0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
11 tayangan18 halaman
Teks tersebut merangkum sejarah berdirinya madzhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Syafi'i. Terdapat 4 tahapan pembentukannya, yaitu tahap persiapan, pertumbuhan dengan madzhab qadim, kematangan dengan madzhab jadid, dan pengembangan. Imam Syafi'i membangun pandangannya setelah mempelajari madzhab-madzhab lain di Irak dan Yaman, kemudian menuliskannya dalam kitab
Teks tersebut merangkum sejarah berdirinya madzhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Syafi'i. Terdapat 4 tahapan pembentukannya, yaitu tahap persiapan, pertumbuhan dengan madzhab qadim, kematangan dengan madzhab jadid, dan pengembangan. Imam Syafi'i membangun pandangannya setelah mempelajari madzhab-madzhab lain di Irak dan Yaman, kemudian menuliskannya dalam kitab
Teks tersebut merangkum sejarah berdirinya madzhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Syafi'i. Terdapat 4 tahapan pembentukannya, yaitu tahap persiapan, pertumbuhan dengan madzhab qadim, kematangan dengan madzhab jadid, dan pengembangan. Imam Syafi'i membangun pandangannya setelah mempelajari madzhab-madzhab lain di Irak dan Yaman, kemudian menuliskannya dalam kitab
I. PENDAHULUAN Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embrio dari perbedaan madzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama’ fiqh. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial, budaya dan faktor adaptasi perkembangan zaman. Madzhab dalam hukum islam pun semakin bermunculan. Sebagai contoh ada madzhab sunni yang terdiri dari madzhab Abu Hanifah Annu’man, Malik Bin Anas, Muhammad Idris Asy-syafi’i, Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal. Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadapa agama Islam yang maha suci, khususnya dalam bidang ilmu fiqih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fiqih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama Islam dan kaum muslim umumnya. Namun pada makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang biografi Muhammad Idris Syafi’I atau lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Imam Syafi’I adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap Ilmu Hadist dan pembaharu dalam agama (mujaddid) dalam abad kedua hijriah. II. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana sejarah madzhab Muhammad Idris Syafi’i ? 2. Tahap-tahap pembentukan madzhab Muhammad Idris Syafi’i 3. Dasar-dasar pemikiran Muhammad Idris Syafi’i 4. Qaul Qadim dan Qaul Jadid dalam perkembangan Fiqh Al-Syafi’iyah III. PEMBAHASAN A. Sejarah Madzhab Muhammad Idris Syafi’i Imam Syafi’i adalah orang yang amat peta lidah kuat dalam berhujjah, amat jelas ketika menerangkan, berwawasan luas, memiliki kecermatan yang tinggi, ketajaman dalam berpikir, teliti, jenius, dan menguasai banyak ilmu. Semua itu memang wajar terjadi karena imam Syafi’i amat menguasai bahasa Arab lengkap dengan seluk beluk kesussastraan dan syair-syairnya serta mampu menghimpun berbagai dalil syariat yang berbeda, baik dalil yang berasala dari Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Imam Syafi’i juga telah meletakkan prinsip-prinsip dasar Ijtihadnya dalam ar-risalah yang menjadi karya tulis pertama dalam ilmu Ushul Fiqih. Kemudian ia mengembangkannya sesuai dengan manhaj yang jelas lagi bersih dari segala tendensi dan kepentingan. Pada tahap pertama, Imam Syafi’i membangun qaul qadim-nya pada tahun 183 H di Irak-ketika berusia 34 tahun-melalui karyanya al-Hujjah. Kitab yang berisi qaul qadim Imam Syafi’I ini diriwayatkan oleh empat orang muridnya, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal, Abu Tsaur, Az-Za’farani, dan