuk
mengistinbathkan hukum, apabila sebuah masalah tidak terdapat hukum yang qath’iy
(tetap dan jelas hukumnya dalam al-Quran dan hadits), atau masih bersifat zhanny dengan
menggunakan beberapa cara atau metode yang Imam Abu Hanifah gunakan dalam
mengistinbathkan hukum adalah dengan berpedoman pada:
1. Al-Quran
Al-Quran al-Karim adalah sumber hukum yang paling utama. Yang dimaksud dengan
al-Quran adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tertulis
dalam mushaf bahasa arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan
membacanya mengandung nilai ibadah, dimula dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Nas.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa al-Quran merupakan sendi al-Syariah dan tali
Allah yang kokoh, ia adalah yang umum yang kembali kepadanya seluruh hukum-
hukumnya, al-Kitab sumbernya, dan tidak ada satu sumber hukum melainkan harus tunduk
padanya.
2. Al-Sunnah
Kata berasal‫ سنة‬berasal dari kata ‫س'نة‬-‫يس''ن‬-‫ سن‬secara etimologi berarti cara yang biasa
dilakukan, apakah cara adalah sesuatu yang baik, atau yang buruk. Sunnah dalam istilah
ulama ushul adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam
bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi. Sedangkan sunnah dalam
istilah ulama fiqh adalah sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya
dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti dengan pengertian diberi pahala orang yang
melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
Menurut Imam Abu Hanifh al-Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan perinci
kandungan al-Kitab yang mujmal sebagaimana fungsi Nabi SAW menyampaikan wahyu
yang diturunkan padanya, menjelaskan dan mengajarkan.
3. Fatwa-fatwa (Aqwal) Sahabat
Fatwa-fatwa sahabat dijadikan Imam Abu Hanifah sebagai sumber pengambilan atau
penetapan hukum dan ia tidak mengambil fatwa dari kalangan tabi’in. Hal ini disebabkan
adanya dugaan terhadap pendapat ulama tabi’in atau masuk dalam pendapat sahabat,
sedangkan pendapat para sahabat diperoleh dari talaqqy dengan Rasulullah SAW, bukan
hanya dengan berdasarkan ijtihad semata, tetapi diduga para sahabat tidak mengatakan itu
sebagai sabda Nabi, khawatir salah berarti berdusta atas Nabi.
Perlu ditambahkan bahwa dalam kitab-kitab Mazhab Imam Hanafi terdapat beberapa
perkataan (aqwal), yakni qaul Imam Abu Hanifah sendiri, Imam Abu Yusuf, Imam
Muhammad bin Hasan dan Imam Zafar bun Hudzail. Karena Imam Abu Hanifah melarang
para muridnya untuk taqlid meskipun bertentangan dengan pendapatnya.
4. Qiyas
Secara etimologi, kata qiyas berarti ‫ قدر‬artinya mengukur membandingkan sesuatu dengan
semisalnya. Sedangkan tentang arti qiyas menurut terminologi terdapat beberapa definisi
berbeda yang saling berdekatan maknanya. Salah satunya adalah pendapat Abu Zahrah
yakni:
‫الحا ق امر غير منص̀و ص على حكمه با مر اخر منصو على حكمة لعلة جا معة بينهما‬
Artinya : “Menghubungkan (menyamakan) hukum perkara yang tidak ada ketentuan
nashnya dengan hukum perkara yang sudah ada ketentuan nashnya berdasarkan
persamaan ‘illat hukum keduanya”.
Dari definisi di atas, maka para ulama ushul menetapkan rukun qiyas yang terdiri dari
4 macam, yaitu:
a) Ashal, yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan.
Ashal ini harus berupa ayat al-Quran atau sunnah, serta mengandung ‘illat hukum.
b) Far’u, yaitu cabang atau sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yaitu yang
diqiyaskan, yang disyaratkan tidak memiliki hukum sendiri, memiliki ‘illat hukum sama
dengan ‘illat hukum yang ada pada ashal, tidal lebih dahulu dari ashal, dan memiliki
hukum yang sama dengan ashal.
c) Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada ashal kemudian menjadi hukum
pula pada far’u (cabang). Yang disyaratkan bersifat hukum amaliyah, pensyariatkannya
rasional (dapat dipahami), bukan hukum yang khusus (seperti khusus untuk Nabi), dan
hukum ashal masih berlaku.
d)‘Illat hukum, yang sifat nyata dan tertentu yang berkaitan dengan ada dan tidak adanya
hukum. ‘Illat hukum disyaratkan dapat diketahui dengan jelas adanya ‘illat, dapat
dipastikan terdapatnya ‘illat tersebut pada far’u, ‘illat merupakan penerapan hukum untuk
mendapat Maqasid al-Syari’iyyah dan ‘illat tidak berlawanan dengan nash.
5. Istihsan
Dari segi bahasa kata istihsan adalah bentuk mashdarnya ‫استحسانا‬-‫يستحسن‬-‫ استحسن‬artinya
menganggap sesuatu lebih baik, adanya sesuatu itu lebih baik untuk diikuti. Sedangkan
menurut istilah syara’ adalah penetapan hukum dari seorang mujahid terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah
yang serupa, karena alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukan penyimpangan
itu.
6. Ijma’
Secara bahasa ijma’ berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk mashdarnya -‫يجمع‬-‫اجمع‬
‫ اجماعا‬secara bahasa memiliki beberapa arti, diantaranya: pertama, ketetapan hati atau
keputusan untuk melakukan sesuatu. Kedua, sepakat.
Sedangkan secara istilah syara’ adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (amaly).
Para ulama telah sepakat tidak terkecuali Imam Abu Hanifah bahwa ijma’ dapat dijadikan
argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’.
7. ‘Urf (adat yang berlaku didalam masyarakat umat Islam)
Dilihat dari segi bahasa kata ‘urf berasal dari bahasa arab mashdarnya ‫عرفا‬-‫يعرف‬-‫عرف‬
sering diartikan dengan sesuatu yang dikenal. Contohnya dalam kalimat ‫احمد اولى من فالن‬
‫ عرفا‬Ahmad lebih dikenal dari yang lainnya. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan sudah mantap
dan melekat dalam urusan-urusan mereka.
Para ulama sepakat apabila ‘urf bertolak belakang atau bertentangan dengan al-Quran dan
sunnah maka ‘urf tersebut bertolak (tidak bisa diterima).
d. Penilaian para Ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, di
antaranya :
1. Al-Futhail bin Iyadh berkata,”Abu Hanifah adalah seorang yang ahli fiqh dan terkenal
dengan keilmuannya itu, selain itu dia juga terkenal dengan kewaraannya, banyak harta,
sangat memuliakan dan menghormati orang- orang disekitarnya sabar dan menuntut ilmu
siang dan malam, banyak bangun dimalam hari, tidak banyak berbicara kecuali ketika
harus menjelaskan kepada masyarakat tentang halal dan haramnya suatu perkara. Dia
sangat piawai dalam menjelaskan kebenaran dan tidak suka dengan harta para penguasa.
2. Abdullah Ibnul Mubarok berkata, “kalaulah Allah SWT tidak menolong saya melalui
Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan
beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, “wahai Abu
Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghaib adalah Abu Hanifah, saya tidak
pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya, kemudian beliau
menimpali “Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan
kebaikannya dengan perbuatan ghibah”. Beliau juga berkata, “Aku akan datang kekota
Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ dikota Kufah? maka mereka
penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “apabila atsar telah
diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian Imam Malik berpendapat, Sufyan
berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah
Abu Hanifah. Dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abi Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang
berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”.
Beliau juga berkata, “saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits
dan tempat-tempat pengambilan faqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafi’i berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan)
dalam masalah faqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”.
5. Faudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan
wara’nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu,
sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta
penguasa”.
Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh
Beberapa penilaian negatif yang ditunjukkan kepada Abu Hanifah, selain dia mendapatkan
penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif
dan celaan yang ditunjukkan kepada beliau, di antaranya:
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Shahibur ra’yi
Mudhtarib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib an-Nasa’i berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin
Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnu Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin didalam hadits”.
4. Sebagian Ahlul Ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam
memahami masalah iman, yaitu pernyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati
dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari sya’air
iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur al-
Maturidi dan mengasi pendapat ini adalah Ahlil Hadits. Dan telah dinukil pula dari Abu
Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran didalam hati dan penetapan dengan lisan tidak
bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksud dengan “tidak bertambah dan
berkurang” adalah jumhur dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dan hal ini tidak
menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat
dan ada yang lemah, ada yang jelas dan ada yang samar. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya
memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat al-Quran itu
makhluk. Padahal telah dinukil dari beliau bahwa al-Quran itu adalah kalamullah dan
pengucapan kita dengan al-Quran adalah makhluk. Dan ini merupakan ahlul haq.
