Anda di halaman 1dari 19

Munculnya Mazhab Fikih dan Terbentuknya Pemikiran Hukum Islam

Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islamic Law

Dosen pengampu:

Prof. Dr. Masykuri Abdillah

Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA

Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, MH

Dr. Ilyas Marwal, MA

Dr. JM. Muslimin, MA

Dr. Asmawi, M.Ag

Dr. Imam Sujoko, MA

Mohammad Adnan, Ph.D

Oleh:

Abdul Azim

21211200100045

PROGRAM PENGKAJIAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA STRATA DUA (S2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1443/2022

[1]
I .Pendahuluan

Mazhab adalah metode yang terbentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang-orang yang mempercayainya menjadikan metode itu sebagai pedoman. Sejarah
mazhab bermula dari atau pendapat seorang imam dalam memahami sesuatu, baik filsafat,
hukum teologi, politik, dan lain sebagainya. Pemikiran itu kemudian diikuti oleh kelompok atau
pengikut dan dikembangkan menjadi suatu aliran, sekte, atau ajaran. Secara harfiah, kata mazhab
sendiri berasal dari kata zahaba-yazhabu yang berarti pergi.

Pada dasarnya, mazhab-mazhab dalam Islam timbul diantara lain karena adanya
perbedaan dalam memahami ajaran yang terdapat dalam al-Qur‟an dan sunah. Perbedaan
pendapat mengenai maksud ayat-ayat zanni ad-dalalah (ayat yang pengertiannya masih bisa
ditafsirkan) adalah salah satu alasan munculnya mazhab-mazhab dan aliran-aliran Islam.

Pada hakikatnya, mazhab adalah hasil ijtihad (mujtahid) Imam terhadap hukum yang
bersangkutan atau kaidah istinbat.oleh karena itu, yang dimaksud dengan mazhab mengikuti
konsekuensi ijtihad Imam terhadap hukum pertanyaan atau aturan istinbatnya. Oleh karena
mazhab atau aliran tersebut hanya berbeda dalam penafsiran tentang ayat-ayat yang belum jelas
artinya dan bukan mengenai ajaran dasar Islam, maka perbedaan mazhab dapat diterima sebagai
sesuatu yang benar dan tidak keluar dari Islam. Meskipun terkadang perbedaan antara mazhab
terlihat cukup curam dan bahkan bertentangan.

Pada zaman sekarang ini, kita tentu tidak asing dengan istilah mazhab dalam Islam,
khususnya dalam ranah fikih. Diantara tokoh mazhab yang masyhur di kalangan mayoritas umat
Islam antara lain Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Hanbali. Dari tokoh Islam
tersebutlah sebagian besar masyarakat muslim dunia merujuk dalam hal ilmu hukum Islam.
Istilah mazhab sendiri muncul antara lain disebabkan tersebarnnya Islam secara luas melintasi
semenanjung Arabia, dan bahkan segenap penjuru dunia, sehingga dibutuhkan pemahaman
kontekstual yang dapat dicerna dan diterima oleh masing-masing masyarakat dunia yang
beraneka ragam tersebut.

[2]
II. Pembahasan

A. Sejarah Lahirnya Mazhab Fikih

Tersebarnya para sahabat ke seluruh pelosok negri, perbedaan tingkat pemahaman, daya
hafal mereka terhadap hadis Rasulullah, banyaknya peristiwa dan problematika, adat kebiasaan
setiap negri yang tidak ada pada negri lain kemudian melahirkan corak fikih yang berbeda-beda
dan lain dari negri lain, seperti di Syam, Hijaz, Mesir, Kufah, Bashrah serta yang lainnya.

Walaupun terjadi keberagamaan aliran fikih pada zaman ini disebabkan perbedaan
sosisologis yang sulit untuk dihindari, sehingga mereka menganggap perbedaan ini bukan suatu
masalah besar, namun yang menjadikan perbedaan di antara mereka adalah kecenderungan
kepada aliran hadis atau logika (ra’yi), atau mengambil keduanya. Disini kita akan membahas
tantang madrasah (aliran) ahli hadis di Madinah dan ra’yi di Kufah.1

Diskusi mengenai kehadiran fiqh madzhab dalam sejarah fiqh Islam, jika ditelaah lebih
jauh, sama sekali tidak bisa dipisahkan dari keberadaan dan kelahiran Madrasah Ahli Ra‟yi di
Iraq dan Madrasah Ahli Hadits di Hijaz pada masa Tabi„in. Kelak dari kedua madrasah inilah
yang kemudian menghasilkan fiqh madzhab Hanafi di Iraq dan fiqh Madzhab Maliki di
Madinah, seiring dibukukannya pendapat dan pemikiran hukum para tokoh imam dalam berbagai
kitab fiqh dan ushul fiqh.

Dari sini, secara sederhana, dapatlah disimpulkan bahwa fiqh madzhab dikenal seiring
adanya kodifikasi atau tadwin (pembukuan) pemikiran hukum masing-masing madzhab dalam
berbagai kitab fiqh. Sekalipun akar pemahaman hukum Islam diwarisi dari generasi sebelumnya
(baik Shahabat dan Tabi„in), tapi generasi fiqh madzhab sesudah kedua periode tersebut, lebih
dikenal dalam sejarah tasyri‟ Islam, berkat pembukuan pendapat dan pemikiran para ulama
madzhab dalam berbagai kitab.2

1. Madrasah Ahli Hadis

a. Sejarah Kelahiran Ahli Hadis

Madrasah ahli hadis muncul di kota Madinah, negeri Hijaz. Dan Allah telah memuliakan
negeri Makkah dan Madinah dengan mengutus Rasullah Saw. Padanya turun syariat Islam, dan
di Madinah tempat lahirnya hukum-hukum fikih. Dan dengan hal inilah kemudian kota Madinah
menjadi sumber cahaya dan pusat kemajuan untuk semua negeri-negeri Islam yang berhubungan
dengan sunah.

1
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Legislasi Hukum Islam, ed. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Teruna
Grafika, 2009) hal 92
2
Husni Mubarak A Latief, Pengantar Sejarah Legislasi Hukum Islam (Aceh: lembaga Kajian Konstitusi Indonesia,
2020) hal 32

[3]
Asal usul lahirnya madrasah ini pada zaman tabi‟in adalah karena keberadaan para
pembesar sahabat yang lebih memilih tinggal di kota Madiah, di antaranya Zaid bin Tsabit,
Ummul Mukminin Aisyah, Abdullah bin Umar bin al-Khattab, mereka terkenal sebagai orang-
orang yang tidak condong kepada ra‟yi dan tetap berpegan dengan sunah.

