Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MADZHAB SYAFI’I

Disusun Oleh :

Meranti Dewi Anggraini

Kelas 8b

MTS AL USWAH BERGAS


I. PENDAHULUAN
Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embrio
dari perbedaan madzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan
analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar
oleh para ulama’ fiqh. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial, budaya dan faktor adaptasi
perkembangan zaman. Madzhab dalam hukum islam pun semakin
bermunculan. Sebagai contoh ada madzhab sunni yang terdiri dari madzhab
Abu Hanifah Annu’man, Malik Bin Anas, Muhammad Idris Asy-syafi’i,
Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal.
Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadapa agama
Islam yang maha suci, khususnya dalam bidang ilmu fiqih mereka telah sampai
ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam islam. Peninggalan
mereka merupakan amalan ilmu fiqih yang besar dan abadi yang menjadi
kemegahan bagi agama Islam dan kaum muslim umumnya.
Namun pada makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang biografi
Muhammad Idris Syafi’I atau lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Imam Syafi’I
adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah
pendukung terhadap Ilmu Hadist dan pembaharu dalam agama (mujaddid)
dalam abad kedua hijriah.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah madzhab Muhammad Idris Syafi’i ?
2. Tahap-tahap pembentukan madzhab Muhammad Idris Syafi’i
3. Dasar-dasar pemikiran Muhammad Idris Syafi’i
4. Qaul Qadim dan Qaul Jadid dalam perkembangan Fiqh Al-Syafi’iyah
III.  PEMBAHASAN
A. Sejarah Madzhab Muhammad Idris Syafi’i
Imam Syafi’i adalah orang yang amat peta lidah kuat dalam berhujjah,
amat jelas ketika menerangkan, berwawasan luas, memiliki kecermatan yang
tinggi, ketajaman dalam berpikir, teliti, jenius, dan menguasai banyak ilmu.
Semua itu memang wajar terjadi karena imam Syafi’i amat menguasai bahasa
Arab lengkap dengan seluk beluk kesussastraan dan syair-syairnya serta
mampu menghimpun berbagai dalil syariat yang berbeda, baik dalil yang
berasala dari Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Imam Syafi’i juga telah
meletakkan prinsip-prinsip dasar Ijtihadnya dalam ar-risalah yang menjadi
karya tulis pertama dalam ilmu Ushul Fiqih. Kemudian ia mengembangkannya
sesuai dengan manhaj yang jelas lagi bersih dari segala tendensi dan
kepentingan.
Pada tahap pertama, Imam Syafi’i membangun qaul qadim-nya pada
tahun 183 H di Irak-ketika berusia 34 tahun-melalui karyanya al-Hujjah. Kitab
yang berisi qaul qadim Imam Syafi’I ini diriwayatkan oleh empat orang
muridnya, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal, Abu Tsaur, Az-Za’farani, dan al-
Karabisi. Diantara keempat riwayat ini, Az-Za’farai menjadi riwayat qaul
qadim Imam Syafi’i yang paling outentik. Buku tersebut ditulis setelah Imam
Syafi’i berhasil mempertemukan Fiqih ulama Hijaz seperti fiqih gurunya,
Imam Malik Bin Annas, dengan Fiqih ulama Irak yang dia dalami memalui
proses telaah terhadap kitab-kitab fiqih ulama Irak dan lewat perdebatannya
dengan Muhammad Bin al-Hasan, murid Abu hanifah. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh ibnu hajar, setelah Imam Syafi’i mengetahui ilmu ahli hadist
dan ilmu ahli Ra’yu, beliau lalu membuat landasan ushul fiqih dan membuat
kaidah dengan mempertemukan persaman dan perbedaan pendapat ulama’.
Pada tahap kedua, Imam Syafi’i tiba di Baghdad pada tahun 195 H dan
