Anda di halaman 1dari 19

TUGAS AKIDAH AKHLAK

BIOGRAFI DAN KETELADANAN


IMAM ASY-SYAFI’I

DISUSUN OLEH :
1. DINI FAIQOH
2. FIANTIKA MUTIA RAHMA
3. M. ANANDA KHAFIDIN
4. MUHAMMAD RAFIH
5. NAIDA ZASTIA
6. TATIA AZZAHRA SEPTIANI P.

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 KOTA PEKALONGAN


TAHUN PELAJARAN 2023/2024
I. PENDAHULUAN
Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embrio dari perbedaan madzhab
ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun
semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun perbedaan tersebut
dianggap wajar oleh para ulama’ fiqh. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial, budaya dan faktor adaptasi perkembangan zaman.
Madzhab dalam hukum islam pun semakin bermunculan. Sebagai contoh ada madzhab sunni
yang terdiri dari madzhab Abu Hanifah Annu’man, Malik Bin Anas, Muhammad Idris Asy-
syafi’i, Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal.
Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadapa agama Islam yang maha suci,
khususnya dalam bidang ilmu fiqih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik
dan tinggi dalam islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fiqih yang besar dan abadi
yang menjadi kemegahan bagi agama Islam dan kaum muslim umumnya.
Namun pada makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang biografi Muhammad Idris
Syafi’I atau lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Imam Syafi’I adalah imam yang ketiga menurut
susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap Ilmu Hadist dan pembaharu dalam
agama (mujaddid) dalam abad kedua hijriah.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana sejarah madzhab Muhammad Idris Syafi’i ?
2. Tahap-tahap pembentukan madzhab Muhammad Idris Syafi’i
3. Dasar-dasar pemikiran Muhammad Idris Syafi’i
4. Qaul Qadim dan Qaul Jadid dalam perkembangan Fiqh Al-Syafi’iyah

III. PEMBAHASAN
1. Biografi Imam Asy Syafi’i
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin
asy-Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin ‘Abdi
Manaf. Dengan demikian nasab beliau bermuara kepada Abdu Manaf, kakek buyut Nabi
‫( ﷺ‬Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, X/5-6; Thabaqât asy-Syâfi’iyyah
al-Kubrâ, II/71-72). Meskipun nenek moyang beliau suku Quraisy di Makkah, beliau
tidak lahir di Makkah, karena ayah beliau, Idris, merantau ke Syam. Beliau lahir di Ghaza
(Palestina) pada tahun 150 Hijriah, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.
Beliau sudah yatim sejak usia dua tahun. Ibunya lalu membawa beliau ke
kampung halaman di Makkah. Sejak kecil, sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tak
berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau sering mengumpulkan pecahan tembikar,
potongan kulit, pelepah kurma dan tulang unta untuk dipakai menulis.
Tentang kegiatan keilmuannya, Imam al-Baihaqi, dengan sanad dari Mush’ab bin
Abdillah az-Zabiri, menuturkan, “Imam Syafi’i memulai aktivitas keilmuannya dengan
belajar syair, sejarah dan sastra. Setelah itu ia menekuni fikih.”
Selain kebesaran keilmuannya, Imam Syafii pun terkenal karena kepribadiannya yang
luhur. Tentang ini, Thasy Kubri bertutur di dalam Miftâh as-Sa’âdah, “Para ulama ahli
fikih, ushul, hadis, bahasa, nahwu dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Imam Syafi’i
memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’,
takwa, dermawan, perilakunya baik dan derajatnya tinggi.”
Imam Syafi’i juga ahli sedekah. Seluruh harta yang ia dapatkan segera ia
sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Meski dikenal ketakwaan, kewaraan dan
kezuhudannya, Imam Syafi’i tetap merasa rendah dan hina di hadapan Allah SWT.
2. Keteladan Imam Syafi’i dalam Menuntut Ilmu
Dalam mahfudzhot (kumpulan nasehat-nasehat Arab) yang cukup terkenal,
dikisahkan bahwa Imam Syafi’i pernah mengadu kepada gurunya yang bernama Imam
Waqi’. Imam Syafi’i menceritakan keadaan dirinya yang mengalami kesulitan dalam
menghafal. Tentu saja kesulitan menghafal yang dialami oleh Imam Syafi’i tidak seperti
kesulitan yang dialami oleh kebanyakan orang. Imam Syafi’i memiliki kedudukan yang
sangat tinggi sebagai Ulama karena memiliki kecerdasan dan keilmuan yang sangat
cemerlang, sehingga kesulitan yang dia alami merupakan kesulitan yang mungkin
dianggap ringan ataupun tak jadi masalah bagi orang-orang awam. Kesulitan tersebut
dipandang sebagai suatu bencana yang sangat besar bagi dirinya, “hasanatul abror
sayyiatul muqorrobiin” (suatu yang dianggap sebagai kebaikan bagi orang awam, dapat
menjadi suatu keburukan bagi orang yang memiliki kedudukakan dekat dengan Allah).
Setelah Imam Syafi’i mengadukan permasalahan yang dialaminya, Imam Waqi’
memberikan nasehat untuk Imam Syafi’i, jika ingin mudah untuk menghafal ilmu
hendaklah meninggalkan segala perbuatan dosa, karena ilmu yang ingin kita hafal dan
ketahui merupakan cahaya dari Allah yang tidak akan pernah diberikan kepada orang-
orang yang gemar berbuat dosa. Kisah Imam Syafi’i dan gurunya dapat menjadi bekal
dan pelajaran bagi kita yang gemar menuntut ilmu. Setidaknya ada beberapa hikmah
yang dapat kita ambil dari kisah tersebut.
Pertama, hendaklah kita sebagai penuntut ilmu tidak berjalan sendiri tanpa adanya
bimbingan dari guru. Perjalanan menuntut ilmu merupakan suatu perjalanan yang begitu
berat, jalan yang penuh dengan pendakian dan rintangan, sehingga kita membutuhkan
teman yang mampu membimbing kita. Hendaklah kita mencari guru yang benar-benar
memahami hakekat ilmu, mempertanggungjawabkannya, dan mengamalkannya,
sebagaimana Imam Waqi’ yang menjadi guru Imam Syafi’i. Seorang guru yang mampu
memberikan solusi kepada muridnya tatkala murid mengalami kesulitan. Selain itu,
hendaklah kita memiliki guru yang mampu mengenalkan dan mengajak kita untuk terus
semakin dekat kepada Allah, serta menjauhkan kita dari keburukan. Guru yang ketika kita
bertemu dengannya selalu ada ilmu baru yang kita dapatkan.
Kedua, hendaklah kita tidak pernah sungkan untuk bertanya kepada guru
mengenai kesulitan-kesulitan yang ditemukan saat menuntut ilmu. Pepatah terkenal
menyebutkan bahwa “malu bertanya sesat di jalan”. Menuntut ilmu merupakan
perjalanan yang sangat panjang karena dilakukan dari buaian hingga masuk liang kubur.
Dengan membiasakan bertanya akan selalu ada jalan keluar dari setiap masalah yang kita
hadapi. Bertanya juga merupakan setengah dari ilmu. Salah satu kunci untuk membuka
ilmu yang belum kita ketahui adalah dengan cara bertanya kepada guru.
Ketiga, hendaklah kita memahami kemuliaan ilmu yang menjadi warisan para
Nabi. Menurut Imam Waqi’ ilmu merupakan cahaya dari Allah. Orang yang buta matanya
tidak akan pernah dapat melihat terangnya cahaya matahari, begitu pula dengan orang
yang buta mata hatinya tidak akan pernah merasakan cahaya ilmu. Mata hati menjadi
buta akibat dari perbuatan dosa yang dilakukan. Oleh karena itu, agar cahaya ilmu mudah
untuk menyerap di hati, hendaklah kita senantiasa menjauhkan segala bentuk perbuatan
dosa.
3. Keteladanan Imam Asy Syafi’i
a. Kecintaan yang sangat dalam pada ilmu
Ahmad bin Hambal mengatakan, "Asy-Syafi'i bagi umat ini ibarat
matahari bagi bumi dan laksana kesehatan bagi tubuh. Siapa yang akan dapat
menggantikannya?"
b. Rajin beribadah dan warak
Imam asy-Syafi'i rajin beribadah dan beramal saleh. Dalam kitab l'anah at-
Talibin dikatakan bahwa ia membagi malamnya menjadi tiga bagian.
Sepertiga untuk menulis, sepertiga untuk salat, dan sepertiga lagi untuk tidur.
c. Sikap zuhud, dermawan, dan penyabar
Imam asy-Syafi'i sangat zuhud atau tidak tamak pada urusan duniawi. la
rajin bersedekah dan membantu orang lain.
d. Gigih dan santun dalam berdebat
Beberapa pendapat Imam asy-Syafri berseberangan dengan Imam Malik,
gurunya sendiri. Imam asy-Syafi'i santun dalam berdebat dan hati-hati dalam
berfatwa. Menurutnya, tujuan berdebat adalah mencari kebenaran, bukan
untuk menang atau kalah.
4. Kitab-kitab Karangan Asy Syafi’i
a) Kitab Ar Risalah
Kitab ini khusus berisi ilmu Ushul Fiqh. Dalam kitab ini, Imam Syafi’i
mengarang dengan jelas tentang cara-cara beristimbath, mengambil hukum-
hukum dari al Qur’an dan Sunnah dan cara-cara orang beristidlal dari Ijma’
dan Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam ar Rabi’ bin Sulaiman al
Murady.

