Anda di halaman 1dari 2

Ddn 1

Imam Syafi’i dan Sejarah Pemikirannya dalam Ushul Fiqh


Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H di kota Gaza, Palestina. Di usia yang relatif muda, ia sudah
menggebrak panggung sejarah pemikiran ushul fiqh dengan mahakarya kitab ar-Risalah. Menurut Dr.
Mahmud Abdurrahman dalam kitab Tarikh Ushul al-Fiqh, Imam Syafi’i menulis pertama kali kitab ar-
Risalah di kota Makkah atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi. Saking kagumnya atas karya tersebut,
Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Aku tak akan pernah shalat kecuali di dalamnya aku akan selalu
mendoakan asy-Syafi'i. Sungguh ia adalah pemuda yang sangat jenius". Soal lokasi penulisan ar-Risalah,
Fakhr ar-Razi berpendapat lain. Dalam kitab Manaqib asy-Syafi'I, ia menjelaskan bahwa Imam Syafi’i
menulis kitab ar-Risalah di kota Baghdad, kemudian menulis ulang kitab ar-Risalah setibanya di negeri
Mesir. Menurutnya, keduanya (kitab ar-Risalah yang ditulis di kota Baghdad dan yang ditulis di negeri
Mesir) memiliki cakupan penjelasan ilmu yang luas. Fakhr ar-Razi juga berpendapat dalam kitab Manaqib
asy-Syafi'i "Para ulama sebelum datangnya Imam Syafi’i saling berdiskusi di dalam masalah-masalah
ushul fiqh. Para ulama saling mengambil dalil dan saling silang pendapat tetapi mereka tidak mempunyai
rancangan peraturan yang bersifat menyeluruh yang bisa dipakai sebagai tendensi di dalam mendalami
dalil-dalil syariat. Begitu juga, para ulama belum mempunyai tatanan baku dalam bersilang pendapat dan
men-tarjih dalil-dalil syariat yang ada. Kemudian tampillah Imam Syafi’i dengan pemikirannya dalam
ilmu Ushul Fiqh. Imam Syafi’i-lah yang meletakkan peraturan yang bersifat menyeluruh guna mendalami
dalil-dalil syariat di hadapan khalayak ramai. Sehingga menjadi kukuhlah penisbatan kejeniusan Imam
Syafi’i di dalam ilmu syara' seperti halnya penisbatan kejeniusan Aristoteles di dalam ilmu logika." Baca
juga: Di Balik Sikap Imam Syafi’i Keluar dari Kaidah Mazhabnya Kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam
Syafi’i di kota Makkah lebih dikenal dengan "ar-Risalah al-Qadimah" atau disebut juga dengan "ar-Risalah
al-Atiqah". Keistimewaan dari Imam Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya, yaitu Imam
Abu Hanifah yang terpusat di Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota Madinah, adalah perjalanan
keilmuannya yang sangat kaya dan panjang. Dimulai dari kota Makkah yang sangat terkenal dengan ilmu
tafsir dan asbabun nuzul Al-Qur’an. Imam Syafi’i mulai menetap di kota Makkah sejak usia dua tahun.
Imam Syafi’i telah menyelesaikan hafalan Al-Qur'an sebelum usianya genap menginjak umur tujuh tahun.
Di kota Makkah, Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Syekh Muslim bin Khalid az-Zanji. Kemudian, di
usia 13 tahun Imam Syafi’i mulai mengembara ke kota Madinah yang terkenal dengan gudangnya ulama
ahli hadits. Di kota Madinah inilah Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Imam Malik bin Anas. Imam
Syafi’i menetap di kota Madinah hingga tahun 179 H/795 M, tahun di mana Imam Malik bin Anas wafat.
Di kota Makkah dan Madinah inilah, Imam Syafi’i bertemu dengan pakar ahli hadits, ahli tafsir dan ahli
fiqh yang mumpuni di bidangnya. Imam Syafi’i mampu menyerap semua ilmu itu dengan baik. Hingga di
fase ini, Imam Syafi’i mendapatkan derajat mumpuni dalam bidang fatwa, baik di bidang fiqh maupun
bidang Hadits. Selain menimba ilmu agama, Imam Syafi’i juga belajar gramatika bahasa Arab ke pelosok-
pelosok pedalaman jazirah Arab. Diriwayatkan Imam Syafi’i pernah menetap lama di perkampungan bani
Hudzail. Di fase inilah, Imam Syafi’i mendapatkan penguasaan gramatika bahasa Arab yang fashih dan
baik, yang di kemudian hari sangat menunjangnya dalam memahami tata bahasa Al-Qur’an dan Hadits.
Imam Syafi’i juga sempat menjadi pegawai pemerintahan di daerah Najran setelah wafatnya Imam Malik.
Kemudian, Imam Syafi’i menetap sekitar sembilan tahun di kota Makkah. Kemungkinan besar dalam
periode sekitar sembilan tahun menetap di kota Makkah inilah Imam Syafi’i mengarang kitab ar-Risalah.
Pengembaraan Imam Syafi’i berlanjut ke kota Baghdad pada tahun 195 H/810 M. Di fase inilah, Imam
Syafi’i menemukan banyak penyesuaian. Imam Syafi’i mampu menyelaraskan dengan baik pemikiran ahlu
naql (ulama yang banyak bersandar pada teks agama, red) yang didapatkan di kota Madinah di bawah
asuhan Imam Malik dengan pemikiran ahlu ra'yi (ulama yang banyak bersandar pada akal, red) yang
didapatkan di bawah asuhan Imam Muhammad bin al Hasan, murid dari Imam Abu Hanifah di kota
Baghdad. Di kota Baghdad inilah, Imam Syafi’i memiliki beberapa murid. Murid-murid beliau di kota
Baghdad di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, az-Za'farani, dan al-Karabisi. Setelah perjalanan
keilmuannya yang panjang, tak pelak, Imam Syafi’i merasa memerlukan banyak reformasi dalam kitab ar-
Risalah yang telah ditulis dahulu di kota Makkah. Hingga di fase akhir inilah, Imam Syafi’i menulis ulang
kitab ar-Risalah di Fustath, salah satu bagian dari kota Kairo di negeri Mesir saat itu. Maka lahirlah kitab
ar-Risalah versi baru yang dianggap para ulama setelahnya sebagai puncak pemikiran Imam Syafi'i. Di
kemudian hari, karya yang ditulis ulang ini lebih masyhur dengan sebutan “ar-Risalah al-Jadidah" atau
Ddn 2