mengarang ar-risalah yang ditulis sebagai landasan ilmu Ushul Fiqih. Imam
Syafi’i menulis kitab tersebut untuk memenuhi anjuran yang disampaikan
imam al-Hafizh Abdurrahman Bin Mahdi yang meminta beliau untu menulis
sebuah kitab yang menerangkan tentang syarat-syarat penggunaan dalil
(Istitlal) dengan Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas ; penjelasan mengenai
nasakh dan mansuq ; dan derajat dalil yang Am dan Khas. Demikianlah
keterangan yang terdapat didalam Manaqib as-Syafi’i karya Imam ar-Razi. Hal
tersebut diperkuat oleh pernyataan para Ulama yang hidup sezaman dengannya
bahwa Imam Syafi’I memang menyusun ar-Risalah di Makkah.
Setelah Imam Syafi’i selesai menyusun, dia mengirimkan buku ar-
Risalah tersebut kepada Ibnu Mahdi. Usai membacanya Ibnu Mahdi berkata,
“Saya tidak menyangka bahwa Allah telah menciptakan orang seperti lelaki
(Imam Syafi’i) ini.” Kitab ar-Risalah telah membuat saya sedemikian takjub.
Karena dengan membacanya, saya telah menyaksikan perkataan seseorang
yang amat cerdas, fasih, dan sangat santun. Oleh karenanya saya berdoa
semoga kebaikan selalu berlimpah padanya.
B. Tahap-tahap Pembentuk Madzhab Muhammad Idris Syafi’i
Al-Nahrawi membagi sejarah pertumbuhan dan perkembangan
madzhab Al-Syafi’i kepada empat periode : periode persiapan ; periode
pertumbuhan dengan lahirnya madzhab al-qadim ; periode kematangan dan
kesempurnaan pada madzhab al-jadid ; dan periode pengembangan dan
pengayaan.
1. Tahap Persiapan
Persiapan bagi lahirnya madzhab al-Syafi’i belangsung sejak
wafatnya Imam Malik, tahun 179 H, sampai dengan kedatangannya yang
kedua ke Baghdad, tahun 195 H. sebagaimana disinggung diatas, setelah
Imam Malik wafat, Al-Syafi’i  berangkat ke yaman untuk bekerja. Dengan
demikian, kehidupan kelimuaannya beralih dari dunia teori ke dunia
penerapan dialapangan. Keberadaan dilapangan menuntut perhatian lebih
bila disbanding dengan periode menuntut ilmu. Disini perhatian tidak
mungkin lepas dari berbagai faktor, kondisi dan situasi ekonomi, politik,
dan sosial yang ada. Dalam penenrapan, teori-teori murni yang dalam
kajian dinilai terbaik kadang-kadang harus mengalami semacam
penyesuaian demi mendapatkan kemaslahatan umum sebagai tujuan
syariat.
Selama di yaman, al-Syafi’i memeperoleh banyak pengalaman
yang memperkaya khasanah keIlmuannya. Disamping itu, melalui diskusi-
diskusi dnegan tokoh utama madzhab Hanafi, Muhammad Ibnu al-Hasan
al-Syaibani, ia dapat pula mengenalu aliran ahl al-Ra’yi secara dekat,
memperluas wawasan, serta mematangkan pemikiran dan
kepribadiaannya.
Setelah kembali ke Makkah, ia ,melanjutkan karirnya dengan
mengajar dimasjid al-Haram. Tanggung jawab sebagai pengajar jelas
menuntunnya untuk terus memperdalam pengetahuan agar selalus siap
menghadapi berbagai persoalan yang timbul. Selain itu, kehadiran para
ulama’ dari berbagai wilayah, khususnya pada musim haji, membuka
peluang besar bagi terjadinya dialog dan diskusi ilmiah.
Kumulasi dari ini semua, seperti disimpulkan oleh al-Nahrawi,
merupakan faktor penting yang mendorong dan sekaligus membantu al-
Syafi’i membentuk suatu madzhab fiqih sendiri. Pada gilirannya, ia
melakukan perbandingan untuk mendapatkan sisi-sisi positif dan kelebihan
berbagai metode ijtihad ahl al-Ra’yi maupun ahl al-Hadist. Kaidah-kaidah
terbaik yang diperoleh dari perbandingan ini diolah dan dirumuskannya
dalam suatu tatanan baru yang kemudian diletakkan sebagai dasar
madzhabnya.
2. Periode Pertumbuhan (Al-Qadim)
Tahun 195 H, pada saaat kedatanggannya yang kedua ke baghdad,
