Anda di halaman 1dari 17

Imam Syafi’i, Sang Pembenci Taklid dan Bid’ah

‘Al-Syafi’i, adalah orang yang bersikap keras terhadap ahlu al-ilhad (orang-orang yang
menyimpang dalam agama) dan ahlu al-bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan
pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” Imam al-Baihaqi (dalam Manaqib al-
Syafi’i, 1/469)’

Belum genap sembilan bulan usia kandungan sang istri (Fatimah al-Azdiyyah), Idris
bin Abbas memboyongnya dari Makkah ke Gaza, Palestina. Agaknya, Idris kelelahan
menempuh perjalanan 1.500 km. Harus menjaga barang bawaan dan istri yang sedang
mengandung. Setibanya di Gaza, dia jatuh sakit. Dan tidak berapa lama, Idris pun menghadap
Allah SwT. Selang beberapa hari setelah itu, Fatimah al-Azdiyyah melahirkan buah hati Abu
Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i pada tahun 150 Hijriah (767 M). Inilah Imam
Syafi’i, salah satu Imam besar dalam pemikiran hukum Islam. Salah satu dari empat madzhab
fiqih.

Semasa kecil, keluarga, kerabat, dan sekeliling memanggilnya Abdullah. Abdullah


diasuh dan dibesarkan ibunya dengan kondisi sangat prihatin dan serba kekurangan. Hingga
usia 2 tahun. Tidak tahan dengan keprihatinan, Abdullah dibawa ibunya menempuh
perjalanan jauh ke kampung halaman ibunya, Makkah. Di sinilah, Abdullah Muhammad bin
Idris memeroleh pengasuhan yang layak dari ibu dan keluarganya.
Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i sudah terlihat istimewa sejak masih kecil. Tumbuh
sebagai anak yang cerdas dan kuat hafalannya. Usia sembilan tahun sudah hafal Al-Qur’an.
Setahun kemudian giliran kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik yang berhasil dihafalkannya.
Berbekal kecerdasannya, Abdullah belajar berbagai ilmu ke banyak guru. Semua guru takjub
menyaksikan kecerdasannya. Tak heran, dalam usia 15 tahun, Abdullah telah duduk di kursi
mufti Kota Makkah. Sebuah kedudukan yang memiliki wewenang memberikan fatwa
hukum.

Abdullah Muhammad bin Idris menguasai banyak ilmu. Gurunya sebanyak muridnya
yang berjumlah puluhan. Namun, dia lebih dikenal sebagai ahli Hadits dan hukum. Guru
yang paling dihormatinya adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) tinggal di Madinah.
Ketika Imam Hanafi meninggal, dia sedang berada di Madinah. Dia pun akhirnya
melanjutkan pengajaran gurunya. Kecemerlangannya mulai didengar sejagat Arab. Murid-
murid berduyun-duyun datang ke Madinah.
Dari sinilah, mulai dikenal istilah Madzhab Syafi’i. Dia mengajarkan ilmu hukum kepada
murid-muridnya. Karya monumentalnya masih menjadi rujukan hingga kini. Kitab al-
Risalah (Ushul Fiqih) dan Kitab al-Umm (Fiqih). Kitab pertama sebagai peletak dasar teori-
teori istinbath hukum Islam. Kitab kedua lebih berisi tentang praktik hukum Islam. Karya
lainnya adalah kitab al-Hujjah, Ikhtilaf al-Hadits, al-Musnad, dan lain-lain. Semua karyanya
itu ditulis ketika menetap di Mesir.
Bagi Imam Syafi’i, Sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Beberapa ulama
bahkan menyatakan, Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan Sunnah dengan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum Islam. Karena itulah, dia diberi gelar Nashir al-Sunnah (pembela
Sunnah Nabi). Menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah, hakikatnya
adalah hasil pemahaman Nabi terhadap Al-Qur’an. Selain menggunakan dua sumber itu,
Imam Syafi’i mengambil ketetapan hukum dengan ijma’, qiyas, dan istidlal (penalaran).
Dalam hal istidlal, Imam Syafi’i sangat menekankan kepada murid-muridnya supaya tidak
taklid. Dia meminta muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat dan hasil ijtihadnya.
Dia tidak senang muridnya bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya. Dia malah menyuruh
bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat.
Imam Syafi’i menegaskan, “Inilah ijtihadku. Apabila kalian menemukan ijtihad lain yang
lebih baik dari ijtihadku, maka ikutilah ijtihad tersebut. Semua perkataanku yang menyelisihi
Hadits shahih, maka ambillah Hadits yang shahih. Dan janganlah taklid kepadaku.”
Imam Syafi’i juga dikenal sangat berupaya menjaga kemurnian tauhid. Di sangat keras
terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirk al-akbar (syirik besar yang
mengeluarkan pelakunya dari Islam). Seperti, misalnya, mendirikan bangunan di atas kubur
dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah, dan sebagainya.
Dia juga sangat membenci ahlu al-bid’ah. Imam al-Baihaqi menyatakan, “Adalah al-Syafi’i,
orang yang bersikap keras terhadap ahlu al-ilhad dan ahlu al-bid’ah. Beliau tampakkan
kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.”
Pemikiran Imam Syafi’i lainnya yang menarik adalah tentang qaul qadim (pendapat yang
lama) dan qaul jadid (pendapat yang baru). qaul qadim adalah ijtihad-ijtihad Imam Syafi’i
yang dicetuskan ketika dia menetap di Baghdad. Ketika pindah ke Mesir, muncul aliran
Mu’tazilah yang telah berhasil memengaruhi kekhalifahan. Dia melihat kenyataan dan
masalah yang berbeda dengan yang dia ditemui di Baghdad. Ia pun mengeluarkan ijtihad-
ijtihad baru yang berbeda. Ijtihad-ijtihad baru ini kemudian disebut qaul jadid.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus Qaul Qadim. “Jika tidak
ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim
ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya.”
Imam Syafii dikenal sangat menghormati dan menomorsatukan nasib kerabatnya. Dia juga
dikenal berkepribadian hangat. Mudah bergaul dan rendah hati. Pribadi ini terbentuk dari
kebiasaannya pergi ke banyak tempat untuk berguru pengetahuan.
Oleh karena itu pula, muridnya semakin banyak dan menghormatinya. Salah satu yang sangat
menghormatinya adalah Ahmad bin Hambal. Murid yang menggantikannya mengajarkan
pengetahuan hukum Islam setelah dia meninggal. Murid yang kemudian dikenal dengan
nama Imam Hambali (Madzhab Hambali).
Mesir adalah kota terakhir tempat Imam Syafi’i menetap. Tempat ia menyebarkan
pengetahuan dan fatwa-fatwa hukumnya. Tempat ia mengajar murid-muridnya dan menulis
karya-karyanya. Di Mesir pula, ia menutup mata. Setelah sakit beberapa hari, Imam Syafi’i
wafat. Pada tahun 204 H (820 M) di usia yang baru sekitar 54 tahun. Usianya sangat pendek.
Tapi pemikirannya melampaui usia pendeknya.