al- Karabisi. Diantara keempat riwayat ini, Az-Za’farai menjadi riwayat qaul qadim Imam Syafi’i yang paling outentik. Buku tersebut ditulis setelah Imam Syafi’i berhasil mempertemukan Fiqih ulama Hijaz seperti fiqih gurunya, Imam Malik Bin Annas, dengan Fiqih ulama Irak yang dia dalami memalui proses telaah terhadap kitab-kitab fiqih ulama Irak dan lewat perdebatannya dengan Muhammad Bin al-Hasan, murid Abu hanifah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh ibnu hajar, setelah Imam Syafi’i mengetahui ilmu ahli hadist dan ilmu ahli Ra’yu, beliau lalu membuat landasan ushul fiqih dan membuat kaidah dengan mempertemukan persaman dan perbedaan pendapat ulama’. Pada tahap kedua, Imam Syafi’i tiba di Baghdad pada tahun 195 H dan mengarang ar-risalah yang ditulis sebagai landasan ilmu Ushul Fiqih. Imam Syafi’i menulis kitab tersebut untuk memenuhi anjuran yang disampaikan imam al-Hafizh Abdurrahman Bin Mahdi yang meminta beliau untu menulis sebuah kitab yang menerangkan tentang syarat-syarat penggunaan dalil (Istitlal) dengan Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas ; penjelasan mengenai nasakh dan mansuq ; dan derajat dalil yang Am dan Khas. Demikianlah keterangan yang terdapat didalam Manaqib as-Syafi’i karya Imam ar-Razi. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan para Ulama yang hidup sezaman dengannya bahwa Imam Syafi’I memang menyusun ar-Risalah di Makkah. Setelah Imam Syafi’i selesai menyusun, dia mengirimkan buku ar- Risalah tersebut kepada Ibnu Mahdi. Usai membacanya Ibnu Mahdi berkata, “Saya tidak menyangka bahwa Allah telah menciptakan orang seperti lelaki (Imam Syafi’i) ini.” Kitab ar-Risalah telah membuat saya sedemikian takjub. Karena dengan membacanya, saya telah menyaksikan perkataan seseorang yang amat cerdas, fasih, dan sangat santun. Oleh karenanya saya berdoa semoga kebaikan selalu berlimpah padanya. B. Tahap-tahap Pembentuk Madzhab Muhammad Idris Syafi’i Al-Nahrawi membagi sejarah pertumbuhan dan perkembangan madzhab Al-Syafi’i kepada empat periode : periode persiapan ; periode pertumbuhan dengan lahirnya madzhab al-qadim ; periode kematangan dan kesempurnaan pada madzhab al-jadid ; dan periode pengembangan dan pengayaan. 1. Tahap Persiapan Persiapan bagi lahirnya madzhab al-Syafi’i belangsung sejak wafatnya Imam Malik, tahun 179 H, sampai dengan kedatangannya yang kedua ke Baghdad, tahun 195 H. sebagaimana disinggung diatas, setelah Imam Malik wafat, Al-Syafi’i berangkat ke yaman untuk bekerja. Dengan demikian, kehidupan kelimuaannya beralih dari dunia teori ke dunia penerapan dialapangan. Keberadaan dilapangan menuntut perhatian lebih bila disbanding dengan periode menuntut ilmu. Disini perhatian tidak mungkin lepas dari berbagai faktor, kondisi dan situasi ekonomi, politik, dan sosial yang ada. Dalam penenrapan, teori-teori murni yang dalam kajian dinilai terbaik kadang-kadang harus mengalami semacam penyesuaian demi mendapatkan kemaslahatan umum sebagai tujuan syariat. Selama di yaman, al-Syafi’i memeperoleh banyak pengalaman yang memperkaya khasanah keIlmuannya. Disamping itu, melalui diskusi- diskusi dnegan tokoh utama madzhab Hanafi, Muhammad Ibnu al-Hasan al-Syaibani, ia dapat pula mengenalu aliran ahl al-Ra’yi secara dekat, memperluas wawasan, serta mematangkan pemikiran dan kepribadiaannya. Setelah kembali ke Makkah, ia ,melanjutkan karirnya dengan mengajar dimasjid al-Haram. Tanggung jawab sebagai pengajar jelas menuntunnya untuk terus memperdalam pengetahuan agar selalus siap menghadapi berbagai persoalan yang timbul. Selain itu, kehadiran para ulama’ dari berbagai wilayah, khususnya pada musim haji, membuka peluang besar bagi terjadinya dialog dan diskusi ilmiah. Kumulasi dari ini semua, seperti disimpulkan oleh al-Nahrawi, merupakan faktor penting yang mendorong dan sekaligus membantu al- Syafi’i membentuk suatu madzhab fiqih sendiri. Pada gilirannya, ia melakukan perbandingan untuk mendapatkan sisi-sisi positif dan kelebihan berbagai metode ijtihad ahl al-Ra’yi maupun ahl al-Hadist. Kaidah-kaidah terbaik yang diperoleh dari perbandingan ini diolah dan dirumuskannya dalam suatu tatanan baru yang kemudian diletakkan sebagai dasar madzhabnya. 