sampai dengan tahun 199 H, saat ia pindah ke mesir, bisa disebut sebagai
periode pertumbuhan bagi madzhab al-Syafi’i. ketika al-Syafi’i datang
kembali ke Baghdad (195 H), ia tidak datang sebagai penuntut ilmu,
melainkan sebagai ulama’ yang telah matang dengan konsep serta
pemikiran-pemikirannya sendiri. Kini ia memperkenalkan pandnagan-
pandangan fiqihnya secara utuh, lengkap dengan kaidah-kaidah umum,
dan pokok-pokok pikiran yang siap untuk dikembangkan. Madzhab baru
itu digelarnya di Baghdad yangs sejak lama dikuasai dan dijadikan sebagai
pusat pengembangan oleh aliran ahl al-Ra’yi.
Tampaknya masa ini merupakan masa ujian paling berat bagi al-
Syafi’i dalam menegakkan konsep dan pemikiran fiqihnya yang terbukti
dapat ia lalui dengan sebaik-baiknya. Majelis pengajiaannya segera
menarik perhatian dari berbagai kalangan. Banyak ulama, dengan latar
belakang dan keahlian yang berbeda : ahli hadist, Fiqih, Bahasa dan Sastra
hadir di majelis itu, dan masing-masing mereka mendapatakan apa yang
diinginkannya. Melalui berbagia disksi dnegan para ulama ahl al-Ra’yi,
tampaklah bahwa tingkat keilmuan as-Syafi’I berada diatas mereka.
Dengan demikian, ia segera terkenal, namanya menjadi harum dan
tersohor ke segala penjuru. Madzhabnya diterima dan tersebar luas
ditengah-tengah masyarakat. Para ulama mengakuinya dan kalangan
penguasa pun menaruh hormat kepadanya. Beberapa diantara mereka
meniggalkan madzhabnya dan beralih menjadi pengikut madzhab syafi’I.
ketika al-Syafi’i datang ke Baghdad, di masjid jami’ al-Gharbi terdapat 20
majlis (halqah) pengajian ahl al-Ra’yi tapi sepekan kemudian jumlahnya
menyusut menjadi tiga atau empat bauah saja.
Pendapat dan fatwa-fatwa fiqih yang dikemukakannya pada
periode ini dikenal dengan sebutan Qaul Qadim. Selama kira-kira dua
tahun berada di Baghdad, ia berhasil menyusun dan mendiktekan kitab
arissalah dalam bidnag ushul al-fiqih dan al-Hujjan dalam bidang fiqih.
Kitab al-hujja inilah yang menjadi rujukan bagi qaul qadim al-Syafi’I yang
selanjutnya diriwayatkan oleh beberapa murid yang belajar kepadanya di
Baghdad.
3. Periode kematangan (Al-Jadid)
Ahmad Amin mengemukakan bahwa madzhab al-Syafi’I kurang
mendapat sambutan di irak dan tidak mampu bersaing dnegan madzhab
hanafi, yang tokoh-tokohnya akrab dan berpengaruh terdhadap penguasa.
Senada dengan ini, Ibnu Al-Bazaz mengatakan bahwa fatwa-fatwa al-
Syafi’i yang dituangkannya didalam kitab-kitabnya selama di Baghdad itu
banyak yang dibantah oleh para murid Muhammad Ibnu Hasan., mereka
mendesak posisinya dengan mengungkapkan kelemahan-kelemahan
fatwanya. Disamping itu, menurut Ibnu Al-Bazaz, kelompok ahl al-Hadist
pun tidak menerima al-Syafi’i, bahkan mereka menuduhnya sebagai
pengenut mu’tazilah karena tidak mendapatkan pasaran di Irak, ia pergi ke
mesir, dimana tidak adaulama atau fuqaha yangdapat mengimbanginya.
Namun, seperti dikemukakan oleh al-Nahrawi, alasan ini pun
kelihatannya kurang berbobot karena tidak sejalan dengan kepribadian al-
Syafi’i yang terkenal kuat itu dan bertentangan pula dengan sukses besar
yang diraihnya ketika pertama kali memperkenalkan madzhabnya di
Baghdad. Disana al-Syafi’I mempunyai beberapa orang murid yang
senantiasa menginginkan kebebrsamaan yang lebih lama dengan al-Syafi’i.
kesetiaan mereka terbukti dari tindakan menyebarluaskan fiqh al-Syafi’i di
Baghdad setetlah kepergiaannya ke mesir. Ahmad bin Hanbal dan Abu
Tsaur , sebelum mereka membentuk madzhabnya masing-masing, serta