ABDUL QADIR JAILANI, SANG PENJAGA AQIDAH

Abdul Qadir Jailani lahir di Jailan, selatan laut Kaspia (sekarang menjadi Provinsi
Mazandaran), Iran, pada tahun 470 H/1077 M, dari pasangan Abu Salih dan Umm Khair
Fatima. Konon, dia adalah keturunan Nabi Muhammad dari cucu-cucunya, Hasan dan
Husein. Meskipun belum ada yang secara meyakinkan menjelaskan kebenaran cerita
tersebut. Ayahnya diyakini keturunan dari Hasan, sedangkan ibunya dari Husein. Sebagian
besar usianya dihabiskan untuk belajar. Abdul Qadir baru menikah pada usia 50 tahun.

Abdul Qadir lahir pada saat yang tepat. Ketika dinasti Saljuk yang berpusat di Iran
sedang berada dalam masa kejayaannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sedang pesat-
pesatnya. Madrasah (sekolah) yang diasuh guru-guru yang terkenal alim menjamur.
Meskipun lahir di dusun yang jauh dari kota, dan akses yang masih sangat sulit, dia sudah
mendengar hingar-bingar kemajuan ilmu pengetahuan di kota. Hasrat belajar Abdul Qadir
pun tersalur.

Sejak kecil, dia dikenal sebagai pribadi yang suka mencari ilmu. Di usia yang masih
muda, Abdul Qadir merantau ke Baghdad. Saat itu, Iraq belum berdiri sebagai negara, tapi
menjadi bagian dari kekuasaan Dinasti Saljuk. Dia mendaftar ke Madrasah al-Nizamiyah nya
Abu Hamid al-Ghazali (yang saat itu diasuh oleh adiknya Ahmad al-Ghazali, karena Abu
Hamid al-Ghazali sudah meninggal). Tetapi Abdul Qadir tidak diterima.

Akhirnya, dia belajar ke beberapa ulama di Iraq. Belajar ilmu-ilmu ushul dan
perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Tak heran di usia mudanya, dia sangat teguh
dalam berprinsip dalam hal akidah. Sang pencari sejati. Dalam rentang waktu selanjutnya,
hingga wafatnya, dia menekuni jalan tasawuf. Kemurnian akidah dan jalan tasawuf inilah
yang meneguhkannya sebagai guru yang amat dihormati. Dua hal yang dia jaga hingga
wafatnya pada 561 H/1166 M di Baghdad.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa pada masyarakat yang
mengantarnya dikenal luas. Suatu saat, salah satu anaknya, Abdul Wahab, meminta wasiat
di saat menjelang wafatnya. Dia menyatakan, “engkau harus senantiasa bertakwa kepada
Allah. Jangan takut kepada siapapun kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya.
Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah.” Jawaban ini
menegaskan bahwa, Abdul Qadir melihat gelagat para murid dan pengikutnya yang terlalu
menyanjung dirinya. Sehingga, dalam setiap do’a pun harus menyebut nama dirinya. Hal
yang sama sekali tidak diinginkan oleh guru besar Madzhab Hambali ini.
Menjaga Akidah dengan Tasawuf ‘Amali

Abdul Qadir dikenal sebagai penjaga akidah. Namun, ia juga dikenal sebagai tokoh tasawuf.
Ia produktif dalam menuliskan karya. Sekitar 17 kitab sudah ditulisnya. Dua diantaranya
yang paling utama adalah al-Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq dan Futuh al-Ghaib. Dua karya
inilah yang mencerminkan pikiran utamanya: akidah dan tasawuf. Abdul Qadir Jailani adalah
ulama madzhab Hambali. Ada yang menyebutnya Salafi. Hal ini terlihat dalam al-Ghunyah.
Dia sangat teguh memegang paham akidah madzhab Hambali. Oleh karena itu, dia sama
sekali tidak mempercayai segala pemujaan, karamah, dan wasilah.

Sementara, Futuh al-Ghaib menggambarkan pikirannya tentang perilaku tasawuf


yang dituntun oleh syariah. Buku kedua inilah yang dijadikan pijakan sebagian pemujanya
dalam laku tasawuf. Dia pun mendirikan Tariqat Qadiriyah dengan tujuan membimbing laku
tasawuf ‘amali yang dituntun syariah. Buku lain yang merinci tasawuf ‘amali ini adalah Sirr
al-Asrar Fi Ma Yahtaju Ilaihi al-Abrar. Buku yang menyingkap rahasia manfaat batiniah dari
ibadah shalat, zakat, puasa dan haji.

Abdul Qadir mengkritik Islam warisan. Islam yang hanya “melakukan” ibadah.
Kesadaran batiniahnya kurang. Maka ada dua hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki
ini, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan mengingat dan menghadirkan Allah
dalam kalbu. Amaliyah ibadah dengan memasukkan dua hal itu, menurutnya, akan
membimbing kepada Islam yang sebenarnya. Inilah yang dimaksud dengan tasawuf ‘amali.

Cerita Menyimpang

Selama ini, jika bicara tentang Abdul Qadir, kita selalu dikaburkan dengan pemujaan
berlebihan tentangnya. Bahkan ada yang meyakini bahwa berdoa pun harus menyebutkan
nama dan silsilahnya hingga Nabi Muhammad SAW. Keyakinan bahwa ia dilimpahi banyak
karamah, menggiring umat mendudukkan Abdul Qadir sebagai wasilah dan berharap
syafaatnya. Padahal secara jelas disebutkan Abdul Qadir bahwa hal-hal seperti itu sama
sekali tidak sesuai dengan Sunnah, dan dia tidak pernah mengajarkan yang demikian.

Ternyata, pemujaan berlebihan ini disebabkan oleh terbitnya tiga jilid buku, Bahjatu
al-Asraar wa Ma’dinu al-Anwar fi Ba’di manaqib al-Quthb ar-Rabbani Abdul Qadir Jailani,
karangan al-Muqri’ Abu al-Hasan asy-Syanthufi al-Mishri. Kitab-kitab ini adalah kumpulan
cerita terkait Abdul Qadir Jailani. Sayangnya, hampir keseluruhannya adalah kebohongan.
Penulisnya diketahui belum pernah sama sekali bertemu dengan Abdul Qadir.

Selain kitab itu, ada satu lagi ulama Sunni yang cerita berlebihan, Abu Abdillah
Muhammad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi, dikenal sebagai al-
Imam adz-Dzahabi atau al-Dhahabi. Dia menulis Siyar A’lamin Nubala. Di dalamnya
nukilan perkataan dan perbuatan Abdul Qadir Jailani dengan berlebihan. Misalnya, adz-
Dzahabi menukil pernyataan Abdul Qadir Jailani yang dipastikan tidak benar. Menurutnya,
Abdul Qadir pernah menyatakan, “lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku,
dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.” Cerita-cerita inilah yang menjadi bahan
utama tradisi manaqiban. Tradisi yang berisi cerita riwayat hidup Syekh Abdul Qadir Jailani.

Beruntung ada ulama lain yang mencoba meluruskannya. Ibnu Rajab al-hambali
berkata, “Syaikh Abdul Qadir al-jailani termasuk orang yang berpegang teguh dengan sunnah
dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, qodar, dan semisalnya,
bersungguh-sungguh dalam membantah orang yang menyelisihi perkara tersebut.” Bantahan
terhadap cerita rekaan itu juga dilakukan oleh ulama madzhab Syafi’i, al-Kamal Ja’far al-
Adfawy.

