DISUSUN OLEH :
1. DINI FAIQOH
2. FIANTIKA MUTIA RAHMA
3. M. ANANDA KHAFIDIN
4. MUHAMMAD RAFIH
5. NAIDA ZASTIA
6. TATIA AZZAHRA SEPTIANI P.
III. PEMBAHASAN
1. Biografi Imam Asy Syafi’i
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin
asy-Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin ‘Abdi
Manaf. Dengan demikian nasab beliau bermuara kepada Abdu Manaf, kakek buyut Nabi
( ﷺLihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, X/5-6; Thabaqât asy-Syâfi’iyyah
al-Kubrâ, II/71-72). Meskipun nenek moyang beliau suku Quraisy di Makkah, beliau
tidak lahir di Makkah, karena ayah beliau, Idris, merantau ke Syam. Beliau lahir di Ghaza
(Palestina) pada tahun 150 Hijriah, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.
Beliau sudah yatim sejak usia dua tahun. Ibunya lalu membawa beliau ke
kampung halaman di Makkah. Sejak kecil, sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tak
berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau sering mengumpulkan pecahan tembikar,
potongan kulit, pelepah kurma dan tulang unta untuk dipakai menulis.
Tentang kegiatan keilmuannya, Imam al-Baihaqi, dengan sanad dari Mush’ab bin
Abdillah az-Zabiri, menuturkan, “Imam Syafi’i memulai aktivitas keilmuannya dengan
belajar syair, sejarah dan sastra. Setelah itu ia menekuni fikih.”
Selain kebesaran keilmuannya, Imam Syafii pun terkenal karena kepribadiannya yang
luhur. Tentang ini, Thasy Kubri bertutur di dalam Miftâh as-Sa’âdah, “Para ulama ahli
fikih, ushul, hadis, bahasa, nahwu dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Imam Syafi’i
memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’,
takwa, dermawan, perilakunya baik dan derajatnya tinggi.”
Imam Syafi’i juga ahli sedekah. Seluruh harta yang ia dapatkan segera ia
sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Meski dikenal ketakwaan, kewaraan dan
kezuhudannya, Imam Syafi’i tetap merasa rendah dan hina di hadapan Allah SWT.
2. Keteladan Imam Syafi’i dalam Menuntut Ilmu
Dalam mahfudzhot (kumpulan nasehat-nasehat Arab) yang cukup terkenal,
dikisahkan bahwa Imam Syafi’i pernah mengadu kepada gurunya yang bernama Imam
Waqi’. Imam Syafi’i menceritakan keadaan dirinya yang mengalami kesulitan dalam
menghafal. Tentu saja kesulitan menghafal yang dialami oleh Imam Syafi’i tidak seperti
kesulitan yang dialami oleh kebanyakan orang. Imam Syafi’i memiliki kedudukan yang
sangat tinggi sebagai Ulama karena memiliki kecerdasan dan keilmuan yang sangat
cemerlang, sehingga kesulitan yang dia alami merupakan kesulitan yang mungkin
dianggap ringan ataupun tak jadi masalah bagi orang-orang awam. Kesulitan tersebut
dipandang sebagai suatu bencana yang sangat besar bagi dirinya, “hasanatul abror
sayyiatul muqorrobiin” (suatu yang dianggap sebagai kebaikan bagi orang awam, dapat
menjadi suatu keburukan bagi orang yang memiliki kedudukakan dekat dengan Allah).
Setelah Imam Syafi’i mengadukan permasalahan yang dialaminya, Imam Waqi’
memberikan nasehat untuk Imam Syafi’i, jika ingin mudah untuk menghafal ilmu
hendaklah meninggalkan segala perbuatan dosa, karena ilmu yang ingin kita hafal dan
ketahui merupakan cahaya dari Allah yang tidak akan pernah diberikan kepada orang-
orang yang gemar berbuat dosa. Kisah Imam Syafi’i dan gurunya dapat menjadi bekal
dan pelajaran bagi kita yang gemar menuntut ilmu. Setidaknya ada beberapa hikmah
yang dapat kita ambil dari kisah tersebut.