Al-Za’farani, dan Al-Karabisi, cukup dikenal jasanya dalam meriwayatkan
fikih Al-Syafi’i (qaul qadim) yang mereka pelajari darinya di Baghdad.
Oleh karena itu, menurut Al-Nahrawi, alas an yang lebih tepat adalah
persoalan menyangkut politik sebagaimana dikemukakan oleh Abu
Zahrah. Menurutnya kepergian al-Syafi’i itu terkait dengan dua hal.
Pertama, pengaruh besar bangsa Parsi terhadap khalifah Al-
Ma’mun. Setelah memenangkan persaingan dengan Al-amin, yang
sesungguhnya merupakan pertentangan antara Parsi dengan Arab, unsure
bangsa Parsi mendapatkan posisi yang sangat kuat di istana. Mereka
berhasil menduduki jabatan-jabatan penting dalam pememrintahan.
Agaknya al-Syafi’itidak merasa senang berada di bawah naungan
pemerintahan yang telah dikuasai oleh unsure Parsi itu.
Kedua, karena Al-Ma’mun, seorang ahli ilmu kalam, bahkan
filosof, sangat akrab dengan kalangan Mu’tazilah. Merekalah yang dekat
dan selalu hadir di majelisnya. Al-Syafi’i, yang sangat tidak suka terhadap
mutakallim dan cara berpikir Mu’tazilah itu, merasa lebih baik menjauhi
mereka dan pergi ke Mesir.
Masa yang dialaui al-Syafi’i di Mesir itu relative pendek, tetap
sangat berarti dalam penegmbangan madzhabnya. Di sana ia senantiasa
sibuk dengan kegiatan produktif yang menghasilkan temuan ilmu dan
istinbath hukum yang membuat kekuatan hujjah 9dalil dan argumen
ilmiah) serta kebesaran pribadi al-Syafi’i sebagai seorang iman yang nyata.
Karena berbagai alasan ilmiah, ia menyatakan ruju’, meninggalkan
beberapa pendapat lama yang telah dikemukakaknnya di Baghdad dan
mengubahnya dengan fatwa yang baru. Pendapat-pendapat baru (qaul
jadid) itu dituang kan secara sisitematis dalam beberapa buah kitab.
Dengan demikian, pada periode inilah madzhab fikih al-Syafi’i
mencapai tingkat kesempurnaan sebagai madzhab yang utuh, hidup, dan
mempunyai daya gerak menuju pengayaan yang akan terjadi sesuai dengan
tuntutan perkembangan pada periode selanjutnya. Kini madzhabnya telah
tegak dengan kokoh, siap dengan rumusan tentang langkah-langkah yang
harus ditempuh dalam menjawab tantangan masa sekarang dan masa yang
akan datang. Dengan kaidah-kaidah yang telah ditanya itu, para sahabat
serta pengikutnya kemudian dapat melakukan takhrij, memproyeksi
ajarannya sebagai upaya pengayaan madzhab tersebut.[2]
4. Periode Pengembangan dan Pengayaan
Periode ini berlangsung sejak wafatnya al-Syafi’i sampai dengan
pertengahan abad kelim, atau bahkan, abad ketujuh menurut pendapat
sebagian ahli.
Para murid dan penerus al-Syafi’i dari berbagai generasi (thabaqat)
yang telah mencapai derajat ijtihad dalam keilmuannya terus melakukan
istinbath hukum untuk masalah-masalah yang timbul pada masa mereka
atau yang ditimbulkan sebagai perandaian (masa’il fardliyah). Selain itu,
sesuai dengan semangat ijyihad yang diwariskan oleh al-Syafi’i sendiri,
mereka juga melakukan peninjauan ulang terhadap fatwa-fatwa imanya.
Dalil-dalil yang mendukung setiap fatwanya diperiksa kembali untuk
menguji kekuatannya. Dalam hal al-Syafi’i memberi dua, atau lebih, fatwa
yang berbedamereka melakukan tarjih seetelah menelusuri dalilnya
masing-masing untuk mendapatkan pilihan terkuat.
Mereka inilah yang kemudian memainkan pera penting dalam
membela, melengkapi, dan menyebarkan madzhab al-Syafi’i sehingga ia
dapat hidup berdampingan atau bersaing dengan madzhab-madzhab
lainnya si hampir semua wilayah Islam. Selain ramai dengan kegiatan
istinbath, kajian, dan diskusi antara sesamanya atau antara mereka dengan
ulama dari madzhab lain, para ulama Syafi’iyah pada periode ini juga
