Anda di halaman 1dari 36

TUGAS SEMESTER

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

1.Dalam mazhab fikih, Muhammadiyah lebih Condong Kepada Mazhab apa ?

Iftitâh
Agama – yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. – ialah apa yang
diturunkan oleh Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih,
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di
Dunia dan Akhirat. (Himpunan Putusan Tarjih, 1987: 276)
Pernyataan di atas menjadi penting untuk dicermati, karena di dalam terdapat isyarat bahwa
Muhammadiyah tidak pernah berkeinginan untuk mengikatkan diri dengan mazhab tertentu,
karena semua produk pemahaman keislaman Muhammadiyah digagas dan dirujuk secara
langsung melalui sumber otentik (pemahaman atas ayat-ayat al-Quran dan Sunnah yang
shahih).
Tetapi, benarkah Muhammadiyah tidak bermazhab sama sekali dan bahkan tidak
terpengaruh oleh pemikiran mazhab (utamanya mazhab – fikih – empat: Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah)?

Tulisan ini diasumsikan akan menjelaskan asumsi kebermazhaban dan ketidakbermazhaban


Muhammadiyah, utamanya dalam masalah Fikih.
Makna Mazhab dan Bermazhab
Secara etimologis kata mazhab berasal dari bahasa Arab zahaba, yang berarti pergi. Dengan
demikian, kata mazhab berarti tempat pergi. Sedangkan secara terminologis, mazhab berarti
pendapat, kelompok, aliran yang pada mulanya merupakan pendapat atau hasil ijtihad
seorang imam dalam memahami suatu masalah, baik menyangkut masalah teologi, tasawuf,
filsafat, politik maupun fikih. Dalam perkembangannya, kata mazhab mengalami
penyempitan makna yang semula menyangkut semua aspek ajaran Islam, belakangan hanya
menyangkut hukum Islam (fikih).
Dalam konteks fikih, istilah mazhab mencakup dua pengertian. Pertama, mazhab adalah jalan
pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa berdasarkan al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih menekankan mazhab
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

dalam konteks ushul al-fiqh. Kedua, mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam
mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Quran dan al-hadis. Pengertian
ini lebih menekankan dalam konteks hasil pemikiran atau fiqh.
Dengan demikian, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam
mujtahid dalam memecahkan masalah atau meng-istinbath-kan hukum Islam. Selanjutnya
mazhab pengertiannya berkembang menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti
cara  istinbath imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang
masalah hukum Islam.
Pada dasarnya kemunculan mazhab-mazhab dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar
mengingat al-Quran dan al-sunnah memang memberi peluang munculnya berbagai penafsiran
(multi-interpretasi), karena di dalamnya banyak sekali terkandung ayat yang zanni al-
dalalah (ayat yang penafsirannya tidak pasti) seperti adanya lafal musytarak (mempunyai
makna ganda), majaz (metafor/makna kiyasan), ‘am-khash (umum dan khusus) dan
sebagainya. Secara lebih rinci, Abu Zahrah, seorang ahli ushul al-fiqh, menjelaskan bahwa
munculnya mazhab-mazhab dalam Islam dikarenakan beberapa hal: (1) perbedaan
pemikiran. Perbedaan ini bisa karena pengetahuan yang berbeda, bisa juga karena konteks
sosial masing-masing imam yang berbeda; (2) ketidakjelasan masalah yang menjadi tema
pembahasan; (3) perbedaan kesenangan dan kecenderungan; (4) perbedaan sudut pandang;
(5) karena mengikuti cara pandang pendahulunya; (6) perbedaan kemampuan; (7) masalah
kepemimpinan dan kecintaan kepada penguasa; (8) fanatisme kelompok yang berlebihan.
Munculnya mazhab juga tidak dapat dilepaskan dari dinamika dan perkembangan sejarah
Islam sepeninggal Rasulullah s.a.w. yang kemudian menghadapkan umat Islam dengan
berbagai realitas (kenyataan) baru yang tidak ditemui sebelumnya. Pertama, semakin luasnya
wilayah kekuasaan Islam hingga ke luar semenanjung Arabia. Kedua, pergaulan kaum
muslimin dengan bangsa-bangsa lain yang ditaklukkannya, terutama yang berkaitan dengan
adat-istiadat dan tradisi bangsa tersebut. Ketiga, akibat jauhnya wilayah-wilayah yang
ditaklukkan itu dengan pusat kekuasaan Islam, sehingga memaksa para gubernur, hakim dan
para ulama melakukan ijtihad untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum pernah
ditemui sebelumnya.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Satu hal yang perlu digarisbawahi, meskipun dalam Islam terjadi perbedaan pendapat yang
kemudian melahirkan mazhab, namun perbedaan tersebut hanya terjadi pada masalah-
masalah furu’ (cabang), tidak sampai kepada ajaran Islam yang pokok (ushul) terutama yang
berkaitan dengan paham tauhid. Atas dasar itu, perbedaan tersebut lebih tepat dipandang
sebagai dinamika (perkembangan) pemikiran daripada sebagai perpecahan.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam (Tarikh Tasyri’ al-Islami) hingga kini sudah
muncul tiga belas mazhab fikih dalam Islam, namun yang terkenal dan melembaga ada
sembilan. Mereka dikenal sebagai tokoh-t.okoh yang meletakkan dasar metode pemahaman
fiqh yang kemudian diikuti oleh generasi sesudahnya. Mereka adalah:

1. Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H)


2. Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H)
3. Imam al-Auza’i Abu Amr bin Muhammad (w. 157 H)
4. Imam Sufyan bin Sa’id bin Masraq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Imam al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H)
6. Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179 H)
7. Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
8. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H)
9. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)

Dalam perkembangannya, mazhab-mazhab tersebut ada yang berkembang dengan pesat dan
dianut di berbagai belahan dunia Islam, dan ada juga yang surut bahkan hilang karena kurang
mendapat pengikut seperti mazhab yang dirintis Imam Daud bin Ali al-Asbahani al-Bagdadi
(w. 270 H) yang sering disebut mazhab Zahiry, Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu’Amr
Abd al-Rahman bin Muhammad al-Auza’iy atau mazhab Auza’iy, Mazhab al-Thabari (w.
320 H), Mazhab al-Laits yang dibina oleh Abu Haris al-Laits bin Sa’ad al-Fahmi (w. 174 H)
dan sebagainya.
Mazhab yang terus berkembang hingga sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya
empat mazhab, yaitu:

1. Mazhab Hanafi yang rintis oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Pemikiran hukum
mazhab ini bercorak rasional (ahl al-ra’yu). Hal ini disebabkan karena mazhab
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

bermula di Kufah (Irak) yang terletak jauh dari Madinah. Irak, sebelum Islam, adalah
pusat kebudayaan, tempat bertemu dan berkembangnya filsafat Yunani dan Persia.
Setelah Islam, Irak menjadi pusat berkembangnya berbagai aliran politik, ilmu kalam
dan fikih seperti Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Pada masa Abu Hanifah, Kufah
menjadi salat satu pusat aktifitas fikih para mujtahid generasi tabi’it tabi’in. Sebelum
generasi tabi’in, Kufah menjadi tempat Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) yang dikirim
oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M) untuk mengajarkan Islam dan
memutuskan masalah-masalah hukum. Pendekatan dan metode yang digunakan untuk
memecahkan hukum adalah dengan ra’yu (pendapat/nalar) karena ia sangat ketat
dalam menerima hadis, analogi (qiyas), dan istihsan (qiyas khafi). Mazhab Hanafi
terkenal sangat ketat untuk menerima hadis karena pada masa itu banyak muncul
hadis-hadis palsu seiring dengan perpecahan politik yang dialami umat Islam. Banyak
hadis yang diciptakan kelompok tertentu untuk mendukung kepentingan politiknya
masing-masing. Mazhab ini banyak berkembang di Mesir, Suriah, Libanon, Turki,
Tunisia, Turkistan, India, Pakistan, Afganistan, Balkan, Cina, Rusia dan Irak.
2. Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (179 H). Pemikiran mazhab
ini banyak dipengaruhi oleh sunnah yang cenderung tekstual. Imam Malik termasuk
periwayat hadis, karyanya yang paling monumental adalah al-Muwaththa’ (kumpulan
hadis yag bercorak fiqh). Dalam merumuskan hukum-hukum yang bersumber dari al-
Quran dan al-hadis, Imam Malik menggunakan metode sebagai berikut:
a) tidak seketat Abu Hanifah dalam menerima hadis. Jika Abu Hanifah hanya
menerima hadis kalau hadis itu mutawatir atau paling tidak pada tingkatan
masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis ahad bahkan hadis ahad yang
mursal asal periwayatannya orang yang terpercaya. Hadis ahad juga lebih
diutamakan daripada qiyas, sehingga ia lebih banyak menggunakan hadis
daripada ra’yu;
b)  ‘Amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah), karena mereka dianggap
orang yang paling tahu tentang al-Quran dan penjelasan-penjelasan Rasulullah;
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

c) Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi). Menurut Imam Malik, jika tidak ada
hadis sahih dari Nabi saw yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu
masalah, maka pernyataan sahabat dapat dijadikan sumber hukum. Pendapat ini
didasarkan pada pandangan bahwa para sahabat lebih memahami pengertian
yang tersirat maupun tujuan ayat, karena mereka menyaksikan sendiri turunnya
al-Quran dan mendengar langsung penjelasan Rasulullah s.a.w.) 
d) Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu mempertimbangkan kepentingan umum
terhadap suatu permasalahan hukum yang secara eksplisit tidak terdapat dalam
al-Quran dan al-hadis baik yang mendukung maupun yang menolak. Tujuannya
adalah untuk menarik kemanfaatan (jalb al-manfa’ah) dan menghindari madarat
(daf’ al-madharrah);
e) Al-zari’ah, yaitu mempertimbangkan perkataan dan perbuatan yang
menyebabkan terjadinya perbuatan lain. Perbuatan yang mengantarkan pada
perbuatan haram, hukumnya haram, sedang perbuatan yang mengantarkan pada
perbuatan halal hukumnya juga halal;
f) Qiyas. Apabila suatu masalah tidak ditemukan ketentuannya dalam al-Quran,
al-hadis, perkataan sahabat atau ijma’ ahl al-Madinah maka Imam Malik
memutuskan masalah tersebut dengan qiyas, yaitu menyemakan suatu peristiwa
yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang jelas hukumnya
karena keduanya ada persamaan illat. Mazhab Maliki ini tersebar dan diikuti di
berbagai wilayah seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol dan Mesir.