2. Periode Pertumbuhan (Al-Qadim) Tahun 195 H, pada saaat kedatanggannya yang kedua ke baghdad, sampai dengan tahun 199 H, saat ia pindah ke mesir, bisa disebut sebagai periode pertumbuhan bagi madzhab al-Syafi’i. ketika al-Syafi’i datang kembali ke Baghdad (195 H), ia tidak datang sebagai penuntut ilmu, melainkan sebagai ulama’ yang telah matang dengan konsep serta pemikiran-pemikirannya sendiri. Kini ia memperkenalkan pandnagan- pandangan fiqihnya secara utuh, lengkap dengan kaidah-kaidah umum, dan pokok-pokok pikiran yang siap untuk dikembangkan. Madzhab baru itu digelarnya di Baghdad yangs sejak lama dikuasai dan dijadikan sebagai pusat pengembangan oleh aliran ahl al-Ra’yi. Tampaknya masa ini merupakan masa ujian paling berat bagi al- Syafi’i dalam menegakkan konsep dan pemikiran fiqihnya yang terbukti dapat ia lalui dengan sebaik-baiknya. Majelis pengajiaannya segera menarik perhatian dari berbagai kalangan. Banyak ulama, dengan latar belakang dan keahlian yang berbeda : ahli hadist, Fiqih, Bahasa dan Sastra hadir di majelis itu, dan masing-masing mereka mendapatakan apa yang diinginkannya. Melalui berbagia disksi dnegan para ulama ahl al-Ra’yi, tampaklah bahwa tingkat keilmuan as-Syafi’I berada diatas mereka. Dengan demikian, ia segera terkenal, namanya menjadi harum dan tersohor ke segala penjuru. Madzhabnya diterima dan tersebar luas ditengah-tengah masyarakat. Para ulama mengakuinya dan kalangan penguasa pun menaruh hormat kepadanya. Beberapa diantara mereka meniggalkan madzhabnya dan beralih menjadi pengikut madzhab syafi’I. ketika al-Syafi’i datang ke Baghdad, di masjid jami’ al-Gharbi terdapat 20 majlis (halqah) pengajian ahl al-Ra’yi tapi sepekan kemudian jumlahnya menyusut menjadi tiga atau empat bauah saja. Pendapat dan fatwa-fatwa fiqih yang dikemukakannya pada periode ini dikenal dengan sebutan Qaul Qadim. Selama kira-kira dua tahun berada di Baghdad, ia berhasil menyusun dan mendiktekan kitab arissalah dalam bidnag ushul al-fiqih dan al-Hujjan dalam bidang fiqih. Kitab al-hujja inilah yang menjadi rujukan bagi qaul qadim al-Syafi’I yang selanjutnya diriwayatkan oleh beberapa murid yang belajar kepadanya di Baghdad. 3. Periode kematangan (Al-Jadid) Ahmad Amin mengemukakan bahwa madzhab al-Syafi’I kurang mendapat sambutan di irak dan tidak mampu bersaing dnegan madzhab hanafi, yang tokoh-tokohnya akrab dan berpengaruh terdhadap penguasa. Senada dengan ini, Ibnu Al-Bazaz mengatakan bahwa fatwa-fatwa al- Syafi’i yang dituangkannya didalam kitab-kitabnya selama di Baghdad itu banyak yang dibantah oleh para murid Muhammad Ibnu Hasan., mereka mendesak posisinya dengan mengungkapkan kelemahan-kelemahan fatwanya. Disamping itu, menurut Ibnu Al-Bazaz, kelompok ahl al-Hadist pun tidak menerima al-Syafi’i, bahkan mereka menuduhnya sebagai pengenut mu’tazilah karena tidak mendapatkan pasaran di Irak, ia pergi ke mesir, dimana tidak adaulama atau fuqaha yangdapat mengimbanginya. Namun, seperti dikemukakan oleh al-Nahrawi, alasan ini pun kelihatannya kurang berbobot karena tidak sejalan dengan kepribadian al- Syafi’i yang terkenal kuat itu dan bertentangan pula dengan sukses besar yang diraihnya ketika pertama kali memperkenalkan madzhabnya