b) Kitab Al Umm
Kitab ini merupakan karya terbesar Imam Syafi’i. Isi kitab ini
menunjukkan kealiman dan kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, karena
susunan kalimatnya yang tinggi dan indah, ibaratnya halus serta tahan uji
kalau dipergunakan untuk bertukar fikiran bagi para ahli fikir yang ahli fiqih.
Tepatlah kalau kitab ini dinamakan al Umm yaitu “ibu” bagi anak-anak yang
sebenarnya.
5. Keistimewaan Imam Asy Syafi’i
Keistimewaan dari Imam Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya
(Imam Abu Hanifah yang terpusat di Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota
Madinah) adalah perjalanan keilmuannya yang sangat kaya dan panjang.
"Keistimewaan dari Imam Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya
(Imam Abu Hanifah yang terpusat di Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota
Madinah) adalah perjalanan keilmuannya yang sangat kaya dan panjang."
Keistimewaan dari Imam Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya
(Imam Abu Hanifah yang terpusat di Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota
Madinah) adalah perjalanan keilmuannya yang sangat kaya dan panjang.
Alhasil, Imam Syafi’i meletakkan fondasi yang sangat kokoh sebagai awal
dimulainya diskusi panjang tiada akhir di bidang ilmu ushul fiqh. Di antara landasan
pemikiran yang telah dibangun oleh Imam Syafi’i adalah:
a) Menjelaskan dalil-dalil yang diambil dalam menentukan hukum yaitu Al-
Qur’an, hadits, ijma', qiyas, serta mempertajam urutannya.
b) Memperkokoh hujjah hadits secara umum dan mengukuhkan hujjah hadits
Ahad secara khusus serta menerangkan tentang tidak adanya pertentangan
secara nyata baik antara Al-Qur’an dan hadits maupun antara satu hadits
dengan hadits lainnya sebagai sumber dalil.
c) Menjelaskan kewajiban mengikuti jalan orang-orang beriman (ijma').
d) Memberikan batasan dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sebagai
patokan hukum serta memberikan syarat yang terperinci dalam menggunakan
Qiyas.
e) Memberikan perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah
yang terlalu ekstrem dalam mentakwil sifat Allah.
f) Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab
serta di dalam Al-Qur’an ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam
pelafalan bahasa Arab. 7.Menerangkan tentang amr (perintah) dan nahi
(larangan).
g) Menjelaskan naskh dan mansukh (pembatalan hukum).

