Anda di halaman 1dari 3

KRITERIA KESHAHIHAN HADIS MENURUT SYEKH

NASHIRUDDIN ALBANI
Disusun Oleh: Faishal Shafly Yudatama

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrack
Para ulama hadis mempunyai standar dan kriteria untuk menentukan
kesahihan hadis. Maka dari itu, standar mereka berbeda-beda dan melalui
perbedaan kriteria tersebut maka berbeda pula dalam memaknai hadis sahih.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kriteria kesahihan hadis menurut
Nashiruddin Albani. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Nashiruddin Albani memiliki ciri-khas
tersendiri dalam meneliti keshahihan suatu hadis. Untuk meneliti keshahihan
suatu hadis, saya mengambil karya beliau yang berjudul Silsilah al-Ahadith al-
Shahihah wa Shai'un min Fiqhiha wa Fawaidiha. Karya ini berisi tentang studi
ilmiah terhadap hadis-hadis Nabi untuk dinyatakan shahih sesuai dengan kaidah
musthalah hadis yang telah disepakati ulama. Banyaknya hadis yang tertera
berdasar penomoran terakhir dari kitab tersebut sejumlah 4.035 buah.
Kata kunci: Hadis, Nashiruddin Albani.

Pendahuluan
Hadis sebagai salah satu teks yang terhubung dengan sejarah yang telah
melewati waktu yang panjang sampai sekarang. Perubahan kehidupan masyarakat
kontemporer mengandaikan perlunya pengkajian ulang terhadap proses
pembukuan serta pembakuan hadis, tanpa harus menafikan muatan spiritualitas
Islam yang bersum ber dari al-Qur’an dan Sunnah. Itu sebabnya, formula yang
menyatakan Islam shalih likulli zaman wa makan, sebenarnya lebih menunjukkan
fleksibilitas dan elastisitas Islam, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu
pandangan yang lebih menekankan pandangan ke depan (progresif), bukan ke
belakang (regresif). Proses pembakuan (tekstualitas-normatif) dan dinamisasi
(kontekstualitas-historis) ajaran Islam memang harus berjalan bersama-sama, seiring
dengan gegap gempita perubahan masyarakat dengan berbagai tantangannya.
Sejarah mencatat bahwa, pada masa Nabi Muhammad Saw. hadis pernah
dilarang untuk ditulis karena takut bercampur antara hadis dengan al-Qur’an sehingga
dikhawatirkan akan sulit untuk membedakan keduanya. Dalam sejarah juga
disebutkan bahwa penyebaran hadis yang semakin banyak dan meluas menjadi
pemicu kemunculan hadis maudhu’ (palsu). Hadis yang telah terkontaminasi oleh
pemalsuan disebabkan karena berbagai kepentingan seperti politik, fanatik aliran dan
lain-lain. Atas dasar inilah hadis sangat perlu untuk dikaji ulang karena merupakan
sebuah kewajiban bagi kita selaku umat Islam untuk mengerti secara mendalam
tentang hadis. Penelitian ataupun kritik pada hadis telah lama dilakukan oleh para
tokoh muslim dari mulai Khulafaur Rasyidin sampai sahabat-sahabat kecil lainnya.
Usaha melaksanakan kritik hadis untuk memperhitungkan kesahihan ataupun
kedhaifan suatu hadis terus bersinambung hingga masa saat ini ataupun masa
kontemporer, tercatat ada sebagian ulama yang melaksanakan evaluasi terhadap hadis
antara lain merupakan Nashiruddin Albani yang berupaya memisahkan hadis shahih
serta hadis dhaif. Selain Albani. Beliau memiliki karya yang fokus pada persoalan
kriteria keshahihan suatu hadis, yakni kitab Silsilah al-Ahadith al-Shahihah wa
Shai'un min Fiqhiha wa Fawaidiha. Karya ini berisi tentang studi ilmiah terhadap
hadis-hadis Nabi untuk dinyatakan shahih sesuai dengan kaidah musthalah hadis yang
telah disepakati ulama. Banyaknya hadis yang tertera berdasar penomoran terakhir
dari kitab tersebut sejumlah 4.035 buah.. Dalam kitab inilah pemikiran Nashiruddin
Albani tentang kriteria keshahihan hadis dapat ditemukan dan dikaji. Meski kajian
pemikiran Nashiruddin Albani sudah banyak ditulis, namun makalah ini mengulas
kembali bagaimana Nashiruddin Albani yang memiliki ciri-khas tersendiri dalam
meneliti keshahihan suatu hadis.
Biografi Nashiruddin Albani
Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh
Najati
bin Adam al-Albani. Laqabnya Najati, kuniyahnya Abu Abdirrahman dengan nama
salahsatu anaknya serta beliau dinisbahkan dengan al-Baniyan.1Dilahirkan pada tahun
1332 Hdan bertepatan pada 1914 M,2di kota Tirana ibu kota Albania. Dibesarkan di
tengah keluarga yang tak berpunya, Ayah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
yaitu Syaikh Al-Hajj Nuh adalah seorang lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari’at
di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (Istambul), yang ketika Raja Ahmad Zagho naik
tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka
Syaikh Nuh mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya. Akhirnya beliau memutuskan
untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan takut terkena
fitnah, beliau sekeluargapun menuju Damaskus.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani ini mulai mengkonsentrasikan diri
pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam
majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid
Ridha.Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-
Mughni’an

1
Abdurrahman bin Muhammad Shalih al-‘Aizari, op.cit.,halaman. 33.
2
Ibid., halaman. 34.
Hamli al-Asfar fial-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar. Sebuah kitab karya
Abu al-fadhl Abdurrahim bin Husein al-Iraqi, salah seorang syaikh terbesar Ibnu Hajar
yang wafat 806 H, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya’
Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam
bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar, “Sesungguhnya ilmu
hadits
adalah pekerjaan orang-orang pailit” (bangkrut).
Namun Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani justru semakin cinta
terhadap dunia hadits.Begitu besar cintanya dengan ilmu hadits, Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albaniyang saat itu tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-
kitab, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di Damaskus.Disamping juga
meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus.Begitulah, hadits menjadi
kesibukan rutinnya, sehingga beliau menutup kios reparasi jamnya.Beliau lebih betah
berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai
dua belas jam.Tidak pernah istirahat mempelajari kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu
shalat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke
perpustakaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sangat aktif di medan dakwah dan
sangat memerangi metode taklid, taklid yaitu menerima apa pun yang dikatakan
seseorang (biasanya ulama atau ahli ilmu) tanpa mempertanyakan keabsahan dasar
penyandaran hukumnya. Ayahnya cenderung mengarahkannya kepada mazhab Hanafi
untuk menjadi ulama mazhab Hanafi mengikuti jejak ayahnya, namun ternyata yang
terjadi adalah berbeda dari apa yang diharapkan oleh ayahnya. Ketekunan terhadap ilmu
hadits menyebabkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani tidak mau terikat
dengan
mazhab tertentu.Bahkan secara prinsip Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
terikat
dengan 4 mazhab sekaligus yaitu dalam hal penyandaran hukum dengan menyandarkan
semua syariat kepada al-Qur'an dan as-Sunnah (hadits) dengan dibimbing pemahaman
para Salafusshalih (para Sahabat Nabi).

Anda mungkin juga menyukai