Manhaj ini ternyata menarik minat sebagaian ulama tabi‟in yang kemudian dikenal
dengan nama fuqaha’ sembilan atau tujuh berdasarkan tingkat popularitasnya, yaitu Sa‟id bin al-
Musayyib, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Urwah bin az-Zubair, Sulaimana bin Yasar, Ubaidillah
bin Utbah bin Mas‟ud, al-Qasim bin Muhammad, dan Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-
Harists.

Madrasah ahli hadis ini mendapat popularitas yang tinggi dan kedudukan ilmiyah yang
agung, terdengar di seluruh pelosok negeri Islam. oleh karena itu, para ulama dari segenap
penjuru berdatangan ingin mempelajarinya untuk menimba air yang jernih, menimba ilmu.
Datang dari Syam menuju Madinah, yaitu Ibnu Syihab az-Zuhri , dari Makkah Atha‟ bin Abi
Rabah, dari Irak Asy‟Sya‟bi, dan dari Mesir Yazid bin Habib.3 \

b. Faktor Penyebab Kemunculan Aliran Ahli Hadis di Madinah

Komitmen para ulama Madinah terhadap sunah dan tidak mengambil logika (ra‟yi) yang
kemudia melahirkan madrasa ahli hadis disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai
berikut:

1) Banyaknya sahabat yang menghafal hadis Rasulullah Saw di Madinah, karena yang menetap
di kota mulia ini ternyata lebih banyak daripada yang hijrah ke negeri lain. Dengan
demikian, sangat mudah untuk mendapatkan hadis Nabi Saw di negeri Hijaz, selain disitu
juga menetapnya tiga khalifah yang menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan, fatwa
dan qadha‟ mereka sangat terkenal, mereka juga bebas dari fitnah Khawarij dan Syiah. Oleh
sebab itu, tidak ada pemalsuan hadis di kota Madinah yang kemudian dinisbatkan kepada
Rasulullah Saw. Semua ini memudahkan bagi mereka untuk menguasai hadis sehingga tidak
perlu mengambil pendapat pribadi.
2) Sedikitnya problematika yang muncul, karena syariat turun di negeri ini selama dua puluh
tiga tahun sehingga semua bisa diberikan corak Islam yang murni. Munculnya masalah baru
yang tidak ada nash-nya sangat sedikit sekali, terutama dalam masyarakat pada saat itu
(zaman tabi‟in) mereka hidup dalam suasana perkampungan dan tidak perlu menggunakan
pendapat pribadi.
3) Para tabi‟in ikut yang dengan guru-gurunya dari kalangan sahabat seperti Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Umar, dan Aisyah sangat terkenal berkomitmen tinggi dengan sunah dan tidak
memakai pendapat pribadi.

3
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Legislasi Hukum Islam, ed. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Teruna
Grafika, 2009) hal 92-93

[4]
c. Corak Fikih Pada Madrasah Ahli Hadis

Corak fikih bagi madrasah ahli hadis dibangun atas prinsip sebagai berikut:

1) Para fuqaha‟ lebih mendahulukan sunah daripada pendapat pribadi, dan tidak
menggunakan ra’yi kecuali dalam masalah yang tidak ada nash-nya, baik dalam al-Quran
sunah, ijma‟, ataupun pendapat sahabat.
2) Para pengikut aliran ini sangat komitmen dalam melaksanakan nash zahir dan tidak
melihat illat sebuah hukum atau hikmah pensyariatan. Akibatnya, mereka tidak akan
meninggalkan pengamalan terhadap zahir nash, walaupun hikmahnya tidak tampak.
3) Mereka tidak menggunakan pendapat pribadi, kecuali jika sangat terpaksa dan
membatasinya dalam masalah realitas hidup yang memang perlu segera mendapat
jawaban. Adapun masalah-masalah yang bersifat pengandaian, mereka tidak
menggunakannya dan merasa cukup dengan hukum aplikatif ketika menghadapi masalah
atau kejadian.4

d. Jejak Ilmiah Madrasah Ahli Hadis

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari lahirnya madrasah ahli hadis, secara umum sebagai
berikut:

1) Terjaganya dan terkumpulnya sunah Nabi Saw. Komitmen tinggi ini telah memotivasi
mereka untuk menjaga dan memberikan perhatian khusus, bahkan merekalah yang
pertama membukukan hadis Nabi. Dimulai oleh Ibnu Syihab az-Zuhri, lalu diikuti oleh
muridnya Malik bin Anas. Kemudian diikuti oleh generasi setelah itu pada setiap
generasi secara berkesinambungan.
2) Mengumpulkan pendapat para sabahat dan tabi‟in, fatwa dan ketetapan mereka, serta
menjaganya dengan cara dibukukan dan dipelajari.
3) Aliran ini memiliki keutamaan besar ketika mampu mengarahkan pandangan kaum
muslimin di setiap negeri untuk memberikan perhatian khusus terhadap sunah.5

2. Madrasah Ahli Ra’yi

a. Sejarah Kelahiran Ahli Ra‟yi

Madrasah ahli ra‟yi mucul dan berkembang di Kufah (Irak), sebuah negara yang tidak
kalah hebatnya dengan kota Madinah dalam aspek perkrmbangan keilmuan karena termasuk
4
Ibid, hal 93-94
5
Ibid, hal 95

[5]
negara yang paling banyak disinggahi para pembesar sahabat. Di sana ada Abdullah bin Mas‟ud
sebagai hakim dan guru, Abu Musa al-Asy‟ari, Said bin Abi Waqqash, Ammar bin Yasir, Al-
Mughirah bin Syu‟bah Huzdaifah bin Yaman, Imran bin Hushain, dan Anas bin Malik.