Pertama, hendaklah kita sebagai penuntut ilmu tidak berjalan sendiri tanpa adanya
bimbingan dari guru. Perjalanan menuntut ilmu merupakan suatu perjalanan yang begitu
berat, jalan yang penuh dengan pendakian dan rintangan, sehingga kita membutuhkan
teman yang mampu membimbing kita. Hendaklah kita mencari guru yang benar-benar
memahami hakekat ilmu, mempertanggungjawabkannya, dan mengamalkannya,
sebagaimana Imam Waqi’ yang menjadi guru Imam Syafi’i. Seorang guru yang mampu
memberikan solusi kepada muridnya tatkala murid mengalami kesulitan. Selain itu,
hendaklah kita memiliki guru yang mampu mengenalkan dan mengajak kita untuk terus
semakin dekat kepada Allah, serta menjauhkan kita dari keburukan. Guru yang ketika kita
bertemu dengannya selalu ada ilmu baru yang kita dapatkan.
Kedua, hendaklah kita tidak pernah sungkan untuk bertanya kepada guru
mengenai kesulitan-kesulitan yang ditemukan saat menuntut ilmu. Pepatah terkenal
menyebutkan bahwa “malu bertanya sesat di jalan”. Menuntut ilmu merupakan
perjalanan yang sangat panjang karena dilakukan dari buaian hingga masuk liang kubur.
Dengan membiasakan bertanya akan selalu ada jalan keluar dari setiap masalah yang kita
hadapi. Bertanya juga merupakan setengah dari ilmu. Salah satu kunci untuk membuka
ilmu yang belum kita ketahui adalah dengan cara bertanya kepada guru.
Ketiga, hendaklah kita memahami kemuliaan ilmu yang menjadi warisan para
Nabi. Menurut Imam Waqi’ ilmu merupakan cahaya dari Allah. Orang yang buta matanya
tidak akan pernah dapat melihat terangnya cahaya matahari, begitu pula dengan orang
yang buta mata hatinya tidak akan pernah merasakan cahaya ilmu. Mata hati menjadi
buta akibat dari perbuatan dosa yang dilakukan. Oleh karena itu, agar cahaya ilmu mudah
untuk menyerap di hati, hendaklah kita senantiasa menjauhkan segala bentuk perbuatan
dosa.
3. Keteladanan Imam Asy Syafi’i
a. Kecintaan yang sangat dalam pada ilmu
Ahmad bin Hambal mengatakan, "Asy-Syafi'i bagi umat ini ibarat
matahari bagi bumi dan laksana kesehatan bagi tubuh. Siapa yang akan dapat
menggantikannya?"
b. Rajin beribadah dan warak
Imam asy-Syafi'i rajin beribadah dan beramal saleh. Dalam kitab l'anah at-
Talibin dikatakan bahwa ia membagi malamnya menjadi tiga bagian.
Sepertiga untuk menulis, sepertiga untuk salat, dan sepertiga lagi untuk tidur.
c. Sikap zuhud, dermawan, dan penyabar
Imam asy-Syafi'i sangat zuhud atau tidak tamak pada urusan duniawi. la
rajin bersedekah dan membantu orang lain.
d. Gigih dan santun dalam berdebat
Beberapa pendapat Imam asy-Syafri berseberangan dengan Imam Malik,
gurunya sendiri. Imam asy-Syafi'i santun dalam berdebat dan hati-hati dalam
berfatwa. Menurutnya, tujuan berdebat adalah mencari kebenaran, bukan
untuk menang atau kalah.
4. Kitab-kitab Karangan Asy Syafi’i
a) Kitab Ar Risalah
Kitab ini khusus berisi ilmu Ushul Fiqh. Dalam kitab ini, Imam Syafi’i
mengarang dengan jelas tentang cara-cara beristimbath, mengambil hukum-
hukum dari al Qur’an dan Sunnah dan cara-cara orang beristidlal dari Ijma’
dan Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam ar Rabi’ bin Sulaiman al
Murady.
b) Kitab Al Umm
Kitab ini merupakan karya terbesar Imam Syafi’i. Isi kitab ini
menunjukkan kealiman dan kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, karena
susunan kalimatnya yang tinggi dan indah, ibaratnya halus serta tahan uji
kalau dipergunakan untuk bertukar fikiran bagi para ahli fikir yang ahli fiqih.
Tepatlah kalau kitab ini dinamakan al Umm yaitu “ibu” bagi anak-anak yang
sebenarnya.
5. Keistimewaan Imam Asy Syafi’i
Keistimewaan dari Imam Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya
(Imam Abu Hanifah yang terpusat di Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota
Madinah) adalah perjalanan keilmuannya yang sangat kaya dan panjang.