C. IMAM MALIK
a. Biografi Imam Malik
Nama lengkap Imam Malik adalah Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir
ibn ‘Umar bin Al-Haris (93H-179 H). Datuk yang kedua Abu Amir ibn Umar merupakan
salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang ikut berperang bersama beliau, kecuali dalam
perang Badar. Datuk Malik yang pertama yaitu Malik bin Amar dari golongan Tabi’in
gelarnya ialah Abu Anas. Diceritakan dari Umar, Talhah, Aisyah, Abu Hurairah dan
Hasan bin Thabir semoga Allah melimpahkan keridhaanNya atas mereka semua, datuk
Imam Malik adalah seorang dari empat yang ikut menghantarkan dan mengebumikan
Ustman bin Affan, datuknya termasuk salah seorang penulis ayat suci Al-Qur’an semasa
Khalifah Usman memerintahkan supaya mengumpulkan ayat suci al-Qur’an. Sejarah
Anas, bapaknya Imam Malik tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah, apa yang
diketahui beliau tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di
padang pasir di sebelah utara al-Madinah. Bapak Imam Malik bukan seorang yang biasa
menuntut ilmu walaupun demikian beliau pernah mempelajari sedikit banyak hadits-hadits
Rasulullah, beliau bekerja sebagai pembuat panah untuk sumber nafkah keluarganya.
Imam Malik lahir di suatu tempat yang bernama Zulmarwah di sebelah utara al-
Madinah al-Munawwarah. Kemudian beliau tinggal di al-Akik buat sementara waktu,
yang akhirnya beliau menetap di Madinah.
Jika dilihat silsilah keturunan Imam Malik di atas, mereka adalah
termasuk orang yang ‘alim dan juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi Saw.Dalam satu
riwayat bahwa beliau berada dalam kandungan ibunya selama 3 (tiga) tahun dan
dilahirkan di kalangan rumah tangga yang ahli dalam bidang ilmu hadits dan hidup dalam
masyarakat yang berkecimpung dengan hadits Nabi Saw dan atsar. Sebagian besar hidup
Imam Malik dilalui di Madinah dan sepanjang riwayat yang ada ia tidak pernah
meninggalkan kota itu. Oleh sebab itu, Imam Malik hidup sesuai dengan masyarakat
Madinah dan Hijaz, suatu kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan
berikut berbagai problematikanya.
Tidak berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik hidup pada dua zaman.
Kelahirannya bertepatan dengan eksisnya kekuasaan Bani Umayyah di bawah
kepemimpinan al-Walid Abd. al-Malik dan meninggal pada masa Bani Abbasyiyah
tepatnya pada masa kekuasaan Harun al-Rasyid. Imam Malikhidup pada masa kekuasaan
Bani Umayyah selama 40 tahun dan di masa Bani Abbasiyah selama 46 tahun.
Imam Malik dikenal sebagai seorang mujtahid yang kuat pendiriannya dan konsisten
terhadap hasil ijtihadnya meskipun harus berseberangan paham dengan kebijakan rezim
penguasa. Hal ini dapat terlihat dengan adanya kasus penyiksaan terhadap dirinya oleh
khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyah di Baghdad.
Tidak ada sejarah hidup anak manusia yang mulus tanpa aral melintang serta asam
garam dan pahit getirnya perjalanan hidup di dunia ini. Lebih-lebih lagi perjalanan hidup
orang-orang besar, seperti para Nabi dan para Rasul, juga para Sahabat beliau dan
kemudian para Ulama’ auliya’ullah (kekasih Allah). Demikian pula kehidupan yang
dijalani Imam Malik bin Anas. Sepanjang riwayat, ketika Imam Malik berusia 54 tahun di
kala itu pemerintahan Islam di tangan Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur yang beribukota di
Baghdad dan selaku gubernur di Madinah sebagai wakil kepala negara yakni Ja’far bin
Sulaiman Al-Husyimy.
Di antara sebagian pendapat ahli sejarah yang tertera ialah beliau di azab karena
pendapatnya yang menyebutkan bahwa tidak sah talak orang yang dipaksa, hal ini
berlandaskan dari sabda Rasulullah Saw :
”Dari Abu Zar al-Ghifari ra. berkata : berkata Rasulullah Saw Sesungguhnya Allah
melewatkan hukuman terhadap hambanya itu bersalah, lupa dan karena sesuatu yang
dipaksakan kepadanya”.
Hadits ini menjadi landasan bahwa orang yang menjatuhkan talak karena dipaksa
maka tidak jatuh talaknya, dengan demikian Khalifah Ja’far bin Sulaiman al-Husyimy
tidak suka mendengar hadits tersebut disebabkan karena hadits ini dijadikan sebagai
hujjah bagi musuh beliau, karena dengan hadits tersebut pihak musuh akan menolak
perjanjian (bai’ah) pelantikan Ja’far lantaran mereka dipaksa.
Ja’far bin Sulaiman al-Husyimy pernah melarang Imam Malik supaya tidak menggunakan
hadits yang tersebut di atas. Imam Malik tidak mau menuruti perintah oleh karena itu
beliau disiksa. Beliau juga pernah menyuruh beberapa orang utusan untuk menanyakan
pendapat Imam Malik tentang permasalahan tersebut. Imam Malik memberikan
pendapatnya dengan berterus terang dan hal ini disaksikan oleh beberapa orang yang
diutus oleh Ja’far lantaran itu beliau memerintahkan supaya menangkap, dan memukulnya
sebanyak tujuh puluh rotan sehingga beliau terjatuh.
Setelah berita penyiksaan terhadap Imam Malik diketahui oleh penduduk Madinah
maka banyak di antara mereka yang keluar berontak sebagai bantahan terhadap perbuatan
yang kejam itu. Khalifah Abu Ja’farAl-Mansur berduka cita atas penyiksaan tehadap
Imam Malik. Beliau merasa ragu dengan apa yang telah baru terjadi karena beliau sangat
menghormati Imam Malik.
Imam Malik mangkat pada hari Ahad, tanggal 14 Rabi’ul Awwal tahun 179 H
(menurut sebagian pendapat, tahun 169 H) di Madinah, beliau meninggalkan empat orang
anak yang shalih-shalihah yakni Yahya, Muhammad, Hammad dan Ummul Baha’.
b. Karya-Karya Imam Malik
Kecintaan Imam Malik kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan
dalam dunia pendidikan. Sehingga dengan ilmu yang beliau dapatkan, melahirkan kitab-
kitab yang menjadi rujukan umat Islam waktu itu hingga sekarang.
Di antara karya-karya Imam Malik tersebut adalah Kitab al-Muwaththa,’ merupakan
karya monumental Imam Malik yang masih ditemukan sampai sekarang. Kitab ini memuat
hadits-hadits shahih, perbuatan orang-orang madinah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in
yang disusun secara sistematis mengikuti sistematika penulisan fiqh. Keistimewaan dari
kitab al-Muwaththa’ adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan dan kaidah-
kaidah fiqhiyah yang diambil dari hadits-hadits dan atsar. Kitab yang disusunnya selama
empat puluh tahun ini sesungguhnya merupakan satu-satunya kitab yang paling
komprehensif di bidang hadits dan fiqh. Sistematis dan ditulis dengan cara yang sangat
baik pada masa itu.
Adanya aspek hadits dalam kitab ini, adalah karena al-Muwaththa’ banyak
mengandung hadits-hadits yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari Sahabat dan Tabi’in.
Hadits-hadits ini diperoleh dari sejumlah orang yang diperkirakan sampai sejumlah 95
orang yang kesemuanya dari penduduk Madinah, kecuali enam orang saja, yaitu : Abu az-
Zubair (Makkah), Humaid at-Ta’wil dan Ayyub as-Sahtiyany (Bashra), Atha’ ibn
Abdullah (Khurasan), Abd. Karim (Jazirah), Ibrahim ibn Abi ‘Ablah (Syam).
Imam Malik mengumpulkan sejumlah besar hadits dalam kitabnya al-Muwaththa’ itu
kemudian memilihnya selama bertahun-tahun. Bahkan ada riwayat mengatakan, bahwa
Imam Malik dalam al-Muwaththa’ telah mengumpulkan 4.000 buah hadits. Hadits-hadits
itu dipilih oleh Imam Maliksetiap tahun, mana yang lebih sesuai untuk kaum muslimin
dan mana yang paling mendekati kebenaran.
Adapun yang dimaksud kandungan dari aspek kitab fiqh adalah karena al-
Muwaththa’ itu disusun berdasarkan sistematika dengan bab-bab pembahasan seperti
layaknya kitab fiqh. Ada bab Kitab Thaharah, Kitab Shalat, Kitab Zakat, Kitab Shiyam,
Kitab Nikah dan seterusnya. Setiap kitab dibagi lagi menjadi beberapa pasal, yang setiap
pasalnya mengandung pasal-pasal yang hampir sejenis, seperti pasal shalat jama’ah, shalat
safar, dan seterusnya.
Dengan demikian kitab al-Muwaththa’ adalahkitab yang memuat hadits dan fiqh,
kehadiran kitab ini telah membuka cakrawala berpikir umat terhadap bagaiamana cara
menulis sunnah, kemudian mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat, terutama
kalangan ulama. Banyak ulama yang datang minta riwayat hadits dari Imam Malik.
