Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradaban Islam banyak berkibar melalui bidang ilmu. Priode ini

ditandai dengan pesatnya perkembangan tentang hukum-hukum syariat. Salah

satu bukti dari sekian banyak ilmuan muslim yang terkemuka ialah Imam

Syafii. Selain dikenal sebagai salah seorang dari empat madzhab, Imam

Syafii juga dikenal dalam intelektual ensiklopedik (wawasan sangat luas)

sekaligus intelektual prolific (sangat ahli dalam bidang tertentu). Di bidang

hadits, ia merupakan tokoh yang disegani, bahkan dinamai nasir as-sunnah

(pembela sunnah) ia meletakkan kriteria penerimaan hadits agar masuknya

hadits palsu dapat dihindarkan. Di bidang fiqih, ia merupakan orang pertama

yang membukukan pendapat fiqihnya dengan sistematika pembahasan yang

baik.1

Keluasan dan jauhnya jangkauan pemikiran Imam Syafii dalam

menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan ilmu dan hukum fiqih

menempatkannya menjadi pemersatu semua imam. Sehingga menampakkan

dengan jelas pribadinya yang ilmiah. Dialog-dialog yang dilakukannya pada

masa itu menjadikannya memiliki analisis yang sangat tajam dalam

menghadapi suatu masalah. Selain itu, kesediaannya dalam berguru kepada

orang-orang yang memiliki aliran yang berbeda, sangat menguntungkan bagi

perkembangan dan pengkayaan intelektualitasnya, serta sekaligus

1 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Islam, Jilid 6, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2012,

hlm. 112
2

mencerminkan sikap keterbukaannya dan penghargaannya dalam bidang ilmu.2

Maka selanjutnya akan dibahas mengenai biografi, corak pemikiran fiqih Imam

Syafii, karya-karyanya yang monumental dan pengaruh dari corak pemikiran

Imam Syafii dalam perkembangan fiqih.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Apa saja sumber-sumber hukum yang digunakan oleh Imam Syafii ?

2. Apa saja karya monumental yang dihasilkan oleh Imam Syafii ?

3. Bagaimana pengaruh corak pemikiran dari Imam Syafii dalam

perkembangan fiqih ?

C. Tujuan

1.Mengetahui sumber-sumber hukum yang digunakan oleh Imam Syafii

2. Mengetahui karya-karya monumental yang dihasilkan oleh Imam Syafii

3. Mengetahui pengaruh corak pemikiran dari Imam Syafii dalam

perkembangan fiqih

2 Moh Mukri, Benarkah Imam Syafii Menolak Maslahah ?, Pesantren Nawesea Press,

Yogyakarta, 2011, hlm. 27


3

BAB II
PEMBAHASAN

Masa kecermelangan ilmu pengetahuan fiqih salah satunya pada jangka

waktu 100 tahun berkuasanya daulah bani Abbasiyah. Pada masa inilah muncul

ilmuan-ilmuan besar dengan berbagai bidang ilmunya salah satunya ialah Imam

Syafii. Berikut pembahasannya.

A. Biografi Imam Syafii

Nama Imam Syafii ialah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-

Abbas bin Utsman bin Syafii bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin

Hasyim bin al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai al-Quraisyi al-Muthalib

asy-Syafii al-Hijazi al-Maliki, anak dari Paman Rasulullah SAW. Nama

Syafii dinisbatkan kepada kakeknya yang ketiga, yaitu Syafii bin al-Saib bin

Abid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdul Manaf.

Sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin al Hasan bin Husain

bin Ali bin Abi Thalib. Dari keturunan ayahnya, Imam Syafii bersatu pada

keturunan Abdul Manaf, kakek Nabi Muhammad SAW yang ketiga. Sedangkan

dari pihak ibunya adalah cicit dari Ali bin Abi Thalib. Kedua orang tuanya

berasal dari bangsawan Arab, Quraisy.3

Imam Syafii dilahirkan tahun 150 H di Gaza suatu kota di tepi pantai

Palestina Selatan bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.4

Beberapa saat setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ketika beliau