"Keistimewaan dari Imam Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya
(Imam Abu Hanifah yang terpusat di Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota
Madinah) adalah perjalanan keilmuannya yang sangat kaya dan panjang."
Keistimewaan dari Imam Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya
(Imam Abu Hanifah yang terpusat di Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota
Madinah) adalah perjalanan keilmuannya yang sangat kaya dan panjang.
Alhasil, Imam Syafi’i meletakkan fondasi yang sangat kokoh sebagai awal
dimulainya diskusi panjang tiada akhir di bidang ilmu ushul fiqh. Di antara landasan
pemikiran yang telah dibangun oleh Imam Syafi’i adalah:
a) Menjelaskan dalil-dalil yang diambil dalam menentukan hukum yaitu Al-
Qur’an, hadits, ijma', qiyas, serta mempertajam urutannya.
b) Memperkokoh hujjah hadits secara umum dan mengukuhkan hujjah hadits
Ahad secara khusus serta menerangkan tentang tidak adanya pertentangan
secara nyata baik antara Al-Qur’an dan hadits maupun antara satu hadits
dengan hadits lainnya sebagai sumber dalil.
c) Menjelaskan kewajiban mengikuti jalan orang-orang beriman (ijma').
d) Memberikan batasan dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sebagai
patokan hukum serta memberikan syarat yang terperinci dalam menggunakan
Qiyas.
e) Memberikan perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah
yang terlalu ekstrem dalam mentakwil sifat Allah.
f) Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab
serta di dalam Al-Qur’an ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam
pelafalan bahasa Arab. 7.Menerangkan tentang amr (perintah) dan nahi
(larangan).
g) Menjelaskan naskh dan mansukh (pembatalan hukum).
Seperti pada periwayatan lisan, proses perpaduan kedua kelompok qaul itu
juga terjadi pada penulisan kitab-kitab. Kalau kitab-kitab periode pertama hanya
memuat satu kelompok qaul, tampak bahwa karya-karya yang lahir pada masa
berikutnya telah meliput qaul qadim, qaul jaddid.
Adanya dua qaul yang berbeda untuk masalah yang sama tentu merupakan
khasanah yang sangat berharga dalam kajian. Akan tetapi, hal itu justru dapat
menyulitkan dalam lapangan fatwa yang mengkhendaki kepastian hukum. Oleh
karena itu, di perlukan upaya tarjih, memilih yang terkuat dari pendapat yang
berbeda itu. Selanjutnya, hal ini menuntut pola adanya kriteria tertentu sebagai
acuan tarjih.
Secara umum, menurut al-Nawawi, fatwa-fatwa qaul jadid-lah yang harus
di amalkan karena itulah yang lebih shahih dan dianggap sah sebagai madzhab al-
syafi’i. Sebab, pada prinsipnya semua fatwa qaul qadim yang bertentangan
dengan qaul jaddid telah ditinggalkan (marju’ ‘anh) dan tidak dapat di pandang
lagi sebagai madzhab al-Syafi’i.
Itulah sebabnya, kitab-kitab yang di tulis pada periode pengayaan
madzhab tersebut selalu memuat fatwa qaul jaddid lengkap dengan dalil-dalil
yang mendukungnya, serta fatwa yang lanjutan lahir sebagai proyeksi darinya
(meliputi qaul mukharraj dan wajh yang diperoleh dari tafri’ atau takhrij’),
sedangkan fatwa-fatwa qaul qadim hanya di muat sebagai bahan perbandingan
dalam kajian. Akan tetapi, sesuai dengan anjuran al-Syafi’i sendiri, para sahabat
dan pengikutnya terus melakukan ijtihad. Selain upaya memproyeksikan fatwa-
fatwa qaul jaddid, ijtihad mereka juga meliputi peninjauan ulang dan penelitian
kembali terhadap fatwa serta dalil dan wajhistidlal yang mendukungnya. Untuk
ini mereka melakukan penelusuran terhadap hadits-hadits yang semakin mudah
ditemukan pada abad-abad kemudian dan pemeriksaan terhadap qiyas yang
digunakan. Melalui ijtihad yang berkelanjutan itu, mereka menemukan adanya
beberapa fatwa qaul qodim yang ternyata lebih kuat dari pada fatwa qaul jadid
dan mereka kembali mengangkatnya dalam fatwa-fatwa.