di Baghdad. Disana al-Syafi’I mempunyai beberapa orang murid yang senantiasa menginginkan kebebrsamaan yang lebih lama dengan al-Syafi’i. kesetiaan mereka terbukti dari tindakan menyebarluaskan fiqh al-Syafi’i di Baghdad setetlah kepergiaannya ke mesir. Ahmad bin Hanbal dan Abu Tsaur , sebelum mereka membentuk madzhabnya masing-masing, serta Al-Za’farani, dan Al-Karabisi, cukup dikenal jasanya dalam meriwayatkan fikih Al-Syafi’i (qaul qadim) yang mereka pelajari darinya di Baghdad. Oleh karena itu, menurut Al-Nahrawi, alas an yang lebih tepat adalah persoalan menyangkut politik sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah. Menurutnya kepergian al-Syafi’i itu terkait dengan dua hal. Pertama, pengaruh besar bangsa Parsi terhadap khalifah Al- Ma’mun. Setelah memenangkan persaingan dengan Al-amin, yang sesungguhnya merupakan pertentangan antara Parsi dengan Arab, unsure bangsa Parsi mendapatkan posisi yang sangat kuat di istana. Mereka berhasil menduduki jabatan-jabatan penting dalam pememrintahan. Agaknya al-Syafi’itidak merasa senang berada di bawah naungan pemerintahan yang telah dikuasai oleh unsure Parsi itu. Kedua, karena Al-Ma’mun, seorang ahli ilmu kalam, bahkan filosof, sangat akrab dengan kalangan Mu’tazilah. Merekalah yang dekat dan selalu hadir di majelisnya. Al-Syafi’i, yang sangat tidak suka terhadap mutakallim dan cara berpikir Mu’tazilah itu, merasa lebih baik menjauhi mereka dan pergi ke Mesir. Masa yang dialaui al-Syafi’i di Mesir itu relative pendek, tetap sangat berarti dalam penegmbangan madzhabnya. Di sana ia senantiasa sibuk dengan kegiatan produktif yang menghasilkan temuan ilmu dan istinbath hukum yang membuat kekuatan hujjah 9dalil dan argumen ilmiah) serta kebesaran pribadi al-Syafi’i sebagai seorang iman yang nyata. Karena berbagai alasan ilmiah, ia menyatakan ruju’, meninggalkan beberapa pendapat lama yang telah dikemukakaknnya di Baghdad dan mengubahnya dengan fatwa yang baru. Pendapat-pendapat baru (qaul jadid) itu dituang kan secara sisitematis dalam beberapa buah kitab. Dengan demikian, pada periode inilah madzhab fikih al-Syafi’i mencapai tingkat kesempurnaan sebagai madzhab yang utuh, hidup, dan mempunyai daya gerak menuju pengayaan yang akan terjadi sesuai dengan tuntutan perkembangan pada periode selanjutnya. Kini madzhabnya telah tegak dengan kokoh, siap dengan rumusan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menjawab tantangan masa sekarang dan masa yang akan datang. Dengan kaidah-kaidah yang telah ditanya itu, para sahabat serta pengikutnya kemudian dapat melakukan takhrij, memproyeksi ajarannya sebagai upaya pengayaan madzhab tersebut.[2] 4. Periode Pengembangan dan Pengayaan Periode ini berlangsung sejak wafatnya al-Syafi’i sampai dengan pertengahan abad kelim, atau bahkan, abad ketujuh menurut pendapat sebagian ahli. Para murid dan penerus al-Syafi’i dari berbagai generasi (thabaqat) yang telah mencapai derajat ijtihad dalam keilmuannya terus melakukan istinbath hukum untuk masalah-masalah yang timbul pada masa mereka atau yang ditimbulkan sebagai perandaian (masa’il fardliyah). Selain itu, sesuai dengan semangat ijyihad yang diwariskan oleh al-Syafi’i sendiri, mereka juga melakukan peninjauan ulang terhadap fatwa-fatwa imanya. Dalil-dalil yang mendukung setiap fatwanya diperiksa kembali untuk menguji kekuatannya. Dalam hal al-Syafi’i memberi dua, atau lebih, fatwa yang berbedamereka melakukan tarjih seetelah menelusuri dalilnya masing-masing untuk mendapatkan pilihan terkuat. Mereka inilah yang kemudian memainkan pera penting dalam membela, melengkapi, dan menyebarkan madzhab al-Syafi’i sehingga ia dapat hidup berdampingan atau bersaing dengan madzhab-madzhab