Selama 25 tahun Abdul Qadir Jailani menghabiskan waktunya sebagai pengembara


sufi. Selain itu, dia juga memimpin madrasah dan ribath (semacam pesantren) di Baghdad
yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Sepeninggalnya, Madrasah itu
dilanjutkan anaknya, Abdul Wahab dan Abdul Razaq, sampai hancurnya Baghdad pada tahun
656 H/1258 M. Meskipun sudah hampir 850 tahun meninggal, tapi namanya masih selalu
dipuja. Bahkan sebagian besar memujanya dengan berlebihan. Melebihi pujian terhadap
Rasulullah SAW. [islamaktual/sm]
ABU HURAIRAH, PECINTA HADITS DAN PEBISNIS ZAHID

Nama aslinya Abdu Syams (hamba matahari). Setelah masuk Islam, Rasulullah
menamainya Abdurrahman. Populer dengan julukan Abu Hurairah (bapak kucing). Julukan
ini disebabkan ketika ia menemukan seekor kucing di jalanan kota Madinah. Dia membawa
dan mendekap kucing itu di lengan bajunya. Orang-orang melihat peristiwa itu dan mulailah
ia dipanggil dengan Abu Hurairah. Bapak Kucing.

Ia berasal dari Hadramaut (sekarang Yaman) dari kabilah al-Dausi dan masuk Islam
di hadapan Thufail ibn ‘Amru. Berangkat hijrah dan sampai ke Madinah pada tahun 7 H,
tepat beberapa saat sebelum Perang Khaibar (Muharram 7 H). Lalu menjadi pelayan Nabi
dan menemaninya sehari-hari selama 4 tahun. Terhitung 4 tahun sebelum Nabi meninggal
pada 12 Rabi’ul Awwal 11 H/8 Juni 632 M. Abu Hurairah berperawakan tinggi, berkulit
kecoklatan (adam), dan berjenggot kemerahan. Termasuk sahabat yang miskin dan sering
tinggal di pojok serambi Masjid Nabawi (ahli shuffah), meski jika berbisnis, pernah
mempunyai cerita sukses.

Ia pernah diutus Rasulullah dan Umar ibn Khatthab ke Bahrain untuk berdakwah.
Ada kisah menarik. Ketika Umar mengutusnya lagi ke Bahrain, Umar memberikan bekal
sebesar 10.000 dirham. tetapi, Abu Hurairah menampiknya dengan mengatakan, “Maukah
engkau menjadi musuh Allah dan musuh kitab-Nya dengan memberikan harta ini?” Umar
menjawab, “Aku tidak mau menjadi musuh Allah dan kitab-Nya, lalu bagaimana dengan
kehidupanmu disana?” “Aku akan berdagang dan Allah selalu bersamaku,” jawab Abu
Hurairah. Sepulangnya dari Bahrain, ia segera menemui Umar dan malah menyerahkan uang
sekitar 20.000 dirham dari hasil berdagangnya untuk diinfaqkan ke Baitul Maal. Abu
Hurairah, pedagang zahid.

‘Ajaj Khatib menulis dalam bukunya As-Sunnah Qabla at-Tadwin dan Abu Hurairah
Rawiyah al-Islam, setidaknya ada empat (4) faktor yang menyebabkannya menjadi
kompilator (pengumpul) terbanyak hadits. Pertama, ia senantiasa mengikuti Nabi, baik
ketika bepergian maupun di rumah. Abu Hurairah tidak memiliki pekerjaan selain berada di
dekat Nabi. Sebuah riwayat dari Sa’ad ibn al-Musayyab, Abu Hurairah bercerita, “mereka
mengatakan bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits, demi Allah, tunggulah
saatnya.” Mereka juga berkata, “kenapa orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan
hadits seperti banyak hadits yang diriwayatkannya? Aku akan memberitahukan kalian. Para
sahabatku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi tanah-ladang mereka, sedang sahabat-
sahabatku dari kaum Muhajirin, mereka sibuk berdagang. Aku senantiasa menemani Nabi
untuk memenuhi hak perutku. Jadi aku dapat melihat sesuatu.” Suatu ketika Nabi bersabda,
“siapa diantara kalian yang merentangkan pakaiannya dan mengambil perkataanku ini
kemudian dikumpulkannya di dadanya, maka ia tidak akan lupa selama-lamanya.” Aku pun
merentangkan ‘sorbanku’ sampai Rasulullah selesai bersabda. Lalu aku taruh surban itu ke
dadaku, hingga aku tidak lupa sedikitpun perkataan yang diucapkan Nabi padaku mulai hari
itu. Kalau bukan karena dua ayat al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 159-160), aku tidak akan
menceritakan apapun selamanya.”

Kedua, kecerdasan, cintanya pada ilmu serta ketekunannya terhadap hadits. Abu
Hurairah memang diberikan kecerdasan alami oleh Allah sehingga apa yang dihafalnya tidak
lupa. Selain itu, Abu Hurairah pernah berdoa agar ilmunya tidak mudah dilupakan. Ketiga,
ia mengetahui banyak para sahabat senior, mengambil riwayat apa yang tidak sempat
didengarnya dari Rasulullah. Sehingga dia dapat merengkuh segala yang telah lalu darinya,
selain juga meluaskan khazanah riwayatnya. Ia meriwayatkan dari para sahabat senior seperti
Abu Bakar, Umar ibn Khatthab, Ubay ibn Ka’ab, Fadhal ibn Abbas ibn Abdul Muthalib,
Usamah ibn Zaid, dan Aisyah ra. Sahabat yang meriwayatkan darinya antara lain, Ibn Abbas,
Anas ibn Malik, Wasilah ibn Asqa’, Jabir ibn Abdullah al-Anshari dan Abu Ayub al-Anshari.
Para tabi’in dan generasi sesudahnya yang meriwayatkan darinya menurut al-Bukhari sekitar
800 orang. Selain meriwayatkan, orang-orang tersebut juga menulis hadits darinya. MM.
A’zami, pakar hadits kontemporer dalam disertasinya menganalisa dan mengumpulkan
sekitar 10 orang yang menulis hadits darinya, diantaranya Muhammad ibn Sirin dan Hamam
ibn Munabbih.

Keempat, ia memiliki usia yang panjang setelah wafatnya Nabi selama sekitar 47
tahun. Selama itu, ia menyebarkan hadits dan tidak ada kegiatan apapun yang
menghalanginya. Orang-orang bersaksi ketika ia menyebarkan hadits setelah wafatnya Nabi,
bahwa ia memang mendengarnya dari Nabi atas apa yang mereka tidak dengar. Malik ibn
Abu Amir berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Thalhah ibn Ubaidillah, lalu berujar:
Hai Abu Muhammad, bagaimana menurutmu si Yaman ini (maksudnya Abu Hurairah), dia
lebih tahu tentang hadits Nabi dari kalian? Kami mendengar dari mereka apa yang tidak kami
dengar dari kalian, atau dia berkata-kata atas nama Nabi dengan apa yang tidak dikatakannya.
Thalhah berkata: boleh jadi ia mendengar dari Nabi SAW apa yang tidak kita dengar, maka
aku tidak meragukannya. Memang dia telah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak kami
dengar. Karena dia itu miskin, tidak punya apa-apa, tamu Rasulullah, tangannya bersama
Rasulullah, sedang kami adalah orang yang memiliki rumah dan kaya. Kami mendatangi
Rasulullah di sore hari saja, maka tidak diragukan dia telah mendengar dari Rasulullah apa
yang tidak kami dengar. Dan kami tidak menemukan seseorang memiliki kebaikan
mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan.”