IV. Dasar-dasar Pemikiran Muhammad Idris Syafi’i


1. Al-Qur’an
Al-Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk,
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan, surga bagi yang
taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan dengan kisah-kisah umat
terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an adalah hujjah (dalil,
argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang erat terkait dengan
pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang berilmu adalah orang yang
mengetahui Al-Qur’an, sedangkan orang yag jahil adalah yang tidak
mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras untuk
menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik yang diperoleh dari nash (penengasan
ungkapan) maupun melalui intinbat (penggalian hukum). Menurutnya, setiap
kasus yang erjadi padaseseorang pasti emmpunyai dalil dan petunjuk dalam Al-
Qur’an.
Sesungguhnya Al-Syafi’i telah melakukan kajian secara luas dan
mendalam tentang berbagai aspek Al-Qur’an. Akan tetapi, di sini hanya akan
dikemukakan beberapa pokok pikirannya tentang kitab suci tersebut.
2. As-Sunah
Dengan pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl-Al-Hadist. Al-
Syafi’i sangatkuat berpegang pada hadist sebagai dalil hukum, sikap, pendirian,
dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan sangat jelas dalam kitab-
kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia mendukung ke-hujjah-an Sunnah,
sehingga ia mendapatkan gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Sunnah) ketika
berada di Baghdad.
Dengan mengambil sikap menengah di antara Ahl Al-ra’yi dan Ahl Al-
Hadist, ia memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hakikat Sunnah dan
menetapkan persyaratan tertentu yang harus terpenuhi agar suatu riwayat dapat
diterima. Secara umum, kaidah-kaidah yang dirumuskannya tentang hadist
dianggap sebagai sumbangan pemikiran penting dalam kajian hadist dan hukum
Islam serta berpengaruh besar pada masa-masa selanjutnya.
3. Ijma’
Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur’an
ataupun Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka
peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi
kebebasan, bahan keharusan,untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil
ijtihadnya masing-masing.
Fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah tersebut
tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulamayang datang kemuadian dan
orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.
Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai
dengan kemampuan masing-masing, seluruh ulama sampai kepada kesimpulan
yang sama sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya.
Kesepakatan seperti itu disebut ijma’ dan dipandang sebagai hujjah yang
mempunyai kekuatan mengikat. Dengan adanya suatu ijma’, kajian terhadap
masalah tersebut dianggap telah selesai.
4. Qiyas
Sesungguhnya qiyas dan ra’yu, bukanlah sesuatu yang baru pada masa al-
Syfi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh para sahabat : Abu
Bakar, Umar ra. Dan lain-lain. Penggunaan ra’yu itu kemudian meluas
sedemikian rupa, sehingga mewarnai salah satu aliran fikih yang dikenal dengan
Ahl Al-ra’yi, yang berkembang pesat dibawah kepimpinan Abu Hanifah. Akan
tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan yang jelas tentang hakikat, batas-batas, dan
kedudukannya sebagai dalil. Al-Syafi’i-lah yang pertama sekali memberikan
bentuk, batasan, syarat-syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas bagi
qiyas dalam deretan dalil-dalil hukum.
Seperti telah disinggung sebelumnya, baik di Baghdad maupun di mesir,
al-Syafi’i berhasil mendapatkan perhatian besar dari sejumlah penuntut ilmu
yang datang berguru dan menjadi muridnya. Ia juga sempat menulis kitab-kitab
sebagai sarana pengajaran. Melalui hubungan belajar yang berlangsung dengan
baik, mereka, mereka memahami, menguji, dan menguasai metodologi ijtihad al-
syafi’i dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, dengan secara sadar, mereka pun
mengagumi pribadi, mengakui keutamaan ilmu, dan menganut ajaran al-syafi’i.
Pada gilirannya, sebagai ulama-ulama besar, mereka meriwayatkan dan
mengajarkan ilmu al-syafi’i itu kepada generasi berikutnya. Sesuai dengan tahap
perkembangan mazhab tersebut, para penerus syafi’i itu terbagi menjadi dua
kelompok, yakni para perawi qaul qadim yang belajar kepadanya di Baghdad, dan
perawi qaul jaddid yang belajar di mesir. Dengan demikian, pada masa-masa
awal, pengembangan madzhab al-Syafi’i berlangsung pada dua pusat dengan
corak yang berbeda, baghdad dengan corak qadim dan mesir dengan corak jaddid.
Namun, hal ini tidak berlangsung lama sebab dalam kegiatan inilah yang
marak pada masa itu para ilmuan sangat banyak melakukan perjalanan (Irihlah).
Dalam rangka menuntut ilmu. Melalui perjalanan seperti itu, terjadilah kontak
antara tokoh-tokoh kedua pusat pengembangan tadi sehingga qaul qadim dan qaul
jaddid bertemu dengan periwayatan berikutnya. Lebih dari itu, beberapa orang
murid yang mempelajari qaul jaddid di mesir kemudian menetap di irak dan
berhubungan dengan para penerus al-Syfi’i di pusat pengembangan qaul qadim
tersebut sehingga riwayat qaul qadim dan qau l jaddid membentuk himpunan
besar madzhab al-Syafi’i.

Seperti pada periwayatan lisan, proses perpaduan kedua kelompok qaul itu
juga terjadi pada penulisan kitab-kitab. Kalau kitab-kitab periode pertama hanya
memuat satu kelompok qaul, tampak bahwa karya-karya yang lahir pada masa
berikutnya telah meliput qaul qadim, qaul jaddid.
Adanya dua qaul yang berbeda untuk masalah yang sama tentu merupakan
khasanah yang sangat berharga dalam kajian. Akan tetapi, hal itu justru dapat
menyulitkan dalam lapangan fatwa yang mengkhendaki kepastian hukum. Oleh
karena itu, di perlukan upaya tarjih, memilih yang terkuat dari pendapat yang
berbeda itu. Selanjutnya, hal ini menuntut pola adanya kriteria tertentu sebagai
acuan tarjih.
Secara umum, menurut al-Nawawi, fatwa-fatwa qaul jadid-lah yang harus
di amalkan karena itulah yang lebih shahih dan dianggap sah sebagai madzhab al-
syafi’i. Sebab, pada prinsipnya semua fatwa qaul qadim yang bertentangan
dengan qaul jaddid telah ditinggalkan (marju’ ‘anh) dan tidak dapat di pandang
lagi sebagai madzhab al-Syafi’i.
Itulah sebabnya, kitab-kitab yang di tulis pada periode pengayaan
madzhab tersebut selalu memuat fatwa qaul jaddid lengkap dengan dalil-dalil
yang mendukungnya, serta fatwa yang lanjutan lahir sebagai proyeksi darinya
(meliputi qaul mukharraj dan wajh yang diperoleh dari tafri’ atau takhrij’),
sedangkan fatwa-fatwa qaul qadim hanya di muat sebagai bahan perbandingan
dalam kajian. Akan tetapi, sesuai dengan anjuran al-Syafi’i sendiri, para sahabat
dan pengikutnya terus melakukan ijtihad. Selain upaya memproyeksikan fatwa-
fatwa qaul jaddid, ijtihad mereka juga meliputi peninjauan ulang dan penelitian
kembali terhadap fatwa serta dalil dan wajhistidlal yang mendukungnya. Untuk
ini mereka melakukan penelusuran terhadap hadits-hadits yang semakin mudah
ditemukan pada abad-abad kemudian dan pemeriksaan terhadap qiyas yang
digunakan. Melalui ijtihad yang berkelanjutan itu, mereka menemukan adanya
beberapa fatwa qaul qodim yang ternyata lebih kuat dari pada fatwa qaul jadid
dan mereka kembali mengangkatnya dalam fatwa-fatwa.
Para penulis fiqih madzhab al-Syafi’i kemudian, khususnya yang menulis
kitab-kitab dalam ukuran cukup besar (muthawwalat), selalu memberikan uraian
tentang tiap-tiap fatwa lengkap dengan berbagai dalil yang mendukungnya.
Kelihatannya, dalil-dalil yang dikemukakan itu tidak hanya terdiri atas kutipan
dari kitab-kitab al-Syafi’i sendiri, sebagian darinya adalah temuan dari para
penulis itu sendiri, atau, boleh jadi, diambil dari madzhab lain yang memberikan
fatwa serupa.
Demikianlah, qaul qadim dan qaul jadid terus menjadi bahan kajian dalam
madzhab al-Syafi’i. Setelah melalui masa yang panjang ternyata ada beberapa
qaul qadim yang secara umum dianggap lebih shahih dari pada qaul jadid.

V. Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i


1) Dhahir-dhahir Al-Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang
dimaksud bukan dhahirnya.
2) Sunnatur Rasul
As-Syafi’i mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan,
kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak
mensyaratkan selain daripada itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela
Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
3) Ijma’ menurut pahamnya ialah : ” tidak diketahui ada perselisihan pada hukum
yang dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi
persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
4) Qiyas, beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah
Metodologi ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan logika
kecuali terbatas pada Qiyas saja.
5) Istdlal
As-Syafi’i dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqih
ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang
sukar dipatahkan hujjahnya.

VI. Tahap-tahap Pembentuk Madzhab Muhammad Idris Syafi’i


Al-Nahrawi membagi sejarah pertumbuhan dan perkembangan madzhab Al-
Syafi’i kepada empat periode : periode persiapan ; periode pertumbuhan dengan lahirnya
madzhab al-qadim ; periode kematangan dan kesempurnaan pada madzhab al-jadid ; dan
periode pengembangan dan pengayaan.
1. Tahap Persiapan
Persiapan bagi lahirnya madzhab al-Syafi’i belangsung sejak wafatnya
Imam Malik, tahun 179 H, sampai dengan kedatangannya yang kedua ke
Baghdad, tahun 195 H. sebagaimana disinggung diatas, setelah Imam Malik
wafat, Al-Syafi’i berangkat ke yaman untuk bekerja. Dengan demikian,
kehidupan kelimuaannya beralih dari dunia teori ke dunia penerapan
dialapangan. Keberadaan dilapangan menuntut perhatian lebih bila disbanding
dengan periode menuntut ilmu. Disini perhatian tidak mungkin lepas dari
berbagai faktor, kondisi dan situasi ekonomi, politik, dan sosial yang ada.
Dalam penenrapan, teori-teori murni yang dalam kajian dinilai terbaik
kadang-kadang harus mengalami semacam penyesuaian demi mendapatkan
kemaslahatan umum sebagai tujuan syariat.

Selama di yaman, al-Syafi’i memeperoleh banyak pengalaman yang


memperkaya khasanah keIlmuannya. Disamping itu, melalui diskusi-diskusi
dengan tokoh utama madzhab Hanafi, Muhammad Ibnu al-Hasan al-Syaibani,
ia dapat pula mengenalu aliran ahl al-Ra’yi secara dekat, memperluas
wawasan, serta mematangkan pemikiran dan kepribadiaannya.
Setelah kembali ke Makkah, ia ,melanjutkan karirnya dengan mengajar
dimasjid al-Haram. Tanggung jawab sebagai pengajar jelas menuntunnya
untuk terus memperdalam pengetahuan agar selalus siap menghadapi berbagai
persoalan yang timbul. Selain itu, kehadiran para ulama’ dari berbagai
wilayah, khususnya pada musim haji, membuka peluang besar bagi terjadinya
dialog dan diskusi ilmiah.
Kumulasi dari ini semua, seperti disimpulkan oleh al-Nahrawi, merupakan
faktor penting yang mendorong dan sekaligus membantu al-Syafi’i
membentuk suatu madzhab fiqih sendiri. Pada gilirannya, ia melakukan
perbandingan untuk mendapatkan sisi-sisi positif dan kelebihan berbagai
metode ijtihad ahl al-Ra’yi maupun ahl al-Hadist. Kaidah-kaidah terbaik yang
diperoleh dari perbandingan ini diolah dan dirumuskannya dalam suatu
tatanan baru yang kemudian diletakkan sebagai dasar madzhabnya.
2. Periode Pertumbuhan (Al-Qadim)
Tahun 195 H, pada saaat kedatanggannya yang kedua ke baghdad, sampai
dengan tahun 199 H, saat ia pindah ke mesir, bisa disebut sebagai periode
pertumbuhan bagi madzhab al-Syafi’i. ketika al-Syafi’i datang kembali ke
Baghdad (195 H), ia tidak datang sebagai penuntut ilmu, melainkan sebagai
ulama’ yang telah matang dengan konsep serta pemikiran-pemikirannya
sendiri. Kini ia memperkenalkan pandnagan-pandangan fiqihnya secara utuh,
lengkap dengan kaidah-kaidah umum, dan pokok-pokok pikiran yang siap
untuk dikembangkan. Madzhab baru itu digelarnya di Baghdad yangs sejak
lama dikuasai dan dijadikan sebagai pusat pengembangan oleh aliran ahl al-
Ra’yi.
Tampaknya masa ini merupakan masa ujian paling berat al-Syafi’i dalam
menegakkan konsep dan pemikiran fikihnya yang terbukti dapat ia lalui
dengan sebaik-baiknya. Majelis pengajiaannya segera menarik perhatian dari
berbagai kalangan. Banyak ulama, dengan latar belakang dan keahlian yang
berbeda : ahli hadist, Fiqih, Bahasa dan Sastra hadir di majelis itu, dan
masing-masing mereka mendapatakan apa yang diinginkannya. Melalui
berbagia disksi dnegan para ulama ahl al-Ra’yi, tampaklah bahwa tingkat
keilmuan as-Syafi’I berada diatas mereka. Dengan demikian, ia segera
terkenal, namanya menjadi harum dan tersohor ke segala penjuru.