Melihat sambutan yang sangat semarak itu, al-Manshur berhasrat untuk menyebarkannya
ke berbagai daerah. Namun Imam Malik melarangnya, sebab para sahabat menyebar di
mana-mana dan mereka meriwayatkan suatu hadits yang tidak diriwayatkan oleh ulama-
ulama Hijaz yang dipegang oleh Imam Malik.
Di antara karya Imam Malik lainnya adalah kitab al-Mudawwanahal-Kubra yang
merupakan kumpulan risalah yang memuat tidak kurang dari 1036 masalah dari fatwa
Imam Malik yang dikumpulkan Asad bin al-Furatan- Naisabury yang berasal dari Tunis.
Asad bin Furat tersebut pernah menjadi murid Imam Malik, dan pernah mendengar al-
Muwathta’ dari Imam Malik kemudian ia pergi ke Irak. Asad bin Furat bertemu dengan
dua orang murid Imam Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad. Ia banyak
mendengar dari kedua murid Imam Abu Hanifah tersebut tentang masalah-masalah fiqh
menurut aliran Irak. Kemudian ia pergi ke Mesir dan di sana bertemu dengan murid Imam
Malik terutama ibn al-Qasim. Masalah-masalah fiqih yang ia peroleh dari murid-murid
Abu Hanifah ketika di Irak, ditanyakan kepada murid-murid Imam Malik yang berada di
Mesir tersebut, terutama kepada Ibn al-Qasim. Jawaban-jawaban Ibn al-Qasim itulah yang
kemudian menjadi kitab al-Mudawwanah tersebut.
c. Metode IstinbathHukum Imam Malik
Imam Malik sendiri sebenarnya belum menulis dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi
pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik
dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Malik,
kemudian menuliskannya. Dasar-dasar fiqhiyah itu kendati tidak ditulis sendiri oleh Imam
Malik, punya kesinambungan pemikiran yang sangat kuat dengan acuan pemikiran Imam
Malik, paling tidak beberapa isyarat dapat dijumpai dalam fatwa-fatwa dan lebih-lebih
dalam kitabnya al-Muwaththa’. Dalam al-Muwaththa’, Imam Malik secara jelas
menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang Madinah” sebagai salah satu
sumber hukum setelah al-Qur’an dan al-Sunnah, serta mengambil hadits munqati’ dan
mursal sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah itu.
Qadhi ‘Iyadh mengungkapkan bahwa cara Imam Malik dalam mengambil hukum
adalah senantiasa mengutamakan ayat-ayat al-Qur’an dalam menyusun dalil-dalilnya yang
jelas, memulai dengan nasnya, kemudian zahirnya lalu mafhumnya. Setelah itu barulah
Imam Malik beralih kepada hadits, dengan mengutamakan hadits mutawatir, lalu
masyhur, dan barulah ia menggunakan hadits ahad. Dengan cara yang tertib sebagaimana
ia mengambil hukum dari al-Qur’an. Setelah al-Qur’an dan hadits, Imam Malik berpindah
kepada Ijma’. Apabila dalam sumber-sumber pokok itu tidak menjumpai pemecahannya,
barulah beliau menempuh jalan qiyas yang dijadikan sandaran untuk menyimpulkan suatu
hukum.
Begitu pula al-Qurafi dalam kitabnya Tanqih al-Ushul menyebutkan bahwa dasar-
dasar mazhab Malik adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah,
qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sad adz-dzara’i, istihsan dan istishab.
Namun secara jelas, akan penulis gambarkan metode istinbathhukumImam Malik
dalam menetapkan hukum Islam, dimana beliau berpegang kepada:
a. Al-Qur’an
Imam Malik meletakkannya di atas segala dalil, didahulukan dari pada sunnah karena al-
Qur’an merupakan sumber syari’at sampai hari kiamat.
b. Sunnah
Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Manhaj Imam Malik dalam meng-
istinbath hukum dari sunnah adalah mengambil hadits mutawatir, hadits masyhur di
zaman tabi’in atau tabi’u at-tabi’in, dan beliau tidak mengambil setelah zaman itu,
menggunakan khabar ahad walaupun beliau lebih mendahulukan amalan penduduk
Madinah.
c. Ijma’ Ahl al-Madinah
Imam Malik merujuk kepada praktek penduduk Madinah (Amal Ahl al-Madinah), apabila
hukum suatu masalah tidak dapat ditemukan dalam teks al-Qur’an dan Sunnah. Madinah
adalah negeri tempat Rasulullah Saw berhijrah dari Mekkah, di situ beliau lama
berdomisili menyampaikan ajaran agama kepada para sahabat. Para sahabat yang tinggal
di negeri tersebut bergaul lama dengan Rasulullah Saw dan banyak mengetahui latar
belakang turunnya ayat, dan mereka adalah anak didik langsung Rasulullah Saw. Praktek-
praktek keagamaan para sahabat, menurut Imam Malik tidak lain adalah praktek-praktek
yang diwarisi dari Rasulullah Saw, dan seterusnya praktek-praktek keagamaan itu secara
murni diwarisi pula oleh generasi sesudahnya dan seterusnya sampai kepada Imam Malik.
Dengan demikian, praktek penduduk Madinah yang disepakati atau praktek mayoritas
penduduk Madinah dianggap sebagai kristalisasi dari ajaran Rasulullah Saw sehingga
harus dijadikan sumber hukum.
Di kalangan Mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada
khabar ahad, sebab ijma ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedang
khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan.
Ijma ahl al-Madinahini ada beberapa tingkatan:
1)Kesepakatan ahl al-Madinah yang asalnya an-naql, yakni hasil dari mencontoh
Rasulullah Saw, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah.
2)Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijma ahl al-Madinah
yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi mazhab Maliki. Hal ini didasarkan
bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl al-Madinah masa lalu itu yang
bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw.
3)Amalan ahl al-madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang
saling bertentangan. Artinya, apabila dua dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang
untuk mentarjih salah satu kedua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahl al-
Madinah, maka dalil yang diperkuat oleh amalan ahl al-Madinah itulah yang dijadikan
hujjah menurut mazhab Maliki.
4)Amalan ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi Saw,
amalanahl al-Madinah seperti ini bukan hujjah, baik menurut asy-Syafi’i, Ahmad bin
Hanbal, Abu Hanifah, maupun menurut para ulama di kalangan mazhab Maliki.
d. Fatwa Sahabat
Imam Malik mengambil fatwa sahabat karena fatwa sahabat adalah hadits yang harus
diamalkan jika memang benar periwayatannya, terutama dari para Khulafa ar-Rasyidin
jika memang tidak ada nash dalam masalah tersebut. Yang dimaksud sahabat di sini
adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan
pada an-naql. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi
fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah Saw.
e. Khabar ahad
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasullah,
jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat
Madinah, sekalipun hanya dari hasil isitinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan
oleh dalil-dalil yang qath’i.
f. Qiyas
Imam Malik menggunakan qiyas dengan maknanya menurut istilah, yaitu
menggabungkan hukum satu masalah yang tidak ada nash-nya dengan masalah yang
sudah ada nash-nya karena ada persamaan dalam aspek illat-nya. Contohnya, dalam al-
Qur’an dan hadits tidak pernah disebutkan haramnya nabiz dan minuman keras lainnya
selain khamar seperti alkohol dan lainnya, maka Imam Malik dan jumhur ulama
menetapkan haramnya itu dengan mengqiyaskannya kepada khamar yang ditetapkan
keharamannya dalam firman Allah pada surat al-Maidah ayat 90, yang artinya,
”sesungguhnya (meminum)khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah...”.
g. Al-Istihsan
Istihsan yaitu menguatkan hukum satu kemaslahatan yang merupakan cabang dari sebuah
qiyas, menurut mazhab Maliki, al-istihsan adalah menurut hukum dengan mengambil
maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan
maksud mengutamakan al-istidlal mursal daripada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,
tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan
mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan.
Contohnya adalah Allah melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada dan
mengadakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun Dia memberikan kemurahan
secara istihsan pada salam(pemesanan), sewa-menyewa, muzara’ah, dan lain sebagainya.
Semua contoh itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada pada waktu
akad berlangsung. Segi istihsan-nya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
h. Al-Mashlahah al-Mursalah
Al-Maslahah al-Mursalah yaitu merupakan kemaslahatan yang tidak ada dalil yang
menolak atau membenarkannya, dengan demikian maka al- maslahah al-mursalah itu
kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Contohnya adalah fatwa Imam
Malik tentang barang palsu yang ditemukan di tangan pemalsunya, barang tersebut boleh
diambil dengan paksa oleh penguasa dan disedekahkan kepada fakir miskin sekalipun
banyak jumlahnya. Imam Syatibi menjelaskan bahwa dalam hal tersebut Imam Malik
meniru perbuatan Umar bin Khattab yang pernah menumpahkan susu palsu yang dicampur
dengan bahan lain oleh penjualnya.
Para ulama yang berpegang kepada al-maslahah al-mursalah sebagai dasar hukum,
menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
1)Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama,
bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
2)Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan
sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Artinya maslahah
tersebut harus merupakan maslahah bagi kebanyakan orang.