3.  Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i
(w. 204 M). Metode dan pendekatan yang digunakan untuk meng-istinbath-kan
hukum adalah: a) al-Quran dan al-hadis merupakan sumber pokoknya sebagaimana
mazhab-mazhab lain meskipun cara pandang mereka terhadap kedua sumber tesebut
seringkali berbeda. Menurut Imam Syafi’i, al-Quran dan hadis mutawatir berada
dalam satu martabat, karena sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-Quran. Keduanya
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

adalah wahyu meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat al-Quran; b)
Ijma’. Ijma’ yang dimaksud Imam Syafi’i adalah kesepakatan ulama suatu masa di
seluruh dunia Islam, bukan ijma’ di satu negeri saja dan bukan ijma’ kaum tertentu
saja; c) Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuannya
dalam nas dengan hukum yang ada dalam nas karena adanya persamaan illat. Mazhab
Syafi’iyah ini berkembang di negara-negara seperti Mesir, Suriah, Yaman, Indonesia,
Malaysia, Makkah, Arab Selatan, Bahrain, Afrika Timur dan Asia Tengah.
4. Mazhab Hanbali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
(w. 241 M). Selain berdasar al-Quran dan sunnah dan pendapat sahabat, ia juga
menggunakan hadis mursal dan hadis dha’if (dalam tingkatan hasan asal perawinya
tidak pembohong); qiyas jika terpaksa (‘inda “arrah). Mazhab ini banyak berkembang
di Irak, Mesir, Suriah, Palestina dan Arab Saudi. Dari berbagai mazhab yang ada,
karakteristik penafsiran mazhab-mazhab tersebut dapat disederhanakan menjadi dua
kecenderungan besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Para ahli hukum Iraq seperi
Imam Abu Hanifah, karena berbagai alasan, dianggap terlalu ketat dalam menerima
hadis sebagai dasar hukum, sehingga lebih banyak menggunakan akal . Sedang ulama
Hijaz seperti Imam Malik bin Anas lebih longgar untuk menerima hadis sebagai dasar
hukum, meskipun hal ini tidak berarti mereka menolak akal sama sekali.

Manna’ al-Qaththan, penulis buku Tarikh Tasyri’ al-Islami, memberi penjelasan lebih lanjut
mengenai perkembangan ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Dalam kaitan perkembangan ahl al-
ra’y di Iraq, dia memberi bebapa penjelasan: 1) Tasyi’ di Iraq dipengaruhi oleh pemikiran
rasional Ibnu Mas’ud sebagaimana telah disinggung di atas; 2) Hadis yang berkembang di
Iraq lebih sedikit jumlahnya dibanding hadis yang berkembang di Hijaz. Sementara
permasalahan-permasalahan hukum yang berkembang di Iraq jauh lebih kompleks; 3)
Fuqaha’ Iraq berhadapan dengan orang-orang Parsi yang sudah mempunyai peradaban dan
kemampuan berfikir maju. Keadaan ini dapat mendorong munculnya permasalahan-
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

permasalahan hukum baru yang belum ditemukan ketentuannya pada masa Nabi saw; 4) Iraq
merupakan tempat tinggal kebanyakan orang-orang Syi’ah dan Khawarij sebagai imbas
(akibat) dari perpecahan politik yang terjadi dalam Islam. Perpecahan tersebut segera diikuti
debat teologis untuk melegalisasi (mengesahkan) kelompoknya masing-masing yang sering
pula diikuti dengan penciptaan hadis-hadis palsu. Kondisi ini ikut mendorong Iraq untuk
lebih selektif dalam menerima hadis.
Sedangkan berkembangnya aliran ahl al-hadis di Hijaz dikarenakan beberapa hal: 1)
Pengaruh dari metode yang menekankan pada hadis sementara mereka menjauhkan diri dari
penggunaan akal dan qiyas kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa; 2) Hijaz merupakan
gudang hadis dan praktik sahabat karena di daerah inilah Nabi saw bermukim dan
menyampaikan ajarannya; 3) Di Hijaz tersebut sedikit sekali ditemukan problem hukum yang
menuntut kreativitas berfikir, karena mereka jauh dari pengaruh Parsi dan Romawi; 4) Hijaz
jauh dari tempat munculnya fitnah dan pertentangan keagamaan. Atas dasar alasan-alasan
tersebut tidak mengherankan jika di kedua wilayah yang menjadi pusat perkembangan hukum
Islam tersebut menampakkan corak yang berbeda.
Dalam pandangan umat Islam pada umumnya, bermazhab sering dibedakan dengan
berijtihad. Bermazhab sering diidentikkan dengan melakukan taqlîd (mengikuti tanpa
mengetahui sebab).
Sehingga, ada kesan bahwa bermazhab tidak memerlukan ijtihad, tidak menyentuh kekinian,
dan menjadikan masa lalu sebagai “doktrin” dan “dogma” agama. Demikian halnya,
berijtihad tidak perlu mengikuti pendapat ulama masa lalu, hanya mengandalkan potensi akal
untuk melihat kenyataan hari ini saja. Kedua polarisasi itu perlu direformasi dengan
menghadirkan konsep baru dalam berijtihad dan bermazhab.
Bermazhab tidak identik dengan bertaklid buta. Masih dapat disebut bermazhab walaupun
tetap menjalankan ijtihad, terutama sekali dalam kasus-kasus kontemporer. Dan lebih dari itu,
masih disebut bermazhab meskipun juga berupaya mengembangkan metodologi (manhaj)
yang sangat mungkin akan menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat.
Pada hakikatnya, bermazhab tidak harus mengikuti pendapat Imam mazhab dari kata-perkata
(fil aqwal), namun bisa dalam metodologinya (fil manhaj). Bermazhab secara metodologis,
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

misalnya kepada para imam mazhab (empat): Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i atau
Ahmad bin Hanbal, akan berimplikasi pada kemungkinan perbedaan pendapat dengan para
imam mazhab tersebut.
Dalam mengembangkan metodologi bermazhab, perlu menciptakan metode dalam berijtihad
baru yang diakui secara akademik dan terjadinya kesinambungan dari proses berijtihad
sekaligus hasil pemikiran ulama masa lalu (historical continuity). Seorang mujtahidjuga
sekaligus seorang mujaddid (pembaharu) yang tengah melakukan pembaharuan fiqih atau
hukum Islam dan pengembangan metodologi ilmu-ilmu keislaman disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Produk pemahaman agama lebih melihat kebutuhan umat pada masa kini dengan tidak
meninggalkan tradisi ulama masa lalu. Kita mungkin sering mendengar klaim universalisme
Islam yang sering dikemukakan bahwa Islam adalah sebagai agama yang rahmatan lil
‘âlamin dan juga kaedah ushûl fiqh: al-syariah al-Islâmiyyah shalihah li kulli zamânin wa
makânin atau al-syariah al-Islâmiyyah li mashlahat al-‘ibâd fi al-dârain (syariat Islam adalah
untuk memenuhi kemaslahatan manusia dunia dan akhirat). Artinya, Islam akan selalu
berkait-berkelindan dengan kemajuan zaman. Untuk merealisasikan klaim-klaim tersebut
maka perlu menyegarkan kembali ajaran agama (ilahi) yang dihubungkan dengan persoalan-
persoalan baru yang muncul. Oleh sebab itu, konsep mengenai bermazhab dan berijtihad
perlu direformasi. Sehingga, Islam selalu segar dan sesuai dengan perkembangan zamannya.
Rumusan yang tepat untuk menghubungkan antara tradisi (bermazhab dan berijtihad) dan
perubahan (kekinian) adalah al-muhâfazhatu ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bil jadîd
al-ashlah(memelihara yang lalu yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih
baik). Sehingga, tawaran gagasan ijtihad menjadi formulasi metodologis yang dapat dibentuk
sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep bermazhab dan berijtihad secara konvensional
yang dipadukan dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban akademik.
Istilahnya adalah modern scientific ijtihad (al-ijtihad al-’ilmi al-’ashri). “Ijtihad” bisa
dilakukan secara tematis, tidak harus ke dalam seluruh aspek kehidupan. Al-’ilmi berarti
bahwa berijtihad menggunakan prosedur keilmuan (filsafat ilmu, studi kritis, dan
semacamnya), seperti yang terjadi dalam dunia pengetahuan umumnya.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Sedangkan al-’ashri dimaksudkan agar mengacu pada masa kini dan masa depan, tidak
hanya terhenti pada lalu dan masa kini. Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang
mampu memberikan jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang akan datang,
diperlukan beberapa langkah.