3 Dahlan Abdul Aziz, Ibid, hlm. 327

4 Asep Saifuddin, Kedudukan Madzhab dalam Syariat Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta,

1984, hlm. 56
4

berumur dua tahun, Ibunya membawanya ke Mekah. Ia hidup dalam keadaan

yatim dan fakir hingga dewasa. Akan tetapi ia dilahirkan dengan keadaan nasab

yang tinggi. Di Mekah ia belajar pada Sufyan Ibn Uyaynah dan Muslim bin

Khalid. 5

Imam Syafii dikenal sebagai anak yang cerdas. Ia telah hafal seluruh isi

Al-Quran ketika berumur 9 tahun. ketika semangat menuntut ilmunya makin

kuat dan menyadari bahwa al-Quran memiliki bahasa yang indah dan

memiliki makna yang sangat dalam, Imam Syafii berangkat ke dusun Badui,

Kabilah Hudzail untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Selama

10 tahun bermukim, seraya mempelajari kehidupan orang desa dan kota, ia

hidup bergaul dengan suku Badui sehingga pengetahuan syair-syair Arabnya

sangat mendalam.6

Imam Syafii menuntut ilmu di Mekah kepada para ahli fiqih dan ahli

hadits. Ketika mendengar terdapat ulama besar di Madinah, yakni Imam Malik,

ia pun tertarik untuk berguru kepadanya. Sebelum ia pergi ke Madinah pada

tahun 164 H, ia telah mempelajari kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik. Ia

melakukan mudarrasah dengan Imam Malik dalam masalah-masalah yang

difatwakan Imam Malik. Ia dapat menghafal kitab Al-Muwaththa pada usia 13

tahun. Selama belajar di Madinah, ia sering melakukan perjalanan ke kota-kota

untuk mempelajari keadaan masyarakat dan kehidupannya.7

Ia serius mempelajari hadits dengan jalan mendengar dari gurunya

kemudian mencatatnya. Imam Syafii dan Imam Malik sering berdialog

5 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustahul Hadits, PT. Almaarif, Bandung, 2010, hlm. 370

6 Dahlan Abdul Aziz, Op.Cit, hlm. 327

7 Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 64
5

membicarakan suatu masalah berkaitan dengan penyelesaian secara syari.

Walaupun sudah mempunyai berbagai ilmu pengetahuan, Imam syafii belum

merasa puas bahkan masih kekurangan ilmu. Setelah ia mendengar kebesaran

para ulama Irak, seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Al-Hasan

(kedua orang sahabat sekaligus murid Abu Hanifah) tumbuh keinginan untuk

belajar ilmu Imam Abu Hanifah yang ada pada mereka. Ia kemudian

menghadap kepada Imam Malik untuk mengutarakan keinginannya dan

disetujui oleh Imam Malik.8

Selama di Kufah, Imam Syafii menjadi tamu Imam Muhammad Ibnu

Hasan. Pada kesempatan itu, ia mengutip dan menyalin bahkan menghafal

beberapa naskah dari kitab-kitab yang terdapat di rumah Ibnu Hasan, dan

seringkali membahas dan berunding masalah agama dengan para ulama Kufah

masa itu. Di Irak, Imam Syafii juga menambah pengetahuannya dan juga

meluaskan ilmu fiqih di Irak. Ia juga menambah pengetahuan tentang cara-cara

qadhi memeriksa perkara dan memutuskan urusan, memberi fatwa,

menjatuhkan vonis, dan sebagainya yang belum ia ketahui sebelumnya. Selain

itu, ia juga menambah wawasan tentang pergaulan dan adat istiadat di sana.9

Imam Syafii mempelajari fiqih Irak dan membaca buku Muhammad ibn

Hasan dan belajar secara langsung kepadanya. Imam Syafii kembali ke Mekah

dengan membawa fiqih Irak. Di Masjid al-Haram, ia mengembangkan fiqih

Madinah (ahl al-hadits) dan fiqih Irak (ahl al-rayi). Kemudian ia pergi ke

Baghdad, karena di sana tempat berkumpulnya ulama ahl al-hadits dan ahl al-

8 Al-Buruthi, Muhammad Said Ramadhan, Bahaya Bebas Madzhab dalam Keagungan

syariat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 246

9 Al-Buruthi, Muhammad Said Ramadhan, Ibid , hlm. 249


6

rayi. Berkembangnya ahl al-rayi merupakan hal kelanjutan wajar dari

pertumbuhan masyarakat Islam sendiri. Sejak ekspansi militer dan politik

keluar Jazirah Arab, kaum muslimin semakin dituntut untuk mampu menagani

masalah-masalah sosial politik yang semakin ruwet dan kompleks. Imam

Syafii tampil di tengah-tengah antara penduduk Hijaz dan Irak.10

Setelah bermukim selama 2 tahun di Irak, ia juga melanjutkan

perjalanannya ke Persia, Rum (sebelah selatan Irak), Hurah dan ia juga

bermukim di kota Ramlah (Palestina) dan akhirnya ia kembali ke Madinah.