Madzhabnya diterima dan tersebar luas ditengah-tengah masyarakat. Para


ulama mengakuinya dan kalangan penguasa pun menaruh hormat kepadanya.
Beberapa diantara mereka meniggalkan madzhabnya dan beralih menjadi
pengikut madzhab syafi’I. ketika al-Syafi’i datang ke Baghdad, di masjid
jami’ al-Gharbi terdapat 20 majlis (halqah) pengajian ahl al-Ra’yi tapi sepekan
kemudian jumlahnya menyusut menjadi tiga atau empat bauah saja.
Pendapat dan fatwa-fatwa fiqih yang dikemukakannya pada periode ini
dikenal dengan sebutan Qaul Qadim. Selama kira-kira dua tahun berada di
Baghdad, ia berhasil menyusun dan mendiktekan kitab arissalah dalam bidnag
ushul al-fiqih dan al-Hujjan dalam bidang fiqih. Kitab al-hujja inilah yang
menjadi rujukan bagi qaul qadim al-Syafi’I yang selanjutnya diriwayatkan
oleh beberapa murid yang belajar kepadanya di Baghdad.
3. Periode kematangan (Al-Jadid)
Ahmad Amin mengemukakan bahwa madzhab al-Syafi’i mendapat
sambutan di irak dan tidak mampu bersaing dnegan madzhab hanafi, yang
tokoh-tokohnya akrab dan berpengaruh terdhadap penguasa. Senada dengan
ini, Ibnu Al-Bazaz mengatakan bahwa fatwa-fatwa al-Syafi’i yang
dituangkannya didalam kitab-kitabnya selama di Baghdad itu banyak yang
dibantah oleh para murid Muhammad Ibnu Hasan., mereka mendesak
posisinya dengan mengungkapkan kelemahan-kelemahan fatwanya.
Disamping itu, menurut Ibnu Al-Bazaz, kelompok ahl al-Hadist pun tidak
menerima al-Syafi’i, bahkan mereka menuduhnya sebagai pengenut
mu’tazilah karena tidak mendapatkan pasaran di Irak, ia pergi ke mesir,
dimana tidak adaulama atau fuqaha yangdapat mengimbanginya.
Namun, seperti dikemukakan oleh al-Nahrawi, alasan ini pun kelihatannya
kurang berbobot karena tidak sejalan dengan kepribadian al-Syafi’i yang
terkenal kuat itu dan bertentangan pula dengan sukses besar yang diraihnya
ketika pertama kali memperkenalkan madzhabnya di Baghdad. Disana al-
Syafi’I mempunyai beberapa orang murid yang senantiasa menginginkan
kebebrsamaan yang lebih lama dengan al-Syafi’i. kesetiaan mereka terbukti
dari tindakan menyebarluaskan fiqh al-Syafi’i di Baghdad setetlah
kepergiaannya ke mesir. Ahmad bin Hanbal dan Abu Tsaur , sebelum mereka
membentuk madzhabnya masing-masing, serta Al-Za’farani, dan Al-Karabisi,
cukup dikenal jasanya dalam meriwayatkan fikih Al-Syafi’i (qaul qadim) yang
mereka pelajari darinya di Baghdad. Oleh karena itu, menurut Al-Nahrawi,
alas an yang lebih tepat adalah persoalan menyangkut politik sebagaimana
dikemukakan oleh Abu Zahrah. Menurutnya kepergian al-Syafi’i itu terkait
dengan dua hal.

Pertama, pengaruh besar bangsa Parsi terhadap khalifah Al-Ma’mun.


Setelah memenangkan persaingan dengan Al-amin, yang sesungguhnya
merupakan pertentangan antara Parsi dengan Arab, unsure bangsa Parsi
mendapatkan posisi yang sangat kuat di istana. Mereka berhasil menduduki
jabatan-jabatan penting dalam pememrintahan. Agaknya al-Syafi’itidak
merasa senang berada di bawah naungan pemerintahan yang telah dikuasai
oleh unsure Parsi itu.
Kedua, karena Al-Ma’mun, seorang ahli ilmu kalam, bahkan filosof,
sangat akrab dengan kalangan Mu’tazilah. Merekalah yang dekat dan selalu
hadir di majelisnya. Al-Syafi’i, yang sangat tidak suka terhadap mutakallim
dan cara berpikir Mu’tazilah itu, merasa lebih baik menjauhi mereka dan pergi
ke Mesir.
Masa yang dialaui al-Syafi’i di Mesir itu relative pendek, tetap sangat
berarti dalam penegmbangan madzhabnya. Di sana ia senantiasa sibuk dengan
kegiatan produktif yang menghasilkan temuan ilmu dan istinbath hukum yang
membuat kekuatan hujjah 9dalil dan argumen ilmiah) serta kebesaran pribadi
al-Syafi’i sebagai seorang iman yang nyata. Karena berbagai alasan ilmiah, ia
menyatakan ruju’, meninggalkan beberapa pendapat lama yang telah
dikemukakaknnya di Baghdad dan mengubahnya dengan fatwa yang baru.
Pendapat-pendapat baru (qaul jadid) itu dituang kan secara sisitematis dalam
beberapa buah kitab.
Dengan demikian, pada periode inilah madzhab fikih al-Syafi’i mencapai
tingkat kesempurnaan sebagai madzhab yang utuh, hidup, dan mempunyai
daya gerak menuju pengayaan yang akan terjadi sesuai dengan tuntutan
perkembangan pada periode selanjutnya. Kini madzhabnya telah tegak dengan
kokoh, siap dengan rumusan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh
dalam menjawab tantangan masa sekarang dan masa yang akan datang.
Dengan kaidah-kaidah yang telah ditanya itu, para sahabat serta pengikutnya
kemudian dapat melakukan takhrij, memproyeksi ajarannya sebagai upaya
pengayaan madzhab tersebut.
4. Periode Pengembangan dan Pengayaan
Periode ini berlangsung sejak wafatnya al-Syafi’i sampai dengan
pertengahan abad kelim, atau bahkan, abad ketujuh menurut pendapat
sebagian ahli.
Para murid dan penerus al-Syafi’i dari berbagai generasi (thabaqat) yang
telah mencapai derajat ijtihad dalam keilmuannya terus melakukan istinbath
hukum untuk masalah-masalah yang timbul pada masa mereka atau yang
ditimbulkan sebagai perandaian (masa’il fardliyah). Selain itu, sesuai dengan
semangat ijyihad yang diwariskan oleh al-Syafi’i sendiri, mereka juga
melakukan peninjauan ulang terhadap fatwa-fatwa imanya.
Dalil-dalil yang mendukung setiap fatwanya diperiksa kembali untuk
menguji kekuatannya. Dalam hal al-Syafi’i memberi dua, atau lebih, fatwa
yang berbedamereka melakukan tarjih seetelah menelusuri dalilnya masing-
masing untuk mendapatkan pilihan terkuat.
Mereka inilah yang kemudian memainkan pera penting dalam membela,
melengkapi, dan menyebarkan madzhab al-Syafi’i sehingga ia dapat hidup
berdampingan atau bersaing dengan madzhab-madzhab lainnya si hampir
semua wilayah Islam. Selain ramai dengan kegiatan istinbath, kajian, dan
diskusi antara sesamanya atau antara mereka dengan ulama dari madzhab lain,
para ulama Syafi’iyah pada periode ini juga banyak menghasilkan karya tulis.
Hampir setiap ulama terkemuka menuangkan ilumnya dalam berbagai tulisan,
risalah, taliq, matan, mukhtashar, ataupun syarh, sesuai dengan metode
penulisan yang berkembang pada masanya. Dengan demikian, semakin lama
semakin kayalah madzhab tersebut degan kitab-kitab.