lainnya si hampir semua wilayah Islam. Selain ramai dengan kegiatan istinbath, kajian, dan diskusi antara sesamanya atau antara mereka dengan ulama dari madzhab lain, para ulama Syafi’iyah pada periode ini juga banyak menghasilkan karya tulis. Hampir setiap ulama terkemuka menuangkan ilumnya dalam berbagai tulisan, risalah, taliq, matan, mukhtashar, ataupun syarh, sesuai dengan metode penulisan yang berkembang pada masanya. Dengan demikian, semakin lama semakin kayalah madzhab tersebut degan kitab-kitab. C. Dasar-dasar Pemikiran Muhammad Idris Syafi’i Berikut ini, dikemukakan secara singkat pokok-pokok pikiran dan kaidah-kaidah ijtihad yang dirimuskan oleh al-Syafi’i mengenai keempat dalil tersebut satu per satu. 1. Al-Qur’an Al-Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk, menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan, surga bagi yang taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan dengan kisah- kisah umat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an adalah hujjah (dalil, argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang erat terkait dengan pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang berilmu adalah orang yang mengetahui Al-Qur’an, sedangkan orang yag jahil adalah yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras untuk menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik yang diperoleh dari nash (penengasan ungkapan) maupun melalui intinbat (penggalian hukum). Menurutnya, setiap kasus yang erjadi padaseseorang pasti emmpunyai dalil dan petunjuk dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Syafi’i telah melakukan kajian secara luas dan mendalam tentang berbagai aspek Al-Qur’an. Akan tetapi, di sini hanya akan dikemukakan beberapa pokok pikirannya tentang kitab suci tersebut. 2. As-Sunnah Dengan pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl-Al- Hadist. Al-Syafi’i sangatkuat berpegang pada hadist sebagai dalil hukum, sikap, pendirian, dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan sangat jelas dalam kitab-kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia mendukung ke-hujjah-an Sunnah, sehingga ia mendapatkan gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Sunnah) ketika berada di Baghdad. Dengan mengambil sikap menengah di antara Ahl Al-ra’yi dan Ahl Al-Hadist, ia memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hakikat Sunnah dan menetapkan persyaratan tertentu yang harus terpenuhi agar suatu riwayat dapat diterima. Secara umum, kaidah-kaidah yang dirumuskannya tentang hadist dianggap sebagai sumbangan pemikiran penting dalam kajian hadist dan hukum Islam serta berpengaruh besar pada masa-masa selanjutnya. 3. Al-Jima’ Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al- Qur’an ataupun Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi kebebasan, bahan keharusan,untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing. Fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah tersebut tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulamayang datang kemuadian dan orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada. Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan masing-masing, seluruh ulama sampai kepada kesimpulan yang sama sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya. Kesepakatan seperti itu disebut ijma’ dan dipandang sebagai hujjah yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan adanya suatu ijma’, kajian terhadap masalah tersebut dianggap telah selesai 4. Qiyas Sesungguhnya qiyas dan ra’yu, bukanlah sesuatu yang baru pada masa al-Syfi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh para sahabat : Abu Bakar, Umar ra. Dan lain-lain. Penggunaan