banyak menghasilkan karya tulis. Hampir setiap ulama terkemuka
menuangkan ilumnya dalam berbagai tulisan, risalah, taliq, matan,
mukhtashar, ataupun syarh, sesuai dengan metode penulisan yang
berkembang pada masanya. Dengan demikian, semakin lama semakin
kayalah madzhab tersebut degan kitab-kitab.
C. Dasar-dasar Pemikiran Muhammad Idris Syafi’i
Berikut ini, dikemukakan secara singkat pokok-pokok pikiran dan
kaidah-kaidah ijtihad yang dirimuskan oleh al-Syafi’i mengenai keempat dalil
tersebut satu per satu.
1. Al-Qur’an
Al-Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk,
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan, surga bagi
yang taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan dengan kisah-
kisah umat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an
adalah hujjah (dalil, argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang
erat terkait dengan pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang
berilmu adalah orang yang mengetahui Al-Qur’an, sedangkan orang yag
jahil adalah yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut
ilmu perlu berupaya keras untuk menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik
yang diperoleh dari nash (penengasan ungkapan) maupun melalui intinbat
(penggalian hukum). Menurutnya, setiap kasus yang erjadi padaseseorang
pasti emmpunyai dalil dan petunjuk dalam Al-Qur’an.
Sesungguhnya Al-Syafi’i telah melakukan kajian secara luas dan
mendalam tentang berbagai aspek Al-Qur’an. Akan tetapi, di sini hanya
akan dikemukakan beberapa pokok pikirannya tentang kitab suci tersebut.
2. As-Sunnah
Dengan pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl-Al-
Hadist. Al-Syafi’i sangatkuat berpegang pada hadist sebagai dalil hukum,
sikap, pendirian, dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan
sangat jelas dalam kitab-kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia
mendukung ke-hujjah-an Sunnah, sehingga ia mendapatkan gelar Nashir
Al-Sunnah (Pembela Sunnah) ketika berada di Baghdad.
Dengan mengambil sikap menengah di antara Ahl Al-ra’yi dan Ahl
Al-Hadist, ia memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hakikat
Sunnah dan menetapkan persyaratan tertentu yang harus terpenuhi agar
suatu riwayat dapat diterima. Secara umum, kaidah-kaidah yang
dirumuskannya tentang hadist dianggap sebagai sumbangan pemikiran
penting dalam kajian hadist dan hukum Islam serta berpengaruh besar pada
masa-masa selanjutnya.
3. Al-Jima’
Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-
Qur’an ataupun Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad,
jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para
mujtahid diberi kebebasan, bahan keharusan,untuk bertindak atau berfatwa
sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing.
Fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah
tersebut tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulamayang datang
kemuadian dan orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu
dari pendapat yang ada. Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, setelah
melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan masing-masing, seluruh
ulama sampai kepada kesimpulan yang sama sehingga terbentuklah suatu
kesepakatan tentang hukumnya. Kesepakatan seperti itu disebut ijma’ dan
dipandang sebagai hujjah yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan
adanya suatu ijma’, kajian terhadap masalah tersebut dianggap telah
selesai
4. Qiyas