Pertama, lebih mementingkan atau mendahulukan sumber primer (primary sources) dalam
sistem bermazhab atau dalam menentukan rujukan.
Kedua, berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan hukum Islam dengan tidak
lagi secara doktriner dan dogmatis. Namun, perlu menyertakan studi kritis (critical study)
sebagai sejarah pemikiran (intellectual history) dalam menganalisa latar belakang pemikiran
atau hukum tersebut.
Ketiga, memposisikan semua hasil karya ulama masa lalu sebagai pengetahuan (knowledge),
baik yang dihasilkan atas dasar deduktif maupun secara empirik. Dengan catatan bahwa
keberadaan teks al-Quran dan teks hadis yang terbatas (khususnya yang mutawatir) tidak
dapat diuji ulang (re-examined).
Keempat, perlu ada sikap terbuka terhadap dunia luar dan bersedia mengantisipasi terhadap
hal-hal yang akan terjadi dengan tidak menggunakan sikap asal-tidak setuju (apriori).
Kelima, hendaknya mempunyai daya tanggap yang meningkat dan cepat dalam merespon
permasalahan yang muncul.
Untuk itulah, diperlukan jaringan atau organisasi yang mampu mempertemukan di
antara fuqaha’ untuk sama-sama menanggapi masalah yang ada.
Keenam, penafsiran yang aktif dan bahkan juga progresif, yaitu jawaban hukum Islam yang
juga sekaligus mampu memberi inspirasi untuk kehidupan yang dialami umat.
Ketujuh, ajaran al-ahkâm al-khamsah atau hukum Islam berupa wajib, haram, sunnah,
makruh, dan mubah agar dapat dijadikan konsep atau ajaran etika sosial.
Kedelapan, menjadikan ilmu fikih (‘ilm al-fiqh) sebagai bagian dari ilmu hukum secara
umum, yaitu memposisikan bahasa ilmu fikih yang mencakup masalah-masalah kehidupan
umat yang sama dengan materi atau objek kajian dalam ilmu hukum pada umunya.
Kesembilan, mendekati fikih yang juga berorientasi pada kajian induktif atau empirik, di
samping deduktif. Pendekatan induktif dimaksudkan sebagai penyertaan peran akal pada
posisi yang sangat penting dalam membantu mewujudkan hasanah fi al-dunya dan hasanah
fi al-âkhirah.
Kesepuluh, hendaknya menjadikan konsep mashalih ‘ammah menjadi landasan penting
dalam mewujudkan fiqih atau hukum Islam.
Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nushûsh al-Qurân wa as-sunnah al-
shahîhah (teks-teks al-Quran dan sunnah yang shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang
akan dihasilkan dalam ijtihad. Kontrol yang dimaksud lebih menekankan pada konsep etika
dengan mengacu pada al-mashâlih al-’ammah.
Konsep baru dalam bermazhab dapat dinyatakan dengan pernyataan penting: “siapa pun
boleh bermazhab tanpa kehilangan ruh ijtihad. Dan siapa pun yang berijtihad tidak dilarang
untuk bermazhab tanpa harus terikat dengan metode dan pendapat para imam mazhab.

Memahami Muhammadiyah Melalui Pemikiran Keagamaannya


TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku
untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif
Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh
Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya saja
apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang
berbeda-beda, dan oleh karenanya “memerlukan ijtihad”.

Ijtihad dalam ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat
bahwa  Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara
kritis. Ia menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang pada
akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam agar  memiliki
keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan
semangat untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid
menjadi – minimal – menjadi sikap ittiba’. Sehingga muncullah kolaborasi antara para
Mujtahid dan Muttabi’ yang secara sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam
Masa Sekarang yang stagnant (jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah
diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya mirip
dengan Muhammad Abduh: “al-Muhâfadhah ‘Alâ al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-
Jadîd al-Ashlah”

Prinsip-prinsip Utama Pemahaman (Agama) Islam

Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam:

1. Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di
dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang
Islam harus memahaminya.
2. Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan
dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif.

Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang
disebut doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah
selaras dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti
Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti
pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama (Islam)
sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah
bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah.
Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam yang memahami arti universalitas kebenaran
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

ajaran agama yang tidak akan pernah usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk
diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun.

Mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah

Untuk memahami al-Quran – menurut Muhammadiyah – diperlukan seperangkat instrumen


yang menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam
kehidupan nyata. Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami
Islam, yaitu: “ijtihad”.

Kandungan al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan
kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat
terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi
setiap orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus
sadar, bahwa sehebat apa pun seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati,
kecuali sekadar menemukan ‘kemungkinan-kemungkinan’ kebenaran absolut al-Quran yang
pada akhirnya bernilai “relatif”. Akhirnya, kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar
apa pun hasil pemahaman orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan
menyamai “kebenaran” al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”,
sedang “tafsir atas al-Quran” adalah “kebenaran insaniah”. Akankah kita menyatakan bahwa
Manusia akan “sebenar” Tuhan? Jawaban tepatnya: “mustahil”. Oleh karena itu, yang
dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya untuk
menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan “harus menghasilkan kebenaran absolut”,
karena kenisbian akal manusia tidak akan pernah menggapai kemutlakan kebenaran sejati
dari Allah.
Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun
terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah
sebagai panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-
Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan
dan taqrîr merupakan interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya. Asumsi ini
didasarkan pada paradigma “’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. akan selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu
diawasi oleh-Nya. Teguran atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan
selalu dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah
s.a.w.
Persoalannya sekarang, seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk
menerjemahkan as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang paling tepat
untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada ketidaktepatan dalam
menerjemahkannya (as-Sunnah), karena keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki. Kita pun
sering melakukan kesalahan dalam memilih pola yang tepat untuk memahami as-Sunnah.
Mungkin terjebak pada kutub ekstrem “tekstual”, atau “rasional” yang mengarah pada
kontekstualisasi yang eksesif (berlebihan).
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Untuk itu, menurut pendapat penulis, yang kita perlukan sekarang adalah: “membangun
kearifan” menuju pada “pemahaman yang sinergis dan seimbang”. Seperti – misalnya – apa
yang dilakukan dalam proyek besar pemasaran gagasan “Islam Kontekstual” yang dilakukan
– misalnya — oleh Yusuf al-Qaradhawi, dengan berbagai modifikasi yang diperlukan.

Berislam Secara Dewasa


Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang
dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang
proporsional.
Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara
tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi
Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam
Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam
mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang “marjûh”.

Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah
berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah
secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih)
operasional.

Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash(teks) al-Quran


maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah
ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena
adanya kesamaan ‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum
dari realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena tidak adanya nash yang
dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs

Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian
ditransformasikan ke dalam pengembangan pemikiran yang — mungkin saja – linear atau
berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis,
tindakan keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam
harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi
pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada
pengulangan dan juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi”
dan “reinterpretasi” baik yang bersifat dekonstruktif maupun rekonstruktif.

Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan bertindak.
Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah
“keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal dan sekaligus vertikal”.

Himpunan Putusan Tarjih dan Mazhab Empat


TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Himpunan Putusan Tarjih (selanjutnya disebut HPT) adalah hasil diskusi dan kesepakatan
yang dihasilkan melalui proses panjang dalam serangkaian pembahasan para ulama tarjih
(Muhammadiyah) dalam setiap pertemuan resmi, yang saat ini disebut dengan Musyawarah
Nasional (Munas).

Hasil-hasil diskusi atau pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah) tersebut kemudian
ditanfidzkan (dinyatakan keabsahan dan keberlakuannya) oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah yang diasumsikan mengikat secara organisatoris kepada seluruh jajaran
pimpinan dan anggota Muhammadiyah.

Meskipun secara eksplisit Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermazhab, tetapi dalam
praktik pembahasan atas masalah-keagamaan (utamanya: fikih) para ulama tarjih
(Muhammadiyah) sama sekali tidak bisa menghindar dari manhaj (metodologi) dan pendapat
para imam mazhab (termasuk imam mazhab empat) dan pengembangannya dalam berbagai
ragam pendapatnya.
Dengan mencermati diktum-diktum putusan tarjih hingga saat ini, maka kita bisa melhat
nuansa mazhab dan bermazhabnya para ulama tarjih (Muhammadiyah), utamanya dalam
pengertian manhaji(metodologis). Karena – secara jelas – mereka menggunakan sejumlah
manhaj yang ditawarkan oleh para imam mazhab itu tanpa kecuali. Hanya saja, para ulama
tarjih tidak mau terjebak untuk mengikatkan diri pada manhaj dan (apalagi) pendapat ulama
mazhab tertentu.
Pola bermazhab seperti itu, dalam khazanah pemikiran keislaman disebut dengan bermazhab
dengan pola “talfiqi” (memadukan pemikiran antarmazhab), dengan pertimbangan: “memilih
yang paling layak untuk dipilih” secara proporsional.
Pemilihan metode “qiyas”, misalnya, jelas mengacu pada keberpihakan keempat imam
mazhab pada pendekatan ta’lili, yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh Imam asy-Syafi’i
dan para pengikutnya. Sementara pemilihan metode “istihsan”, jelas mengacu pada Imam
Abu Hanifah. Sedangkan pemilihan metode “mashlahah mursalah” dengan berbagai ragam
pengembangannya, jelas mengacu pada Imam Malik. Dan diketika Muhammadiyah (melalui
kajian tarjih) mengadopsi metode “istishhab”, maka secara tidak langsung juga mengakui
keberadaan mazhab Hanabilah, yang merujuk pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.