ra’yu itu kemudian meluas sedemikian rupa, sehingga mewarnai salah satu aliran fikih yang dikenal dengan Ahl Al-ra’yi, yang berkembang pesat dibawah kepimpinan Abu Hanifah. Akan tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan yang jelas tentang hakikat, batas-batas, dan kedudukannya sebagai dalil. Al-Syafi’i-lah yang pertama sekali memberikan bentuk, batasan, syarat- syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas bagi qiyas dalam deretan dalil-dalil hukum. Ia menempatkan qiyas pada urutan keempat, baik dari segi kemuliaan (syarf) maupun kekuatannya, berikut adalah pokok-pokok pikiran Al-Syafi’i dalam kitab Al-Risalah tentang Qiyas, antara lain sebagai berikut : 1. Bahwa setiap kasus yang terjadi atas orangmuslim pasti ada hukumnya. Kalaupun hukum itu tidak dinyatakan secara tegas, pasti ada petunjuk kearahnya; dan hukum itu dapat dicari dengan ijtihad, yaitu 2. Bahwa pengetahuan yangdiperoleh dengan qiyas itu adalah benar secara zhahir dan hanya berlaku bagi orang yang menemukannya, tidak bagi semua ulama, sebab hanya Allah yang mengetahui hal-hal yang ghaib. 3. Qiyas itu ada dua tingkatan. Pertama, sesuatu yang diqiyaskan itu tercakup oleh pengertian ashl (kasus pokok) sehingga tidka akan ada perbedaan dalam mengqiyas Kedua, sesuatu itu mempunyai kesamaan dengan beberapa ashl; dalam hal ini ia harus diqiyaskan kepada ashl yang paling mirip dengannya, namun orang-orang mungkin akan berbeda pendapat dalam menentukannya. 4. Hukum masalah yang tidak ada nash-nya haruslah dicari dengan qiyas, namun kita hanya dibebani dengan apa yang kita anggap benar (al- haqq ‘indana) dan kebenaran itu bertingkat-tingkat sesuai kekuatan tunjukan dalil-dalilnya. 5. Jika terjadi perbedaan pendapat, para mujtahid harus mengamalkan hasil ijtihadnya masing-masing, sebab, pada lahirnya itulah yang benar baginya, walaupun pada hakikatnya dua pendapat yang berbeda tentang sesuatu tidaklah mungkin sama-sama benar. Akan tetapi, jika seseorang ulama telah berijtihad dengan meneliti dalil-dalil seraya memohonkan pertolongan (inayah) dan taufiq dari Allah, ia telah melaksanakan kewajibannya. 6. Sekalipun dalam keadaan tidak mampu mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, orang tidak boleh bertinak hanya berdasarkan ra’yu (pendapat pribadi) semata-mata, tanpa dalil.[3] 7. Qaul Qadim dan Qaul Jadid Dalam Perkembangan Fiqh Al-Syafi’iyah Seperti telah disinggung sebelumnya, baik di Baghdad maupun di mesir, al-Syafi’i berhasil mendapatkan perhatian besar dari sejumlah penuntut ilmu yang datang berguru dan menjadi muridnya. Ia juga sempat menulis kitab-kitab sebagai sarana pengajaran. Melalui hubungan belajar yang berlangsung dengan baik, mereka, mereka memahami, menguji, dan menguasai metodologi ijtihad al-syafi’i dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, dengan secara sadar, mereka pun mengagumi pribadi, mengakui keutamaan ilmu, dan menganut ajaran al-syafi’i. Pada gilirannya, sebagai ulama-ulama besar, mereka meriwayatkan dan mengajarkan ilmu al-syafi’i itu kepada generasi berikutnya. Sesuai dengan tahap perkembangan mazhab tersebut, para penerus syafi’i itu terbagi menjadi dua kelompok, yakni para perawi qaul qadim yang belajar kepadanya di Baghdad, dan perawi qaul jaddid yang belajar di mesir. Dengan demikian, pada masa-masa awal, pengembangan madzhab al- Syafi’i berlangsung pada dua pusat dengan corak yang berbeda, baghdad dengan corak qadim dan mesir dengan corak jaddid. Namun, hal ini tidak berlangsung lama sebab dalam kegiatan inilah yang marak pada masa itu para ilmuan sangat banyak melakukan perjalanan (Irihlah). Dalam rangka menuntut ilmu. Melalui perjalanan seperti itu, terjadilah kontak