Sesungguhnya qiyas dan ra’yu, bukanlah sesuatu yang baru pada
masa al-Syfi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh
para sahabat : Abu Bakar, Umar ra. Dan lain-lain. Penggunaan ra’yu itu
kemudian meluas sedemikian rupa, sehingga mewarnai salah satu aliran
fikih yang dikenal dengan Ahl Al-ra’yi, yang berkembang pesat dibawah
kepimpinan Abu Hanifah. Akan tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan
yang jelas tentang hakikat, batas-batas, dan kedudukannya sebagai dalil.
Al-Syafi’i-lah yang pertama sekali memberikan bentuk, batasan, syarat-
syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas bagi qiyas dalam
deretan dalil-dalil hukum. Ia menempatkan qiyas pada urutan keempat,
baik dari segi kemuliaan (syarf) maupun kekuatannya, berikut adalah
pokok-pokok pikiran Al-Syafi’i dalam kitab  Al-Risalah tentang Qiyas,
antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa setiap kasus yang terjadi atas orangmuslim pasti ada
hukumnya. Kalaupun hukum itu tidak dinyatakan secara tegas, pasti
ada petunjuk kearahnya; dan hukum itu dapat dicari dengan ijtihad,
yaitu
2. Bahwa pengetahuan yangdiperoleh dengan qiyas itu adalah benar
secara zhahir dan hanya berlaku bagi orang yang menemukannya,
tidak bagi semua ulama, sebab hanya Allah yang mengetahui hal-hal
yang ghaib.
3. Qiyas itu ada dua tingkatan. Pertama, sesuatu yang diqiyaskan itu
tercakup oleh pengertian ashl (kasus pokok) sehingga tidka akan ada
perbedaan dalam mengqiyas Kedua, sesuatu itu mempunyai kesamaan
dengan beberapa ashl; dalam hal ini ia harus diqiyaskan kepada ashl
yang paling mirip dengannya, namun orang-orang mungkin akan
berbeda pendapat dalam menentukannya.
4. Hukum masalah yang tidak ada nash-nya haruslah dicari dengan qiyas,
namun kita hanya dibebani dengan apa yang kita anggap benar (al-
haqq ‘indana) dan kebenaran itu bertingkat-tingkat sesuai kekuatan
tunjukan dalil-dalilnya.
5. Jika terjadi perbedaan pendapat, para mujtahid harus mengamalkan
hasil ijtihadnya masing-masing, sebab, pada lahirnya itulah yang benar
baginya, walaupun pada hakikatnya dua pendapat yang berbeda
tentang sesuatu tidaklah mungkin sama-sama benar. Akan tetapi, jika
seseorang ulama telah berijtihad dengan meneliti dalil-dalil seraya
memohonkan pertolongan (inayah) dan taufiq dari Allah, ia telah
melaksanakan kewajibannya.
6. Sekalipun dalam keadaan tidak mampu mendapatkan kebenaran yang
sesungguhnya, orang tidak boleh bertinak hanya berdasarkan ra’yu
(pendapat pribadi) semata-mata, tanpa dalil.[3]
7. Qaul Qadim dan Qaul Jadid Dalam Perkembangan Fiqh Al-Syafi’iyah
Seperti telah disinggung sebelumnya, baik di Baghdad maupun di
mesir, al-Syafi’i  berhasil mendapatkan perhatian besar dari sejumlah
penuntut ilmu yang datang berguru dan menjadi muridnya. Ia juga sempat
menulis kitab-kitab sebagai sarana pengajaran. Melalui hubungan belajar
yang berlangsung dengan baik, mereka, mereka memahami, menguji, dan
menguasai metodologi ijtihad al-syafi’i dengan sebaik-baiknya.
Selanjutnya, dengan secara sadar, mereka pun mengagumi pribadi,
mengakui keutamaan ilmu, dan menganut ajaran al-syafi’i. Pada
gilirannya, sebagai ulama-ulama besar, mereka meriwayatkan dan
mengajarkan ilmu al-syafi’i itu kepada generasi berikutnya. Sesuai dengan
tahap perkembangan mazhab tersebut, para penerus syafi’i itu terbagi
menjadi dua kelompok, yakni para perawi qaul qadim yang belajar
kepadanya di Baghdad, dan perawi qaul jaddid yang belajar di mesir.
Dengan demikian, pada masa-masa awal, pengembangan madzhab al-