Ihtitâm

Muhammadiyah bukanlah sebuah mazhab, dan tidak berkeinginan untuk menjadikan dirinya
sebagai mazhab baru. Tetapi, dalam perjalanan waktu temuan-temuan ijtihadnya bisa menjadi
model bagi siapa pun, utamanya warga Muhammadiyah untuk dirujuk menjadi panduan
dalam beragama, sehingga seolah-oleh menjadi mazbah baru.Dalam konteks mazhab dan
bermazhab, hal itu bukanlah suatu yang tabu bagi Muhammadiyah. Tetapi, bagaimanapun
juga kesediaan untuk bermazhab dan mengakui keberadaan mazhab tidak akan pernah
menjebak Muhammadiyah untuk mengikatkan diri para mazhab tertentu, baik dalam
pengertian manhaji apalagi qauli.Jadi, Muhammadiyah selamanya akan menempatkan diri
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

sebagai kelompok terbuka untuk menerima, menolak, mengakomodasi, menghargai,


mengeritik dan menyempurnakan setiap pemikiran keagamaan,  (termasuk di dalamnya
fikih), secara kritis, jujur dan terbuka dan penuh empati kepada pemikiran siapa pun dan dari
mazhab mana pun dengan tetap konsisten untuk merujuk (kembali) kepada al-Quran dan as-
Sunnah al-Maqbûlah.Dan oleh karenanya Muhammadiyah akan tetap berhimmah untuk
menjadi “Yang Pertama dan Utama” untuk menjadikan al-Quran dan as-Sunnah
sebagai marja’ (rujukan) dalam berislam secara kaffahdalam konteks tajdid (purifikasi dan
pembaruan) yang proporsional dan bertanggungjawab .

2. Kenapa agama Islam dan Kresten lebih gencar dalam menjalankan misi dakwah ?.

Islam dan Kristen adalah dua agama paling gencar dalam menyampaikan ajaran-
ajarannya ke tengah masyarakat. Penyampaian ajaran itu dalam Islam disebut dakwah,
dan dalam Kristen disebut misi atau pengabaran injil. Dalam Islam, perintah
penyebaran ajaran itu tertuang dalam Alqur’an dan hadits Nabi Muhammad. Allah
berfirman, “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat-kebijaksanaan,
nasehat yang baik, dan dialog yang konstruktif (wa jadilhum billati hiya ahsan)” [QS,
al-Nahl (16): 125]. Nabi Muhammad pun pernah bersabda, “Sampaikanlah sekalipun
satu ayat dari ajaranku” [ballighu `anni walaw ayatan].
Sementara dalam Kristen, Matius 28: 19-20 adalah ayat yang paling kerap dijadikan
pegangan sebagai landasan pengabaran itu. Yesus berkata, “Kepada-Ku telah
diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.
Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Pada dasarnya, pengabaran ajaran agama adalah baik. Saya percaya, baik di dalam
Alqur’an maupun Injil, terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti
perintah berbuat adil, mengasihi-mencintai sesama, maupun membantu kelompok-
kelompok lemah-tertindas. Tidak ada agama yang datang sebagai ekspresi kesenangan
dan kenikmatan hidup. Agama--terutama agama-agama besar dunia--merupakan
gerakan kritik pada upaya penistaan atas manusia. Jika prinsip-prinsip dasar ajaran ini
menjadi muatan dakwah dan misi Islam dan Kristen, maka kedua agama itu bisa
saling melengkapi dan mempersyaratkan. Yang diuntungkan dari dakwah dan misi
seperti ini tentu bukan hanya umat Islam dan Kristiani, melainkan seluruh umat
manusia, terutama yang tertindas atau teraniaya. 

Namun, tak bisa disangkal, bahwa di dalam kitab-kitab itu tercantum pula partikular-
partikular ajaran yang sekiranya diimplementasikan secara harafiah akan potensial
menimbulkan petaka dan ketegangan antar-umat beragama. Dengan ayat-ayat
partikular itu, tak sedikit orang berpendirian perihal pentingnya melakukan islamisasi
dan kristenisasi. Banyak orang bangga dan merasa puas ketika berhasil
mengkristenkan atau mengislamkan orang lain. Seakan pahala Tuhan ada dalam
genggaman begitu seseorang berhasil membaptis dan men-syahadat-kan orang lain,
tak peduli walau itu dilakukan dengan paksaan dan intimidasi. Untuk mengukuhkan
agendanya itu, Matius 28 pun disitir lepas dari konteksnya. Begitu juga, tidak sedikit
tokoh Islam dengan menyitir satu-dua ayat Alqur’an yang memerintahkan
mengungguli umat agama lain dengan alasan mereka kafir dan musyrik.

Mengabarkan dan mendakwahkan ayat-ayat yang eksklusif-radikal seperti itu jelas


kontra-produktif bagi terciptanya kerukunan umat beragama di Indonesia. Hemat
saya, yang perlu dikabarkan buat bangsa Indonesia yang lagi mengalami multi-krisis
bukan Matius 28, melainkan Matius 19: 16-20 yang memuat ajaran kasih dan etika
sosial. Disebutkan, “Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata; ’Guru,
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
Jawab Yesus: “Apa sebabnya engkau bertanya kepadaku tentang apa yang baik?
Hanya satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah
segala perintah Allah”. Orang itu kembali bertanya kepada-Nya, “Perintah yang
mana?” Kata Yesus, “Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan
mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihanilah sesama
manusia seperti dirimu sendiri.”
Yesus Kristus pernah ditanya seorang ahli Taurat tentang hukum manakah yang
terutama dalam hukum Taurat. Yesus menjawab, ”Kasihanilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal
budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.” Lalu Yesus ditanya kembali
tentang hukum kedua yang sama dengan itu. Yesus menjawab, “Kasihanilah sesama
manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum
Taurat dan kitab para nabi.” [Matius 22: 36-40]. Ayat-ayat itu sebagai bukti kuat
keberpihakan dan komitmen Kristen terhadap tegaknya etika sosial dan nilai-nilai
kemanusiaan universal. Di tengah angka pengangguran, kebuta-hurufan, dan
kemiskinan yang tinggi di Indonesia, ayat-ayat dalam Injil tersebut makin
menemukan relevansi dan signifikansinya untuk diterapkan. 
Selanjutnya, dalam konteks Indonesia yang lembek dalam penegakan hukumnya,
umat Islam lebih relevan mendakwahkan ayat-ayat keadilan Alqur’an ketimbang ayat-
ayat yang menyuruh membunuh orang-orang kafir dan kaum musyrik. Allah
berfirman, “Berbuat adillah karena keadilan itu lebih dekat pada ketakwaan” (QS, al-
Ma’idah [5]: 8). Penegakan keadilan yang dikehendaki Alqur’an meliputi keadilan
sosial, ekonomi, politik, dan keadilan di bidang hukum. Allah menegaskan, keadilan
merupakan ukuran kualitas ketakwaan seseorang. Alqur’an pun mengatakan bahwa
penegakan keadilan itu bukan hanya spesifik syariat Islam, melainkan juga mencakup
pada seluruh syariat agama-agama semitik lainnya.
Sekiranya ayat-ayat pembebasan yang lebih diutamakan sebagai materi dakwah-misi
para pengkhotbah agama di Indonesia, saya kira ketegangan yang kerap menyertai
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

hubungan antar-umat beragama di Indonesia bisa dikurangi. Sebab, fokus perhatian


muballigh dan missionaris tidak lagi pada penambahan jumlah keanggotaan suatu
agama, melainkan pada kerja sama untuk advokasi dan pembebasan masyarakat
tertindas. Namun, jika tetap tak ada perubahan fokus pada misi dan dakwah Islam dan
Kristen, maka kekisruhan yang menyertakan penganut dua agama tersebut akan tetap
sulit untuk diakhiri. Untuk itu, kita tidak hanya perlu menelaah kembali makna
dakwah, misi atau pengkabaran Injil, tapi juga perlu melakukan reorientasi dan
perubahan fokusnya.