dikenal juga dengan "ar-Risalah al-Mishriyyah". Akan tetapi, meskipun telah mengalami masa menimba
ilmu yang sangat panjang Imam Syafi’i tetap berusaha untuk menyempurnakan kitab ar-Risalah. Hal ini,
sebagaimana catatan Imam al-Baihaqi dalam kitab Manaqib asy-Syafi'i yang bersumber dari Rabi' bin
Sulaiman, murid dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata, "Aku membaca kitab ar-Risalah al-Mishriyyah
di hadapan Imam Syafi’i lebih dari 30 kali, dan setiap aku membaca di hadapannya, Imam Syafi’i selalu
memberikan koreksi atas kitab ar-Risalah al-Mishriyyah, kemudian pada akhirnya Imam Syafi’i berkata
kepadaku, ‘Allah tidak menakdirkan sebuah kitab lebih shahih (terhindar dari kesalahan) kecuali dalam
kitab-Nya (Al-Qur'an)’." Di kemudian hari, kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i dijabarkan
lebih panjang (syarh) oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah ash-Shairafi, Imam Abu Walid
Hassan bin Muhammad al Umawi, Imam Muhammad bin Ali yang lebih masyhur dengan julukan al-
Qaffal asy-Syasyi, Imam Abu Muhammad al-Juwaini (ayah dari Imam Haramain al-Juwaini), dan Imam
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah asy-Syaibani. Setelah lahirnya kitab ar-Risalah al-Jadidah Imam
Syafi’i merasa perlu untuk menyempurnakan lagi ilmu ushul fiqh yang beliau rintis dengan menerbitkan
kitab Jima'ul Ulum. Kitab ini banyak menceritakan tentang golongan yang menolak dalil hadits Ahad serta
bantahannya dan sejenisnya. Disusul setelahnya, Imam Syafi’i menerbitkan kitab Ikhtilaful Hadits yang
menjelaskan perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi hadits yang beredar. Kitab ini disusun
sesuai dengan alur bab ilmu fiqh. Dan pada akhirnya Imam Syafi’i menutup karya-karyanya dalam ilmu
ushul fiqh dengan menerbitkan kitab Ibthalul Istihsan. Kitab ini banyak mengkritik ulama yang terlalu
berlebihan dalam memakai metode istihsan. Selain itu, Imam Syafi’i juga menulis kitab Sifatu Nahyi Nabi
yang menjelaskan makna larangan (nahyu) dalam hadits Nabi. Walhasil, Imam Syafi’i meletakkan fondasi
yang sangat kokoh sebagai awal dimulainya diskusi panjang tiada akhir di bidang ilmu ushul fiqh. Di
antara landasan pemikiran yang telah dibangun oleh Imam Syafi’i adalah: Menjelaskan dalil-dalil yang
diambil dalam menentukan hukum yaitu Al-Qur’an, hadits, ijma', qiyas, serta mempertajam urutannya.
Memperkokoh hujjah hadits secara umum dan mengukuhkan hujjah hadits Ahad secara khusus serta
menerangkan tentang tidak adanya pertentangan secara nyata baik antara Al-Qur’an dan hadits maupun
antara satu hadits dengan hadits lainnya sebagai sumber dalil. Menjelaskan kewajiban mengikuti jalan
orang-orang beriman (ijma'). Memberikan batasan dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sebagai
patokan hukum serta memberikan syarat yang terperinci dalam menggunakan Qiyas. Memberikan
perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah yang terlalu ekstrem dalam mentakwil sifat
Allah. Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab serta di dalam Al-Qur’an
ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam pelafalan bahasa Arab. Menerangkan tentang amr
(perintah) dan nahi (larangan). Menjelaskan naskh dan mansukh (pembatalan hukum). Setelah periode
Imam Syafi’i, berbondong-bondonglah para ulama generasi selanjutnya untuk menelisik lebih jauh di
dalam masalah Al-Qur’an dan hadits. Di antara para ulama tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal
dengan karya kitab Risalatul Imam Ahmad fi Tha'atir Rasul, disusul dengan Imam al-Bukhari dengan
karya kitab Akhbarul Ahad dan karya kitab al-I'tisham bil Kitab wa Sunnah, disusul dengan Imam Ibnu
Qutaibah dengan karya kitab Takwil Musykil al-Qur'an dan karya kitab Takwilu Mukhtalafil Hadits. Imam
Syafi’i wafat pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H di kota Kairo.

Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/imam-syafi-i-dan-sejarah-pemikirannya-dalam-ushul-fiqh-TQYa2

Anda mungkin juga menyukai