Anda di halaman 1dari 4

B.

Isi Utama Kitab Ar-Risalah

Imam Syafi’i merupakan individu yang pertama memiliki gagasan dan idea cemerlang berkenaan
kaidah penggalian hukum-hukum Islam, yang disusun dengan begitu sistematik ke dalam sebuah
karyanya yang diberi judul “Al-Risalah”. Sebuah kitab bidang ushul fiqh, dianggap sebagai kitab yang
pertama disusun dalam bidangnya. Usaha pembukuan ini bertepatan dengan pesatnya
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dalam dunia Islam, berlangsung di masa khalifah Harun Ar-
Rasyid (145-193 H), dan puncaknya adalah pada masa khalifah Al-Ma’mun (170-218H).

Dengan lahirnya kitab ini, fase awal ini perkembangan ilmu ushul fiqh pun bermula. Kitab ini menjadi
suatu rujukan utama ushul fiqh pada masa-masa seterusnya. Kitab Ar-Risalah juga merangkum
gambaran metodologi imam Syafi’i dalam mencari, menyusun dan mengubah hukum-hukum Islam
secara sistematik. Kitab ini sangat cocok dan baik digunakan sebagai rujukan utama bagi pelajar,
mahasiswa, peneliti, juga digunakan oleh ulama-ulama yang ada pada masa itu.

Imam Abu Sa’id, Abdul Rahman bin Mahdi (135-198H) berkata tentang kitab Ar-Risalah “Ketika aku
melihat kitab Ar-Risalah karya Syafi’i, aku tercengang karena aku sedang melihat susunan bahasa
seorang yang bijak, fasih lagi penuh dengan nasihat sehingga aku memperbanyakkan doa untuknya”.

Imam Abu Ibrahim, Ismail bin Yahya bin Ismail al-Mishri al-Muzani (246 H), yaitu murid imam Syafi’i
berkata: “Saya telah membaca kitab Ar-Risalah karya Syafi’i sebanyak 50 kali, setiap kali
membacanya saya selalu mendapat faedah yang berbeda-beda”.

Menurut imam Ahmad bin Hanbal “Kalau bukan karena Syafi’i saya tidak akan mengetahui fiqh
hadis”. Demikianlah para sahabat sekaligus murid imam Syafi’i menuturkan kekagumannya terhadap
kitab Ar-Risalah, kitab pertama yang ditulis imam Syafi’i. Imam Badruddin Al-Zarkasyi dalam kitab Al-
Bahr al-Muhith fi al-Ushul menyatakan:

“Syafi’i adalah ulama pertama yang menyusun buku tentang ushul fiqh. Bagi ushul fiqh ini, beliau
menulis kitab Ar-Risalah, Ahkam alquran, Ikhtilaf al-Hadis, Ibthal al-Istihsan, Jama’ al-‘Ilm dan al-
Qiyas. Melalui berbagai pembahagian bab-bab pembahasan dalam kitab ini, beliau telah
menjelaskan seluk-beluk penghujahan dengan hadis ahad, membentangkan syarat-syarat kesahihan
hadis, keadilan para perawi hadis, penolakan khabar mursal dan munqathi, serta perkara-perkara lain
yang boleh diketahui dengan menyimak isi kandungannya.

Kitab Ar-Risalah ini merupakan kitab perdana di bidang ushul fiqh, bahkan dapat dikatakan kitab
perdana dibidang ushul hadis. Imam Fakhrurrazi menyebutkan “sebelum imam Syafi’i para ulama
telah membicarakan masalah-masalah ushul fiqh, mengajukan dalil dan kritik, tetapi mereka tidak
memiliki aturan universal yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syariat, serta kaedah
perbandingan dan tarjihnya. Syafi’i kemudian menemui ushul fiqh dan meletakkan sebuah aturan
universal yang menjadi rujukan bagi umat untuk mengentahui berbagai tingkatan dalil syariat.
Dengan demikian, kedudukan Syafi’i terhadap ilmu syari’at sama seperti kedudukan Aristoteles
terhadap ilmu akal.”

Dahulu, kitab ini tidak bernama Ar-Risalah. Ahmad Muhammad bin Syakir, penyunting kitab Ar-
Risalah dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa Imam Syafi’i tidak menamakan kitabnya Ar-
Risalah, melainkan dengan nama Al-Kitab. Berkali-kali dalam karyanya, Syafi’i menyebut-nyebut kata
Al-Kitab, apakah itu kata kitabi, atau kitabuna. Demikian juga dalam kitab Al-Umm, Syafi’i selalu
menisbahkan karya pertamanya itu dengan kata Al-Kitab.

Menurutnya, sebab Imam Syafi’i menamakan kitabnya dengan Ar-Risalah karena surat menyurat
dengan Abdurrahman bin Mahdi. Saat itu, Syafi’i menulis Ar-Risalah atas permintaan Abdurrahman
bin Mahdi di Mekah. Abdurrahman meminta Imam Syafi’i untuk menuliskan suatu kitab yang
mencakup ilmu tentang Alqur’an, hal ihwal yang ada dalam alquran dan disertai juga dengan hadis
Nabi.

Kitab ini setelah dikarang, disalin oleh murid-muridnya dan dikirim ke Mekah. Itulah sebabnya kitab
itu dinamai kitab Ar-Risalah. Kitab ini di tulis di Baghdad selama kunjungan kedua Imam Syafii di kota
itu dan kemudian diperbaiki ketika pindah ke Mesir pada tahun 814 M. Setelah itu, Ar-Risalah
kemudian melambungkan namanya sebagai intelektual muslim yang pertama kali meletakkan azas-
azas ilmu Ushul Fiqh.