Selama empat tahun lebih, ia membantu sebagai asisten Imam Malik sembari

belajar darinya. Pengajaran yang intens tersebut berakhir ketika Imam Malik

meninggal pada saat Imam Syafii berumur 28 tahun. Tidak diketahui apakah

karena kesedihan yang mendalam atau karena hal lain, Ia segera meninggalkan

Madinah untuk menuju ke Yaman dan beberapa saat kemudian ia diangkat

sebagai penjabat negara dan guru besar. Ia belum beristri meski telah berumur

29 tahun. maka dengan persetujuan wali negeri Yaman dan lain-lain, ia

menikah dengan Hamidah binti Nafi (cucu Utsman bin Affan) dan dikaruniai

tiga orang anak yakni Utsman Muhammad, Fatimah dan Zainab.11

Ketika Yaman diperintah oleh gubernur yang dzalim, ia difitnah dengan

dituduh terlibat dalam pemberontakan kekhalifahan yang akibatnya ia ditahan

dan dibawa ke Baghdad tahun 184 H untuk diinterogasi dan terbukti ia tidak

bersalah. Khalifah pada saat itu, Harun ar-Rasyid melihat terdapat banyak

potensi pada diri Imam Syafii sehingga khalifah memintanya untuk mengajar

di Baghdad. Selama di Baghdad, ia juga menghadiri majlis ulama-ulama

10 Suwito, Ibid, hlm. 62

11 Al-Buruthi, Muhammad Said Ramadhan, Op.Cit. hlm. 249-251


7

lainnya seperti Imam Waki bin Jarrah, Imam Abu Usamah, dan sebagainya.

Setelah beberapa tahun di Baghdad, ia kembali ke Mekah dengan membawa

fiqih Iraqi dan menetap selama belasan tahun. Murid yang diajarnya tidak

hanya penduduk Mekah, tetapi juga jamaah haji mancanegara yang datang

setiap tahun ke sana untuk menunaikan ibadah haji.12

Pada tahun 198 H/813 M, Imam Syafii pindah ke Mesir karena

pemerintahan di pegang oleh khalifah Al-Mamun yang cenderung berpihak

pada mutazilah yang justru dijauhi oleh Imam Syafii. Ia kurang menyukai

mutazilah karena penganut paham bahwa Al-Quran adalah makhluk.13

Pada umur 40 tahun, ia kembali ke Baghdad untuk mengajaar di sana.

Tetapi tak lama berselang, karena datangnya permintaan untuk mengajar di

Mesir oleh penguasa negeri tersebut. Akhirnya ia menetap hingga wafat di

Fustat, Mesir. Imam Syafii wafat ketika berumur 54 tahun pada malam Jumat

dan dikebumikan setelah shalat ashar hari Jumat yang bertepatan dengan

tanggal 29 Rajab 204 H atau 19 Januari 820 M. 14

Guru-Guru dan Murid-Murid Imam Syafii

Imam Syafii menerima fiqih dan hadits dari banyak guru yang

mempunyai manhaj sendiri-sendiri dan tinggal ditempat yang berjauhan satu

sama lain. Ia mengambil mana yang perlu diambil dan meninggalkan mana

yang perlu di tinggalkan. Guru-guru Imam Syafii diantarnya para ulama

12 Muhammad Razi, Op.Cit, hlm. 38

13 Suwito, Loc.Cit, hlm. 62

14 Fatchtur Rahman, Op.Cit, hlm. 373


8

Mekah, ulama Madinah, ulama Yaman dan ulama Irak yang antara lain sebagai

berikut:

a) Guru dari Mekah yaitu Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zanji,

Saad bin Salim al-Kadda, Daud bin Adb al-Rahman al-Attar dan Abd al-

Hamid bin Abd Aziz bin Abi Zuwad

b) Guru dari Madinah yaitu Malik bin Anas, Ibrahim ibn Saad al-Ansari, Abd

al-Aziz bin ibn Muhammad al-Dahrawardi, Ibrahim ibn Yahya al-Asami,

Muhammad ibn Said Abi Fudaik, Abdullah bin Nafi

c) Guru dari Irak yaitu Waki ibn Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah,

