dikenal juga dengan "ar-Risalah al-Mishriyyah". Akan tetapi, meskipun telah mengalami masa menimba
ilmu yang sangat panjang Imam Syafi’i tetap berusaha untuk menyempurnakan kitab ar-Risalah. Hal ini,
sebagaimana catatan Imam al-Baihaqi dalam kitab Manaqib asy-Syafi'i yang bersumber dari Rabi' bin
Sulaiman, murid dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata, "Aku membaca kitab ar-Risalah al-Mishriyyah
di hadapan Imam Syafi’i lebih dari 30 kali, dan setiap aku membaca di hadapannya, Imam Syafi’i selalu
memberikan koreksi atas kitab ar-Risalah al-Mishriyyah, kemudian pada akhirnya Imam Syafi’i berkata
kepadaku, ‘Allah tidak menakdirkan sebuah kitab lebih shahih (terhindar dari kesalahan) kecuali dalam
kitab-Nya (Al-Qur'an)’." Di kemudian hari, kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i dijabarkan
lebih panjang (syarh) oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah ash-Shairafi, Imam Abu Walid
Hassan bin Muhammad al Umawi, Imam Muhammad bin Ali yang lebih masyhur dengan julukan al-
Qaffal asy-Syasyi, Imam Abu Muhammad al-Juwaini (ayah dari Imam Haramain al-Juwaini), dan Imam
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah asy-Syaibani. Setelah lahirnya kitab ar-Risalah al-Jadidah Imam
Syafi’i merasa perlu untuk menyempurnakan lagi ilmu ushul fiqh yang beliau rintis dengan menerbitkan
kitab Jima'ul Ulum. Kitab ini banyak menceritakan tentang golongan yang menolak dalil hadits Ahad serta
bantahannya dan sejenisnya. Disusul setelahnya, Imam Syafi’i menerbitkan kitab Ikhtilaful Hadits yang
menjelaskan perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi hadits yang beredar. Kitab ini disusun
sesuai dengan alur bab ilmu fiqh. Dan pada akhirnya Imam Syafi’i menutup karya-karyanya dalam ilmu
ushul fiqh dengan menerbitkan kitab Ibthalul Istihsan. Kitab ini banyak mengkritik ulama yang terlalu
berlebihan dalam memakai metode istihsan. Selain itu, Imam Syafi’i juga menulis kitab Sifatu Nahyi Nabi
yang menjelaskan makna larangan (nahyu) dalam hadits Nabi. Walhasil, Imam Syafi’i meletakkan fondasi
yang sangat kokoh sebagai awal dimulainya diskusi panjang tiada akhir di bidang ilmu ushul fiqh. Di
antara landasan pemikiran yang telah dibangun oleh Imam Syafi’i adalah: Menjelaskan dalil-dalil yang
diambil dalam menentukan hukum yaitu Al-Qur’an, hadits, ijma', qiyas, serta mempertajam urutannya.
Memperkokoh hujjah hadits secara umum dan mengukuhkan hujjah hadits Ahad secara khusus serta
menerangkan tentang tidak adanya pertentangan secara nyata baik antara Al-Qur’an dan hadits maupun
antara satu hadits dengan hadits lainnya sebagai sumber dalil. Menjelaskan kewajiban mengikuti jalan
orang-orang beriman (ijma'). Memberikan batasan dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sebagai
patokan hukum serta memberikan syarat yang terperinci dalam menggunakan Qiyas. Memberikan
perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah yang terlalu ekstrem dalam mentakwil sifat
Allah. Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab serta di dalam Al-Qur’an
ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam pelafalan bahasa Arab. Menerangkan tentang amr
(perintah) dan nahi (larangan). Menjelaskan naskh dan mansukh (pembatalan hukum). Setelah periode
Imam Syafi’i, berbondong-bondonglah para ulama generasi selanjutnya untuk menelisik lebih jauh di
dalam masalah Al-Qur’an dan hadits. Di antara para ulama tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal
dengan karya kitab Risalatul Imam Ahmad fi Tha'atir Rasul, disusul dengan Imam al-Bukhari dengan
karya kitab Akhbarul Ahad dan karya kitab al-I'tisham bil Kitab wa Sunnah, disusul dengan Imam Ibnu
Qutaibah dengan karya kitab Takwil Musykil al-Qur'an dan karya kitab Takwilu Mukhtalafil Hadits. Imam
Syafi’i wafat pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H di kota Kairo.
Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/imam-syafi-i-dan-sejarah-pemikirannya-dalam-ushul-fiqh-TQYa2