Keempat faktor dan dengan posisi strategisnya sebagai pembantu (khadim) Nabi lebih
memungkinkan Abu Hurairah untuk memperoleh banyak riwayat. Baik itu dari para istri
Nabi, terutama Aisyah dan para shabat lai yang ia temui bersama Nabi. Kelebihan-kelebihan
Abu Hurairah dalam msalah hadits juga tidak terkontaminasi unsur dan dinamika sosio-
politik. Sebuah riwayat mengisahkan, ketika fitnah politik pada masa Usman ibn Affan, Abu
Hurairah menjauh dari peristiwa tersebut dengan malah berdiam di rumah Usman, mengasuh
anaknya yang masih ekcil. Mungkin sebelumnya ia telah mengetahui hadits: “Satakunu fitan,
al-qa’id fiiha khairun min al-qaim (akan datang fitnah pecah belah itu, ia yang duduk
berdiam lebih baik dari mereka yang berbaur di dalamnya).” Anak Usman inilah nantinya
yang mengantar jenazah Abu Hurairah menuju pemakamannya di Baqi’, Madinah.

MALIK BIN ANAS, IMAM MADZHAB YANG TAMPAN

Keluarga besar Abu Amr adalah keluarga Arab yang tinggal di Yaman. Keluarga ini
tergolong terhormat dan berstatus sosial tinggi. Pada tahun 2 Hijriyah, atau pada masa
kekhalifahan Umar bin Khaththab, Abu Amr masuk Islam. Keluarga besarnya pun
mengikuti. Tidak berselang lama, Abu Amr bersama keluarga besarnya pindah ke Madinah,
agar dapat mempelajari Islam lebih dalam.
Upaya ini relatif berhasil. Salah satu keturunannya, Malik, menjadi salah satu ulama
Hadits terkenal di Madinah. Begitu pula anaknya Malik, Anas. Nama terakhir ini kemudian
menikah dengan ‘Aliyah bintu Syarik al-Adziyyah. Buah dari pernikahan ini lahirlah
diantaranya Nadhar bin Anas dan Malik bin Anas. Dua-duanya mempelajari Hadits di
Madinah. Namun rupanya Malik bin Anas lebih dikenal ketimbang kakaknya. Dialah Imam
Malik. Pakar ilmu Hadits dan Imam Madzhab Maliki.
Malik memiliki nama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amr
bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Madani. Lahir di
Madinah pada 93 H/714 M. Ia tumbuh di lingkungan religius dan sangat mencintai ilmu. Ia
selalu dalam pengawasan dan perhatian orangtuanya. Terutama ibunya. Ibunyalah yang
paling berperan dalam memotivasi dan membimbing Malik. Ia tidak hanya memilihkan guru-
guru terbaik, tetapi juga mengajarkan adab dalam belajar. Ia selalu memakaikannya pakaian
terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar.
Kakek dan ayah malik termasuk ulama Hadits terpandang di Madinah. Ini sebab
mengapa sejak kecil ia tak berniat mencari ilmu di luar Madinah. Menurutnya, Madinah
adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan para ulama besarnya. Ia pun menekuni
pelajaran Hadits kepada ayah, paman-pamannya, dan kepada para ulama di Madinah. Ketika
berusia 21 tahun, Malik mulai mengajar dan berfatwa. Dia dianggap telah mempelajari ilmu-
ilmu syariat secara komprehensif. Malik bin Anas mulai dikenal di kota Madinah. Dia pun
diberi ruang untuk menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi. Salah satu yang menarik dari
kajian fikihnya adalah tentang penafsiran Hadits. Pendapat-pendapatnya sangat dipengaruhi
oleh aktivitas penduduk Madinah. Baginya, praktik-praktik yang dilakukan penduduk
Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah zaman Rasulullah. Jadi,
jika penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
dan SUnnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan rujukan hukum.
Tampan dan Berwibawa
Penampilan fisik Imam Malik tergolong istimewa. Berperawakan tinggi besar,
berambut putih (beruban), dan berjenggot putih lebat. Berwajah tampan, kulit putih bersih,
dan mata jernih kebiru-biruan. Ia gemar memakai baju putih, bersih dan harum. Selain
karunia fisik rupawan, ia memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang yang
menghadiri majelis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawanya. Wibawa itu tidak hanya
dirasakan muridnya, para Khalifah pun menghormati dan mendengarkan nasihatnya.
Kewibawaan itu dilapisi dengan sikap yang tegas. Berulang kali ketika dihadapkan pada
keinginan penguasa yang tak sejalan dengan akidah Islam, dia menentang tanpa takut resiko.
Salah satunya dengan Ja’far, Gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih
keponakan Khalifah Abbasiyah, al-Mansur, meminta penduduk Madinah melakukan bai’at
(anji setia) kepada khalifah. Namun, Malik, yang saat itu baru berusia 25 tahun, merasa tak
mungkin penduduk Madinah melakukannya kepada khalifah yang tidak mereka sukai. Ia pun
mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya
perceraian paksa.
Ja’far meminta Malik tak menyebarkan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur
Ja’far merasa sangat terhina. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera 70 kali
kepada Malik. Dalam kondisi berlumuran darah, Malik diarak keliling Madinah dengan
untanya. Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat
menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, Khalifah al-Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya. Al-Mansur
segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk
meminta maaf kepada Malik. Sementara untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta
Imam Malik bermukim di Baghdad menjadi salah seorang penasihatnya. Namun, undangan
itu ditolak. Imam Malik lebih suka menetap di Kota Madinah.
Al-Muwaththa’ dan Madzhab Maliki
Mendengar penolakan itu, khalifah memberi sanksi. Imam Malik diperintahkan
mengumpulkan Hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan, namun
kemudian mengerjakannya. Lahirlah al-Muwaththa’, karya monumental Imam Malik yang
ditulis pada masa Khalifah al-Mansur (754-775 M) dan selesai di masa Khalifah al-Mahdi
(775-785 M). Kitab yang merangkum berbagai problem agama seperti ilmu Hadits, ilmu
fikih, dan sebagainya. Kompilasi Hadits sahih dan terpilih disertai pendapat sahabat dan
tabi’in. Imam Malik sangat berhati-hati dalam menyeleksi, menyingkirkan, membahas, dan
menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 Hadits yang dihafalnya, hanya 10.000 diakui
sah. Setelah diteliti ulang dan dibandingkan dengan Al-Qur’an, dari 10.000 Hadits itu, ia
hanya memasukkan 1.720 Hadits. Ia menghabiskan 40 tahun untuk mengumpulkan dan