Ismail ibn Ulaiyah, dan Abd al-Wahab ibn al-Majid

d) Guru dari Yaman yaitu Mutarraf ibn Hazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn

Abi Salamah, dan Yahya ibn Hasan.15

Imam Syafii memiliki murid-murid yang menukil madzhab fiqihnya. Ia

memiliki murid-murid yang mengambil ilmu fiqihnya di Mekah, juga yang

mengambil ilmu fiqihnya pada saat kedatangannya di Baghdad dan di Mesir.

Murid-murid Imam Syafii memiliki murid yang terbagi menjadi tiga golongan

diantaranya:

a) Murid Keluaran Mekah yaitu Abu Bakar Al-Humaidi, Abu Ishq Ibrahim bin

Muhammad, Abu Bakar Muhammad bin Idris, Abdul Walid dan Musa bin

Abu Jarud

b) Murid Keluaran Baghdad yaitu Abu Ali al-Hasan bin Muhammad ash-

Shahab az-Zafaraini, Abu Ali Hsan bin Ali al-Karabisi, Abu Tsaur Ibrahim

bin Khalid bin al-Yaman al-Kalbi, Abu Abdurrahman Ahmad bin

15 Suwito, Op.Cit, hlm. 61


9

Muhammad bin Yahya al-Asyari, Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, dan

Ishaq

c) Murid keluaran Mesir yaitu Harmalah bin Yahya Abdullah at-Tujaibi, Ar-

Rabi bin Sulaiman bin Abdul Jabar bin Kamil al-Muradi, Abu Ibrahim

Ismail bin Yahya al-Muzani, Abu Yaqub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi,

Muhammad bin Abdul Hakam, Ar-Rabi bin Sulaiman bin Daawul al-Lizi,

Yunus bin Abdul Ala ash-Shadafi, dan Ahmad bin Sibthi Yahya bin Al-

Qazir al-Mizri.16

B. Corak Pemikiran Imam Syafii

Sebelum Imam Syafii mengembangkan interpretasinya akan berbagai

permasalahan dalam kasus secara syari, terdapat perselisihan pendapat yang

tajam antara Madzhab Hanafi yang lebih mementingkan qiyas disatu sisi

dengan madzhab Maliki yang mementingkan hadits dan anti penggunaan qiyas

kecuali dalam masalah-masalah yang tidak terdapat nashnya. Imam Syafii

menggunakan kedua pendekatan tersebut dalam memahami kandungan al-

Quran dan Sunnah. Imam Syafii dianggap sebagai pihak yang cukup berhasil

dalam mengambil yang terbaik antara dua madzhab tersebut. Hal ini selain

karena ia telah belajar dengan cukup mendalam dengan Imam Malik, ia juga

sering berdialog dengan tokoh-tokoh dari madzhab Hanafi ketika ia berada di

Baghdad.17

Terjadinya perbedaan dalam penggunaan hadits dan qiyas sebagai dasar

hukum adalah apabila hadits tersebut dipandang tidak baik oleh salah satu

16 Al-Buruthi, Muhammad Said Ramadhan, Op.Cit. hlm. 270-271

17 Muhammadn Razi, Op.Cit, hlm. 38


10

pihak, sementara pihak lain memandang shahih. Tetapi apabila kedua golongan

tersebut sepakat bahwa suatu hadits dipandang shahih maka hadits tersebut

didahulukan dari pada qiyas. Imam Syafii berkata kaum muslimin sependapat

bahwa manakala ternyata shahih suatu hadits bagi pandangan seorang muslim,

maka tidaklah akan ditinggalkan hadits tersebut oleh karena fatwa seseorang.