VII. Kesimpulan
Imam Syafi merupakan imam ke tiga dari empat madzhab, Imam Syafi’i mempunyai
empat pemikiran dasar yaitu :
1. Al-Qur’an
Al-Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk,
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan, surga bagi yang
taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan dengan kisah-kisah umat
terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an adalah hujjah (dalil,
argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang erat terkait dengan
pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang berilmu adalah orang yang
mengetahui Al-Qur’an, sedangkan orang yag jahil adalah yang tidak
mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras untuk
menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik yang diperoleh dari nash (penengasan
ungkapan) maupun melalui intinbat (penggalian hukum). Menurutnya, setiap
kasus yang erjadi padaseseorang pasti emmpunyai dalil dan petunjuk dalam Al-
Qur’an.
Sesungguhnya Al-Syafi’i telah melakukan kajian secara luas dan
mendalam tentang berbagai aspek Al-Qur’an. Akan tetapi, di sini hanya akan
dikemukakan beberapa pokok pikirannya tentang kitab suci tersebut.

2. As-Sunah
Dengan pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl-Al-Hadist. Al-
Syafi’i sangatkuat berpegang pada hadist sebagai dalil hukum, sikap, pendirian,
dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan sangat jelas dalam kitab-
kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia mendukung ke-hujjah-an Sunnah,
sehingga ia mendapatkan gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Sunnah) ketika
berada di Baghdad.
Dengan mengambil sikap menengah di antara Ahl Al-ra’yi dan Ahl Al-
Hadist, ia memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hakikat Sunnah dan
menetapkan persyaratan tertentu yang harus terpenuhi agar suatu riwayat dapat
diterima. Secara umum, kaidah-kaidah yang dirumuskannya tentang hadist
dianggap sebagai sumbangan pemikiran penting dalam kajian hadist dan hukum
Islam serta berpengaruh besar pada masa-masa selanjutnya.
3. Al-Ijma’
Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur’an
ataupun Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka
peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi
kebebasan, bahan keharusan,untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil
ijtihadnya masing-masing.
Fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah tersebut
tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulamayang datang kemuadian dan
orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.
Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai dengan
kemampuan masing-masing, seluruh ulama sampai kepada kesimpulan yang sama
sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya. Kesepakatan seperti
itu disebut ijma’ dan dipandang sebagai hujjah yang mempunyai kekuatan
mengikat. Dengan adanya suatu ijma’, kajian terhadap masalah tersebut dianggap
telah selesai.
4. Qiyas
Sesungguhnya qiyas dan ra’yu, bukanlah sesuatu yang baru pada masa al-
Syfi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh para sahabat : Abu
Bakar, Umar ra. Dan lain-lain. Penggunaan ra’yu itu kemudian meluas
sedemikian rupa, sehingga mewarnai salah satu aliran fikih yang dikenal dengan
Ahl Al-ra’yi, yang berkembang pesat dibawah kepimpinan Abu Hanifah. Akan
tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan yang jelas tentang hakikat, batas-batas, dan
kedudukannya sebagai dalil. Al-Syafi’i-lah yang pertama sekali memberikan
bentuk, batasan, syarat-syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas bagi
qiyas dalam deretan dalil-dalil hukum. Ia menempatkan qiyas pada urutan
keempat, baik dari segi kemuliaan (syarf) maupun kekuatannya.