3. Bagaimana konsep Islam berkemajuan perpektif Muhammadiyah ?

Islam Berkemajuan adalah pandangan dunia atau wijhah/worldview   Muhammadiyah


tentang Islam yang merupakan dinul hadharah, agama kemajuan atau
peradaban. Wijhah ini, selain memiliki dasar teologis pada dalil-dalil naqli dalam Al-
Qur'an dan Al- Hadits, juga mempunyai relevansi bahkan urgensi dengan realitas
kehidupan umat Islam dewasa ini yang belum menunjukkan cita kemajuan. Pemajuan
kehidupan umat Islam, tidak mungkin tidak, adalah dengan mengedepankan suatu
wawasan dan langkah Islam Berkemajuan.
Visi Islam Berkemajuan melintasi dimensi ruang dan dimensi waktu. Visi ini tidak
terkait sekat tempat tertentu, karena jika demikian Islam akan kehilangan watak
universalnya. Visi ini juga tidak terikat sela masa terbatas, karena jika demikian Islam
tergerus oleh sifat keabadiannya. Visi Islam Berkemajuan melampaui wilayah dalam
lintang bumi dan mendahului jelajah pada garis zaman. Visi Islam Berkemajuan
bertumpu dan mengacu kepada dimensi gerak, yakni proses dinamis dan sistematis
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

dalam penciptaan karya-karya kebudayaan dalam alir dan arus kemajuan


berkelanjutan (sustainable innovation).
Bagi Muhammadiyah, Visi Islam Berkemajuan bukanlah hal baru, melainkan
kelanjutan dari apa yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan sejak kelahiran
Muhammadiyah seabad yang lalu. Hingga saat ini visi itu masih relevan dengan
kondisi kehidupan umat Islam, namun memerlukan revitalisasi dan kontektualisasi
dengan dinamika zaman baru dalam semangat "al- muhafazhah 'alal qadimis shalih
wal ijad bil jadidil ashlah", atau memelihara yang baik dari masa lalu dan
menciptakan yang terbaik dari masa kini.
Dalam kaitan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia, adalah saatnya
bagi Muhammadiyah untuk merealisasikan Visi Islam Berkemajuan sebagai jalan
untuk mewujudkan Indonesia Berkemajuan. Hal ini, sebenarnya, merupakan cita-cita
nasional yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa, yaitu terwujudnya Indonesia
yang maju, adil, makmur, berdaulat dan bermartabat. Maka dengan demikian,
Dakwah Pencerahan Muhammadiyah adalah jihad kebangsaan untuk mewujudkan
cita-cita kemerdekaan.
Di sini terjadi perpaduan antara wawasan keislaman dan wawasan keindonesian, yang
keduanya beririsan dan bermuara pada tujuan sama.  Perjuangan menegakkan cita-cita
nasional itu adalah pengembanan misi kekhalifahan di muka bumi, yang tentu harus
bermula dari tanah kelahiran sendiri. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah ranah perjuangan untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, Maka Negara
Pancasila dapat dipandang sebagai Darul 'Ahdi was Syhadah atau Negara
Kesepakatan dan Kesaksian. Sebagai Negara Kesepakatan, Negara Pancasila adalah
memang kesepakatan di antara berbagai kelompok dan golongan; Sebagai Negara
Kesaksian atau Pembuktian, Negara Pancasila menjadi ajang perlombaan berbagai
kalangan untuk mengisi dan mewarnainya dengan sibghah masing-masing.
Bagi umat Islam perlombaan mengisi dan mewarnai Negara Pancasila dengan sibghah
Islamiyah merupakan perjuangan kebangsaan dan keagamaan sekaligus. Sebagai
bagian terbesar dari bangsa, umat Islam memiliki tanggung jawab terbesar pula untuk
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

menjadi faktor determinan (penentu) atau, paling tidak, faktor efektif Indonesia;
bahwa maju-mundurnya Indonesia di masa depan harus ikut ditentukan oleh maju-
mundurnya umat Islam. Hal inilah yang belum menjadi kenyataan dewasa ini.

4. Apakah latar belakang lahirnya Mazhab teologi dan mazhab fikih dalam Islam
Mazhab adalah metode yang terbentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang-orang yang mempercayainya menjadikan metode itu sebagai pedoman.
Sejarah mazhab bermula dari pemikiran atau pendapat seorang imam dalam memahami
sesuatu, baik filsafat, hukum, teologi, politik, dan lain sebagainya. Pemikiran itu
kemudian diikuti oleh kelompok atau pengikut dan dikembangkan menjadi suatu aliran,
sekte, atau ajaran. Secara hafiah kata mazhab sendiri berasal dari kata zahab-
yazhabu yang berarti pergi.
Pada dasarnya, mazhab-mazhab dalam Islam timbul antara lain karena perbedaan dalam
memahami ajaran yang terdapat dalam al-Quran dan sunah yang bersifat tidak absolut.
Perbedaan pendapat mengenai maksud ayat-ayat zanni ad-dalalah(ayat yang
pengertiannya masih bisa ditafsirkan) adalah salah satu alasan munculnya mazhab-
mazhab dan aliran-aliran dalam Islam.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Pada hakikatnya mazhab adalah suatu aliran pemahaman tertentu terhadap al-Quran dan
Sunnah. Sifatnya tidak mengikat. Sementara macam-macamnya meliputi tauhid, ibadah,
hukum, politik, filsafat, tasawuf, pembaharuan, dan sebagainya.
Oleh karena mazhab atau aliran tersebut hanya berbeda dalam penafsiran tentang ayat-
ayat yang tidak jelas artinya dan bukan mengenai ajaran dasar Islam, maka perbedaan
mazhab dapat diterima sebagai sesuatu yang benar dan tidak keluar dari Islam.
Meskipun terkadang perbedaan antara mazhab terlihat cukup curam dan bahkan
bertentangan.

Mazhab-Mazhab dalam Teologi

Awal kemunculan mazhab-mazhab teologi tidak dapat dilepaskan dari permasalah politik
yang akhirnya terus berkelanjutan pada permasalahan agama. Dalam bidang kalam
(teologi) terdapat lima mazhab besar dalam Islam, yaitu:

1. Khawarij
Aliran Khawarij awalnya adalah pendukung Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan
barisannya sebagai bentuk protes terhadap sikap Ali yang menerima arbitrasi
Muawiyah bin Abu Sufyan, ketika peperangan hampir dimenangkan oleh kelompok
Ali.
Nama lain dari Khawarij adalah Haruriyah, yang dinisbahkan kepada Harura, suatu
tempat dekat Kufah, Irak. Pada umumnya mereka terdiri dari orang Arab Badui yang
sederhana dalam hidup dan pemikirian, tetapi keras hatinya.
Pada awalnya kaum Khawarij berjumlah sekitar 12.000 orang. Imam pertama mereka
adalah Abdullah bin Wahhab ar-Rasidi. Kaum Khawarij bersifat demokratis dalam
persoalan kenegaraan, tetapi dalam teologi dianggap sebagai aliran yang tegas dan
keras. Menurut mereka, orang yang melakukan dosa besar langsung dianggap sebagai
kafir.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

2. Murji’ah
Murji’ah lahir sebagai reaksi terhadap kehadiran Khawarij. Mereka ingin bersikap
netral dari praktik mengkafirkan seseorang. Untuk itu mereka mengusung
doktrin irja’, yaitu penangguhan hukuman terhadap orang beriman yang melakukan
dosan dan mereka tetap dianggap muslim. Oleh karena itu mereka yang disebut kafir
oleh Khawarij, tetap mukmin bagi Murji’ah.
Murji’ah terbagi antara kelompok moderat dan ekstrem. Tokoh-tokoh moderat antara
lain Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf al-
Qadi. Sementara yang ekstrem antara lain Jahm bin Sofwan dan pengikutnya.
Ajaran yang terdapat dalam golongan Murjiah moderat menjadi ajaran yang diterima
dalam Ahlusunah waljamaah, yakni orang yang berdosa besar dan meninggal tanpa
tobat sepenuhnya terserah kepada Allah.

3. Muktazilah
Muktazilah  adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional
dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dengan aliran lainnya adalah
pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-
dalil ‘aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran
rasionalitas Islam. Bagi mereka, orang berdosa besar adalah tidak mukmin dan tidak
kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya.
Di antara tokoh Muktazilah yang terkenal adalah Wasil Bin Ata. Muktazilah terkenal
dengan lima prinsip ajarannya yaitu tauhid; keadilan; janji dan ancaman; posisi di
antara dua posisi; dan amar makruf nahi mungkar. Muktazilah menganut paham
Qadariah, yaitu paham yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam
memilih dan bertindak.
Di samping doktrin utama kebebasan berkehendak, kelompok Muktazilah
menambahkan doktrin lain: penolakan terhadap kesatuan antara Tuhan dan sifat-
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

sifatnua, seperti Berkuasa, Bijaksana dan Maha hidup, dengan argumen bahwa konsep
semacam itu akan merusak keesaan Tuhan. Oleh karena itu, julukan yang sangat
disukai kaum Muktazilah adalah “pendukung keadilan dan keesaan”.

4. Asy’ariah
Mazhab Asy’ariyah sering disebut juga mazhab ahlusunah waljamaah, di samping
Maturidiah. Pendiri mazhab ini adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Pada
awalnya ia menjadi pengikut Muktazilah selama 30 tahun, tetapi kemudian keluar dan
membangun mazhab sendiri.
Sebab utama al-Asy’ari menjauhkan diri dari Muktazilah adalah adanya perpecahan 
yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka jika tidak segera
diakhiri. Sebagai seorang muslim yang sangat peduli dengan keutuhan umat Islam, ia
khawatir al-Quran dan Hadis  menjadi korban paham-paham kaum Muktazilah yang
menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan akal
pikiran. Oleh karena itu, al-Asyari mengambil jalan tengah  antara golongan rasional
dan tekstualis, dan ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum
muslimin.
Tokoh penting mazhab itu adalah Abu Bakar Muhammad al-Baqillani, Imam al-
Juwaini dan Imam al-Ghazali.