3)Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak
bertentangan dengan ketentuan nash dan ijma’.
i. Sadd az-Zara’i
Imam Malik menggunakan Sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau
terlarang maka hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju
kepada yang halal, halal pula hukumnya. Contohnya, menurut Imam Malik seorang isteri
yang ditalak ba’in ketika suaminya sakit keras tetap mendapat harta warisan dari suami
yang menceraikannya, meskipun suami itu baru wafat setelah habis masa iddahnya.
Alasannya, tindakan suami menceraikan isterinya waktu sakit keras patut diduga untuk
menghindar dari aturan waris.
j. Istishab
Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Istishab adalah, tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan
datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Misalnya,
seorang yang telah yakin berwudhu dan dikuatkan lagi, bahwa ia baru saja menyelesaikan
shalat subuh, kemudian datang keraguan kepada orang tersebut tentang sudah batal atau
belum wudhunya, maka hukum yang dimiliki oleh orang tersebut adalah belum batal
wudhunya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudhu dan dikuatkan pula,
bahwa ia belum melakukan shalat apapun, bahwa ia baru hendak mengerjakan shalat,
kemudian datang keraguan tentang sudah berwudhu atau belum, maka hukum yang
dimiliki orang tersebut adalah bahwa ia belum berwudhu.
k. Syar’u man Qablana Syaru’un lana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaidah
Syar’u man Qablana Syaru’un lana sebagai dasar hukum. Menurut Abdul Wahab, bahwa
apabila al-Qur’an dan al-Sunnah mengisahkan suatu hukum yang pernah diberitakan buat
umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum
tersebut dinyatakan pula dalam al-Qur’an atau as-Sunnah, maka hukum-hukum tersebut
berlaku pula buat kita, begitu juga sebaliknya.
Dari keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode dan dasar-dasar
kajian fiqh Malik sepenuhnya mengambil kerangka acuan dari fakultas ahlu al-hadits yang
muncul di Hijaz. Penggunaan qiyas, misalnya jarang sekali dilakukan, bahkan ada riwayat
yang menyebut bahwa Imam Malik mendahulukan “perbuatan orang-orang Madinah” dari
pada penggunaan qiyas. Sampai sejauh ini, Imam Malik tidak berani menggunakan rasio
secara bebas, Ibnu Qasim, salah seorang muridnya yang sering melakukan dialog
dengannya mengatakan bahwa Imam Malik mengaku, dalam masa lebih dari sepuluh
tahun ini, untuk menjawab suatu masalah ia tidak pernah mendahulukan rasio. Keteguhan
Imam Malik dalam memegangi al-Qur’an dan hadits sedemikian rupa, sehingga tidak
berani memutuskan halal atau haramnya sesuatu tanpa ada nash yang jelas.
D. IMAM AHMAD IBN HANBAL
a. Biografi Imam Ahmad Ibn Hanbal
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal adalah Imam yang keempat dari fuqaha’ Islam.
Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat yang luhur dan tinggi yaitu
sebagaimana dikatakan oleh orang-orang yang hidup semasa dengannya, juga orang yang
mengenalnya. Beliau Imam bagi umat Islam seluruh dunia, juga Mufti bagi negeri Irakdan
seorang yang alim tentang hadist-hadist Rasulullah Saw. Juga seorang yang zuhud dewasa
itu, penerang untuk dunia da sebagai contoh dan teladan bagi orang-orang ahli sunnah,
seorang yang sabar dikala menghadapi percobaan, seorang yang saleh dan zuhud.
Didalam mazhab Hanbali, terdapat istilah Hanbali dan Hanabilah. Agar tidak
timbulnya keraguan dalam membedakan kedua istilah tersebut maka penulis akan
mengemukakan pengertian kedua istilah tersebut. Hanbali adalah pendapat (kesimpulan)
yang dinisbahkan (dihubungkan) kepada Imam Ahmad ibn Hanbal. Sedangkan Hanabilah
adalah orang yang mengikuti hasil ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal dalam masalah hukum
fiqih.
Tokoh utama mazhab Hanbali adalah Imam Ahmad ibn Hanbal.Nama lengkapnya
adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn ‘Abdillah ’ibn
ibn Hayyan ibn Abdillah ibn Anas ibn ‘Auf ibn Qasit ibn Mukhazin ibn Syaiban ibn Zahl
ibn Sa’labah ibn ‘Ukabah ibn Sa’b ibn ‘Ali ibn Bakr ibn Wa’il ibn Qasit ibn Hanb ibn
Aqsa ibn Du’ma ibn Jadilah ibn Asad ibn Rabi’ah ibn Nizar ibn Ma’ad ibn ‘Adnan ibn
‘Udban ibn al-Hamaisa’ ibn Haml ibn an-Nabt ibn Qaizar ibn Isma’il ibn Ibrahim asy-
Syaibani al-Marwazi.
Imam Ahmad ibn Hanbal lahir di Baghdad pada masa pemerintahan ‘Abbasiyyah
dipegang oleh al-Mahdi, yaitu pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 164 H bertepatan dengan
tahun 780 M. Ahmad dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang terhormat, yang memiliki
kebesaran jiwa, kekuatan kemauan, kesabaran dan ketegaran menghadapi penderitaan.
Ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan, oleh sebab itu, Imam Ahmad ibn Hanbal
mengalami keadaan yang sangat sederhana dan tidak tamak. Ayahnya bernama
Muhammad bin al-Syaibani. Jadi sebutan Hanbal bukanlah nama ayahnya tetapi nama
kakeknya. dan Ibunya bernama Safiyyah binti Abdul Malik bin Hindun al-Syaibani dari
golongan terkemuka kaum baru Amir.Nasab dan keturunan Nabi Muhammad bertemu
dengan Imam Ahmad bin Hanbal baik dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya, yaitu
pada Nizar datuk Nabi Muhammad yang kedelapan belas. pada perkembangan selanjutnya
lebih dikenal dengan nama Imam Ahmad bin Hanbal, dinisbahkan kepada nama datuk
beliau sendiri karena nama “Ahmad” begitu banyak, lalu dihubungkan dengan nama
datuknya, sehingga sejak kecil beliau lebih dikenal deangan nama Ahmad ibn Hanbal.
b. Karya-karyanya
Imam Ahmad lebih banyak mengarahkan hidupnya untuk menuntut ilmu pengetahuan
dan menyebar luaskan ilmu itu. Meskipun sejak kecil beliau selalu dalam keadaan
menderita, bahkan dapat dikatakan tidak pernah merasakan kemewahan dan kenikmatan
hidup (secara materi) di dunia, dalam urusan mata pencaharian beliau mempunyai
kepribadian tersendiri.Ia karena kezuhudan dan kewara’annya, tidak suka menerima
pemberian orang lain. Beliau berpendirian, “ lebih baik bekerja berat dan dipandang
rendah oleh kebanyakan orang dari pada memakan yang belum jelas kehalalannya.” Oleh
karena itu, tidak sedikitpun atau terlintas dihati sanubarinya suatu keinginan untuk
menduduki suatu jabatan atau pengkat dalam lingkungan pemerintahan.
Karena Imam Ahmad tidak menyukai jabatan dan kedudukan dalam pemerintahan,
maka aktifitasnya lebih mengarah kepada pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga
beliau dikenal dikalangan ulama pada masanya.Selain itu beliau sangat teguh berpegang
kepada pendirian yang diyakininya. Dari semua bidang ilmu yang dikuasainya, ilmu hadist
dan fiqh yang paling menonjol, sehingga beliau mendapat sebutan sebagai seorang
muhaddist (ahli hadist) dan juga seorang faqih (ahli fiqh).Sebagian ulama ada yang
menyangkal bahwa Imam Ahmad hanyalah seorang muhaddist bukan seorang faqih.
Ibnu Jauzi berkata: “Ahmad ibn Hanbal tidak pernah kelihatan menulis kitab dan dia
juga melarang untuk menulis perkataan dan masalah-masalah dari hasil istinbathnya.”
Apapun alasannya kita memang menerima pernyataan bahwa Imam Ahmad sangat
menonjol dalam bidang hadist, tetapi cancernnya terhadap masalah-masalah fiqih juga
tidak dapat dinafikan.Hal ini dapat dipahami dan banyaknya pengikut beliau yang menulis
fatwa-fatwa dan pendapatnya hingga tersusun suatu akumulasi pemikiran-pemikiran fiqh
yang di nisbatkan kepadanya.Seandainya beliau hanya memusatkan perhatiannya pada
hadist, tentulah sangat sulit bagi kita mengkaji pendapat-pendapatnya dalam masalah
fiqh.Alasan yang dapat dikemukakan mengapa beliau tidak menulis fiqh sebagaimana
diungkapkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, adalah karena beliau sangat benci terhadap
semua bentuk penulisan selain hadist. Beliau khawatir akan terjadi campur aduk antara
buku-buku hadist dan buku-buku fiqh.