Karena ketenaran ini, maka khalifah Ali bin Abi Thalib menjadikannya sebagai pusat
pemerintahan sehingga memotivasi sebagian sahabat untuk berhijrah ke negri tersebut, seperti
Abdullah bin Abbas. Para penduduk Irak menyambut para sahabat dengan penuh antusias,
meminta fatwa dan mempelajari hadis dan fikih, apalagi penduduk Irak memiliki tingkat
itelektualitas yang tinggi. Oleh karena itu, mudah bagi mereka untuk memahami semua yang
disampaikan oleh para sahabat, dan hasilnya mereka mampu mengeluarkan hukum-hukum fikih
yang kemudian memberi corak tersendiri bagi perkembangan fikih.

b. Faktor Kemunculan Ahli Ra‟yi di Irak

1) Menetapnya Abdullah bin Mas‟ud di Kufah dalam tempo yang cukup lama sejak zaman
khalifah Umar. Ia menjadi guru, hakim dan mufti, dan sering berhubungan dengan
penduduk negeri ini sebagai guru bagi mereka, dan ia mempunyai murid yang banyak.
2) Perbedaan geografis antara kota Irak dan Hijaz.
3) Sedikitnya hadis yang sampai kepada penduduk Irak, berbeda dengan penduduk Hijaz.
Walaupun Irak banyak dikunjungi para sahabat, namun jumlah mereka tidak sebanding
dengan yang masih menetap di Madinah dan Makkah. Apalagi terdapat pemalsuan hadis
di Irak setelah lahirnya beberapa golongan yang saling bertikai. Hal terebut membuat
para fuqha‟ Irak sangat ketat dalam menyeleksi hadis, menentukan syarat yang berat
untuk mengamalkan hadis ahad yang menjadi bahan perdebatan di antara ulama di
Madinah dan negeri lain. Akhirnya, kondisi ini membuat para ulama Irak lebih condong
kepada logika (ra’yi).

c. Corak Fikih Ahli Ra‟yi

1) Memberikan pehatian khusus terhadap pencarian illat hukum dan hikmah pensyariatan
serta mengaitkannya ada atau tidak.
2) Sangat selektif dalam menerima hadis ahad
3) Penggunaan ra‟yi tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang sudah terjadi, akan
tetapi juga terhadap berbagai permasalahan iftiradhiyah (pengandaian) yang belum terjadi
dan mereka sudah menuangkan logika (ra’yi) di dalamnya, bahkan sampai kepada
mengandaikan suatu kejadian yang tidak mungkin terjadi.6

6
Ibid, hal 96-97

[6]
d. Jejak Ilmiah Madrasah Ahli Ra‟yi

Madrasah ahli ra‟yi telah meninggalkan warisan ilmu dalam bidang isntinbat hukum dan
perkembangan perundang-undangan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Para ulama ahli ra‟yi telah mengumpulkan hadis-hadis yang mereka hafal dari para
sahabat yang sempat bertemu dengan mereka. Termasuk fatwa, qadha‟ sahabat, sehingga
mereka mampu memberikan solusi bagi permasalahan yang mereka hadapi.
2) Para ulama ahli ra‟yi berhasil mengeluarkan illat-illat hukum dan hikmahnya, termasuk
kaidah umum bagi syariat, baik dari al-Quran maupun sunah.
3) Para ulama madrasah ahli ra‟yi berhasil menutup pintu bagi para pemalsu hadis yang
tersebar di Irak, karena telah memberikan syarat dan kaidah yang ketat.7

Bila dikaji lebih jauh, dasar perbedaan dan perdebatan antara kedua madrasah di atas
setidaknya terlihat dalam dua hal:

1) alam penggunaan dalil ra‟yu (logika), di mana kalangan Madrasah Ahli Hadits lebih
tetap bersikukuh pada pengamalan teks hadits, tanpa mau menoleh untuk memakai
dalil logika, kecuali dengan sangat terpaksa (idthirar). Sementara ulama Madrasah
Ahli Ra'yi bersikap sebaliknya, tanpa sungkan memakai dalil logika (ra‟yu), manakala
tidak ditemukan nash kitab maupun sunnah sebagai jawabnya.

2) Dalam pengembangan masalah (tafri‟ al-masail), dalam hal ini kalangan Madrasah
Ahli Hadits kurang menyukai untuk menghipotesa suatu masalah yang belum terjadi,
dan hanya mencukupkan diri menjawab permasalahan yang dihadapi. Sedangkan
Madrasah Ahli Ra'yi tanpa merasa canggung mencoba menggali hukum (istinbath)
bahkan menjawab persoalan hipotetik yang belum terjadi, dengan menggunakan
logika (ra‟yu). Sungguhpun demikian, penggunaan ra‟yu di sini bukanlah bebas
seluas-luasnya seperti yang kebanyakan terjadi di masa sekarang, namun tetaplah
memperhatikan koridor kebolehan dan kemungkinan untuk berijtihad (sebagaimana
bunyi hadits Mu„adz bin Jabal: ―ajtahidu ra‟yiy, wa la alu‖.8

B. Mazhab-Mazhab Hukum Terbaru dan Teori Klasiknya

Bila Tabi„in diartikan sebagai mereka yang berjumpa dengan Shahabat, namun bertemu
dengan Rasulullah Saw., maka Tabi„ Tabi„in adalah orang Muslim yang hanya melihat Tabi„in,
tapi tidak sama sekali berjumpa dengan Shahabat maupun Rasulullah Saw. Periode ini sering
diperkirakan terhitung mulai awal abad ke-II H. sampai dengan pertengahan abad ke-IV H.
Periode ini juga dikenal dengan ―Zaman Keemasan Fiqh Islam‖ (al-'Ashru alDzahabiy) /

7
Ibid, hal 98
8
Husni Mubarak A Latief, Pengantar Sejarah Legislasi Hukum Islam (Aceh: lembaga Kajian Konstitusi Indonesia,
2020) hal 32

[7]
(Golden Age) yang ditandai dengan semaraknya ijtihad dan kebebasan berekspresi serta
kodifikasi (tadwin/pembukuan) pemikiran fiqh madzhab ke dalam berbagai buku dan kitab,
sehingga dikenallah fiqh Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali serta beberapa madzhab
fiqh Islam lainnya.

Zaman ini juga mulai memperkenalkan beberapa terminologi baru keilmuan dalam fiqh
Islam beserta pengertian dan batasan-batasannya, seperti: rukun, syarat, sah, batal, dll.
Kemunculan madzhab-madzhab fiqh dalam sejarah keemasan fiqh Islam tidak bisa dilepaskan
dari kehadiran berbagai aliran/madrasah dalam pengembangan kajian pemikiran hukum Islam.
Di antara beragam aliran itu adalah Madrasah Ahli Ra‟yi yang berkembang di Iraq dengan
memberikan porsi lebih kepada pemahaman rasio logis atas setiap dalil nash. Madrasah ini
kemudian melahirkan madzhab Hanafi di Iraq dari generasi Tabi„ Tabi„in.