Dan apa yang disangka adanya perbuatan kaum muslimin yang bertentangan

dengan sunnah Rasul. Maka hal itu adalah disebabkan oleh karena mereka

tidak mengetahui adanya hadits Rasul atau hadits tersebut diketahui oleh

mereka tetapi mereka tidak memandangnya shahih, karena ada kelemahan dari

orang-orang yang meriwayatkannya, atau karena ada kelemahan dari orang-

orang yang meriwayatkannya, atau karena ada cacat yang lain yang tidak

dipandang cacat oleh yang lainnya, atau karena ada hadits yang shahih yang

bertentangan dengan hadits yang dipandang shahih oleh ahlul hadits yang

lain.18

Imam Syafii pemikiran hukumnya berpegang pada lima sumber, yaitu

Al-Quran, as-Sunnah, ijma, dan qiyas. Imam Syafii menolak Istihsan dan

menolak maslahah mursalah.19 Syafii sependapat dengan gurunya yakni Imam

Malik yang tidak setuju dengan adanya istihsan dijadikan sebagai sumber

hukum. Ia berkata bahwa barang siapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah

membuat hukum baru. Lahirnya pernyataan tersebut menjadikannya tidak

sependapat dengan Imam Hanafi. Imam Syafii menerima hadits sebagai

sumber hukum dengan syarat haditsnya shahih atau hasan meskipun tidak

18 Asep Saifuddin, Op.Cit, hlm. 38

19 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI- Press, Jakarta,

2012, hlm. 11
11

masyhur, selama perawi hadits tersebut dapat dipercaya, kuat ingatannya, dan

sampai pada Rasulullah. Ia mendahulukan hadits atas qiyas dan ijma ulama

Madinah.20

Para peneliti sejarah fiqih membedakan pendapat Imam Syafii ke dalam

dua kategori:

1. Qaul qadim ialah pendapat lama Imam Syafii yakni ketika ia berada di

Mekah dan Baghdad

2. Qaul jadid ialah pendapat terbaru Imam Syafii yakni ketika ia berada di

Mesir. Qaul jadid merupakan revisi dari pendapatnya yang sebelumnya.

Adanya qaul qadim dan qaul jadid menunjukkan bahwa pendapat seseorang

dapat berubah karena perubahan zaman dan tempat.21 Perombakan fatwa Imam

Syafii sendiri tersebut mengundang beberapa spekulasi

1. Bisa saja ijtihad dimasa lalunya diragukan sendiri olehnya akibat

pengetahuannya yang semakin mendalam dan mumpuni

2. Boleh jadi Imam Syafii menyadari bahwa teks Al-Quran dan Sunnah

memiliki banyak pesan. Pesan yang ia pahami di Irak berbeda dengan pesan

teks yang ia pahami di Mesir. Hal ini bukanlah hal yang tercela bagi seorang

pemikir besar seperti Imam Syafii, justru sebaliknya ia begitu memahami

bahwa pesan-pesan yang berada di balik teks Al-Quran dan hadits semata-

mata hadir untuk memberikan jawaban atas persoalan kemanusiaan

dimanapun dan kondisi apapun

20 Asep Saifuddin, Op.Cit, hlm. 69

21 Dahlan Abdul Aziz, Op,Cit, hlm. 113


12

3. Banyak hadits-hadits Nabi Muhammad yang belum diketahui oleh Imam

Syafii ketika berada di Irak dan baru mendapatkannya ketika di Mesir.22

Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh Imam Syafii sendiri, ia

berkata aku rela meninggalkan pendapatku jika di suatu saat ditemukan saat

ditemukan hadits yang ternyata berlawanan dengannya. Apabila suatu saat

ditemukan hadits shahih yang bertentangan dengan pendapatku, maka

tinggalkanlah dan hadits shahih itulah saat itu menjadi madzhabku.23

Ada beberapa indikator lain yang mempengaruhi pendapat Imam Syafii

yang dirubahnya sendiri yakni faktor sosial-kultural. Data historis telah

menunjukkan telah ada puluhan bahkan ratusan pendapatnya yang diganti

dengan pendapat baru dengan dilandaskan kepada setting sosial-budaya Mesir

dengan berlandaskan ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang sama pula.24 Faktor

geografis dan tingkat urbanisme tersebut sangat berpengaruh dalam khususnya

pada abad formative age keilmuan agama Islam tepatnya di zaman lahirnya

imam madzhab. Di Irak, banyak dipengaruhi dengan kebudayaan Persia,

sedangkan di Mesir dengan adat istiadat campuran antara Mesir Kuno dengan

Romawi.25

C. Karya-Karya Imam Syafii

22 Ahmad Faidy Haris, The Spirit Of Islamic Law, Suka Press UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2012, hlm. 30

23 Ibid, hlm. 31

24 Ibid, hlm. 119

25 Asep Saifuddin, Op.Cit, hlm. 40


13

Terdapat banyak sekali karya-karya Imam Syafii. Karya-karya Imam

Syafii tersebut diantaranya ditulis sendiri dan dibacakan kepada orang banyak,

ada pula yang hanya didektekan kemudian murid-muridnya yang

membukukannya.