antara tokoh-tokoh kedua pusat pengembangan tadi sehingga qaul qadim dan qaul jaddid bertemu dengan periwayatan berikutnya. Lebih dari itu, beberapa orang murid yang mempelajari qaul jaddid di mesir kemudian menetap di irak dan berhubungan dengan para penerus al-Syfi’i di pusat pengembangan qaul qadim tersebut sehingga riwayat qaul qadim dan qau l jaddid membentuk himpunan besar madzhab al-Syafi’i. Seperti pada periwayatan lisan, proses perpaduan kedua kelompok qaul itu juga terjadi pada penulisan kitab-kitab. Kalau kitab-kitab periode pertama hanya memuat satu kelompok qaul, tampak bahwa karya-karya yang lahir pada masa berikutnya telah meliput qaul qadim, qaul jaddid. Adanya dua qaul yang berbeda untuk masalah yang sama tentu merupakan khasanah yang sangat berharga dalam kajian. Akan tetapi, hal itu justru dapat menyulitkan dalam lapangan fatwa yang mengkhendaki kepastian hukum. Oleh karena itu, di perlukan upaya tarjih, memilih yang terkuat dari pendapat yang berbeda itu. Selanjutnya, hal ini menuntut pola adanya kriteria tertentu sebagai acuan tarjih. Secara umum, menurut al-Nawawi, fatwa-fatwa qaul jadid-lah yang harus di amalkan karena itulah yang lebih shahih dan dianggap sah sebagai madzhab al-syafi’i. Sebab, pada prinsipnya semua fatwa qaul qadim yang bertentangan dengan qaul jaddid telah ditinggalkan (marju’ ‘anh) dan tidak dapat di pandang lagi sebagai madzhab al-Syafi’i Itulah sebabnya, kitab-kitab yang di tulis pada periode pengayaan madzhab tersebut selalu memuat fatwa qaul jaddid lengkap dengan dalil- dalil yang mendukungnya, serta fatwa yang lanjutan lahir sebagai proyeksi darinya (meliputi qaul mukharraj dan wajh yang diperoleh dari tafri’ atau takhrij’), sedangkan fatwa-fatwa qaul qadim hanya di muat sebagai bahan perbandingan dalam kajian. Akan tetapi, sesuai dengan anjuran al-Syafi’i sendiri, para sahabat dan pengikutnya terus melakukan ijtihad. Selain upaya memproyeksikan fatwa-fatwa qaul jaddid, ijtihad mereka juga meliputi peninjauan ulang dan penelitian kembali terhadap fatwa serta dalil dan wajhistidlal yang mendukungnya. Untuk ini mereka melakukan penelusuran terhadap hadits-hadits yang semakin mudah ditemukan pada abad-abad kemudian dan pemeriksaan terhadap qiyas yang digunakan. Melalui ijtihad yang berkelanjutan itu, mereka menemukan adanya beberapa fatwa qaul qodim yang ternyata lebih kuat dari pada fatwa qaul jadid dan mereka kembali mengangkatnya dalam fatwa-fatwa. Para penulis fiqih madzhab al-Syafi’i kemudian, khususnya yang menulis kitab-kitab dalam ukuran cukup besar (muthawwalat), selalu memberikan uraian tentang tiap-tiap fatwa lengkap dengan berbagai dalil yang mendukungnya. Kelihatannya, dalil-dalil yang dikemukakan itu tidak hanya terdiri atas kutipan dari kitab-kitab al-Syafi’i sendiri, sebagian darinya adalah temuan dari para penulis itu sendiri, atau, boleh jadi, diambil dari madzhab lain yang memberikan fatwa serupa. Demikianlah, qaul qadim dan qaul jadid terus menjadi bahan kajian dalam madzhab al-Syafi’i. Setelah melalui masa yang panjang ternyata ada beberapa qaul qadim yang secara umum dianggap lebih shahih dari pada qaul jadid IV. KESIMPULAN
Imam Syafi merupakan imam ke tiga dari empat madzhab, Imam