Sementara di pusat Ibukota Pemerintahan Islam masa silam, Madinah, berkembang aliran
yang lebih mengutamakan penggunaan hadits Nabi ketimbang rasio sebagai rujukan hukum,
sehingga muncullah Madrasah Ahli Hadits yang nantinya melahirkan madzhab Maliki di
Madinah. Generasi sesudahnya memunculkan madzhab Syafi„i yang berhasil memadukan dua
aliran yang telah berkembang sebelumnya: antara aliran ahlul ra‟yi dan aliran ahlul hadits; serta
terakhir madzhab Hanbali yang lebih berpegang dan mengutamakan hadits sebagai pijakan
madzhabnya. Di luar madzhab empat yang dikenal luas ini, masih terdapat pula sejumlah
madzhab lain dengan metode penalaran ushul fiqhnya tersendiri, seperti: madzhab Zhahiri,
Syi„ah dan lain-lain.9

Mazhab Hanafi memainkan peran di Irak yang merupakan negeri kelahirannya dan di
Suriah. Pada awalnya mazhab Hanafi berkembang ke Afganistan, anak benua India, dan Turki di
Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan Turki Utsmani,
serta mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti Utsmani.

Mazhab Maliki meluas ke bagian barat dari pusat pertamanya, yakni Madinah dan Mesir,
menyebar ke hampir seluruh Afrika Utara dan Afrika Barat serta Afrika Tengah. Selain itu,
mazhab ini muncul di Spanyol pada abad pertengahan ketika mazhab ini menggantikan mazhab
Auza‟i.

Mazhab Syafi‟i bermula di Kairo, tempat Syafi‟i menghabiskan masa terakhir hidupnya.
Mazhab ini mendominasi wilayah daratan rendah Mesir, Hijaz, Arab Selatan dan di kebanyakan
Afrika Timur sejauh terdapat orang Islam. Ada banyak pengikut mazhab Syafi‟i di Irak . Pada
abad pertengahan, mazhab ini juga dianut di Persia sebelum menjadi penganut Syiah dua belas.
Ada pula penganut Syafi‟i di beberapa Asia Tengah dan beberapa daerah pantai India. Akhirnya,
mazhab ini dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, Malaysia, dan negara-negara Asia
Tenggara.

9
Husni Mubarak A Latief, Pengantar Sejarah Legislasi Hukum Islam (Aceh: lembaga Kajian Konstitusi Indonesia,
2020) hal 33

[8]
Mazhab Hanbali saat berada di puncak kejayaannya, sebagaimana mazhab lainnya,
dominan di suatu daerah yang luas. Akan tetapi mazhab ini memiliki pengikut di banyak belahan
Dunia Islam, termasuk Persia sebelum menjadi Syiah. Dua titik pusat besarnya adalah Baghdad,
tempat kelahiran Ibnu Hanbal, dan Damaskus, tempat aktifitas pembaru mazhab ini, yakni Ibnu
Taimiyyah, yang ajaran-ajarannya, sekalipun tidak khas mazhab Hanbali, secara keseluruhan
merupakan salah satu pokok penting dari periode pokok brilian dalam sejarah mazhab tersebut.10

C. Biografi Empat Mazhab Fikih

1. Mazhab Hanafiyah

Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah an-Nu‟man bin Tsabit bin Zufiat at-Tamimi (80-
150 H) yang berasal dari Kufah dan berkebangsaan Persia. Beliau belajar fikih kepada Hammad
bin Abu Sulaiman, pada saat itu ada empat sahabat yang masih hidup, yakni Anas bin Malik di
Bashrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Sad al-Sa‟idi di Madinah, dan Abu Tufail di
Makkah.11 Imam Abu Hanifah tidak berguru kepada satupun di antara mereka.12

Beliau merupakan seorang saudagar yang dermawan berparas rupawan, berpenampilan


rapi, dan tidak banyak bicara, serta menjauhi perbuatan yang sia-sia. Menurut Al-Mutsanna bin
Roja bahwa setiap Imam Abu Hanifah memberikan nafkah kepada keluarganya, m aka sejumlah
itu pula beliau menginfakan hartanya kepada yang berhak. Abu Yusuf menuturkan bahwa Imam
Abu Hanifah adalah orang yang tidak pernah tidur malam hari, karena mengisinya dengan
berdzikir dan bermunajat kepada Allah swt. Beliau juga tidak silau dengan jabatan kekuasaan
dengan dua kali menolak jabatan yang ditawarkan kepada beliau yaitu sebagai Kepala Baitul Mal
dan kepala Tata Usaha.13

Ibnu Habirah meminta Abu Hanifah menjadi hakim di Kufah, tapi beliau menolaknya.
Dia lalu menghukumnya dengan 110 kali cambukan. Setiap hari sepuluh kali cambukan, dia
tetap dengan pendiriannya dan akhirnya di bebaskan. Ibnu Habirah merupakan gubernur Irak
pada masa dinasti Umayyah.

Diceritakan dari Ibnu Mubarak, ia berkata, “saya tidak melihat dalam fikih orang yang
seperti Abu Hanifah.” Darinya pula diceritakan, “saya melihat Mis‟ar di majelis ilmu Abu
Hanifah, ia duduk di depannya menanyakan satu permasalahan dan menimba faidah darinya.
Dan saya tidak pernah melihat salah seorang pun yang lebih baik dalam membicarakan fikih

10
Joseph Schacht, pengantar Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2010) hal 107-108
11
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2018) hal
120
12
Ali Jum’ah, Sejarah Ushul Fiqih (Depok: Keira Publishing, 2017) hal 267
13
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Legislasi Hukum Islam, ed. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Teruna
Grafika, 2009).171

[9]
daripada Abu Hanifah.” Pada suatu hari Abu Hanifah mendatangi al-Manshur, maka al-Manshur
berkata, “Ini adalah orang alimnya dunia ini, sekarang.”14

a. Guru Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, mengenal seluk beluk
dan wawasan mereka, kemudia beliau berguru dengan seorang ulama terkemuka pada zamannya,
yaitu Hammad bin Sulaiman yang merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan
banyak memberikan pengaruh dalam membangun mazhab fikihnya. Hammad bin Sulaiman
belajar fikih dari Ibrahim an-Nakha‟i yang pernah belajar dengan Abdullah bin Mas‟ud, seorang
sahabat terkemuka yang dikenal dengan memiliki ilmu fikih dan logika yang mumpuni.15