Para penulis fiqih madzhab al-Syafi’i kemudian, khususnya yang menulis
kitab-kitab dalam ukuran cukup besar (muthawwalat), selalu memberikan uraian
tentang tiap-tiap fatwa lengkap dengan berbagai dalil yang mendukungnya.
Kelihatannya, dalil-dalil yang dikemukakan itu tidak hanya terdiri atas kutipan
dari kitab-kitab al-Syafi’i sendiri, sebagian darinya adalah temuan dari para
penulis itu sendiri, atau, boleh jadi, diambil dari madzhab lain yang memberikan
fatwa serupa.
Demikianlah, qaul qadim dan qaul jadid terus menjadi bahan kajian dalam
madzhab al-Syafi’i. Setelah melalui masa yang panjang ternyata ada beberapa
qaul qadim yang secara umum dianggap lebih shahih dari pada qaul jadid.
VII. Kesimpulan
Imam Syafi merupakan imam ke tiga dari empat madzhab, Imam Syafi’i mempunyai
empat pemikiran dasar yaitu :
1. Al-Qur’an
Al-Syafi’i menegaskan bahwa Al-Qur’an membawa petunjuk,
menerangkan yang halal dan yang haram, menjanjikan balasan, surga bagi yang
taat dan neraka bagi yang durhaka, serta memberikan dengan kisah-kisah umat
terdahulu. Semua yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an adalah hujjah (dalil,
argumen) dan rahmat. Tingkat keilmuan seseorang erat terkait dengan
pengetahuannya tentang isi Al-Qur’an. Orang yang berilmu adalah orang yang
mengetahui Al-Qur’an, sedangkan orang yag jahil adalah yang tidak
mengetahuinya. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu perlu berupaya keras untuk
menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, baik yang diperoleh dari nash (penengasan
ungkapan) maupun melalui intinbat (penggalian hukum). Menurutnya, setiap
kasus yang erjadi padaseseorang pasti emmpunyai dalil dan petunjuk dalam Al-
Qur’an.
Sesungguhnya Al-Syafi’i telah melakukan kajian secara luas dan
mendalam tentang berbagai aspek Al-Qur’an. Akan tetapi, di sini hanya akan
dikemukakan beberapa pokok pikirannya tentang kitab suci tersebut.
2. As-Sunah
Dengan pendidikan yang diperolehnya dari kalangan Ahl-Al-Hadist. Al-
Syafi’i sangatkuat berpegang pada hadist sebagai dalil hukum, sikap, pendirian,
dan pandangannya terhadap Sunnah dinyatakan dengan sangat jelas dalam kitab-
kitabnya. Dengan berbagai argumentasi, ia mendukung ke-hujjah-an Sunnah,
sehingga ia mendapatkan gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Sunnah) ketika
berada di Baghdad.
Dengan mengambil sikap menengah di antara Ahl Al-ra’yi dan Ahl Al-
Hadist, ia memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hakikat Sunnah dan
menetapkan persyaratan tertentu yang harus terpenuhi agar suatu riwayat dapat
diterima. Secara umum, kaidah-kaidah yang dirumuskannya tentang hadist
dianggap sebagai sumbangan pemikiran penting dalam kajian hadist dan hukum
Islam serta berpengaruh besar pada masa-masa selanjutnya.
3. Al-Ijma’
Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur’an
ataupun Sunnah, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka
peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi
kebebasan, bahan keharusan,untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil
ijtihadnya masing-masing.
Fatwa-fatwa mereka itu tidak bersifat mengikat. Masalah-masalah tersebut
tetap terbuka sebagai lapangan ijtihad bagi ulamayang datang kemuadian dan
orang awam bebas memilih untuk mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.
Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, setelah melakukan ijtihad sesuai dengan
kemampuan masing-masing, seluruh ulama sampai kepada kesimpulan yang sama
sehingga terbentuklah suatu kesepakatan tentang hukumnya. Kesepakatan seperti
itu disebut ijma’ dan dipandang sebagai hujjah yang mempunyai kekuatan
mengikat. Dengan adanya suatu ijma’, kajian terhadap masalah tersebut dianggap
telah selesai.