Adapun karya-karya beliau antara lain:
a. al-Musnad
b. kitab Tafsir al-Qur’an
c. Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh
d. Kitabb al- Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qur’an
e. Kitab Jawabatu al-Qur’an
f. Kitab al-Tarikh
g. Kitab Manasiku al-Kabir
h. Kitab Manasiku al-Saghir
i. Kitab Tha’atu al-Rasul
j. Kitab al-‘Illah
k. Kitab al-Shalah.
Selain kitab-kitab yang disusun langsung oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, ada juga
gagasan Imam Ahmad ibn Hanbal yang diteruskan dan dilestarikan oleh para pengikutnya.
Diantara rujukan fiqih Hanabillah adalah sebagai berikut:
1. Mukhtashar al-Khurqi karya Abu al-Qashim Umar ibn al-Husain al-Khurqi (w. 334 H)
2. Al-Mughni Syarkh ‘Ala Mukhtasar al-Khurqi karya Ibnu Qudamah (w. 620 H).
3. Majmu’ Fatwa ibn Taimiyah karya Taqiy al-Din Ahmad Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
4. Ghayat al-Muntaha fi al-Jami’ bain al-Iqna wa Muntaha karya Mar’i ibn Yusuf al-
Hanbali (w. 1032 H)
5. Al-Jami’ al-Kabir karya Ahmad ibn Muhammad ibn Harun atau Abu Bakar al Khallal.
Oleh Imam Ahmad tidak menulis kitab dalam bidang fiqh yang dapat kita jadikan
pegangan pokok dalam mazhabnya.Karena beliau tidak membukukan fiqhnya dalam suatu
kitab, tidak pula mendiktenya kepada murid-muridnya maka yang dapat dijadikan
pegangan dalam mazhab Hanbali adalah riwayat-riwayat beliau yang telah diterima baik
oleh murid-muridnya secara langsung sebagai penukil yang benar dari Imam Ahmad.Maka
selama belum ada bukti yang kuat bahwa riwayat itu bukan berasal dari Imam Ahmad,
tetaplah kita berpendapat bahwa riwayat-riwayat itu berasal dari Imam Ahmad.
Semua pendapat Imam Ahmad yang telah diterima secara langsung oleh murid-
muridnya,kemudian dihimpun oleh Abu Bakar al-Khallal dengan menjumpai mereka.
Dialah yang dapat kita pandang sebagai pengumpul fiqh Hanbali dari penukilnya.Dari
padanyalah dinukilkan koleksi fiqh Imam Ahmad yang paling lengkap yaitu al-Jami al-
Kabir yang terdiri dari dua puluh jilid yang tebal-tebal.
Ada dua tokoh ulama yang telah berjasa dalam mengumpulkan apa yang dinukilkan
oleh al-Khallal, yaitu ‘Umar ibn al-Husain al-Khiraqi dan Abu al-Aziz ibn Ja’far Gulam
al-Khallal.Mereka mempunyai banyak karangan tetapi tersebar luas hanyalah kitab al-
Mukhtasar karya al-Hiraqi yang didalamnya terdapat 2.300 masalah.Muwaffaq ad-Din ibn
Qudamah telah mensyarahkan kutab tersebut menjadi tiga belas jilid besar yang
dinamakan kitab al-Mughni, suatu kitab fiqih yang patut dijadikan pokok pegangan dalam
mazhab Hanbali.
c. Metode Istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal
Imam Ahmad ibn Hanbal menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh
karena itu di dalam pemikiran ia banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Thaha Jabir
Fayadh al-Uwani mengatakan bahwa cara ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal sangat dekat
dengan cara ijtihad Imam Syafi’i .Ibn Qoyyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa pendapat-
pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal dibangun atas 5 dasar:
1. Nash dari al-Qur’an dan sunnah (Hadits yang shahih) Al-Qur’an yaitu perkataan Allah
Swt yang diturukan oleh ruhul amin kedalam hati Rasulullah dengan lafdz bahasa Arab,
agar supaya menjadi hujjah bagi Rasulullah bahwa dia adalah utusan Allah Swt.
Al-Hadist yaitu segala ucapan, perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi Saw.
Jika menemukan suatu persoalan yang menghendaki pemecahan hukum,maka pertama-
tama ia harus mencari jawaban persoalan tersebut kepada nash,maka wajib menetapkan
hukum berdasarkan nash tersebut.
Al-Qur’an adalah sumber pertama dalam menggali sumber hukum fiqhnya.
Sedangkan sunnah sendiri adalah penjelas al-Qur’an dan tafsir hukum-hukumnya maka
tidak aneh apabila ia menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai perintis sumber-sumber
bagi pendapat fiqh dia. Sebabnya al-Qur’an dijadikan dasar pertama dan harus
didahulukan dari pada sunnah adalah:
a. Al-Qur’an adalah qath’i, sedangkan sunnah adalah zhanni. Kita hanya meyakini bahwa
sunnah nabi itu wajib diikuti. Tapi kita tidak dapat meyakini bahwa tiap-tiap yang
dikatakan sunnah nabi benar sunnah.
b. Sunnah, fungsinya menjelaskan al-Qur’an atau menambah hukumnya jika dia bersifat
penjelasan, maka tentulah dia berada dibawah al-Qur’an. Jika mendatangkan hukum baru
bias diterima, jika hukum baru itu tidak ada dalam al-Qur’an.
c. Hadits sendiri menempatkan diri pada martabat kedua, seperti yang didapat disimpulkan
dari hadits Muadz.
2. Fatwa para sahabat Nabi saw
Sahabat adalah orang yang hidup pada masa Rasulullah Saw dan mengimani serta
mengikuti ajaran Rasulullah Saw.
Adapun landasan atau dasar hukum dari ijma’ atau fatwa sahabat adalah hadist
Rasulullah Saw:
Artinya: “Dari Annas, dari sekelompok penduduk Homs dari sahabat Mu’az bin Jabal,
bahwasanya Rasulullah Saw mengutus Mu’az ke Yaman, beliau berkata: “apabila
dihadapkan kepadamu suatu kasus hukum,bagaimana anda memutuskannya? Mu’az
menjawab: “saya akan memutuskannya berdasarkan al-Qur’an, Nabi bertanya lagi: jika
kasus itu tidak anda temukan dalam al-Qur’an: Mu’az menjawab: saya memutuskan
berdasarkan sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya: jika kasusnya tidak terdapat
dalam alQur’an dan sunnah Rasul? Mu’az menjawab: aku akan berijtihad dengan
seksama. Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’az dengan tangannya seraya berkata:
segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridhainya.” (H.R.Abu Daud).
Apabila beliau tidak mendapat suatu nash yang jelas, baik dari al-Qur’an dan
Sunnah, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari pada sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan dikalangan ulama. Adapun sahabat-sahabat yang terkenal sebagai mufti atau
mujtahid adalah:
a. Zaid ibn Tsabit
b. Abdullah ibn Abbas
c. Abdullah ibn Mas’ud
Jika fatwa tersebut disetujui semua sahabta, maka tersebut fatwa sahabat mujtami’in.
3. Fatwa para sahabat yang masih dalam perselisihan
Apabila terjadi pertentangan pendapat antara para sahabat, ia memilih pendapat yang
berdalil al-Qur’an dan hadist. Apabila pendapat mereka tidak bias dikompromikan, ia tetap
mengemukakan pendapat mereka masing-masing tetapi ia tidak mengambil pendapat
mereka sebagai sumber hukum. Mayoritas ulama mengakui fatwa sahabat sebagai dasar
dalam menetapkan hukum. Demikian pula menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa yang
bersumber dari golongan salaf, dan fatwa-fatwa para sahabat. Fatwa mereka lebih utama
dari pada fatwa ulama
kontemporer. Karena fatwa para sahabat lebih dekat pada kebenaran.Masa hidup mereka
lebih dekat dengan masa hidup Rasul.
4. Hadits mursal dan hadits dha’if,
Hadist mursal adalah hadist yang gugur perawi dan sanadnya setelah tabi’in. Hadist
dha’if adalah hadist mardud, hadist yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau
dalil dalam menetapkan sesuatu hukum. Kata al-Dha’if, secara bahasa adalah lawan dari
al-Qawiy, yang berarti kuat.
Hadist ini dipakai apabila tidak ada keterangan atau pendapat yang menolaknya.
Pengertian mengenai hadist dha’if pada masa dahulu tidak sama dengan pengertiannya di
zaman sekarang. Pada masa Imam Ahmad hanya ada dua macam hadist yaitu hadis shahih
dan dha’if.Dimaksud dha’if disini bukan dha’if yang batil dan mungkar, tetapi merupakan
hadis yang tidak berisnad kuat yang tergolong sahih dan hasan.Menurut Ahmad hadis
tidak terbagi atas shahih, hasan dan dha’if tetapi shahih dan dha’if.Pembagian hadis atas
sahih,hasan,dha’if dipopulerkan oleh al-Turmidzi. Hadis-hadist dha’if ada bertingkat
tingkat, yang dimaksud dha’if disini adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan
hadis semacam ini lebih utama dari pada menggunakan qiyas.