Abu Hanifah berkata, “Aku mendatangi kota Bashrah dan saya pikir saya tidak ditanya
akan sesuatu kecuali saya menjawabnya. Penduduk Bashrah lantas menanyakan hal-hal yang
tidak aku punya jawabannya. Saya lantas berjanji untuk tidak berpisah dengan Hammad sampai
beliau wafat. Saya menjadi muridnya selama 18 tahun.”16

Imam Abu Hanifah juga belajar dari tabi‟in seperti Atha‟ bin Abi Rabah, dan Nafi‟
pembantunya Ibnu Umar. Beliau juga meriwayatkan dari beberapa orang seperti Zaid bin Ali bin
Zainal Abidin, Ja‟far Ash-Shadiq, dan Abdullah bin Hasan. Di samping itu, beliau juga belajar
fikih selama dalam perjalanan haji dengan beberapa ulama, terutama fuqaha‟ Makkah, termasuk
ketika beliau mukim di sana selama enam tahun setelah beliau hijrah ke Makkah tahun130 H.17

b. Manhaj dan Metodelogi Pengajaran Imam Abu Hanifah

Setelah Hammad bin Sulaiman meninggal pada Tahun 120 H, beliau duduk
menggantikan sang guru dalam majelis kajiannya. Gaya pengajaran Imam adalah dengan cara
berdialog dan tidak hanya bersifat penyampaian, namun terkadang beliau memberikan beberapa
pertanyaan seputar fikih terhadap murid-muridnya, kemudian beliau menyebutkan beberapa
dasar untuk menjawab masalah tersebut, lalu mereka berdialog.

Masing-masing orang menyampaikan pendapatnya, terkadang mereka setuju, dan


terkadang tidak dan sesekali mereka bersuara keras. Apabila mereka sudah mencapai kata
sepakat dalam masalah tertentu, baru sang Imam mendiktekan kepada murid atau ada murid yang
menuliskan untuk sang Imam.

Terkadang pula terdapat perbedaan pendapat di antara mereka dan tidak menemui kata
sepakat, lalu ditulislah semua pendapat yang ada dan dengan cara inilah berdiri mazhab imam

14
Ali Jum’ah, Sejarah Ushul Fiqih (Depok: Keira Publishing, 2017) hal 268-269
15
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Legislasi Hukum Islam, ed. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Teruna
Grafika, 2009) hal 173
16
Ali Jum’ah, Sejarah Ushul Fiqih (Depok: Keira Publishing, 2017) hal 268
17
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Legislasi Hukum Islam, ed. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Teruna
Grafika, 2009) hal 173-174

[10]
Abu Hanifah atas dasar musyawarah, tukar pendapat, dan diskusi. Dari sini kemudian lahirlah
murid-murid sang Imam yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan ijtihad,
padahal mereka masih dalam tahap belajar dan menuntut ilmu.

Metodelogi yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah sama seperti yang diterapkan dalam
sistem pendidikan di kampus-kampus sekarang ini, seperti metode analisis, observasi illat, dan
menelaah dalil.

c. Fikih Imam Abu Hanifah dan Metodeloginya Dalam Istinbat Hukum

Fikih Imam Abu Hanifah memiliki cara yang modern dan manhaj tersendiri dalam
kancah perfikihan dan tidak ada sebelumnya. Imam Asy-Syafi‟i berkata, “semua orang dalam
fikih bergantung kepada Imam Abu Hanifah.” Imam Malik setelah berdiskusi dengan Imam Abu
Hanifah berkata, “Sungguh ia orang yang ahli fikih.”

Imam Abu Hanifah memiliki Manhaj tersendiri dalam meng-istinbat hukum. Beliau
pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari sunnah Rasulullah,
dan jika tidak ada pada keduanya, saya akan mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah
satu dan meninggalkan yang lain, dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan
mengambil pendapat yang lain. Dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Sya‟bi, al-
Hasan, Ibnu Sirin, dan Said bin al-Musayyib maka saya akan berijtihad seperti mereka
berijtihad.”

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa manhaj Imam Abu Hanifah dalam
meng-istinbat hukum sebagai berikut:

- Al-Qur‟an
- Sunnah
- Pendapat sahabat
- Qiyas
- Al-Istihsan
- Ijma‟
- Al-Urf (adat Istiadat)18

2. Mazhab Maliki

Malikiah adalah mazhab hukum Islam yang didirikan oleh Malik bin Anas bin Abi Amar
al-Ashbahi. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. sebagaimana Abu Hanifah, Imam Malik
juga hidup pada dua zaman, 40 tahun pada zaman pemerintahan al-Walid Abdul Malik (Bani
Umayyah) dan 46 tahun pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada masa Harun al-Rasyid.19

18
Ibid, hal 174-177
19
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2014) hal 127

[11]
Kakek Imam Malik datang berhijrah ke negeri Madinah ketika beliau dizalimi oleh
sebagian penguasa di Yaman. Kakek beliau merupakan seorang pembesar tabi‟in, banyak
meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin
Ubaidillah, dan Aisyah. Imam Malik tidak pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali untuk
menunaikan ibadah haji sampai beliau wafat pada tahun 179 H di Madinah.