1. Bidang Fiqih dan Ushul Fiqih

a) Kitab Al-Umm, terdiri dari empat jilid yang diringkas oleh murid Imam

Syafii yang bernama Abu Ibrahim bin Yahya al-Muzani menjadi satu

jilid dan dikenal dengan nama al-Mukhtasar al-Muzani. Pada cetakan

terbaru al-Umm juga termasuk kitab-kitab karangan Imam Syafii seperti

kitab Jamiul Ilmi yang berisi pembelaan Imam Syafii terhadap sunnah

Nabi, kitab Ibthalul Istihsan yang berisi tangkisan Imam Syafii terhadap

ulama Irak yang sebagian dari mereka suka mengambil hukum dengan

cara Istihsan, kitab ar-Radu Ala Muhammad ibn Hasan yang berisi

hanya pertahanan Imam Syafii terhadap serangan Muhammad ibn Hasan

kepada para ulama Madinah dan kitab Siyarul Auzai yang hanya berisi

pembelaan Imam Syafii terhadap al-Auzai.26

b) Kitab Ar-Risalah, yakni kitab yang membahas tentang akidah-akidah

ushul fiqh. Adanya kitab ini menjadikan Imam Syafii sebagai orang

pertama yang meletakkan rumusan-rumusan ushul fiqih sebagai suatu

disiplin ilmu. Ia juga menerangkan dengan jelas cara dalam beristinbath

hukum.

2. Bidang Ilmu Hadits

a) Al-Musnad, yakni kitab yang berisi sanad Syafii dalam meriwayatkan

hadits yang dihimpunnya dalam kitab al-Umm


26 Abdullah Sidik, Azas-Azas Hukum Islam, Widjaya, Jakarta, 1982, hlm. 258
14

b) Mukhtaliful Hadits

c) As-Sunan 27

Selain itu ketika Syafii berada di Baghdad, pengajaran tersebut disusun

dan dijadikan kitab yang dikenal dengan Qaul Syafii Qadim dan yang

diajarkannya di Mesir, pengajaran tersebut disusun dan dihimpun menjadi kitab

yang dikenal dengan Qadim Syafii Jadid. Perlu dipahami bahwa kitab Imam

Syafii yang berjudul Imla dan al-Hujjah, keduanya tidak dipakai karena

termasuk dalam qaul qadim yang termasuk dalam qaul jadid.28

Banyak murid-murid pengikut madzhabnya menyusun kitab-kitab fiqih

diantaranya seperti Al-Ghazali dengan kitab fiqih Al-Wajiz dan kitab ushul

fiqihnya yang memakai pendekatan/ilmu kalam yakni kitab Al-Mustasfa.

Indonesia sendiri banyak dijumpai kitab-kitab fiqih Syafiiyah yang lebih

banyak dari pada kitab fiqih madzhab lainnya. Kitab-kitab tersebut seperti Al-

Muhazdab, Mugnil Muhtaj, At-Tahrir, Fathul Qarib dengan syarah dan

hasiyahnya, Fathul Mauin Al-Bajuri, dan lain-lain.29

D. Pengaruh Pemikiran Imam Syafii dalam Perkembangan Fiqih

Secara umum hukum Islam sangat dipengaruhi oleh sosio-kultural tempat

pemeluknya hidup. Karena dengan bersikap adaptif, selama tidak bertentangan

dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dijunjung Islam, misi suci agama

27 Fatchur Rahman, Op.Cit. hlm 372

28 Bahri Ghazali dan Djumadris, Perbandingan Madzhab, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta,

1991, hlm. 81

29 Rchmat Djatnika, dkk, Perkembangan Ilmu Fiqh di dalam Islam, Bumi Aksara,

Jakarta, 1991, hlm. 19


15

akan lebih mudah terinternalisasi dengan baik. Beragamnya hasil pemikiran

ulama dalam hukum Islam yang hidupnya perpencar menjadi bukti nyata

bahwa Islam fleksibel dan elastis. Karenanya, selalu relevan untuk diamalkan

dalam setiap ruang dan waktu.