Apabila tidak didapatkan dari al-Qur’an, Hadits, fatwa sahabat yang disepakati atau
yang masih diperselisihkan , maka barulah beliau menetapkannya denganhadits mursal
dan dha’if yang tidak seberapa dhaifnya (merupakan hadits yang tidak sampai ketingkat
shahih dan termasuk hadits hasan.
5. Qiyas
Dalam fiqih, makna Qiyas adalah mempersamakan masalah yang belum ada nash dan
dalil hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada hukumnya dan tercatat jelas dalilnya,
dengan melihat persamaan sifat keduanya yang menjadi penentu hukum.
Apabila beliau tidak mendapatkan dalil dari al-Qur’an dan hadits, fatwa sahabat yang
disepakati atau yang masih doperselisihkan, hadist mursal dan hadist dha’if. Dalam
keadaan demikian barulah ia menggunakan qiyas, yakni apabila terpaksa. Pada firman
Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup sesudah mati kepada terjaga (bangun)
setelah tidur dan membuat beberapa perumpamaan, serta menerapkannya beraneka ragam.
Semua itu adalah qiyas jali, dimana Allah ingin mewujudkan bahwa hukum sesuatu dapat
diterapkan kepada kasus lain yang serupa. Bila dibandingkan dengan mazhab-mazhab lain
sebelumnya (seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i). Mazhab Hanbali tidak tersiar
(tidak semasyhur mazhab lainnya terutama mazhab Syafi’i walaupun demikian mazhab
Hanbali merupakan salah satu dari mazhab yang terbesar dan banyak diikuti umat Islam.
E. IMAM JA’FAR
a. Biografi Imam Ja’far
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Ja’far ibn Muḥammad al-Baqir ibn ‘Ali
Zaynal Abidin ibn Husayn ibn Ali ibn ‘Abi Ṭalib al-Hashimi al-‘Alawi alMadani al-Ṣadiq.
Ia dilahirkan pada tahun 80 H/699 M. Para sejarawan berbeda pendapat Mengenai
kelahiran Ja’far ini. Selain tahun 80 H., ada pula yang mengatakan bahwa ia dilahirkan
pada tahun 83 H. Ada pula yang mengatakan Ja’far dilahirkan sebelum kedua tahun
tersebut. Namun riwayat yang paling kuat menyatakan bahwa Ja’far Shadiq dilahirkan
pada tahun 80 H, yakni di tahun yang sama dengan kelahiran pamannya, Zayd ibn ‘Ali
Zaynal ‘Abidin.
Ayahnya, Muḥammad al-Baqir (w. 115 H), adalah seorang ulama terkemuka di
Madinah yang menjadi rujukan banyak ahli fikih saat itu. Di antara murid-muridnya antara
lain Sufyan al-Thawri (w. 161 H.) dan Abu Hanifah (w. 150 H.). Ibunya, Ummu Farwah,
juga tergolong wanita terhormat di masanya. Ummu Farwah adalah puteri Qasim ibn
Muḥammad ibn Abu Bakr al Ṣiddiq. Ibu dari Ummu Farwah sendiri adalah Asma’ ibn
‘Abdurraḥman ibn Abu Bakr al-Ṣiddiq, sehingga kadang-kadang Ja’far berkata bahwa
dirinya “dilahirkan dua kali oleh Abu Bakr”.
Dengan demikian, dari pihak ayah, Ja’far memiliki garis keturunan dengan Rasulullah
SAW, sedangkan dari pihak ibunya, ia memiliki garis keturunan dengan Abu Bakr al-
Ṣiddiq. Itulah sebabnya mengapa, meskipun ia merupakan salah satu dari Imam kaum
Syi’ah, ia akan marah besar bila mendengar ada orang yang merendahkan kakeknya, Abu
Bakr alṢiddiq.
Di lingkungan keluarga terhormat tersebut, Ja’far lahir dan dibesarkan. Ali Zaynal
‘Abidin, kakeknya yang merupakan ahli fikih dan tokoh terkemuka di Hijaz ketika itu,
juga turut merawat dan mendidiknya sebelum sang kakek tersebut wafat ketika Ja’far
berusia 14 tahun. Selain itu, kakek dari pihak ibu, Qasim ibn Muhammad juga menjadi
guru dan pembimbingnya. Begitu pula halnya dengan para tabi’in, yang saat itu masih
banyak yang hidup, juga tidak sedikit yang menularkan ilmunya kepada putera
Muḥammad al-Baqir ini. Selain dikenal sebagai ahli fikih, Imam Ja’far juga dikenal
menguasai ilmu filsafat, tasawuf, kimia, dan kedokteran. Di antara muridnya dalam ilmu
alam adalah Jabir ibn Ḥayyan, seorang ahli kimia dan kedokteran abad ke-8. Selain itu,
Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru besar dalam dunia sufi, baik sufi di kalangan
Syi’ah maupun Sunni. Ja’far termasuk dalam silsilah utama di dunia tariqah.
Lantaran kepakarannya di bidang fikih, kaum Shi’ah Ithna Ash’ariyyah
menganggapnya sebagai pendiri “mazhab hukum” kelompok ini. Mazhab hukum Shi’ah
Ithna Ash’ariyyah sendiri sering disebut dengan mazhab Ja’fari. Kepakaran Imam Ja’far
di bidang hukum tidak hanya diakui di kalangan Syi’ah saja, namun juga di dunia Sunni.
Ia banyak memiliki murid-murid dari kalangan Sunni. Dua orang imam besar dalam fikih
Sunni adalah muridnya, yakni Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H) dan Malik ibn Anas (w.
179 H). Hadis-hadis yang diriwayatkan olehnya pun diterima di kalangan Sunni. Bahkan
para kritikus hadis di kalangan Sunni mengkategorikannya dalam derajat thiqah. Ja’far
merupakan tokoh yang sangat penting dalam sejarah perkembangan Syi’ah. Sebelumnya,
Syi’ah cenderung bersifat politis yang memposisikan dirinya sebagai gerakan oposisi
terhadap pemerintahan Umayyah. Ja’far mengubah orientasi gerakan Syi’ah ini menjadi
bercorak keagamaan. Ja’far secara pribadi dikenal sebagai orang yang tak menyukai
keterlibatan langsung dalam dunia politik. Pengalaman pahit yang dimiliki leluhurnya di
medan politik mungkin mempengaruhi sikapnya ini. Terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib,
Hasan dan Husein putera Ali, dan beberapa kerabat lain yang tewas karena persoalan
politik tampaknya mempengaruhi keputusannya untuk menjauhi politik. Karena itu tidak
aneh jika Ja’far lebih menyukai bergelut di dunia pengetahuan dari pada terjun langsung di
arena politik. Kendati demikian, bukan berarti Ja’far al-Sâdiq termasuk pribadi yang
politis. Imam keenam dalam teologi Syiah ini tetap memiliki perhatian terhadap persoalan-
persoalan politik. Ia berani mengkritik pemerintahan Bani Abbasiyah yang dianggapnya
zalim dan sewenang-wenang. Secara tegas ia menolak penggunaan “namanya” untuk
kendaraan politik, seperti terlihat misalnya dalam gerakan oposisi di Iraq. Gerakan oposisi
yang dipimpin oleh Abu al-Khiṭab Muḥammad ibn Abi Zaynab al-Ajda’ tersebut
mengobarkan semangat pendukung Ali dengan menggunakan sentimen Ahlu al-Bayt.
Dalam kampanyenya, Abu al-Khiṭab menyatakan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah juga
seorang rasul seperti halnya Muhammad. Bedanya adalah, Muhammad adalah rasul yang
“berbicara”, sedangkan Ali adalah rasul yang “diam”. Ia juga menyatakan bahwa anak
cucu Husein adalah “putera-putera” Allah dan kekasihNya di dunia yang harus ditaati. Ia
menambahkan bahwa para kekasih Tuhan tersebut juga mewajibkan manusia untuk
menaati dirinya sebagai pemimpin. Gerakan Abu al-Khiṭab ini ditolak tegas oleh Ja’far al-
Ṣadiq dengan menyatakan bahwa siapapun yang menyatakan hal tersebut adalah musyrik.
Imam Ja’far memang pernah datang ke Kufah, Iraq dan menetap di sana selama beberapa
waktu (sekitar 132 H/750 M). Hanya saja kedatangannya ke Iraq itu tidak untuk maksud
melakukan agitasi terhadap para pengikutnya, yang memang banyak terdapat di Kufah,
untuk melawan pemerintahan saat itu. Kedatangannya ke Kufah ini untuk meneguhkan
eksistensi imamah yang diyakini di kalangan Syi’ah. Di sini Imam Ja’far menemukan
ekspresi doktrinalnya. Saat itulah ajarannya direkam dan dicatat oleh para muridnya secara
sistematis. Seperti kakek moyangnya, Abu Bakar al-Ṣadiq, Ja’far mendapatkan gelar “al-
Ṣadiq” karena kejujuran sifatnya. Selain itu, ia juga terkenal dengan keikhlasan,
kesabaran, kedermawanan, dan keberaniannya. Ja’far al-Ṣadiq wafat pada tahun 148
H/765 M pada usia 68 tahun dan dimakamkan di Baqi’, di dekat makam ayah dan
kakeknya, serta makam Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib.
b. Perkembangan Mazhab Ja’fari
Menurut Mahmud Syihabi, seperti dirujuk oleh Dahal, perkembangan mazhab Ja’fari
dibagi atas dua periode utama.