5. Maturidiah
Mazhab ini didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah
dan karenanya paham-paham teologinya banyak memiliki persamaan dengan Abu
Hanifah. Mazhab ini banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya dan
dalam sistem teologinya, meskipun tidak sejauh Muktazilah.
Dalam perkembangannya aliran ini terbagi dalam dua golongan, yakni Maturidiah
Samarkand yang merupakan pengikut al-Maturidi dan Maturidiah Bukhara yang
merupakan pengikut al-Bazdawi. Maturidah Samarkand lebih dekat ke Muktazilah,
sementara Maturidiah Bukhara dekat denga Asy’ariah.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Mazhab-Mazhab dalam Fikih

Dalam hukum Islam atau fikih terdapat empat mazhab besar, yakni: Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. Selain keempat mazhab itu, terdapat pula mazhab-mazhab lain
yang dalam perkembangannya tidak sebesar keempat mazhab terdahulu. Mazhab-
mazhab minor tersebut adalah mazhab at-Tauri, an-Nakha’i, at-Tabari, al-Auza’i dan
Az-Zahiri. Di antara mazhab-mazhab minor ini yang cukup menonjol adalah mazhab
az-Zahiri yang didirikan oleh Dawud bin Khalaf al-Isfahani.

1. Hanafi
Mazhab Hanafi atau Hanafiah didirikan oleh Nu’man bin Sabit  atau yang lebih
terkenal dengan nama Abu Hanifah (w. 767 M). Pemikiran hukumnya bercorak
rasional. Mazhab ini berasal dari Kufah, sebuah kota yang telah mencapai kemajuan
yang tinggi, sehingga persoalan yang muncul banyak dipecahkan melalui pendapat,
analogi, dan isitihsan (kiyas khafi). Murid-murid Abu Hanifah yang menonjol antara
lain Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Pada masa Utsmani, mazhab
ini merupakan mazhab resmi kerajaan.

2. Maliki
Mazhab Maliki atau Malikiah adalah mazhab yang didirikan oleh Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir al-Asybahi (w. 797 M) atau biasa dikenal dengan nama Imam
Malik. Sepanjang hidupnya Malik tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali untuk
keperluan ibadah haji.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah yang cenderung tekstual. Malik


juga termasuk periwayat hadis. Karyanya adalah al-Muwatta’  (hadis yang bercorak
fikih).
Imam Malik juga dikenal sebagai seorang mufti dalam kasus-kasus yang dihadapi,
seperti fatwanya bahwa baiat yang dipaksakan hukumnya tidak sah.  Selain itu,
pemikirannya juga banyak menggunakan tradisi warga Madinah.

3. Syafi’i
Mazhab Syafi’i atau Syafi’iah didirikan oleh Abu  Abdullah Muhammad bin Idris
asy-Syafi’i (w. 767 M) atau Imam Syafi’i. Selama hidup ia pernah tinggal di
Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Oleh karena itu corak pemikirannya adalah
konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Selain berdasar pada
al-Quran sunnah, dan ijmak, Imam Syafi’i juga berpegang pada kias.
Ia disebut sebagai orang pertama yang membukukan ilmu usul fikih, dengan
karyanya ar-Risalah. Pemikirannya yang cenderung moderat diperlihatkan
dalam qaul qadim (pendapat yang baru) dan qaul jadid (pendapat yang lama). Untuk
penyebarannya, Mazhab Syafi’i banyak dianut di pedesaan Mesir, Palestina, Suriah,
Irak, India, Yaman, dan Indonesia.

4. Hanbali
Mazhab Hanbali atau Hanbaliah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
(w. 855 M) atau dikenal dengan nama Imam Hanbali. Pada masa mudanya ia berguru
kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi’i. Corak pemikirannya tradisionalis
(fundamentalis). Selain berdasar pada al-Quran, Sunah, dan ijtihad sahabat, ia juga
menggunakan hadis mursal dan kias jika terpaksa.
Selain seorang ahli hukum ia juga ahli hadis. Karyanya yang terkenal
adalah Musnad (Kumpulan Hadis-Hadis Nabi SAW). Beberapa pengikutnya yang
terkenal adalah Ibnu Taimiyah dan Abdul Wahhab. Penganut Mazhab Hanbali banyak
terdapat di Irak, Mesir, Suriah, dan Arab Saudi.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

5. Apakah faktor-faktor pendukung dan penghambat perkembangan Islam

MASA PERKEMBANGAN ISLAM (650-1000 M)


Ada beberapa langkah-langkah awal yang dilakukan oleh pendiri khalifah Abbasiyah
dalam menata pemerintahannya. Salah satunya adalah melakukan penataan internal dan
eksternal. Dibidang internal Abbasiyah membangun ibu kota baru, menata sumber
penghasilan Negara, membentuk Biro – Biro, Membangun sistem organisasi militer,
menciptakan administrasi wilayah pemerintahan dan memberangus dominasi Arab di posisi
pemerintahan strategis dan menggantinya dengan profesionalisme serta perluasan fungsi
jawatan pos menandai adanya perubahan dalam tata pemerintahan yang ideal. Sementara
dibidang eksternal mereka membangun hubungan internasional dan melakukan ekspansi
wilayah. 
Sebagaimana kita ketahui, puncak masa keemasan Islam terjadi pada masa Al-Mansur, al
Mahdi, al-Hadi, Harun al Rasyid, al Makmun, al Mu’tasim al Wathiq serta al Mutawakkil.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Konsep konsep pemerintahan dari Persia juga diadopsi beberapa khalifah Abbasiyah dengan
cara melakukan kawin silang dengan wanita – wanita Persia. Perkawinan ini melahirkan
khalifah baru, salah satunya adalah al-Makmun. Pada masa ini pula tata pemerintahan Islam
tak lagi menjadi monopoli orang arab. Dinasti abbasiyah membuka ruang yang luas bagi
orang di luar Arab, yang ahli di bidangnya, duduk di pemerintahan. Ini terbukti dengan
masuknya orang – orang Turki dan Persia.
Pembentukan ibukota baru yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, administrasi dan
meliter serta lalu lintas ekonomi. Al-Mansur memilih Baghdad sebagai Ibu kota, tempat
tersubur di Iraq yang memperoleh pengairan dari sungai Tigris dan Euphrate. Perlu diketahui
pada masa Bani Umayyah ibukota pemerintahan berpusat di Damaskus. Pada
perkembangannya kota Baghdad menjadi kota bercorak kosmopolitan dengan penduduk
beragam suku, etnis agama dan profesi. Selain itu Baghdad menjadi lalu lintas perdagangan
internasional. 
Pada paruh pemerintahan, dibawah kepemimpinan al-Mansur, Dinasti Abbasiyah melakukan
perubahan visi pemerintahan khalifah dari otoritas penuh khalifah menjadi tugas seorang
perdana menteri. Yang membawahi kepala – kepala departemen. Beberapa departemen
dibawah wazir masing – masing adalah ; Departemen keuangan, Departemen Kehakiman,
Departemen Perhubungan. Adapun urusan sekretriat negara dipimpin seorang Raisu al Kuttab
yang membawahi ; Sekretaris Urusan Surat Menyurat, Sekretaris Urusan Keuangan,
Sekretaris Urusan Tentara, dan Sekretaris Urusan Kehakiman. Orang pertama yang menjabat
posisi wazir adalah Khalid bin Barmak asal Balkh (Bachtral) Persia.
Perkembangan lainnya terlihat pada serangkaian ekspansi wilayah kekuasaan ke Bizantium.
Al- Mahdi adalah khalifah Abbasiyah pertama yang mengumandangkan perang melawan
Bizantium, memulai serangan dan sukses brilian. Pada 782 pasukan Arab, mencapai
Bosporus dan memaksa Ratu Irene berdamai dengan membayar upeti sebesar 70-90 ribu
dinar. Selama ekspedisi inilah harun memperlihatkan kepiawaiannya, sehigga ayahnya
memberi gelar al-Rasyid dan mengangkatnya sebagai pewaris Musa al-Hadi saudaranya.
Kemudian Harun melanjutkan serangkaian ekspansi wilayah ke Asia Kecil, Heraklea, dan
Tyna.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Dinasti Abbasiyah terus berupaya memajukan Islam dengan membangun hubungan


internasional pada masa Harun al-Rasyid. Diantaranya menjalin hubungan dengan
Charlemagne. Dari hubungan ini Harun berkepentingan untuk menghadapi saingannya,Bani
Umayyah, di Spanyol. Menurut Richard Coke sebagai mana dikutip Syalabi, pemerintahan
Abbasiyah disegani di dalam maupun di luar negeri