Arti penting ketokohan seseorang dalam suatu pergerakan atau disiplin

ilmu dapat dilihat dari peranan serta kontribusi yang disumbangkan kepada

eksistensi perkembangan pergerakan suatu disiplin ilmu. Pada konteks Imam

Syafii, para ulama sepakat bahwa ia merupakan imam madzhab sekaligus

peletak dasar bagi perumusan sistematis ilmu ushul fiqih.

Imam Syafii merupakan figur penting dalam sejarah peradaban Islam

khususnya pemikiran Arab. Ia merupakan pendiri moderatisme yang oleh

banyak pihak dipandang sebagai karakteristik terpenting dari pengalaman

Arab-Islam. Moderatisme ialah tempat bernaungnya otentisitas yang harus

dibela masyarakat Arab dalam menghadapi musuh. Secara historis, Imam

Syafii telah membangun ideologi moderat dibidang fiqih dan syariah.30

Madzhab Imam Syafii berkembang di Mesir (karena dialah yang

mengajar dan memberi fatwa di Masjid Amr bin Ash), Baghdad, Khurasan,

Yaman, Hijaz, India, Palestina, Afrika, Andalusia, Malaysia dan Indonesia.

Cara berpindah-pindah Imam Syafii dalam menuntut ilmu agama dapat

mempermudahnya dalam membentuk madzhabnya. Hadits-hadits yang

digunakan oleh Imam Syafi lebih banyak dari imam lain karena banyak hadits

yang dikumpulkan dari berbagai pusat penyebaran Islam. Imam Syafii

terkenal bukan saja karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, tetapi

juga karena ketaqwaannya, kedermawanannya, ia juga dikenal sebagai seorang


30 Moh Mukri, Op.Cit, hlm. 32
16

pengarang ulung dan ahli dalam ilmu tafsir, hadits, fiqih, bahasa, akhlak,

filsafat, dan sejarah.

Teori Imam Syafii yang menggambarkan posisi tengah antara hadits dan

rayi sama sekali tidak diterima secara universal pada abad ke 2 H. Disalah satu

pihak ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa semua prilaku manusia

harus betul-betul diatur oleh teks-teks otoritatif dan bahwa pemikiran manusia

tidak mempunyai tempat dalam hal-hal keagamaan. Dipihak lain, terdapat

kaum rasionalis diantaranya dari golongan mutazilah yang mencoba untuk

mendiskreditkan teks-teks tersebut dan berpedoman bahwa al-Quran sudah

cukup untuk menerangkan segala hal.31

31 Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.

27
17

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Sumber hukum Imam Syafii terdiri dari Al-Quran, hadits, ijma dan qiyas,

ia menolak istihsan dan maslahah mursalah.

2. Karya-karya Imam Syafii diantaranya al-Umm, ar-Risalah, al-Musnad,

Mukhtaliful Hadits, as-Sunan, dan lain sebagainya.

3. Imam Syafii berperan penting dalam perkembangan fiqih terutama karena

ia dikenal sebagai peletak dasar bagi perumusan sistematis ilmu ushul fiqih.

B. Saran

1. Adanya makalah ini diharapkan dapat membantu dalam memahami materi

tentang Madzhab Imam Syafii sehingga dapat lebih memahami semua

jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh imam mujtahid dalam

menetapkan hukum terhadap suatu peristiwa hukum.


18

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Sidik, Azas-Azas Hukum Islam, Widjaya, Jakarta, 1982.

Ahmad Faidy Haris, The Spirit Of Islamic Law, Suka Press UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2012.

Al-Buruthi, Muhammad Said Ramadhan, Bahaya Bebas Madzhab dalam


Keagungan syariat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001.

Asep Saifuddin, Kedudukan Madzhab dalam Syariat Islam, Pustaka Al-Husna,


Jakarta, 1984.

Bahri Ghazali dan Djumadris, Perbandingan Madzhab, Pedoman Ilmu Jaya,


Jakarta, 1991.

Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Islam, Jilid 6, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2012.

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustahul Hadits, PT. Almaarif, Bandung, 2010.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI- Press,
Jakarta, 2012.

Moh Mukri, Benarkah Imam Syafii Menolak Maslahah ?, Pesantren Nawesea


Press, Yogyakarta, 2011.

Rchmat Djatnika, dkk, Perkembangan Ilmu Fiqh di dalam Islam, Bumi Aksara,
Jakarta, 1991.

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001.

Anda mungkin juga menyukai