Syafi’i mempunyai empat pemikiran dasar yaitu : 1. Al-Qur’an Al-Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk, menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan, surga bagi yang taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan dengan kisah- kisah umat terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an adalah hujjah (dalil, argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang erat terkait dengan pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang berilmu adalah orang yang mengetahui Al-Qur’an, sedangkan orang yag jahil adalah yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras untuk menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik yang diperoleh dari nash (penengasan ungkapan) maupun melalui intinbat (penggalian hukum). Menurutnya, setiap kasus yang erjadi padaseseorang pasti emmpunyai dalil dan petunjuk dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Syafi’i telah melakukan kajian secara luas dan mendalam tentang berbagai aspek Al-Qur’an. Akan tetapi, di sini hanya akan dikemukakan beberapa pokok pikirannya tentang kitab suci tersebut. 2. As-Sunnah Dengan pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl-Al- Hadist. Al-Syafi’i sangatkuat berpegang pada hadist sebagai dalil hukum, sikap, pendirian, dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan sangat jelas dalam kitab-kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia mendukung ke-hujjah-an Sunnah, sehingga ia mendapatkan gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Sunnah) ketika berada di Baghdad. Dengan mengambil sikap menengah di antara Ahl Al-ra’yi dan Ahl Al-Hadist, ia memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hakikat Sunnah dan menetapkan persyaratan tertentu yang harus terpenuhi agar suatu riwayat dapat diterima. Secara umum, kaidah-kaidah yang dirumuskannya tentang hadist dianggap sebagai sumbangan pemikiran penting dalam kajian hadist dan hukum Islam serta berpengaruh besar pada masa-masa selanjutnya. 3. Al-Jima’ Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al- Qur’an ataupun Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi kebebasan, bahan keharusan,untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing. Fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah tersebut tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulamayang datang kemuadian dan orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada. Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan masing-masing, seluruh ulama sampai kepada kesimpulan yang sama sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya. Kesepakatan seperti itu disebut ijma’ dan dipandang sebagai hujjah yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan adanya suatu ijma’, kajian terhadap masalah tersebut dianggap telah selesai 4. Qiyas Sesungguhnya qiyas dan ra’yu, bukanlah sesuatu yang baru pada masa al-Syfi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh para sahabat : Abu Bakar, Umar ra. Dan lain-lain. Penggunaan ra’yu itu kemudian meluas sedemikian rupa, sehingga mewarnai salah satu aliran fikih yang dikenal dengan Ahl Al-ra’yi, yang berkembang pesat dibawah kepimpinan Abu Hanifah. Akan tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan yang jelas tentang hakikat, batas-batas, dan kedudukannya sebagai dalil. Al-Syafi’i-lah yang pertama sekali memberikan bentuk, batasan, syarat- syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas bagi qiyas dalam deretan dalil-dalil hukum. Ia menempatkan qiyas pada urutan keempat, baik dari segi kemuliaan (syarf) maupun kekuatannya. V. PENUTUP Demikianlah makalah ini kami buat, kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Wahban Zuhaili, fiqh imam syafi’i, Jakarta : almahira. 2010
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam madzhab Syafi’I, Bandung
: Remaja Rosdakarya. 2001
Abdullah Kafabihi Mahrus, Dari Teori Ushul Menuju Fiqh, Jakarta : Santri Salaf press. 2014
Abdul Hadi Muthohhar, Pengaruh Madzhab Syafi’i di Asia Tenggara, Semarang :
CV. Aneka Ilmu. 2003
Ash Hasbi Muhammd Shiddieqy Teungku Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang : PT. Pustaka Riski Putra.1999