menyeleksi Hadits.
Selain Al-Muwaththa’, Imam Malik juga memiliki buah karya lainnya. Sebut saja
misalnya al-Mudawwanah al-Kubra (berisi fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai
persoalan), Risalah fi al-Qadar, Risalah fi al-Aqdhiyyah, dan satu juz tentang tafsir, dan lain-
lain.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan kitab. Ia juga mewariskan madzhab
fikih di kalangan Islam Sunni, Madzhab Maliki. Dalam madzhab ini, sumber rujukan
utamanya tidak hanya dari karya-karya Imam Malik. Madzhab Maliki juga memiliki rujukan
utama lain seperti Bidayat al-Mujtahid wa Nihayaat al-Muqtashid (Ibnu Rusyd), Matan al-
Risalah fi al-Fiqh al-Maliki (Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), ‘Asl al-Madarik Syarh
Irsyad al-Masalik fi Fiqh al-Imam malik (Shihabuddin al-Baghdadi), dan Bulghah al-Salik li
Aqrab al-Masalik (Syeikh Ahmad al-Sawi).
Sebelum wafat, Imam Malik pernah berwasiat, jika ia meninggal supaya imam shalat
jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi (Gubernur Madinah).
Ketika ia wafat pada hari Ahad, 10 Rabi’ul Awwal 179 H/800 M di usia 85 tahun, wasiatnya
dilaksanakan. Gubernur Madinah datang melayat dengan jalan kaki. Ia mengimami shalat
jenazah dan ikut mengangkat jenazah hingga ke makamnya. Beliau dimakamkan di
Pemakaman Baqi’. Imam Malik meninggal setelah tidak mampu lagi pergi ke Masjid Nabawi
selama tujuh tahun. Selama itu, ia mengidap penyakit sering buang air kecil. “Dan, saya tak
suka menyebutkan penyakitku, karena khawatir saya akan selalu mengadu kepada Allah,”
katanya.
IBNU ARABI, SUFI YANG MENGUASAI BANYAK ILMU
Ibnu Arabi, sufi besar yang kontroversial, tapi diminati. Gagasan Wahdah al-Wujud
dan al-Insan al-Kamil nya memunculkan pro dan kontra. Namun siapa mengira, ternyata
gagasan itu mengalir justru dari kecintaannya pada perempuan. Ia jatuh cinta. Puji-pujiannya
kepada Allah SWT lahir dari kerinduan mendalam pada perempuan yang dicintanya.
Kasmarannya membuahkan ratusan karya tasawuf. Karya yang memberikan banyak wacana
dalam khazanah Islam.
Muhiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdullah Hatimi at-Ta’i atau Ibnu Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H (28 Juli 1165 M) di
Marsia, Andalusia Timur, Spanyol. Sebuah kota yang melahirkan banyak ulama,
cendekiawan, dan penyair besar Islam.
Ia tumbuh di keluarga sufi. Ayahnya, Ali ibn Muhammad, adalah ahli zuhud. Sangat
keras menentang hawa nafsu dan materialisme. Menyandarkan kehidupannya kepada Allah.
Ibunya, Nurul Anshariyah, mendidik Muhidin hingga mendekati karakter ayahnya.
Pada usia delapan tahun, bersama keluarganya, Muhidin pindah ke Isybilia atau
Sevilla. Di kota ini, terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibnu Arabi.
Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fiqh, dan sastra. Kelak, selain sebagai filsuf-sufi,
Ibnu Arabi juga dikenal sebagai ahli tafsir, Hadits, fiqh, sastra, dan filsafat, bahkan astrolog
dan kosmolog. Usia 20 tahun, Ibnu Arabi mengalami gejolak keilmuan. Tapi gejolak itu
mempermatang kepribadian intelektual dan moral Ibnu Arabi.
Masih dalam usia muda, Muhyiddin menikah dengan Maryam, teman perempuannya
yang juga setia pada jalan tasawuf. Selama 30 tahun sejak kelahirannya, ia tinggal di
negerinya, Spanyol. Mengkaji keilmuan Islam tradisional pada sejumlah ulama terkemuka.
Ibnu Arabi belajar al-Qur’an dan tafsirnya, Hadits, nahwu-sharaf, dan fiqh. Salah satu materi
ke-Islaman yang sejak awal menarik hatinya adalah tasawuf. Materi ini bahkan pernah
didiskusikannya bersama filsuf Muslim terkemuka: Ibnu Rusyd. Pertemuan dengan Ibnu
Rusyd justru digagas ayahnya sendiri.
Pada tahun 1198 Masehi, ia pergi ke Fez, Maroko. Selama 40 tahun lebih setelahnya,
dia hidup sebagai pengembara. Dia melakukan perjalanan mencari gagasan-gagasan spiritual
ke sejumlah wilayah di Spanyol, Afrika Utara, dan timur tengah. Beberapa negeri yang
pernah disinggahinya antara lain Mesir, Baghdad dan Makkah.
Jatuh Cinta
Ketika bermukim di Makkah, tahun 597 H/1214 M, dia bertemu dengan sejumlah
ulama besar, sufi, dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan. Ibnu Arabi banyak
menimba ilmu dari mereka. Tetapi perhatiannya tertumbuk pada beberapa perempuan ‘suci’.
Ia bertemu Fakhr al-Nisa’, sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan.
Kepadanya dia mengaji kitab Hadits; “Sunan Tirmidzi”. Ia juga berjumpa Qurrah al ‘Ain.
Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibnu Arabi tengah khusyuk thawaf. Suatu
malam, ketika sedang khusyuk thawaf, hatinya gelisah. Ia pun berlari melihat keluar Masjid
al-Haram. Tiba-tiba saja mengalir di otaknya bait-bait puisi dan ia pun menyenandungkannya
dengan suara lirih. Tiba-tiba tangan yang lembut bagai sutra menyentuh pundaknya, Ia pun
menoleh, “O, seorang gadis jelita dari Romawi. Aku belum pernah melihat perempuan
secantik ini. Dia begitu anggun. Suaranya terdengar amat sedap. Tutur katanya begitu lembut
tetapi betapa padat, dan sarat makna. Lirikan matanya amat tajam dan menggetarkan kalbu,”
katanya.
Perempuan ketiga yang ditemuinya adalah Sayyidah Nizam (Lady Nizam), anak
perawan Syeikh Abu Syuja’, salah seorang guru tasawufnya. Dia biasa dipanggil ‘Ain al-
Syams’ (mata matahari), dan ‘Syaikhah al Haramain’ (guru besar untuk wilayah Makkah dan
Madinah). Ibnu Arabi begitu terpesona dengan perempuan itu. Pujian kepadanya terus
mengalir deras tak tertahankan. “Jika dia bicara semua yang ada jadi bisu. Dia adalah
matahari diantara ulama. Taman indah diantara para sastrawan. Wajahnya begitu jelita. Tutur
bahasanya sungguh lembut. Otaknya memperlihatkan kecerdasan cemerlang. Ungkapannya
bagai untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan. Dan penampilannya benar-benar
anggun dan bersahaja,” puji Ibnu Arabi.
Puisi-puisi Ibnu Arabi yang memuji kecantikan perempuan inilah yang akhirnya
dipahami sebagai melulu kerinduan kepada perempuan. Sangat duniawi. Akan tetapi, bagi
Ibnu Arabi, mengungkapkan pujian kepada Allah selalu membutuhkan “sarana”
pembahasan. Dan, menurutnya, kekaguman terhadap perempuan adalah sarana terbaik untuk