Syafi’i berlangsung pada dua pusat dengan corak yang berbeda, baghdad
dengan corak qadim dan mesir dengan corak jaddid.
Namun, hal ini tidak berlangsung lama sebab dalam kegiatan inilah
yang marak pada masa itu para ilmuan sangat banyak melakukan
perjalanan (Irihlah). Dalam rangka menuntut ilmu. Melalui perjalanan
seperti itu, terjadilah kontak antara tokoh-tokoh kedua pusat
pengembangan tadi sehingga qaul qadim dan qaul jaddid bertemu dengan
periwayatan berikutnya. Lebih dari itu, beberapa orang murid yang
mempelajari qaul jaddid di mesir kemudian menetap di irak dan
berhubungan dengan para penerus al-Syfi’i di pusat pengembangan qaul
qadim tersebut sehingga riwayat qaul qadim dan qau l jaddid membentuk
himpunan besar madzhab al-Syafi’i.
Seperti pada periwayatan lisan, proses perpaduan kedua kelompok
qaul itu juga terjadi pada penulisan kitab-kitab. Kalau kitab-kitab periode
pertama hanya memuat satu kelompok qaul, tampak bahwa karya-karya
yang lahir pada masa berikutnya telah meliput qaul qadim, qaul jaddid.
Adanya dua qaul yang berbeda untuk masalah yang sama tentu
merupakan khasanah yang sangat berharga dalam kajian. Akan tetapi, hal
itu justru dapat menyulitkan dalam lapangan fatwa yang mengkhendaki
kepastian hukum. Oleh karena itu, di perlukan upaya tarjih, memilih yang
terkuat dari pendapat  yang  berbeda itu. Selanjutnya,  hal ini menuntut
pola adanya kriteria tertentu sebagai acuan tarjih.
Secara umum, menurut al-Nawawi, fatwa-fatwa qaul jadid-lah
yang harus di amalkan karena itulah yang lebih shahih dan dianggap sah
sebagai madzhab al-syafi’i. Sebab, pada prinsipnya semua fatwa qaul
qadim yang bertentangan dengan qaul jaddid telah ditinggalkan (marju’
‘anh) dan tidak dapat di pandang lagi sebagai madzhab al-Syafi’i
Itulah sebabnya, kitab-kitab yang di tulis pada periode pengayaan
madzhab tersebut selalu memuat fatwa qaul jaddid lengkap dengan dalil-
dalil yang mendukungnya, serta fatwa yang lanjutan lahir sebagai proyeksi
darinya (meliputi qaul mukharraj dan wajh yang diperoleh dari tafri’ atau
takhrij’), sedangkan fatwa-fatwa qaul qadim hanya di muat sebagai bahan
perbandingan dalam kajian. Akan tetapi, sesuai dengan anjuran al-Syafi’i
sendiri, para sahabat dan pengikutnya terus melakukan ijtihad. Selain
upaya memproyeksikan fatwa-fatwa qaul jaddid, ijtihad mereka juga
meliputi peninjauan ulang dan penelitian kembali terhadap fatwa serta
dalil dan wajhistidlal yang  mendukungnya. Untuk ini mereka melakukan
penelusuran terhadap hadits-hadits yang semakin mudah ditemukan pada
abad-abad kemudian dan pemeriksaan terhadap qiyas yang digunakan.
Melalui ijtihad yang berkelanjutan itu, mereka menemukan adanya
beberapa fatwa qaul qodim yang ternyata lebih kuat dari pada fatwa qaul
jadid dan mereka kembali mengangkatnya dalam fatwa-fatwa.
Para penulis fiqih madzhab al-Syafi’i kemudian, khususnya yang
menulis kitab-kitab dalam ukuran cukup besar (muthawwalat), selalu
memberikan uraian tentang tiap-tiap fatwa lengkap dengan berbagai dalil
yang mendukungnya. Kelihatannya, dalil-dalil yang dikemukakan itu tidak
hanya terdiri atas kutipan dari kitab-kitab al-Syafi’i sendiri, sebagian
darinya adalah temuan dari para penulis itu sendiri, atau, boleh jadi,
diambil dari madzhab lain yang memberikan fatwa serupa.
Demikianlah, qaul qadim dan qaul jadid terus menjadi bahan
kajian dalam madzhab al-Syafi’i. Setelah melalui masa yang panjang
ternyata ada beberapa qaul qadim yang secara umum dianggap lebih
shahih dari pada qaul jadid
IV. KESIMPULAN