Beliau sudah hafal al-Qur‟an dalam usia yang sangat dini, belajar dari Rabi‟ah ar-Ra‟yi
ketika beliau masih sangat muda, berpindah dari satu ulama ke ulama lain untuk mencari ilmu
sampai beliau bertemu dan bermulazamah dengan Abdurrahman bin Hurmuz. Beliau merupakan
seorang tabi‟in, ahli qira‟at, ahli hadis, meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, Abu Said al-
Khudri, dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Imam Malik mengawali pelajarannya dengan menekuni ilmu riwayat hadis, mempelajari
fatwa para sahabat, dan dengan inilah beliau membangun mazhabnya. Imam Malik tidak hanya
berhenti sebatas itu, beliau mengkaji setiap ilmu yang ada hubungannya dengan ilmu syariat.
Beliau memiliki firasat yang tajam dalam menilai orang dan mengukur kekuatan ilmu fikih
mereka. Beliau pernah berkata, “Ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari mana kalian
mengambilnya. Saya telah bertemu dengan tujuh puluh orang yang mengatakan saya mendengar
Rasulullah Saw dekat tiang-tiang masjid ini tetapi tidak satu pun yang saya ambil. Seandainya
salah seorang dari mereka dimintai menjaga sebuah rumah, pastilah ia sangat dipercaya, namun
mereka bukan ahli periwayatan hadis.”20

a. Manhaj dan Metodelogi Pengajaran Imam Malik

Setelah mendapatkan bekal ilmu yang banyak di negeri Madinah dan tahu kekuatan
ilmunya, beliau kemudian meminta pendapat kepada para ulama untuk duduk di kursi fatwa.
Imam Malik berkata, “Saya tidak duduk di kursi fatwa ini, kecuali telah mendapatkan izin dari
tujuh puluh syaikh yang ahli ilmu bahwa saya memang layak untuk itu. “

Beliau memiliki dua majlis taklim; pertama majlis hadis dan yang kedua majlis fatwa.
Beliau membuat jadwal khusus untuk fatwa dan hadis, selain ada yang datang langsung kepada
beliau dan sang Imam kemudian menuliskan jawabannya untuk siapapun yang mau.

Imam Malik sangat komitmen menjaga kekhusyu‟an majelis pengajiannya dan jauh dari
gurauan kata. Jika ingin mengajar hadis, beliau mandi dan memakai wangi-wangian, memakai
pakaian baru, dan disiapkan kursi untuknya, lalu sang Imam keluar dari rumahnya menemui
murid-murid yang sudah menunggu dengan penuh tawadhu‟.

20
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Legislasi Hukum Islam, ed. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Teruna
Grafika, 2009) hal 178-179.

[12]
Imam Malik sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa , tidak mau memberikan
jawaban yang ia tidak tahu. Jika tidak dapat memastikan hukum suatu masalah, ia akan
mengatakan tidak tahu agar ia terlepas dari salah fatwa. Ia tidak tergesa-gesa menjawab
ketika ditanya, dan berkata kepada si penanya, “pergilah, nanti saya liat dahulu.”21

b. Fikih Imam Malik dan Metodeloginya Dalam Istinbat Hukum

Sedangkan sistematika sumber/ dalil hukum menurut mazhab Maliki sebagai berikut:

- Al-Kitab
- As-Sunah
- Al-Ijma‟
- Al-Qiyas
- Amal ahli Madinah
- Al-mashlahah al-Mursalah
- Istihsan
- Sadd Al-Dzarâi‟i
- Al-Urf‟
- Al-Istishab

Perbedaannya dengan kalangan Hanafiah bukan saja dari sumber istinbath hukum, tetapi
juga pada metode istinbathnya. Misalnya tentang amal ahli Madinah, bagi kalangan malikiah
amal ahli Madinah adalah salah satu dalil yang mereka dahulukan dibanding hadis ahad dan
qiyas. Bahkan menurut catatan Hasan Abu Thalib, kalangan Malikiah lebih mendahulukan
penggunaan amal ahli Madinah daripada menggunakan qiyas. Begitu pula, meninggalkan
hadis ahad bila tidak sejalan atau tidak menguatkan amal ahli Madinah.22

3. Mazhab Syafi’i

Beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‟ bin
Saib bin Ubaid bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Lahir pada
tahun 150 H di Ghaza dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.

Imam Syafi‟i datang ke Makkah pada waktu masih kecil. Dia tumbuh dalam keadaan
yatim di pangkuan ibunya. Sampai-sampai ibunya tidak dapat memberikan uang untuk pesangon
guru yang mengajar Syafi‟i kecil. Beliau telah hafal al-Qur‟an sebelum tujuh tahun.

21
Ibid, hal 180.
22
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2014) hal 128-129

[13]
Imam Syafi‟i pergi ke Madinah untuk menuntut ilmu kepada para ulamanya. Saat itu
umurnya baru 13 tahun. Dia telah hapal kitan al-Muwatha’, karya Imam Malik, bahkan beliau
ingin mempelajarinya langsung dari penulisnya. Pada awal kehadirannya, Imam Malik
menganggap Syafi‟i kecil masih terlalu muda, maka Imam Malik memintanya agar belajar pada
murid senior terlebih dahulu. Ketika Imam Malik mendengarkan bacaan Imam Syafi‟i , dia
takjub dengan bacaan Syafi‟i yang fasih dan indah. Syafi‟i belajar intens dari tahun 163-179.23

Sambil belajar dengan Imam Malik, beliau juga menyempatkan diri untuk pergi ke
perkampungan untuk bertemu dengan penduduk kampung, selain beliau juga pergi ke Makkah
untuk bertemu ibunya meminta nasihat darinya.

Selain itu beliau pergi ke Yaman untuk bekerja mencari nafkah. Di sana beliau bertemu dengan
Umar bin Abi Salamah, seorang ahli fikih murid Imam al-Auza‟i, dan dengan begitu Imam
Syafi‟i secara tidak langsung sudah mengambil fikihnya. Selain itu, beliau juga bertemu dengan
Yahya bin Hasan, sahabat al-Laits bin Sa‟ad, seorang ahli fikih dari Mesir dan belajar
kepadanya.24

Pertama kali, Syafi‟i belajar kepada ulama Baghdad adalah pada tahun 184 H, terlebih
pada Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah. Beliau menelaah
semua kitab Imam Abu Hanifah dan sekalgus mazhab Hanafi secara komperhensif.

Imam Syafi‟i bermukim di Baghdad selama beberapa saat. Dia kembali ke Makkah untuk
menggelar ilmunya untuk pertama kali di Masjidil Haram. Kemudian Imam Syafi‟i kembali ke
Baghdad pada tahun 195 H pada usia 45 tahun. Beliau sudah menjelma menjadi seorang alim
yang mempunyai metode yang sempurna dan mazhab tersendiri. Perjalanan yang kedua ini,
Imam Syafi‟i sangat mewarnai dunia keilmuan di Baghdad.

Imam Syafi‟i kembali lagi ke Makkah, kemudian kembali lagi ke Baghdad yang terakhir
pada tahun 198 H. Hanya saja, Imam Syafi‟i tidak tinggal lama pada perjalanan ini, hanya
beberapa bulan, dan dia berniat meneruskan perjalanan ke Mesir.