Periode pertama adalah periode penetapan hukum, yang dimulai dari diutusnya
Muhammad sebagai rasul sampai wafatnya beliau pada tahun 11 H/632 M. Periode kedua
adalah periode interpretasi hukum, yakni dari tahun 11 H/632 M sampai sekarang.
Periode interpretasi tersebut dapat dibagi menjadi empat tahap utama. Tahap pertama,
yakni era para sahabat Nabi (11-93 H/632-711 M). Tahap kedua terjadi pada era pengganti
Nabi hingga masa “keghaiban kecil” Imam Mahdi (260 H/873 M). Periode kedua ini dapat
lagi dibagi menjadi dua fase, yaitu masa Imam Muḥammad al-Baqir serta Imam Ja’far al-
Ṣadiq, dan fase pasca Imam Ja’far al- Ṣadiq. Tahap ketiga, yakni era para wakil khusus,
yaitu pada tahun 260-329 H/873-940 M. Tahap keempat yakni era keghaiban besar, yakni
pada tahun 329 H/940 M sampai sekarang. Periode terakhir ini mencakup empat fase:
Pertama, era para perintis, yang dimulai sejak masa keghaiban besar sampai munculnya
Syekh Muḥammad ibn Ḥasan ibn ‘Ali Abu Ja’far al-Ṭusi (w. 460 H/1067 M). Kedua, era
al-Ṭusi sampai datangnya al‘Allamah ibn Muṭahhar al-Hilli (648-726 H/1250-1325 M).
Ketiga, era al-Hilli sampai era Muḥammad Baqir ibn Muḥammad Akmal al-Bihbihani (w.
1205H/1791M). Keempat, masa al-Bihbihani sampai sekarang.
Menurut Dahal, kajian tentang perkembangan mazhab Ja’fari yang agak terfokus dan
komprehensif dilakukan oleh Ahmad Kazemi Moussavi, seorang ahli fikih Iran. Kazemi
memulai perkembangan Mazhab Ja’fari sejak masa di mana mazhab Ja’fari menemukan
ekspresi doktrinalnya di sekitar tahun 132 H/750 M, yakni ketika Imam Ja’far melakukan
perjalanan ke Kufah. Seperti diketahui, pada masa inilah ajaran-ajaran Ja’far al-Ṣadiq
dicatat dan direkam oleh para muridnya secara sistematis. Periode pertama ini berlangsung
sampai tahun 408 H/1017 M ketika muncul kaum uṣuli yang banyak melakukan penalaran
dalam hukum. Masa awal ini ditandai dengan munculnya usaha mengumpulkan hadis
yang diriwayatkan oleh para imam Syi’ah. Usaha yang terpusat di kota Ray dan Qum ini
menghasilkan 400 hadis riwayat para imam yang dikenal dengan al-Uṣul al-Arba’ Mi’ah
(empat ratus sumber hukum). Usaha ini kemudian diteruskan oleh Abu Ja’far Muḥammad
ibn Ya’qub alKilyani (w. 329 H/940 M) dan Muḥammad ibn ‘Ali ibn Babuwayh al-Saduk
(w. 381 H/991 M). Al-Kilyani mengumpulkan hadis-hadis dalam karyanya al-Kafi.
Sedangkan al-Saduk mengumpulkan hadis-hadis dalam karyanya Man La Yaḥduruhu al-
Faqih.
Mazhab Ja’fari memasuki fase baru ketika Muḥammad ibn Muḥammad ibn Nu’man
yang terkenal dengan nama Shaykh Mufid (336-413 H) menerapkan argumen Uṣuli
rasional dalam menulis karyanya al-Muqni’ah fi al-Uṣul wa ‘lFuru’. Dengan munculnya
pemikiran uṣuli yang diterapkan Shaykh Mufid ini, mazhab Ja’fari pecah menjadi dua
aliran, yakni aliran Akhbari, yakni aliran para ahli hadis yang tidak mau menggunakan
rasio, dan aliran Uṣuli yang melakukan upaya penggalian hukum dengan menggunakan
rasio. Usaha Shaykh Mufid ini diteruskan oleh ulama-ulama setelahnya, antara lain Sayyid
al-Murtaḍa (355-436 H) dan al-Ṭusi. Usaha Sayyid al-Murtaḍa ini konon tidak terlepas
dari dukungan pemerintah yang berkuasa saat itu, yakni Dinasti Buwaih, yang
mengangkatnya menjadi qaḍi di Baghdad. Aliran Uṣuli dalam mazhab Ja’fari semakin
mendominasi wacana hukum melalui peran ulama-ulama berikutnya, antara lain Najm al-
Din Ja’far ibn Ḥasan al-Muḥaqqiq al-Hilli (w. 676/1277M) dan al-’Allamah ibn Muṭahhar
al-Hilli. Ulama yang disebut terakhir ini mencoba menyoroti aspek rasional fikih Syiah
serta perbandingannya dengan fikih Sunni, yang kemudian berakhir pada interaksi teoritis
Sunni-Syiah.
Aliran Akhbari kembali bangkit pada abad ke-10 H/16 M. Kebangkitan kembali aliran
ini berawal dari reaksi atas interaksi Sunni-Uṣuli yang dibuat alHilli. Namun demikian,
kebangkitan aliran ini tidak terlepas dari berkuasanya dinasti Safawi (907 H/1501 M) yang
menjadikan ideologi Syiah secara menyeluruh sebagai basis kekuasaannya. Sementara
dinasti ini dikenal lebih cenderung kepada hadis dan fatwa imam. Ulama akhbari masa ini
di antaranya adalah Ibn Abi Jumhur (akhir abad ke-9 H), Muḥammad Taqi al-Majlisi (w.
1070 H/1660 M), dan Muḥammad Amin al-Astarabadi (w. 1036 H).
Meskipun aliran Akhbari mendominasi masa dinasti Safawi, namun aliran Uṣuli
masih tetap bertahan melalui tulisan-tulisan Ḥasan ibn Zayn al-Din al‘Amili (w. 1011
H/1602 M), Aḥmad ibn Muḥammad al-Ardabili (w. 993 H/1585 M), Bahauddin al-‘Amili
(w. 1030 H/1631 M), dan lain-lain. Aliran Uṣuli ini kembali mendapatkan angin segar
pasca jatuhnya dinasti Safawi pada tahun 1153 H/1740 M.
c. Sumber Hukum Mazhab Ja’fari
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan mendasar dalam metodologi hukum Syi’ah dan
Sunni. Sebagaimana mazhab-mazhab fikih Sunni, mazhab Ja’fari menempatkan al-Qur’an
sebagai sumber utama, kemudian diikuti oleh Sunnah, ijma’, dan akal. Menurut mazhab
Ja’fari, dalam menggali hukum dari alQur’an, seseorang tidak selalu harus berpegang
kepada makna lahirnya, tetapi lebih utama sekali adalah makna batinnya. Untuk
mendapatkan makna batin tersebut, seorang pengikut mazhab Ja’fari harus mempunyai
marja’, atau tempat meminta, yakni para imam.
Atas dasar ini, kaum Ja’fariyah menganggap para imam sebagai al-Qur’an al-naṭiq,
yakni al-Qur’an yang bisa berbicara, sementara yang berupa muṣḥaf disebut dengan al-
Qur’an al-ṣamit atau al-Qur’an yang diam. Kandungan yang terdapat dalam al-Qur’an al-
ṣamit bersifat mujmal (global), karena itu seorang penganut mazhab Ja’fari harus
berpegang pada pemahaman para imam. Pemahaman para imam tidak akan bertentangan
dengan spirit al-Qur’an, sebab mereka merupakan orang-orang yang telah mendapat
petunjuk dari Allah dan terlepas dari dosa (ma’ṣum).
Pedoman kedua setelah al-Qur’an dalam mazhab Ja’fari adalah Sunnah. Sunnah
menurut mazhab ini adalah ucapan, tindakan, dan pembenaran melalui diamnya Nabi dan
para imam yang ma’ṣum. Pemahaman semacam ini menunjukkan perbedaan dengan
kalangan Sunni yang hanya menisbahkan term Sunnah tersebut hanya kepada Nabi
Muhammad. Mazhab Ja’fari menganggap ucapan, tindakan, dan pembenaran melalui
diamnya para imam juga sebagai Sunnah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berasal dari
para imam ma’ṣum sama implikasinya secara hukum dengan yang berasal dari Nabi
Muhammad.
Posisi imam yang seperti itu merupakan konsekuensi teologis dari kepercayaan bahwa
para imam ma’ṣum adalah pewaris Nabi dalam menyampaikan risalah Tuhan. Mereka
tidak pernah melakukan kesalahan dalam menyampaikan risalah Tuhan, sebagaimana
Nabi pun tak pernah melakukan kesalahan dalam menyampaikan risalah-Nya. Pengertian
Sunnah yang dikemukakan mazhab Syi’ah ini memiliki landasan teologis yang mereka
yakini, baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi.