Imam Syafi merupakan imam ke tiga dari empat madzhab, Imam


Syafi’i mempunyai empat pemikiran dasar yaitu :
1. Al-Qur’an
Al-Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk,
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan, surga bagi
yang taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan dengan kisah-
kisah umat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an
adalah hujjah (dalil, argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang
erat terkait dengan pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang
berilmu adalah orang yang mengetahui Al-Qur’an, sedangkan orang yag
jahil adalah yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut
ilmu perlu berupaya keras untuk menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik
yang diperoleh dari nash (penengasan ungkapan) maupun melalui intinbat
(penggalian hukum). Menurutnya, setiap kasus yang erjadi padaseseorang
pasti emmpunyai dalil dan petunjuk dalam Al-Qur’an.
Sesungguhnya Al-Syafi’i telah melakukan kajian secara luas dan
mendalam tentang berbagai aspek Al-Qur’an. Akan tetapi, di sini hanya
akan dikemukakan beberapa pokok pikirannya tentang kitab suci tersebut.
2. As-Sunnah
Dengan pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl-Al-
Hadist. Al-Syafi’i sangatkuat berpegang pada hadist sebagai dalil hukum,
sikap, pendirian, dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan
sangat jelas dalam kitab-kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia
mendukung ke-hujjah-an Sunnah, sehingga ia mendapatkan gelar Nashir
Al-Sunnah (Pembela Sunnah) ketika berada di Baghdad.
Dengan mengambil sikap menengah di antara Ahl Al-ra’yi dan Ahl
Al-Hadist, ia memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hakikat
Sunnah dan menetapkan persyaratan tertentu yang harus terpenuhi agar
suatu riwayat dapat diterima. Secara umum, kaidah-kaidah yang
dirumuskannya tentang hadist dianggap sebagai sumbangan pemikiran
penting dalam kajian hadist dan hukum Islam serta berpengaruh besar pada
masa-masa selanjutnya.
3. Al-Jima’
Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-
Qur’an ataupun Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad,
jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para
mujtahid diberi kebebasan, bahan keharusan,untuk bertindak atau berfatwa
sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing.
Fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah
tersebut tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulamayang datang
kemuadian dan orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu
dari pendapat yang ada. Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, setelah
melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan masing-masing, seluruh
ulama sampai kepada kesimpulan yang sama sehingga terbentuklah suatu
kesepakatan tentang hukumnya. Kesepakatan seperti itu disebut ijma’ dan
dipandang sebagai hujjah yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan
adanya suatu ijma’, kajian terhadap masalah tersebut dianggap telah
selesai
4. Qiyas
Sesungguhnya qiyas dan ra’yu, bukanlah sesuatu yang baru pada
masa al-Syfi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh
para sahabat : Abu Bakar, Umar ra. Dan lain-lain. Penggunaan ra’yu itu
kemudian meluas sedemikian rupa, sehingga mewarnai salah satu aliran
fikih yang dikenal dengan Ahl Al-ra’yi, yang berkembang pesat dibawah
kepimpinan Abu Hanifah. Akan tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan
yang jelas tentang hakikat, batas-batas, dan kedudukannya sebagai dalil.
Al-Syafi’i-lah yang pertama sekali memberikan bentuk, batasan, syarat-
syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas bagi qiyas dalam
deretan dalil-dalil hukum. Ia menempatkan qiyas pada urutan keempat,
baik dari segi kemuliaan (syarf) maupun kekuatannya.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, kami sadar makalah ini jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami
selanjutnya. Semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan
kita semua.
 
DAFTAR PUSTAKA

Wahban Zuhaili, fiqh imam syafi’i, Jakarta : almahira. 2010

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam madzhab Syafi’I, Bandung


: Remaja Rosdakarya. 2001

Abdullah Kafabihi Mahrus, Dari Teori Ushul Menuju Fiqh, Jakarta : Santri Salaf
press. 2014

Abdul Hadi Muthohhar, Pengaruh Madzhab Syafi’i di Asia Tenggara, Semarang :


CV. Aneka Ilmu. 2003

Ash Hasbi Muhammd Shiddieqy Teungku Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang : PT.
Pustaka Riski Putra.1999

Anda mungkin juga menyukai