Dalam muqaddimah kitab ini, imam Syafi’i menulis muqaddimah yang sangat bernilai, yang
menunjukkan manhaj dan aqidah beliau. Imam Syafi’i berkata:

“Segenap puji hanya milik Allah swt yang telah menciptakan langit dan bumi, serta telah
menciptakan kegelapan dan cahaya. Kemudian orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, mereka
melakukan penyimpangan (berpaling). Segala puji hanya bagi Allah, yang untuk mensyukuri salah
satu nikmat-Nya tidak akan terwujud, kecuali kesyukuran itu merupakan sebuah nikmat dari-Nya.
Menunaikan nikmat-nikmat-Nya yang telah lalu akan memunculkan nikmat baru yang juga
menunutut rasa syukur kepada-Nya.

Orang-orang yang menyifati-Nya tidak akan mencapai hakikat keagungan-Nya. Hakikat keagungan-
Nya itu sesuai dengan yang disifati-Nya sendiri dan melebihi apa yang disifati oleh hamba-Nya. Aku
memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan kemuliaan wajah-Nya dan keagungan-Nya. Aku
memohon pertolongan kepada Allah swt dengan permohonan pertolongan orang yang tidak
mempunyai daya dan kekuatan, kecuali dengan bantuan-Nya. Aku memohon kepada Allah swt
hidaya/petunjuk yang barang siapa mendapatkannya, ia tidak akan sesat.
Aku memohon maghfirah dan ampunan-Nyaatas apa yang telah dan akan perbuat dengan
permohonan ampun orang yang mengakui penghambaan kepada-Nya. Orang yang mengetahui
bahwa tidak ada yang memberi ampunan terhadap dosa dan tidak ada yang dapat menyelamatkan
seseorang darinya, kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tidak ada Illah, kecuali Allah. Tunggal tiada sekutu
bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”.

Dalam kitab inilah, metode pembentukan hukum genius menurut Syafi’i diketahui. Ia menggunakan
empat dasar dalam mengistinbathkan suatu hukum yaitu: alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Syafi’i
berkata: “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan suatu masalah dengan kata ini halal dan ini haram
kecuali sudah memiliki pengetahuan tentang hal itu. Pengetahuan tersebut adalah alquran, sunnah,
ijma’ dan qiyas”.

Imam Syafi’i dalam karya yang didiktekan langsung kepada muridnya, Al-Rabi’ bin Sulaiman, telah
menyamakan ijtihad dengan qiyas. Ia menyimpulkan bahwa ijtihad adalah qiyas. Pada saat yang lain,
beliau menolak dengan tegas metode istihsan. Sebuah metode pemikiran yang dianggap hanya
berdasarkan pemikiran bebas manusia atas dasar kepentingan dan perilaku individual. Kata Syafi’i:
“Istihsan adalah pengambilan hukum yang selalu menuruti kesenangan semata”.

Imam Syafi’i memang telah meninggalkan jejak pemikirang yang sangat luar biasa. Buktinya syarat-
syarat ijtihad yang dirumuskannya dalam Ar-Risalah sampai saat ini terus dipakai pakar-pakar hukum
Islam. Siapapun yang ingin berijtihad harus memenuhi syarat-syarat ini. Diantaranya: wajib
mengetahui bahasa Arab, materi hukum alquran, bahasa yang bersifat umum dan khusus, dan
mengetahui teori nasakh. Kemudian seorang ahli fiqh, menurut imam Syafi’i, harus menggunakan
hadis dalam menafsirkan ayat-ayat alquran yang jelas dan tegas. Ketika ia tidak menemukan dalam
hadis, maka ia harus mengetahui ijma yang menungkin menginformasikan masalah-masalah yang
ada. Terakhir, jelas imam Syafi’i, seorang ahli fiqh harus dewasa, sehat, dan mampu sepenuhnya
menggunakan kemampuan intelektualnya untuk menyelesaikan masalah.

Kriteria ini, kemudian hari menuai puji dan kritikan. Banyak para pemikir setelah imam Syafi’i yang
menganggap persyaratan ini terlalu ketat, sehingga ramai ulama yang takut memasuki wilayah
ijtihad. Hal ini dikarenakan kemunduran ilmu fiqh sekitar abad ke-4 H hingga akhir abad ke-13 H.
Ketika itu terkenal dengan periode “taqlid” atau periode tertutupnya pintu ijtihad. Pengaruh tersebut
begitu dahsyat sampai sekarang ini.

Melalui kitab ini, imam Syafi’i terkenal sebagai pemikir yang moderat. Tidak berpihak kepada
salah satu kecenderungan besar sebuah pemikiran, apakah itu ahli hadis (para pemikir muslim yang
mengutamakan hadis) ataupun ahli ra’yu (para pemikir muslim yang mengutamakan akal). Tidak
aneh apabila para intelektual modern sepakat bahwa imam Syafi’i sangat berjasa sebagai penggagas
lmu ushul fiqh, Ar-Risalah Syafi’i tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas materi
tersebut. Sebagai model bagi ahli-ahli fiqh dan para teoritis yang datang kemudian guna
mengikutinya. Pada akhirnya imam Syafi’i menutup karyanya ini dengan bab ikhtilaf. Bab ini
menunjukkan bahwa imam Syafi’i mencintai perbedaan dan menghargai pendapat orang lain.

Anda mungkin juga menyukai