VIII. Qaul Qadim dan Qaul Jadid


1. Definisi Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Qaul qadim artinya secara Bahasa adalah bentukan dari 2 kata. Qaul artinya
perkataan, pendapat atau pandangan. Sedangkan qadim artinya adalah masa lalu.Jadi
makna dari qaul qadim adalah pandangan fiqih Al-Imam Asy-Syafi’i versi masa lalu.
Qaul jadid, kebalikan dari qaul qadim. Jadid artinya baru, maka qaul jaded adalah
pandangan fiqih Al-Imam Asy-Syafi’i menurut versi terbaru.
Qaul qadim dan qaul jadid adalah sekumpulan fatwa, bukan satu atau dua fatwa.
Memang seharusnya digunakan istilah aqwal yang bermakna jama’, namun entah
kenapa istilah itu terlanjur melekat, sehingga sudah menjadi lazimuntuk disebut
dengan istilah qaul qadim dan qaul jadid saja.
Qaul qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang pertama kali di fatwakan Ketika
beliau tinggal di Baghdad Irak (195H), setelah beliau diberi wewenanguntuk berfatwa
oleh para ulama/ ahli hadist dan oleh gurunya, yaitu SyekhMuslim bin Kholid
(Mekah) dan Imam Malik (Madinah). Sebagai tinjauan pendapat Imam abi Hanufah,
sebagaimana dikatakan Abdul Ghoni ad Dakiryang artinya sebagai berikut: “Berkata
Zakaria as Saji, telah mengabarkankepadaku Ibrohim bin Ziyad, aku mendengar
Buyuti telah berkata kepada Imam Syafi’i: ahli hadist telah bersepakat tentang diriku
dan memintaku untukmengkritik kitab Abu Hanifah, maka aku katakan : Aku tidak
tahu bagaimanadia berpendapat hingga aku meninjau kitabnya, maka aku
diperintahkan,kemudian aku mendapatkan tulisan Muhammad bin Hasan kemudian
akumenelaahnya selama satu tahun hingga aku menghafalnya. Baru kemudian aku
menulis fatwaku di Baghdad yakni Al Hujjah”
Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan
pemahamannya tajam, hingga sampai ke derajat mujtahid mutlak, terdorongmemiliki
inspirasi baru untuk berfatwa sendiri. Ia termotivasi untuk mengeluarkan hukum
syar’i dari Al-Qur’an dan al-Hadits sesuai dengan ijtihadnya, yang terlepas dari
madzhab-madzhab gurunya, yakni Imam Hanafidan Imam Maliki.
Keinginan sepertinya mulai tampak tepatnya pada tahun 198 H di Baghdad,yaitu
setelah usianya genap 48 tahun. Utamanya lagi sesudah merasakan masa belajar
kurang lebih 40 tahun. Pada mulanya beliau mengarang kitab ushul al-fiqh di Irak
yang diberi nama al-Risalah (surat kiriman). Kitab ini ditulis atas permintaan
Abdurrahman bin al-Mahdi di Makkah, yang memesan kepada Imam Syafi’i agar
menerangkan satu kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an dan hal ihwal al-
Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas dan nasakh dan Mansukh. Setelahselesai ditulis oleh
Imam Syafi’i dan disalin oleh murid-muridnya, berikutnyadikirim kepada
Abdurrahman bin al-Mahdi.

Berkenaan dengan kitab ar-Risalah yang ditulisnya, Fakhru Rozi dalamkitab al-
Manakib al-Syafi’i menilai dan mengatakan bahwa umat Islam sebelumImam Syafi’i
membicarakan fiqh, untuk sekadar membantah dan mengambil dalil-dalil saja,
belumlah ditemukan peraturan umum yang bisa dijadikan pedoman dalam menerima
dan menolak dalil itu. Namun begitu Imam Syafi’i menulis dengan ilmu-ilmu
barunya, yang lebih popular dengan sebutan kitabushul fiqh dalam kitab ar-Risalah,
dimana ia telah meletakkan di dalamnyadasar-dasar dan peraturan-peraturan umum,
maka sejak itulah banyak pihakyang mempu menyelidiki derajat dalil-dalil syari’at
Islam.
Dengan demikian jelaslah apa yang disebut madzhab (aliran) lama dan aliran
baru. Apa saja yang dikatakan dan ditulis Imam Syafi’i Ketika berada diIrak
dinamakan aliran lama, sedangkan yang dikatakan dan ditulis di Mesirdinamakan
dengan aliran baru. Pandangan senada juga dikemukakan olehAhmad Amin Abd al-
Mun’im al-Bahy, menurutnya ulama yang telah membagi fuqh Imam Syafi’i menjadi
dua madzhab, yaitu madzhab qadim (fatwa lama)dan madzhab jadid (fatwa baru).
Adapun yang disebut sebagai madzhab qadim adalah fiqh Imam Syafi’i yang ditulis
dan dikatakan di Irak. Sedangkan yang disebut madzhab jadid adalah apa saja yang
ditulis dan dikatakan ketika ia berada di Mesir.
Pembedaan penggunaan qaul qadim dan jadid sebenarnya hanya
untukmembedakan tempat penulisan dan pengungkapan fatwa. Sementara madzhab
Imam Syafi’i sendiri tetap satu dan tidak dua. Hanya saja kesempurnaan madzhabnya
hingga mencapai pada bentuk final, baru terjadi ketika ia berada diMesir.
Kedudukan para ulama Mesir diatas pada prinsipnya memang tidak bisalepas dari
prediksi dan perhitungan-perhitungan matang dari pemikiran Imam Syafi’i jauh
sebelum ia dating ke Mesir. Begitu keinginan untuk menuju keMesir, ia telah
berusaha untuk mengantongi berbagai informasi tentang situasidan kondisi Mesir,
utamanya beberapa persoalan yang berkenaan langsungdengan madzhab yang
berkembang di Mesir ketika itu. Al-Rabi’ ulama berkebangsaan Mesir adalah orang
yang besedia untuk berdialog secara intens dengan Imam Syafi’i, Mesir menurut al-
Rabi’ telah diwarnai oleh dua corak aliran fiqh yang sangat tajam. Pertama, corak
yang selalu condong danmengikuti aliran Maliki. Kedua, corak yang condong dan
setia pada aliranHanafi.
Ketika Imam Syafi’i berada di Mesir, beliau berusaha meninjau ulang
beberapa fatwanya yang diungkapkannya di Baghdad. Akibatnya, ada
diantarasebagian kitab yang ditetapkan dan ada Sebagian kitab yang dikoreksi.
Berawaldari kenyataan ini timbullah qaul qadim dan qaul jadid, dimana qaul
qadimadalah pendapat yang difatwakan di Baghdad dan qaul jadid adalah
pendapatyang difatwakan di Mesir.