Seperti halnya mazhab-mazhab hukum dalam Sunni, menurut mazhab Ja’fari tidak
semua hadis dapat dijadikan landasan hukum. Hadis yang dapat diterima hanyalah hadis
ṣaḥih. Kendati demikian, dalam mazhab Syi’ah terdapat pula aliran Akhbari yang tidak
mau membedakan antara hadis ḍa’if dan hadis ṣaḥih. Kelompok Akhbari ini menolak
rasionalitas dalam hukum. Menurut mereka, semua hadis dapat diterima sebagai dasar
hukum tanpa harus melalui test kesahihan. Karena itu menurutnya, seluruh hadis yang
terdapat dalam empat kitab hadis mu’tabar di kalangan Syi’ah harus diterima secara
keseluruhan. Keempat kitab hadis tersebut adalah:
1) al-Kafi karya al-Kilyani,
2) Man La Yaḥẓuruhu al-Faqih karya al-Saduk,
3) al-Tahdhib dan
4) al-Istibṣar. Dua buah karya terakhir ini dikarang oleh Muḥammad ibn Ḥasan ibn
‘Ali Abu Ja’far al-Ṭusi (w. 460 H/1067 M).
Sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Sunnah adalah ijma’. Ijma’ menurut
mazhab ini berarti kesepakatan dengan suara bulat dari ulama atas suatu persoalan.
Kendati menjadi sumber hukum ketiga, mazhab Ja’fari tidak menganggap ijma’ memiliki
kekuatan hukum yang mandiri. Ijma’ bukanlah ḥujjah sejati yang mandiri. Ia dipandang
sebagai ḥujjah sepanjang ijma’ tersebut menjelaskan suatu hadis. Dengan demikian, ijma’
hanyalah manifestasi dari hadis. Selain itu, ijma’ yang dapat diterima hanyalah ijma’ yang
terjadi dalam periode Nabi atau periode para imam. Jika ada kesepakatan yang terjadi di
kalangan ulama pada masa sekarang, maka tidak dapat dianggap sebagai ijma’.
Sumber hukum keempat adalah akal. Akal dapat dianggap sebagai sumber hukum
sejauh ia tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh alQur’an dan Sunnah.
Kedudukannya hanya sebagai alat yang digunakan untuk menemukan hukum-hukum
tertentu yang sebenarnya telah tersirat dalam Al-Qur’an. Meskipun menerima akal sebagai
sumber hukum, mazhab Ja’fari menolak menggunakan qiyas dan istiḥsan seperti halnya
Abu Hanifah dalam mazhab Sunni. Mereka memandang qiyas dan istihsan hanya
didasarkan atas khayal dan dugaan murni yang tidak sah dipakai sebagai dasar dalam
menetapkan hukum. Menurut mereka, al-Qur’an dan Sunnah sudah cukup menyuguhkan
segala peraturan hukum yang diperlukan.
d. Beberapa Produk Fiqh Ja’fari
Produk-produk hukum fikih Ja’fari tidak banyak berbeda dengan ketentuanketentuan
hukum fikih yang ada dalam mazhab fikih Sunni. Hanya terdapat beberapa ketentuan fikih
Ja’fari yang secara mendasar tidak dikenal dan tidak berlaku dalam fikih Sunni. Di
antaranya, yang akan diperbincangkan di sini, adalah persoalan nikah mut’ah dan konsep
khumus. Adapun mengenai persoalan-persoalan fikih lain tidak ditemukan perbedaan-
perbedaan prinsipil, kecuali perbedaan-perbedaan kecil yang biasa terdapat dalam
diskursus fikih.
1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah istilah lain dari kawin kontrak. Dalam nikah mut’ah ini, seseorang
melakukan aqad nikah dengan menyebutkan lama waktu yang akan digunakan untuk
melakukan perkawinan, semisal satu bulan, setengah tahun, satu tahun dan seterusnya.
mazhab-mazhab fikih Sunni secara tegas melarang penyelenggaraan nikah model ini.
mazhab Sunni meyakini, bahwa meskipun penyelenggaraan nikah ini pernah
diperbolehkan oleh Nabi, namun telah dinasakh sehingga tidak lagi boleh dilakukan.
Sayyid Sabiq misalnya, mengemukakan beberapa alasan mengapa nikah jenis ini
tidak lagi dibolehkan. Pertama, penyelenggaraan nikah mut’ah tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum lain yang terkait seperti tersebut dalam al-Qur’an, misalnya
dengan ketentuan talaq, waris, dan iddah. Kedua, Naṣ-naṣ hadis secara tegas telah
melarangnya, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Ḥibban tentang sabda Rasulullah
yang melarang penyelenggaraan nikah ini setelah mengijinkannya beberapa waktu
sebelumnya. Hadis serupa diriwayatkan oleh al-Daruquṭni dari Abu Hurayrah. Ketiga,
Umar ibn Khattab telah melarang nikah tersebut secara tegas di masa pemerintahannya.
Keempat, Ijma’ ulama seluruhnya (kecuali Syi’ah) menyatakan haramnya nikah mut’ah.
Kelima, Nikah mut’ah hanya bertujuan untuk penyaluran kebutuhan seksual. Tidak ada
maksud-maksud lain yang ingin dicapainya, seperti maksud meneruskan keturunan,
membina rumah tangga, dan mendidiik anak. Nikah yang hanya bertujuan untuk
kepentingan biologis tidak lebih dari prostisusi yang dilegitimasi.
Pelarangan nikah mut’ah oleh mazhab Sunni tersebut ditolak mentah-mentah oleh
mazhab Ja’fari. Menurut mereka, semasa Rasulullah, masa Abu Bakar, dan paruh pertama
pemerintahan Umar ibn Khattab, nikah jenis ini masih banyak dipraktikkan oleh beberapa
sahabat yang dekat dengan Nabi. Antara lain adalah Zubayr ibn ‘Awwam yang melakukan
nikah mut’ah dengan Asma’ binti Abu Bakr al-Shiddiq. Dari pernikahan tersebut lahir dua
anak: Abdullah ibn Zubayr (2-73 H/624-692 M) dan ‘Urwah ibn Zubayr (w. 92 H/710 M).
Dasar al-Qur’an yang mereka gunakan adalah QS. al-Nisa’ (4): 24 yang artinya: “Maka
isteri-isteri yang kamu telah campuri, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna) sebagai suatu kewajiban.”
Mazhab Ja’fari menyatakan bahwa pelarangan nikah mut’ah tersebut hanya terjadi
pada masa Umar ibn Khattab. Umar melarang nikah mut’ah dan mengancam pelakunya
dengan hukuman rajam. Sumber-sumber sejarah dalam mazhab Ja’fari, pada mulanya
sebagian sahabat menentang larangan Umar tersebut, namun sebagian yang lain
menerimanya. Pandangan mazhab Ja’fari, larangan Umar tersebut sifatnya hanya
sementara untuk kepentingan politis. Sayangnya, menurut mereka, kemudian ada
pelembagaan larangan tersebut, sehingga terkesan sebagai ketentuan syar’i yang orisinil.
2. Konsep Khumus
Khumus menurut mazhab Ja’fari merupakan kewajiban mengeluarkan harta bagi kaum
Muslimin, sebagaimana halnya zakat, yang diperuntukkan kepada ahl al-bayt. Orang yang
tidak menunaikannya termasuk dalam kelompok yang merampas hak-hak ahl al-bayt.
Khumus menurut mazhab Ja’fari sebenarnya telah diberlakukan pada masa Nabi, namun
kemudian dihapuskan oleh Abu Bakar. Dasar yang digunakan oleh mazhab Ja’fari adalah
QS. al-Anfal (8): 41 yang artinya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya apa saja yang kalian
peroleh, maka seperlimanya (khumus) adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, dan ibn sabil.”
Imam Musa al-Kaḍim ibn Imam Ja’far al-Ṣadiq menafsirkan ayat di atas dengan
mengatakan bahwa apa yang untuk Allah adalah untuk Rasul-Nya, dan apa yang untuk
Rasul-Nya adalah untuk ahl al-Bayt-nya. Imam al-Ṣadiq juga pernah berkata:”Ketika
Allah telah mengharamkan sedekah bagi kami, maka Allah menurunkan khumus untuk
kami. Sedekah adalah haram bagi kami, tetapi khumus adalah hak kami”.
Harta yang wajib dikeluarkan khumus-nya ada tujuh, yaitu: harta rampasan perang,
barang tambang, harta terpendam (temuan), harta yang diambil dalam laut, harta
penghasilan, tanah yang dibeli oleh kafir ḍimmi dari seorang Muslim, dan harta halal yang
tercampur dengan yang haram. Meskipun ada tujuh harta yang wajib dikeluarkan khumus-
nya, namun yang disyaratkan memenuhi nishab hanya tiga harta, yakni harta yang diambil
dalam laut (sebanyak satu dinar), barang tambang dan barang temuan (masing-masing
sebanyak 20 dinar).

Anda mungkin juga menyukai