Imam Syafi‟i meninggalkan Baghdad setelah meyebarkan mazhabnya dan meninggalkan


banyak murid yang mengembangkan mazhabnya sampai nantinya berdiri madrasah tersendiri
dalam Mazhab Syafi‟i yang dikenal dengan “Aliran Irak.”

Mazhab Syafi‟i memiliki beberapa fase perkembangan:

Pertama, fase persiapan dan pembentukan. Fase ini dimulai setelah wafatnya Imam
Malik pada tahun 178 H dan berlangsung lama, sekitar 16 tahun, sampai Imam Syafi‟i datang ke
Baghdad pada kesempatan yang kedua, tahun 195 H.

23
Ali Jum’ah, Sejarah Ushul Fiqih (Depok: Keira Publishing, 2017) hal 227
24 24
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Legislasi Hukum Islam, ed. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Teruna
Grafika, 2009) hal 186

[14]
Kedua, fase munculnya mazhab qadim (lama). Fase ini berlangsung dari kedatangan
kedua Imam Syafi‟i di Baghdad pada tahun 195 H sampai kepergian beliau ke Mesir pada tahun
199 H.

Ketiga, fase sempurnanya mazhab jadid (baru). Fase ini dimulai dari tahun 199 H sampai
wafatnya pada tahun 204 H.

Keempat, fase takhrij (periwayatan mazhab Syafi‟i oleh para murid). Fase ini dimulai
oleh para murid Imam Syafi‟i setelah wafatnya dan memanjang sampai pertengahan abad ke-5
H, bahkan sebagian pakar mengatakan sampai abad ke-7 H. Dalam fase ini, para murid-murid
gencar meriwayatkan masalah-masalah dalam ushul mazhab (metode istinbat mazhab Syafi‟i).

Kelima, fase kekokhan mazhab. Masa ini ditandai dengan munculnya ulama (madrasah)
yang bernaung dibawah kebesaran mazhab Syafi‟i yang sudah stabil dan harmonis. Madrasah-
madrasah itu sudah selesai dan dipungkasi dengan hasil-hasil tarjih pendapat-pendapat yang
diperselisihkan oleh para ulama mazhab Syafi‟i. kemudian, dibuatlah kitab al-Mukhtashar
(ringkasan) dalam mazhab yang memuat pendapat rajah dalam mazhab, lalu dilanjutkan dengan
memberi syarah terhadap mukhtashar dengan metode ilmiah.

a. Fikih Imam Syafi‟i dan Metodeloginya Dalam Istinbat Hukum

Sedangkan sistematika sumber/ dalil hukum menurut mazhab Syafi‟i sebagai berikut:

- Al-Qur‟an dan Sunah


- Mengikuti yang hak dan mengikuti dalil
- Atsar Sahabat
- Qiyas
- Hukum Asal
- Istishhab
- Al-Akhdzu bi Aqalli mâ Qîla (kuantitas Minimal)25

b. Imam Syafi‟i dan Ushul Fiqh

Zaman Imam Syafi‟i memiliki keistimewaan tersndiri di mana para ulama berlomba-
lomba membukukan ilmu pengetahuan dan mengokokkannya dengan membuat kaidah atau
aturan mainnnya. Orang Kufah dan Bashrah membuat kaidah ilmu nahwu (gramatikal bahasa
Arab), Khalil bin Ahmad membuat ilmu Arudh dan masih banyak lagi ulama lainnya.

25
Ali Jum’ah, Sejarah Ushul Fiqih (Depok: Keira Publishing, 2017) hal 228-233

[15]
Jika demikian, ilmu fikih juga harus mendapat bagiannya dengan cara membuat kaidah
istinbat. Imam Syafi‟i mempunyai kemampuan yang sangat memumpuni untuk melakukan hal
tersebut setelah beliau menelaah banyak kitab dengan berbagai aliran pemikiran dan mazhab.
Karena Imam Syafi‟i memiliki ketajaman bahasa dan kedalaman ilmu tentang sunah,
berpengalaman dalam menelaah masalah fikih, maka beliau tidak mengalami kesulitan untuk
membuat ilmu ushul fiqh agar orang tahu bagaimana mengenal pendapat yang benar dari yang
salah, menjadi aturan yang harus diperhitungkan ketika melakukan istinbat hukum yang baru,
maka beliau menulis kitab Ar-Risalah yang merupakan hasil karya pertama dalam bidang ushul
fiqh.

Dengan hasil jerih payah ini, beliau menjadikan ilmu fikih berdiri atas dasar dan kaidah
yang baku dan bukan kompilasi fatwa dan keputusan hakim, atau analisis skeptic terhadap suatu
masalah yang masih berada dalam alam andaian.

4. Mazhab Hanbali

Nama lengkap Ahamad ibn Hanbal adalah Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn
Asas al-Syaibani al-Mawarzi. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H. beliau dikenal sebagai
imam hadis dan memiliki kitab al-musnad. Pada zamannya, yang menjadi khalifah umat Islam
adalah al-Mu‟tashim Billah. Pada waktu itu, khalifah sedang berpihak pada Muktazilah. Sebagai
buktinya, paham Muktazilah dijadikan sebagai mazhab negara, bahkan ajarannya dijadikan alat
untuk melakukan mihnah (sejenis litsus) .

Ahmad bin Hanbal adalah ulama ahli hadis dan fikih yang sudah dikenal masyarakat.
Pandangannya berpengaruh di masyarakat. Karena itu, dia terkena mihnah tentang kemakhlukan
al-Quran, apakah al-Qur‟an makhluk atau qadim. Ketika ditanya tentang khalq al-Qur‟an Ahamd
bin Hanbal tidak menjawabnya. Akhirnya ia dipenjarakan pada akhir bulan Ramadhan tahun 220
H. Dia tinggal di penjara selama Mu‟tashim masih hidup.