memuji Allah.
Wahdah al-Wujud dan al-Insan al-Kamil
Kekaguman dan pujian itu akhirnya membentuk Ibnu Arabi. ia melahirkan banyak
karya tasawuf. Ibnu Arabi pun dikenal sebagai orang yang visioner, sangat cerdas, dan
brilian. Seorang penulis produktif pada zamannya. Karyanya mencapai 200 buah. Karya yang
sangat terkenal adalah al-Futuhat al-Makkiyah, Fushush al-Hikam. Dua karya ini merupakan
karya masterpiece-nya, sangat terkenal di dunia sampai hari ini. Karya lainnya adalah
Tarjuman al-Asywaq dan Syarh (ulasan)-nya al-Dzakhair wa al- A’laq. Tarjuman adalah
salah satu kumpulan puisi mistisnya yang paling dikenal luas, sekaligus paling sulit
diterjemahkan. Sayang, tidak banyak buku yang mengupas tuntas buku ini.
Gagasan utama sufi besar ini adalah doktrinnya tentang Wahdah al Wujud (kesatuan
wujud) dan al-insan al-kamil (manusia sempurna) atau Hakikat Muhammadiyyah. melalui
doktrin Wahdah al-Wujud, dia menegaskan bahwa Tuhanlah satu-satunya Eksistensi yang
riil. Segala hal dalam ruang semesta adalah kenihilan belaka. Lenyap. Tuhan adalah Realitas
dalam segala yang wujud. Ibnu Arabi sangat eksklusif dan sangat istimewa. Pendekatan atas
doktrin Wahdah al-Wujud-nya sangat berbeda dengan para sufi lainnya. Uniknya, seluruh
pemikiran dan doktrin sufismenya diinspirasi atau diilhami oleh perempuan.
Tarjuman al-Asywaq (Tafsir Kerinduan) berisi kumpulan puisi dengan komposisi
notasi yang beragam. Para muridnya dapat menyanyikannya dengan langgam lagu (bahar)
yang berbeda-beda. Baik bahar Thawil, Kamil, Wafir dan lain-lain. Tidak diketahui secara
pasti apakah karya ini ditulis mendahului dua masterpiece-nya atau sesudahnya. Meski
penting untuk ditelusuri, namun yang paling penting dari itu adalah bahwa Ibnu Arabi
memperlihatkan konsistensi atas gagasan-gagasan besarnya dalam karya ini.
Pengembaraan dan permenungan intuitifnya, mengantar Ibnu Arabi ke Damaskus,
Syiria. Di Damaskus inilah, masa-masa terakhir hidupnya dilalui. Disini ia tiada henti
menuliskan permenungan intuitif. Permenungan yang diperoleh selama pengembaraan. Ibnu
Arabi pun wafat di Damaskus. Ia meninggal pada 16 November 1240. Ibnu Arabi
dimakamkan di masjid yang dikenal dengan namanya. Terletak di puncak pegunungan
Qasiyun, Damaskus, Syiria. Ia selalu dikenang sebagai sufi besar Islam. Sufi yang
mengajarkan cinta dan kesatuan wujud. Sufi besar yang mengagumi Allah dari keterpesonaan
dan jatuh cinta pada perempuan.
IMAM HANAFI, PENYUSUN KITAB FIQIH PERTAMA
Imam Abu Hanifah adalah anak seorang pedagang. Satu-satunya Imam Madzhab
yang bukan dari keturunan Arab. Ia keturunan Persia, atau disebut juga dengan bangsa Ajam.
Imam yang mempelopori pentingnya ijtihad, termasuk dengan logika. Imam Madzhab yang
mula pertama kitab fiqih secara sistematis. Sayangnya, nasib tragis mengiringi kematiannya.
Postur tubuhnya sedang. Jelas dalam berbicara. Suaranya bagus dan enak didengar.
Wajahnya khas Persia. Selalu memakai minyak wangi ketika berpakaian. Ramah dan kasih
sayang dalam bergaul. Disegani dan tidak mau membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Jika berdoa, selalu bercucuran air mata.
Abu Hanifah memiliki nama asli Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi.
Ia lahir di Kufah, Irak pada 80 H/699 M. Nu’man kecil sering mendampingi ayahnya
berdagang sutra. Tidak seperti pedagang lainnya, Nu’man memiliki kebiasaan pergi ke
Masjid Kufah. Buah dari kecerdasannya, ia menghafal al-Qur’an serta ribuan Hadits dalam
waktu tidak terlalu lama.
Pada masa-masa belajar, Nu’man sudah terlihat kecermelangan otaknya. Ia telah
menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Utamanya hukum Islam. Nu’man
sering melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid, dan metafisika. Ia pun
menghadiri kajian Hadits dan periwayatannya. Di kemudian hari, ia memiliki andil besar
dalam bidang ini.
Saat itu, Iraq (termasuk Kufah) disibukkan dengan tiga halaqah keilmuan. Halaqah
yang membahas pokok-pokok aqidah. Halaqah tentang Hadits Rasulullah (metode dan proses
pengumpulannya dari berbagai negara, serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan
diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka). Halaqah masalah fiqih dari al-Qur’an
dan Hadits, termasuk membahas fatwa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul
saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.
Setelah menjelajahi banyak bidang keilmuan, ia memilih fiqih sebagai konsentrasi
kajian. Ia mulai berguru kepada salah satu syaikh ternama di Kufah. Ia menimba ilmu darinya
hingga selesai. Nu’man sangat antusias menghadiri dan menyertai gurunya. Ia terkenal
banyak bertanya, berdebat, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya. Kadang membuat
gurunya kesal. Saat berusia 16 tahun, Nu’man pergi ke Mekkah, menunaikan ibadah haji dan
berziarah ke Madinah. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, ‘Atha’ bin Abi
Rabah, ulama terbaik di kota Mekkah saat itu.
Menjadi Ulama
Abu Hanifah, yang kemudian dikenal dengan Imam Hanafi, adalah tokoh yang
pertama kali menyusun kitab fiqih secara sistematis. Ia menyusun berdasarkan kelompok
bahasan: dari thaharah, shalat, dan seterusnya. Sistemayika ini kemudian diikuti oleh ulama-
ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas (Imam Malik), Imam Syafi’i, Abu Dawud, dan
Imam Bukhari.
Suatu ketika, Syaikh Hammad meminta Abu Hanifah menggantikan posisinya
sebagai pengajar, pemberi fatwa, dan pengarah dialog. Saat Syaikh Hammad wafat, ia pun
mengganti seutuhnya posisi sang guru. Saat itu, Abu Hanifah berusia 40 tahun. Ketenarannya
pun tidak terbendung, sebagai guru dan pemberi fatwa yang mencerahkan.
Iamam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad. Ia melemparkan
suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta
argumentasinya. Ia akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil
dari al-Qur’an dan Sunnah atau pun dengan logikanya. Cara ini menggiring Abu Hanifah
dikenal sebagai pencetus metode optimalisasi logika.
Metode ini, menurutnya, sangat efektif untuk merangsang logika untuk terbiasa