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG PERKEMBANGAN ISLAM

Semua capaian-capain diatas secara tidak langsung menjadi faktor awal


berkembangannya Ilmu pengetahuan dan Filsafat. Adapun faktor-faktor Yang Mendorong
Kebangkitan Filsafat Dan Sains yang lain adalah :

a) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
Berkat keberhasilan penyebaran Islam keberbagai wilayah yang baru, Islam
bertemu dengan berbagai kebudayaan baru yang memiliki khazanah pengetahuan
yang baru pula dan ini bertemu dengan semangat Umat Islam yang terdorong
ajaran agamanya untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari
manapun.
b) Pluralistik dalam pemerintahan dan politik Untuk mengokohkan dinastinya, al-
Mansur mengambil strategi yang berbeda dengan Dinasti Umayyah. Dinasti
Abbasiyah sangat berbeda Dinasti Umayyah yang sangat bercorak ke Araban.
Beberapa hal yang dilakukan oleh al-Mansur antara lain dengan memasukkan
orang-orang Persia dalam struktur pemerintahan, seperti menerapkan sistem
administrasi pemerintahan Persia dan mengangkat Khalid bin Barmak sebagai
wazir-yang kemudian menjadi salah satu tokoh dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di Bani Abbas-, menjadi guru bagi Harun al-Rasyid bahkan dia
mengawini perempuan Persia dan memiliki keturunan khalifah yang mempunyai
perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Konsep konsep pemerintahan ala Persia
juga diadopsi beberapa khalifah Abbasiyah dengan cara melakukan kawin silang
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

dengan wanita – wanita Persia (shi’i). Perkawinan ini melahirkan khalifah baru,
salah satunya adalah al-Makmun. Pada masa ini pula tata pemerintahan Islam tak
lagi menjadi monopoli orang arab. Dinasti abbasiyah membuka ruang yang luas
bagi orang di luar Arab, yang ahli di bidangnya, duduk di pemerintahan. Ini
terbukti dengan masuknya orang – orang Turki dan Persia.
c) Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi dan Politik Harun al-Rasyid memanfaatkan
kemajuan perekonomian untuk pembangunan di sektor Sosial dan Pendidikan.
Seperti pengadaan sarana belajar bagi masyarakat umum. Penyediaan
infrastruktur yang dilakukan oleh Harun al-Rasyid pada akhirnya dilanjutkan oleh
al-Ma’mun, khususnya dalam bidang pengembangan pendidikan, ilmu
pengetahuan, kehidupan intelektual serta kebudayaan.
4. Gerakan Penterjemahan Gerakan ini berlangsung dalam 3 (tiga) fase. Fase
pertama, pada masa al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang
banyak diterjemahkan adalah karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase
kedua berlangsung mulai masa al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang
banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga,
setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Karya-karya
yang diterjemahkan mulai meluas dalam semua bidang keilmuan.
Manuskrip yang berbahasa Yunani diterjemahkan dahulu ke dalam bahasa Siriac-
Bahasa Ilmu pengetahuan di Mesopotamia-kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa arab.
a) Para penterjemah yang terkenal pada masa itu, antara lain :
Hunain ibn Ishaq, ilmuwan yang mahir berbahasa arab dan yunani.
Menerjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Syiria dan 20 buku
dalam Bahasa Arab.
b) Ishaq ibn Hunain ibn Ishaq, Tsabit bin Qurra Qusta bi Luqa Abu Bishr
Matta ibn Yunus Semua penterjemah ini, kecuali Tsabit ibn Qurra yang
menyembah bintang, adalah penganut agama kristen.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

c) Berdirinya perpusatakaan-perpustakaan dan menjadi pusat penterjemahan


dan kajian ilmu pengetahuan Al-Ma’mun yang berpaham mu’tazilah,
sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga kebijakan dibidang ilmu
pengetahuan sangat menonjol yang mengakibatkan gairah intelektual
mendapatkan wadah. Ia mendirikan Baitul Hikmah yang berfungsi sebagai
perpustakaan, akademi, pusat penterjemahan dan lembaga penelitian.
Bahkan dilingkungan istana juga didirikan perpustakaan pribadi khalifah
yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan bagi keluarga istana dan
terhimpun didalamnya para ilmuwan, ulama dan para pujangga.
Jadi di zaman inilah daerah Islam meluas yang akhirnya ilmu pengetahuan
berkembang dan memuncak baik dalam bidang agama, non agama dan
kebudayaan Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya ulama-ulama
besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam
Ibn Hanbal dalam bidang hokum. Dalam bidang teologi : Imam al-
Asy’ari, Imam al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn
Ata’, Abu al-Huzail, al-Nazzam, dan al-Jubba’i. sedangkan dalam tasawuf
atau mistisisme : Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj.
Dalam bidang filsafat : al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Maskawaih.
Dalam bidang ilmu pengetahuan : Ibn al-Haysam, Ibn Hayyan, al-
Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi.

B. FAKTOR PENGHAMBAT PERKEMBANGAN ISLAM


a) Kemunduran Islam di Bagdad
Masa-masa kemajuan dunia islam yang telah berjalan beberapa abad lamanya, yang
pengaruhnya telah merebak dan merambah jauh ke berbagai belahan dunia non
muslim pada akhirnya juga mengalami masa-masa kemundurannya. Berbagai
macam krisis yang sangat komplek sekali telah menerpa dunia islam. Jatuhnya kota
Bagdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa mongol bukan saja mengakhiri
khilafah Abbasiyah, tetapi merupakan juga awal kemunduran peradaban islam,
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban islam yang sangat kaya
dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh
pasukan mongol yang di pimpin Hulagu Khan. Bagdad yang terkenal sebagai pusat
kebudayaan dan pengetahuan islam, pada tahun 1258 M mendapat serbuan tentara
mongol. Tentara mongol menyembelih seluruh penduduk dan menyapu Bagdad
bersih dari permukaan bumi. Dihancurkan segala pusaka dan peradaban yang telah
dibuat beratus-ratus tahun lamanya. Diangkut kitab-kitab yang telah dikarang oleh
ahli ilmu pengetahuan bertahun-tahun lalu dihanyutkan ke dalam sungai dajlah,
sehingga berubah warna airnya lantaran tinta yang larut. Khalifah sendiri beserta
keluarganya dimusnahkan sehingga terputuslah keturunan abbasiyyah dan
hancurlah kerajaannya yang telah lama bertahta selama 500 tahun.
b) Kemunduran Islam di Andalusia (Spanyol)
Pada tanggal 19 juli 711 M atas permintaan putra witiza yang kalah saingan dengan
raja Roderick dalam memperebutkan kekuasaan di wilayah Andalusia gubernur
afrika utara, Musa bin Nusair mengutus Thariq bin Ziyad untuk berangkat ke
Andalusia untuk membebaskan rakyat dari tekanan raja Roderick. Thariq
membawa 7.000 pasukan yang sebagian terdiri dari orang-orang barbar. Sedangkan
raja Roderick membawa 25.000 orang tetapi pasukan sebesar ini bisa dikalahkan
oleh kaum muslimin yang bekerjasama dengan rakyat Ghatic untuk menggulingkan
kekuasaan Roderick.
Setelah mengalahkan Roderick disusul dengan daerah daerah yang lainnya tanpa
ada perlawanan yang berarti. Sehingga wilayah Andalusia seluruhnya telah
dikuasai oleh orang-orang muslim. Dibawah pimpinan Thariq rakyat saling
berdampingan baik muslim atau non muslim, arab atau non arab, merdeka atau
budak sehingga dalam pemerintahannya mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Ketika Bagdad dihancurkan oleh tentara mongol yang dipimpin Hulagu Khan
(anak Jenghiz Khan), sebanarnya Umayah di Andalusia juga sedang mengalami
sebuah krisis pemerintahan dimana kekuasaan Islam sudah banyak yang terlepas
karena mengalami berbagai macam faktor diantaranya mendapatkan serangan dari
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

tentara-tentara kaum Kristen yang tidak rela tanahnya diduduki oleh pendatang.
Satu demi satu wilayah kekuasaan islam berhasil direbut kembali oleh kaum
kristiani, kota Toledo yang menjadi pusat peradaban islam terbesar di eropa
berhasil direbut oleh Alfonso VI dan Castilia pada tahun 1085, Alfonso VIII pada
tahun 1212 berhasil merebut navas de Tolosa dan Andalusia. Pada tahun 1236 M
Cordova jatuh ke tangan Ferdinan III dari Castilia, dan pada tahun 1492 M kota
Granada yang menjadi satu-satunya kota yang tersisa di tangan bani Umayah jatuh
ke tangan raja Ferdinand dari Aragon yang beraliansi dengan ratu Isabella dari
Castilia.
Satu tahun (1493) setelah kemenangan tersebut dalam rangka untuk
menghilangkan symbol-simbol atau jejak-jejak Islam maka mereka menyapu
bersih kaum muslimin dengan cara dipaksa, Masjid-masjid disulap menjadi gereja-
gereja dan kebudayaan-kebudayaan islam yang tak ternilai harganya dihancurkan
dengan rasa gembira.
c) Kemunduran Islam di Mongol
Bangsa mongol berasal dari daerah pegungungan Mongolia yang membentang dari
asia tengah sampai Siberia utara, Tibert selatan dan Manchuria barat serta
Turkistan timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan yang mempunyai
dua putra kembar Tatar dan Mongol. Kedua putra ini melahirkan dua suku bangsa
besar, Mongol dan Tatar. Mongol mempunyai anak beranam Ilkhan yang
melahirkan keturunan pimpinan bangsa Mongol di kemudian hari.
Mereka adalah kabilah besar yang menyerupai sebuah bangsa pedalaman penduduk
dan nomadic. Mereka adalah para pengembala yang hidup di dataran luas di
daratan yang luas. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah sebagai penggembala dan
pemburu, sebagaimana orang nomad mereka memiliki karankter kasar, suka
berperang, kejam.
Mayoritas mereka adalah para penyembah berhala dan penyembah kekuatan-
kekuatan ghaib seperti jin dan setan. Bangsa Mongol mengalami kemajuan ketika
di pimpin oleh Timujin yang bergelar Jenghis Khan (Raja yang perkasa). Ketika
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