4. Qiyas
Sesungguhnya qiyas dan ra’yu, bukanlah sesuatu yang baru pada masa al-
Syfi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh para sahabat : Abu
Bakar, Umar ra. Dan lain-lain. Penggunaan ra’yu itu kemudian meluas
sedemikian rupa, sehingga mewarnai salah satu aliran fikih yang dikenal dengan
Ahl Al-ra’yi, yang berkembang pesat dibawah kepimpinan Abu Hanifah. Akan
tetapi, sejauh itu, belum ada rumusan yang jelas tentang hakikat, batas-batas, dan
kedudukannya sebagai dalil. Al-Syafi’i-lah yang pertama sekali memberikan
bentuk, batasan, syarat-syarat, dan berbagai ketentuan serta posisi yang jelas bagi
qiyas dalam deretan dalil-dalil hukum. Ia menempatkan qiyas pada urutan
keempat, baik dari segi kemuliaan (syarf) maupun kekuatannya.
Berkenaan dengan kitab ar-Risalah yang ditulisnya, Fakhru Rozi dalamkitab al-
Manakib al-Syafi’i menilai dan mengatakan bahwa umat Islam sebelumImam Syafi’i
membicarakan fiqh, untuk sekadar membantah dan mengambil dalil-dalil saja,
belumlah ditemukan peraturan umum yang bisa dijadikan pedoman dalam menerima
dan menolak dalil itu. Namun begitu Imam Syafi’i menulis dengan ilmu-ilmu
barunya, yang lebih popular dengan sebutan kitabushul fiqh dalam kitab ar-Risalah,
dimana ia telah meletakkan di dalamnyadasar-dasar dan peraturan-peraturan umum,
maka sejak itulah banyak pihakyang mempu menyelidiki derajat dalil-dalil syari’at
Islam.
Dengan demikian jelaslah apa yang disebut madzhab (aliran) lama dan aliran
baru. Apa saja yang dikatakan dan ditulis Imam Syafi’i Ketika berada diIrak
dinamakan aliran lama, sedangkan yang dikatakan dan ditulis di Mesirdinamakan
dengan aliran baru. Pandangan senada juga dikemukakan olehAhmad Amin Abd al-
Mun’im al-Bahy, menurutnya ulama yang telah membagi fuqh Imam Syafi’i menjadi
dua madzhab, yaitu madzhab qadim (fatwa lama)dan madzhab jadid (fatwa baru).
Adapun yang disebut sebagai madzhab qadim adalah fiqh Imam Syafi’i yang ditulis
dan dikatakan di Irak. Sedangkan yang disebut madzhab jadid adalah apa saja yang
ditulis dan dikatakan ketika ia berada di Mesir.
Pembedaan penggunaan qaul qadim dan jadid sebenarnya hanya
untukmembedakan tempat penulisan dan pengungkapan fatwa. Sementara madzhab
Imam Syafi’i sendiri tetap satu dan tidak dua. Hanya saja kesempurnaan madzhabnya
hingga mencapai pada bentuk final, baru terjadi ketika ia berada diMesir.
Kedudukan para ulama Mesir diatas pada prinsipnya memang tidak bisalepas dari
prediksi dan perhitungan-perhitungan matang dari pemikiran Imam Syafi’i jauh
sebelum ia dating ke Mesir. Begitu keinginan untuk menuju keMesir, ia telah
berusaha untuk mengantongi berbagai informasi tentang situasidan kondisi Mesir,
utamanya beberapa persoalan yang berkenaan langsungdengan madzhab yang
berkembang di Mesir ketika itu. Al-Rabi’ ulama berkebangsaan Mesir adalah orang
yang besedia untuk berdialog secara intens dengan Imam Syafi’i, Mesir menurut al-
Rabi’ telah diwarnai oleh dua corak aliran fiqh yang sangat tajam. Pertama, corak
yang selalu condong danmengikuti aliran Maliki. Kedua, corak yang condong dan
setia pada aliranHanafi.
Ketika Imam Syafi’i berada di Mesir, beliau berusaha meninjau ulang
beberapa fatwanya yang diungkapkannya di Baghdad. Akibatnya, ada
diantarasebagian kitab yang ditetapkan dan ada Sebagian kitab yang dikoreksi.
Berawaldari kenyataan ini timbullah qaul qadim dan qaul jadid, dimana qaul
qadimadalah pendapat yang difatwakan di Baghdad dan qaul jadid adalah
pendapatyang difatwakan di Mesir.
IX. Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat, kami sadar makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa
menambah wawasan dan pengetahuan kita semua.