berijtihad. Sebuah metode dalam kerangka ilmu fiqih yang kemudian dikenal dengan
Madzhab Hanafi. Baginya istinbat hukum mesti didasarkan pada tujuh hal pokok: al-Qur’an,
Sunnah Rasul, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’, dan ‘urf. Ia pun menulis karya-karya
besar dan istimewa: al-Fiqh al-Akbar, al-’Alim wa al-Mutam, dan Musnad al-Fiqh al-Akbar.
Kerendahan Hati Berbuah Jeruji
Kemasyhuran Imam Hanafi terdengar salah seorang menteri Khalifah Abu Ja’far al-
Mansur. Ketika Khalifah membutuhkan seorang hakim, sang menteri pun menyodorkan
nama Imam Hanafi. Berbekal optimisme yang tinggi bahwa tidak akan ada yang menolak
tawaran yang diberikannya, Khalifah mengutus seseorang menemui Abu Hanifah untuk
menghadapnya. Khalifah agak kaget ketika Abu Hanifah menjawab, “Aku akan istikharah
terlebih dahulu, meminta pentunjuk kepada Allah. Jika hatiku dibuka maka akan aku terima.
Jika tidak, maka masih banyak ahli fiqh lain yang dapat dipilih oleh Amirul Mukminin.”
Waktu telah berjalan lama, tetapi Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah.
Khalifah pun mengutus lagi seseorang memintanya menghadap. Abu Hanifah pergi
menghadap dan menolak jabatan hakim. Khalifah tidak menyerah begitu saja. Ia bahkan
bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim. Akan tetapi, Abu Hanifah
tetap berkeras menolaknya. Setelah berdebat lama dan Abu Hanifah tetap menolak, Khalifah
pun tersinggung. Ia memerintahkan pengawalnya untuk mencambuk Abu Hanifah 100
cambukan dan dijebloskan ke jeruji penjara.
Selang beberapa hari, Khalifah ditegur oleh kerabatnya, “Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang”
Khalifah pun segera memerintahkan pegawainya membayar 30.000 dirham (sekitar Rp. 2,1
milyar), sebagai ganti deritanya. Khalifah membebaskannya dan memulangkan Abu Hanifah.
Di luar perkiraan Khalifah lagi, ternyata Abu Hanifah menolak “ganti derita” yang ia
bayar. Khalifah makin marah. Khalifah memerintahkan menjebloskannya lagi ke penjara.
Hanya saja, para menteri mengusulkan supaya Abu Hanifah segera dibebaskan. Abu Hanifah
cukup diberi tahanan rumah saja. Dilarang duduk bersama masyarakat atau keluar dari
rumah.
Akhir Hayat
Selang beberapa hari setelah menjalani tahanan rumah, Abu Hanifah terkena
penyakit. Makin lama bertambah parah. Akhirnya ia wafat. Abu Hainfah wafat pada bulan
Rajab 150 H dengan usia 70 tahun. Berita kematiannya segera menyebar. Salah seorang
ulama Kufah berkata, “Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka
tidak pernah melihat ulama sekaliber dia selamanya.” Kini, mufti dan faqih Irak telah tiada.
Jasadnya dikeluarkan, di panggul di atas punggung kelima muridnya. Ia dimandikan
al-Hassan bin Imarah. Al-Harawi menyiramkan air ke tubuhnya. Ia dishalatkan berpuluh-
puluh ribu orang. Sebelum wafat, sang Imam berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan
al-Khairazan. Pada masa TurkiUtsmani, sebuah masjid di Baghdad didedikasikan untuk sang
Imam. Masjid itu binamai Masjid Imam Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, madzhab fiqihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam,
bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal,
dan Turki Utsmani. Saat ini, Madzhab Hanafi banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak,
Balkan, Mesir dan India
Perjalanan Intelektual Imam Muslim, Saudagar Kain yang Ahli Hadis (1)
‘Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Demikian Muslim bin Alhajjaj tumbuh di
bawah naungan keilmuan sang ayah. Ketekunannya dalam belajar sejak belia
menjadikan Muslim kelak sebagai salah satu pilar ilmu hadis.’
Nama lengkapnya Muslim bin Alhajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kushadh
Alqushayri[1] Annaysaburi. Dia bernasab Alqushayri, beretnis Arab, lahir dan bertempat
tinggal di Naysabur.[2]Para sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun kelahiran Imam
Muslim. Tidak heran jika Ibnu Khalkan berkata, “Aku tidak melihat para alhuffaz mengingat
tahun kelahiran dan berapa usianya saat wafat, namun mereka sepakat bahwa kelahirannya
setelah 200 Hijriah…”[3]
Jika menengok usia dan tahun wafat Muslim, pembaca akan mengetahui tahun
kelahirannya. Sejarah mencatat, Imam Muslim menghembuskan nafas terakhir di usia 55
tahun pada tahun 261 H/ 874 M. Bersandar pada riwayat ini, Imam Muslim lahir pada
206/821.[4] Namun menurut catatan Imam Addahabi, Muslim wafat pada 261/874 di usia
60 tahun. Maka tahun kelahirannya jatuh pada tahun 201/816. Sementara Attawalibah
berpendapat, data paling akurat tentang tahun kelahirannya adalah 206/821, pada masa
kekahalifaan Almakmun[5] yang kemudian riwayat ini dikukuhkan pula oleh Fakhuri (1352-
1438/1933-2016).[6]
Muslim tumbuh dewasa di bawah naungan keluarga berpengetahuan. Ayahnya
bernama Alhajjaj seorang guru.[7] Sejak usia 12 tahun, Muslim telah belajar pada ulama-
ulama di negerinya. Seperti jejak Imam Bukhari, Muslim merantau ke berbagai negeri demi
menggali ilmu dari para ulama. Dalam petualangannya ke Hijaz, Mesir, Irak, Syam, ia
berjumpa dengan para pakar hadis. Ia juga acap kali singgah di Kota Baghdad. [8]
Muslim mengunjungi hampir seluruh pusat kajian hadis. Perjalanan pertamanya ke Kota
Makkah untuk menunaikan haji dan belajar pada Abdullah bin Maslamah Alqanabi pada
220/835[9]. Sepuluh tahun kemudian, ia bepergian ke Irak, Syam, Hijaz, Mesir dan terakhir
menuju Baghdad pada 259/872.[10]
Tentang ilmu hadis, Muslim sejatinya telah menekuninya sejak usia belia. Dia
berguru pada beberapa tokoh seperti Yahya bin Yahya Annaysaburi[11], Ahmad bin Hanbal,
Ishaq bin Rahawayh, dan Abdullah bin Maslamah Alqanabi. Seiring berjalannya waktu, ia
telah menjadi salah seorang pilar dalam bidang hadis yang memiliki banyak murid. Di antara
muridnya yang kemudian menjadi ulama di zamannya ialah Imam Tirmidzi, Ibrahim bin Abi
Thalib, Ibnu Khuzaymah, Abdurahmah Ibn Abi Hatim, dan Muhammad bin Makhlad Attar.
Selain melahirkan murid-murid yang sukses, perjalanan intelektual Muslim menghasilkan
beragam karya ilmiah. Di antaranya Almusnad Assahih, Almusnadl Al Kabir Ala Asma
Arrijal, dan Aljami Alkabir Alal abwab.[12] [YS]