2. Faktor-Faktor yang Membelakangi Lahirnya Qaul Qadim Qaul Jadid


a) Faktor Sosial
Secara umum, faktor sosial memiliki andil dalam suatu proses perubahan,
termasuk dalam fenomena qaul qadim Imam Syafi`i hingga berubah menjadi qaul
jadid. Di masa kehidupan Syafi`i, terutama pada masaawal Dinasti Abbasiyah,
kerajaan-kerajaan Islam berada dalam satu payungyang besar, yaitu daulah
Islamiyah yang bertujuan untuk terjadi interaksi jasadiyah dan ruhiyah, aqliyah
dan fikriyah.di mana saat itu Baghdad menjadisalah satu pusat ilmu pengetahuan
dunia . untuk terjadi interaksi jasadiyah danruhiyah, aqliyah dan fikriyah di mana
saat itu Baghdad.
Sehingga, bangkitnya keilmuan Syafi`i tidak bisa lepas dari
kegiatankeilmuan tersebut. Dan ketika Imam Syafi`i pergi ke Mesir, pola
pemikirannyamenjadi berubah dan berbeda dari pola pikir yang telah ditulis
dandiungkapkan di Baghdad.Yaitu lahirnya pemikiran qaul qadim dan qaul
jadidsalah satunya adalah dipengaruhi faktor sosial, sehingga Imam
Syafi`Imelakukan upaya aktualisasi dan kontekstualisasi terhadap hukum yang
telahdifatwakan sebelumnya, karena batas kubu besar aliran fiqih di Mesir saat
itusudah terlihat jelas. Sehingga, Imam syafi`i berusaha memposisikan dirinya
berada di antara dua kubu tersebut, al-ra`yu dan ahl hadits.
b) Faktor Politik
1. Politik InternalPolitik internal pemerintahan Abbasyiyah pertama, lebih
khusus lagi padamasa Imam As-Syafi telah menunjukkan adanya karakter
politik yang berbeda jauh jika dibandingkan dengan karakter politik
pemerintahan DinastiUmayyah.Pemerintahan Abbasyiah lebih banyak
berpegang pada unsur-unsurPersi, sedangkan Dinasti Bani Ummayah lebih
banyak berpegang pada unsurkearaban. Adapun corak pemerintahan yang
dikehendaki pada masa pemerintahan Abbasyiah adalah politik yang tetap
memiliki respon tinggikepada para ulama dan ilmu pengetahuan.
2. Politik EksternalKondisi politik eksternal pemerintahan Abbasyiah, khususnya
pada masakehidupan Imam Syafi`i, sedikitpun tidak mengalami
perkembangan dankemajuan. Bahkan kekuasaan pemerintahan Abbasiyah
jauh dari pusatkekuasaan pemerintahan yaitu kota Baghdad telah banyak
mengalami penyusutan, seperti munculnya pemberontakan di Armenia.
c) Faktor Budaya
Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat mempengaruhi terhadap
pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Selama 18 tahun Imam Syafi`i(mulai
dari usia dua tahun) dia tinggal di Mekkah. Kota tersebut kental dengan
kearabannya, sementara pemerintah Abbasyiah saat itu didominasi oleh unsur
Persia. Sebelum kedatangan Islam.

Kompleksitas dan pluralitas budaya, baik langsung atau tidak, banyak


berpengaruh bagi kematangan daya pemikiran Imam Syafi`i. Kematangan
dayanalarnya yang telah lama terbangun oleh pengalaman pengembaraan
selamahidupnya, ditambah lagi dengan berbagai budaya yang telah
berinteraksi,membuatnya bertambah kritis dan dinamis. Dan perubahan hukum
yang terjadiketika Imam Syafi`i berada di Irak dan Mesir merupakan bukti akan
kesempurnaan ilmu dan pengalamannya. Karena di Mesir ia menemukan
dalilyang lebih pasti, yaitu akibat dari ragam budaya pemikiran yang berkembang
diMesir. Dimana pemikiran Syafi’i adalah hasil penelitian keilmuan yang
berkembang sebelumnya.
d) Faktor Geografis
Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan pembentukan
hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebutadalah iklim dan
perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklimdi Hijaz berbeda
dengan iklim di Irak dan berbeda pula dengan iklim yang ada diMesir, sehingga
melahirkan fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaulqadim dengan qaul
jadid, membuktikan adanya berbedanya iklim dan geografi.Ulama ahli ra’yi dan
ahli hadits berkembang dalam dua wilayah geografisyang berbeda. Ulama ahli
rayi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di kota Kufah dan
Baghdad yang metropolitan, sehingga harusmenghadapi secara rasional sejumlah
persoalan baru yang muncul akibatkompleksitas kehidupan kota. Sebaliknya
Imam Malik bin Anas yang hidup diMadinah yang tingkat kompleksitas hidup
masyarakatnya lebih sederhana,ditambah kenyataan banyaknya hadits-hadits yang
beredar di kota ini, cendrung banyak menggunakan hadits ketimbang rasio atau
akal. Kota- kota yang secarageografis dipengaruhi oleh ahli filsafat akan berbeda
dalam pembentukan hukumdibanding dengan kota-kota yang secara geografis
dipenuhi oleh ahli-ahli tasauf.Kota-kota yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi
akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang tidak ada
kompleksitasnya.
Kota-kota yang modern akan berbeda pula pengaruh hukumnya
dengankota-kota yang sederhana dan tertutup. Artinya tingkat urbanisasi disuatu
daerahakan menentukan dalam pembentukan hukum pada daerah itu sendiri.
Mesirsecara geografis lebih subur dibandingkan dengan Irak, karena adanya
Sungai Nil yang selalu meluap, di Mesir air lebih mudah didapatkan jika
dibandingkandengan di Irak. Oleh karena itu dalam masalah yang ada kaitannya
dengan air(iklim), seperti thaharah, berwudhu, shalat dalam keadaan tidak ada air
dan lain sebagainya, Imam Syafi’i telah mengeluarkan fatwa yang berbedadengan
fatwa sebelumnya ketika di Irak.

e) Faktor Ilmu Pengetahuan


Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para
imammujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Imam Syafi’I
seorangyang ahli hadits, beliau belajar hadits kepada Imam Malik bin Anas di
Madinah,Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar kepada
Imam AbuYusuf dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifah di
Irak.Imam Syafi’i menggabungkan kedua pendapat gurunya itu menjadi
fatwanyasendiri.Setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir, pengalaman Imam Syafi’i
semakin bertambah dan Imam Syafi’i tetap bertukar fikiran kepada ulama-ulama
Mesir.Sehingga setelah berada di Mesir Imam Syafi’i menemukan ada dalil-dalil
yanglebih kuat dan lebih shahih bila dibandingkan dengan hasil ijtihadnya
ketikamasih berada di Irak.
Oleh karena itu Imam Syafi’i memandang perlu untuk meluruskan
danmeralat kembali fatwa-fatwa beliau ketika masih berada di Irak,
karenamenganggap fatwa-fatwa beliau yang dikeluarkan di Irak tidak didukung
dengandalil yang lebih kuat.

IX. Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat, kami sadar makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa
menambah wawasan dan pengetahuan kita semua.

Anda mungkin juga menyukai