dia memimpin bangsa Mongol banyak daerah yang ditaklukannya seperti Cina, dan
negeri-negeri Islam lainnya.
Pada saat kondisi fisiknya mulai lemah, Jenghiskan mulai menyerahkan
kepemimpinannya kepada anaknya yang bernama Hulagu Khan. Ia berhasil
mengalahkan pemerintahan abbasyiah yang dipimpin al-Mu’tashim dan
menghacurkan peradaban dunia islam. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan
memantapkan kekuasaannya di Bagdad selam dua tahun, sebelum melanjutkan
gerakan ke Syiria dan Mesir, tetapi mereka di Mesir dikalahkan oleh pasukan
mamalik dalam perang ‘ain jalut pada tanggal 3 september 1260.
Bagdad dan daerah-daerah yang ditaklukan Hulagu selanjutnya diperintah oleh
dinasti Ilkhan. Ilkhan adalah gelar ayang diberikan kepada Hulagu Khan. Ilkhan
berarti Khan yang Agung. Selajutnya gelar tersebut diwarisi oleh para
keturunannya. Keturunan dari Hulagu Khan yang beragama islam adalah Ahmad
Taguder, tapi beliau mati ditangan para pembesar kerajaan yang lain. Selain
Taguder, Mahmud Ghazan (1295-1304), raja yang ketujuh, dan raja-raja
selanjutnya pemeluk agama islam, dengan masuknya beliau, islam mengalami
kemenangan yang sangat besar terhadap agama syamanisme.
Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, Ghazan mulai memperhatikan
perkembangan peradaban. Ia seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastra. Ia
amat gemar kepada kesenian terutama arsitektur dan ilmu pengetahuan alam
seperti astronomi, kimia minerologi, metalurti dan botani. Ia membangun semacam
biara untuk para darwi, perguruan tinggi madzhab Syafi’I dan hanafi, sebuah
perpustakaan, observatorium dan gedung-gedung umum lainnya. Pada masa
pemerintahan Abu Sa’id (1317-1334 M), terjadi kelaparan yang sangat
menyedihkan dan angin topan dengan hujan es yang mendatangkan mala petaka.
Kerajaan Ilkhan yang didirikan oleh hulagu khan terpecah-pecah setelah
pemerintahan Abu Sa’id kerajaan pecahan-pecahan tersebut ditaklukan oleh timur
lenk. Penguasa islam yang terakhir dari keturunan Mongol adalah timur lenk yang
berarti timur si pincang, berbeda dengan penguasa-penguasa islam lainya bahwa
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

timur lenk sejak kecil sudah masuk islam. Sejak remaja dia sudah kelihatan
keberaniannya sehingga ketika tanah kelahirannya diserbu oleh pasukan Tughluq
timur khan, Timur lenk bangkit meminpin perlawanan untuk membela nasib
kaumnya yang tertindas. Ketika Timur lenk menjadi penguasa tunggal di tanah
kelahirannya, ia mulai melakukan invasi-invasi ke wilayah-wilayah lain.
Di Afganistan ia membangun menara, yang disusun dari 2000 mayat yang dibalut
dengan tanah liat. Di Isfahan, ia membantai lebih kurang 70.000 penduduk.
Kepala-kepala mayat dipisahkan dari tubuhnya dan disusun menjadi menara. Pada
tahun 1401 M ia memasuki daerah syiria utara. Tiga hari lamanya aleppo dihancur
leburkan. Kepala dari 20.000 penduduk dibuat pyramid setinggi 10 hasta banyak
bangunan dan sekolah dihancurkan
Sekalipun ia seorang penguasa yang sangat kejam terhadap penentangnya, sebagai
seorang muslim ia tetap memperhatikan pengembangan islam. Konon, ia adalah
penganut syiah yang taat dan menyukai tasawuf tarekat naqsyabandiyah. Dalam
invasi-invasi ia selalu membawa ulama, sastrawan dan seniman. Ulama dan ilmuan
di hormatinya, dan yang menjadi heran adalah setiap pembantaian di wilayah-
wilayah yang dikuasainya ia tidak membantai para ulama dan ilmuan bahkan ia
membawa para ulama dan ilmuan tersebut ke negerinya.
Setelah kematian timur lenk pada tahun 1404. Kekuasaannya digantikan oleh
anaknya yang bernama Syah Rukh (1404), ia seorang raja yang adil dan lemah
lembut. Setelah wafat, ia diganti oleh anaknya Ulugh Bey, ia seorang raja yang
alim dan sarjana ilmu pasti. Selama dua tahun memerintah ia dibunuh oleh anaknya
yang haus kekuasaan, abul latif. Kerajaan timur lenk dan keturunannya berakhir
ditangan abu sa’id, dimana ketika ia memerintah banyak wilayah-wilayah yang
ditaklukannya memisahkan diri dan banyak huru-hara di sana-sini. Abu said sendiri
terbunuh ketika berperang melawan Uzun Hasan, pengusa Ak Koyunlu.
Kemunduran Islam di Mesir Satu-satunya negeri islam yang selamat dari serbuan-
serbuan tentara mongol dan timur lenk, adalah Mesir. Mongol dan timur lenk tidak
mampu mengalah kan negeri mesir Karena di sana terdapat dinasti Mamalik.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

Mamalik adalah jamak dari mamluk yang berarti budak. Dinasti mamlik memang
didirikan oleh para budak. Pada awalnya para budak tersebut dibebaskan dan
dijadikan tentara persisnya menjadi bodyguard (pengawal) para raja pada masa
pemerintahan ayyubiyah karena prestasi yang diraihnya sangat besar maka para
raja banyak mengambil para budak sebagai tentara.
Penguasa ayyubiyah yang terakhir al-Malik al-shalih meninggal (1249), kemudian
digantikan oleh anaknya bernama Turansyah. Golongan mamalik merasa terancam
karena Turansyah lebih dekat kepada tentara kurdi, sehingga para mamalik
merencanakan pembunuhan kepada Turansyah dibawah pimpinan Aybak dan
Baybars, keduanya berhasil membunuh Turansyah. Atas kesepakatan mamalik,
istrinya (Syajar al-Durr) al-Malik menjadi raja menggantikan Turansyah selama 80
hari, kemudian ia menikah dengan aybak dan menyerahkan tampuk
kepemimpinanya kepada suaminya.
Dinasti mamalik mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika dipimpin oleh
baybars, ia seorang pimpinan militer yang tangguh dan cerdas. Pada masa ini
banyak para ilmuan yang muncul baik ilmu pasti, umum ataupun agama. Diantra
para ilmuan tersebut, Ibn Khaldun, Ibn Hajr al-Asqalani, Ibn Taimiyah, Ibn
Qayyim al-Jauziyah.
Kemunduran dinasti mamalik disebabkan karena para sultan tidak lagi
memperhatikan kesejahtraan rakyatnya mereka lebih mementingkan dirinya
sendiri, menerapkan pajak yang sangat memberatkan rakyat.

FENOMENA ZAMAN KEMUNDURAN.


TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

 Ada beberapa fenomena yang terjadi pada masa kemunduran :


Epidemi (penyakit).
 Kerusakan ekonomi terutama dalam bidang pertanian yang disebabkan oleh
Mongol itu sendiri
 Tingkat originalitas keilmuan sangat sedikit
 Pengaruh tarekat

FAKTOR-FAKTOR KEMUNDURAN ISLAM


Kemajuan-kemajaun yang telah berabad-abad lamanya dibangun, runtuh
begitu mudahnya disebabkan oleh para pemimpin yang tidak bertanggung
jawab.
Factor kemunduran islam terbagi kepada dua factor :
Faktor internal
 Keruntuhan islam sering disebabkan oleh para pemimpin yang tidak
bertanggungjawab.
 Pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengincar
kekuasaan.
 Kemungkinan terjadinya desentralisasi dan pembagian kekuasaan
didaerah-daerah.
 Menerapkan pajak berlebihan menjadi kebijakan favorit yang dibebankan
kepada semua rakyat, tak terkecuali.
 Garis perpecahan antara arab dan non arab, muslim arab dan muslim non
arab, antara muslim dengan kaum dzimmi.
 Menurunnya stabilitas keamanan dan bangunan yang tidak terperhatikan
sehingga sering terjadi banjir yang membawa malapetaka.
 Banyaknya orang kelaparan yang tidak diperhatikan
 Wabah penyakit sering muncul seperti cacar, pes, malaria dan sejenis
demam lainnya.
TUGAS SEMESTER
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MATA KULIAH : AIK Nama Mahasiswa : Miki


DOSEN PEMBIMBING : Dr. Purmasyah Ariadi.,M.Hum NIM : 92218030

 Serangan al-Ghazali (w. 1111) terhadap para filosuf dan ilmuwan, yang
menyerang rasionalisme dan mengajukan tasawuf sebagai alternative yang
paling mungkin untuk menjadi jalan hidup dan penemuan kebenaran
agama. Al-Ghazali sangat berpengaruh di dunia Islam, sunni khususnya,
sehingga mengakibatkan minat orang terhadap falsafah dan ilmu
pengetahuan menjadi lemah.

Factor eksternal
Penyebab eksternal sebagaimana berikut :
 Pengaruh negative dari aliran-aliran alam pikiran Islam periode sebelumnya
 Pengaruh perang bumi hangus yang dilancarkan oleh bangsa Tartar dari
 Timur dan serangan Tentara Salib Nasrani dari Barat.

Anda mungkin juga menyukai