Setelah meninggal dunia, Mu‟tashim digantikan Watsiq. Pada zaman kekuasaan Watsiq,
Imam Ahamd bin Hanbal dikeluarkan dari penjara, ia hanya dikenai tahanan di rumah (sejenis
dicekal). Kemudian al-Watsiq diganti al-Mutawakkil, khalifah yang sangat menghormati Imam
Ahmad bin Hanbal. Al-Mutawakkil juga yang menghapus mihnah. 26

Dia adalah seorang Imam yang jenius, keagungannya, keimanannya, waraknya,


kezuhudannya, hapalannya, kesempurnaan dalam ilmu, dan ketokohannya tak diperdebatkan
lagi. Guru-gurunya sangat banyak. Diantaranya: Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Sa‟ad, Yahya
al-Qathan, Husyaim, waki‟, Ibnu Ulayyah, Ibnu Mahdi, Abdurazaq dan banyak lagi.27

26
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2014) hal 158-159
27
Ali Jum’ah, Sejarah Ushul Fiqih (Depok: Keira Publishing, 2017) hal 427-428

[16]
a. Fikih Imam Ahmad bin Hanbal dan Metodeloginya Dalam Istinbat Hukum

Adapun dasar-dasar hukum yang digunakan Imam Ahmad bin Hanbal adalah:

1. Al-Qur‟an dan Hadits, yakni apabila beliau mendaparkan nash, maka beliau tidak lagi
memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang
menyalahinya.

2. Ahmad bin Hanbal berfatwa dengan fatwa para sahabat, ia memilih pendapat sahabat yang
tidak menyalahinya (ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.

3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad bin Hanbal memilih salah satu pendapat mereka
yang lebih dekat kepada al-Qur‟an dan asSunnah.

4. Ahmad bin Hanbal menggunakan Hadits Mursal dan Dhaif apabila tidak ada atsar, qaul
sahabat atau ijma‟ yang menyalahinya.

5. Apabila tidak ada dalam nash, as-Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadits mursal dan
dhaif, Ahmad bin Hanbal menganalogikan (menggunakan qiyas) dan qiyas baginya adalah dalil
yang digunakan dalam keadaan terpaksa.28

b. Pola pikir dan faktor yang mempengaruhi Imam Hanbali

Pesatnya perkembangan zaman ini tidak membuat Imam Hambari berpikir secara
rasional. Bahkan, hasil perumusannya lebih kuat dari Imam Maliki tradisional. Setidaknya ada
dua faktor yang membuat Imam Hanbal berpikir demikian. Faktor-faktor yang menghasilkan
berbagai arus. Saat itu, Syiah, Khawarij, Qadariyah, dan Murzian semuanya berasal dari aliran-
aliran tersebut atau menyimpang secara signifikan dari petunjuk Islam yang sesungguhnya.29

Faktor politik dan budaya. Ahmad Ahmad ibnul Hanbali hidup di tengahtengah Dinasti
Abbasiyah, ketika unsur-unsur Persia mendominasi unsurunsur Arab. Selama ini, gejolak,
konflik dan kontradiksi sering terjadi, berpusat pada posisi putra mahkota dan khilafah antara
khalifah dan saudara-saudaranya. Pada masa ini, faksi Mu'tazilah terbelakang dan bahkan
menjadi sekolah umum resmi pada masa pemerintahan Almakmun, Almutasim dan Al-Watsiq.30

Hal inilah yang mengajak Imam Hanbal untuk berpegang teguh pada hadits dan sunnah.
Sikap ini, dikombinasikan dengan hadits dan rasio, berbeda dengan Imam Ashafi yang

28
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) hal 188
29
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung : CV Pustaka Setia) hal 209
30
Ibid, hal 210

[17]
menentang Itihat rasional saat itu. Imam ibnali, di sisi lain, berpendapat bahwa Ahmad ibn
sendiri harus dipenuhi dengan berpegang teguh pada hadits dan sunnah lagi.

III. Penutup

Pada masa tabi‟in, tabi tabiin dan para imam mujtahid, kekuasaan Islam meluas ke
daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan berbahasa Arab, dan kondisi budaya
pun cukup berbeda-beda. Banyak di antara ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan
tidak sedikit pula penduduk daerah tersebut yang masuk Islam. semakin kompleksnya persoalan-
persoalan hukum yang ketetapannya tidak dijumpai di dalam al-Qur‟an dan hadis. Karena itu,
ulama yang tinggal di daerah itu melakukan ijtihad, mencari ketetapan hukumnya berdasarkan
penalaran mereka terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi. Ditambah pula dengan pengaruh
kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtihad menjadi
maju dan pesat.

Madzhab adalah hasil Ijtihad (Mujtahid) Imam terhadap hukum yang bersangkutan atau
kaidah-kaidah istimbus. Oleh karena itu, pengertian madzhab adalah mengikuti hasil Ijtihad
Imamtentang Hukum Masalah atau kaidah Istinbadnya.

Proses pembentukan sekolah besar menjadi faktor dalam upaya para mudridnya untuk
menyebarluaskan dan mengkomunikasikan pendapat biksu lokal, dan juga mempromosikan
komunitas madzhab untuk menyebarluaskan pendapat tersebut di masyarakat. Selain dukungan
Fukaha dan pengikutnya, perkembangan mazhab berbagai pemikiran juga dipengaruhi dan
didukung oleh dominasi politik.

Secara umum, masing-masing sekolah memiliki karakteristiknya sendiri, karena para


pendiri memiliki pendapat yang berbeda tentang cara menggunakan metode ekstraksi yang
benar. Namun perbedaannya hanya sebatas pada persoalan Furuk, bukan pada persoalan asas
atau subjek hukum syariat. Mereka sepakat bahwa semua sumber atau landasan hukum
Syariahadalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Hukum yang bertentangan dengan kedua undang-
undang ini harus ditolak dan tidak ditegakkan.

[18]
Daftar Pustaka

- Hasan, M Ali, Perbandingan Mazhab ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)


- Hasah Khalil, Rasyad, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Legislasi Hukum Islam, ed. Nadirsyah
Hawari, (Jakarta: Teruna Grafika, 2009)
- Jum‟ah, Ali, Sejarah Ushul Fiqih (Depok: Keira Publishing, 2017)
- Mubarak, Husni, Pengantar Sejarah Legislasi Hukum Islam (Aceh: lembaga Kajian
Konstitusi Indonesia, 2020)
- Nawawie, Hasyim, Tarikh Tasyri‟ (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2014)
- Schacht, Joseph, pengantar Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2010)
- Sopyan, Yayan, Tarikh Tasyri‟, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: PT Raja
Grafindo Persada, 2018)
- Supriadi, Dedi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung : CV Pustaka
Setia)

[19]

Anda mungkin juga menyukai