Perjalanan Intelektual Imam Muslim, Saudagar Kain yang Ahli Hadis (2)
Meski Imam Bukhari telah merilis kitab Sahih, Imam Muslim tetap bertekad
melahirkan buah penanya, Almusnad Assahih. Baginya, karya para pendahulunya memiliki
kekurangan. Di usia yang masih muda, ia akhirnya memulai menyusun kitab yang menurut
peneliti memiliki susunan sanad teratur, keindahan redaksi, kemapanan metode investigasi,
kekokohan analisa, kelembutan interaksi dan kehati-hatian.
Meski sibuk menjalankan profesi sebagai saudagar kain (bazzaz) yang
sukses,[1] Imam Muslim tidak terkendala dalam mendalami, menyusun, dan menebar hadis
Nabi saw. Kekayaan hartanya justru meringankan kebutuhan hidupnya sehari-sehari.[2] Ia
bahkan dapat melakukan aktivitas keilmuan sembari berniaga. Seperti pendahulunya, Imam
Bukhari, Muslim menghabiskan belasan tahun dalam menyusun buah penanya yang tersehor
itu, Sahih Muslim. Ia berkelana ke berbagai negeri untuk bertemu guru-guru hadis.
Dalam perjalanannya, Muslim mengumpulkan data, menyeleksi riwayat dari sudut
sanad dan redaksi dengan penuh keseriusan, fokus dalam meringkas sesingkat mungkin agar
terhindar dari pengulangan. Penyusunan kitab ini menurut murid Muslim, Ahmad bin
Salamah, menghabiskan waktu 15 tahun.
“Aku menulis bersama Muslim dalam menyusun Sahih-nya selama 15 tahun…,” kata Ibnu
Salamah.[3]
Tapi, bukankah proyek keilmuan ini telah dilakukan oleh Bukhari? Benar, ahli hadis
asal Bukhara itu telah menyusun kitab Sahih. Hanya saja, menurut Muslim, beberapa
penjelasan hadis dalam kitab Sahih Bukhari masih sulit dipahami, terutama bagi mereka yang
tidak mendalami hadis.[4] Muslim juga masih menemukan banyaknya kitab hadis karya para
pendahulunya yang mencampuradukkan antara hadis sahih dan lemah, baik ditinjau dari dari
sudut sanad atau redaksi. Selain itu, Muslim menyaksikan peredaran hadis palsu (mawdhu)
yang semakin meluas. Merebaknya hadis palsu, menurut Muslim, lantara setiap individu,
sekte, golongan, lembaga, dan kelompok ingin mempertahankan eksistensi masing-
masing.[5] Ibnu Salamah, murid setia Muslim yang paling antusias belajar hadis, turut
mendorong gurunya menyusun kitab Sahih yang memuat hadis-hadis Nabi saw terkait
hukum, pahala, siksa, dan berbagai masalah agama lainnya.
Muslim akhirnya menuntaskan penyusunan kitab ini pada tahun 250 hijriah/ 864
masehi.[6] Jika masa penyusunannya 15 tahun, maka Muslim memulai proyek ini pada tahun
235/821 atau saat ia masih berusia 29 tahun.
Dalam kitab ini, Muslim setidaknya mengabadikan empat ribu hadis. Annawawi
dalam Taqrib-nya berkata, “Total hadis dalam Sahih Bukhari adalah 7.275 termasuk
pengulangan, sementara hadis dalam Sahih Muslim berjumlah 4.000 tanpa pengulangan.”[7]
Muslim memiliki syarat dalam menilai hadis sahih. Menurut dia, riwayat harus bersambung
sanad-nya yang diriwayatkan oleh para periwayat tsiqah dari periwayat tsiqah, mulai awal
hingga akhir sanad, terhindar dari kecatatan dan penyimpangan. “Ketika suatu hadis terdapat
syarat-syarat tersebut, maka hadis tersebut adalah sahih dan disepekati oleh para sarjana
hadis…,” kata Ibnu Salah tentang syarat yang ditentukan Muslim.[8]
Sementara ketika menyusun kitabnya, Muslim tidak bermaksud menginfentarisir
semua hadis sahih yang beredar dan telah dikodifikasi oleh pendahulunya. Ia menyusun
dengan tujuan merilis sebuah buku berbentuk ringkasan dari hadis-hadis yang ia ketahui dan
teruji validitasnya.
“Tidak semua hadis yang menurut saya sahih lalu saya letakkan di sini, namun yang
saya muat adalah hadis yang telah disepakati,” kata Muslim.[9] Pada kesempatan lain
Muslim berkata, “Aku tulis kitab Almusnad Assahih ini dari 300 ribu hadis yang aku
dengar.”[10]
Dari hadis yang telah dikumpulkan dan melalui seleksi itu, ia menyusun kitab secara
sistematis, menata bab per bab tanpa memberi judul pada setiap bab.[11] Para ulama generasi
berikutnya-lah menaruh andil dalam menginovasi dengan memberikan judul pada setiap bab
walaupun kadang tidak pas. Bisa saja hal ini lantaran kurangnya pemahaman terhadap
permasalahan atau kesulitan dalam mencari judul yang representatif.[12] Muslim juga
sejatinya tidak menamakan kitabnya secara spesifik. Para peneliti yang datang setelahnya
pun berbeda pendapat tentang nama karya intelektual Muslim itu. Di antara peneliti
menamakannya Almusnad dengan bersandar pada ucapan Muslim, “Aku presentasikan
kitabku ini Almusnad di hadapan Abu Zur’ah[13] Arrazi…”[14] atau ucapannya, “Aku
tidak meletakkan sesuatu riwayat pada kitabku ini Almusnad kecuali dengan alasan…” [15]
Sebagian peneliti lagi memberikan nama Almusnad Assahihsebagaimana ditulis oleh
Alkhatib dalam Tarikh-nya.[16] Ada juga yang menamakan Almusnad Assahih Almuhktasar
min Assunan bi Naqlil Adl anil Adl an Rasulillah sebagaimana dikukuhkan oleh Ibnu Khayr
dalam Fahrasahnya, serta muhaqqiq Alfayarabi dalam mukaddimahnya.[17] Menurut
Attawalibah nama yang terakhir adalah asumsi Ibnu Khayr walau selaras dengan ucapan
Imam Muslim yang menyatakan bahwa dia menulis dengan cara menyingkat (ikhtisar) dan
menuturkan hadis-hadis tanpa adanya pengulangan. Tapi menurut Attawalibah, nama yang
paling tepat adalah Almusnad Assahih sebagaimana dituturkan oleh penulisnya.[18]
Meski demikian, para peneliti menilai Muslim lebih sistematis, teratur, proporsional
dalam menyusun kitab Sahih. Hal ini membuat pembaca lebih mudah memahami isinya dan
sulit memberikan peluang bagi pengulangan hadis. Bagi siapa saja yang menelisik kitab
Sahih Muslim, mengamati susunan sanad serta aturan penataan, keindahan redaksi,
kemapanan metode dalam investigasi, kekokohan analisa, kelembutan interaksi dan kehati-
hatiannya dalam menyelidiki riwayat, maka dapat disimpulkan bahwa dia adalah imam yang
tidak ada tandingannya.[19] “Aku menunjukkan kitabku Almusnad kepada Abu Zur’ah.
Ketika ia menyatakan (pada setiap hadis yang aku paparkan) tidak benar berikut alasannya,
maka aku tinggalkan hadis itu. Sebaliknya, setap yang ia katakan hadis ini sahih dan tidak
ada cacatnya maka aku pun segera mencantumkannya. Andai para pakar hadis menulis kitab
selama dua ratus tahun, maka rotasinya akan berporos pada kitab Almusnad ini,” kata
Muslim.[20] Dalam riwayat lain Muslim berujar, “Tidak aku cantumkan dalam kitabku
ini Almusnad segala sesuatu kecuali dengan alasan, dan tidak pula aku gugurkan kecuali
dengan alasan pula.”[21]
IMAM AL-NASA'I: KRITIKUS HADITS YANG BERWIBAWA
Abu Abdi al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan al-Nasa’i.
Demikian nama lengkapnya. Imam al-Nasa’i lahir pada 225 H. Ia adalah ahli Hadits terkenal
yang berasal dari kota Nasa’, termasuk dalam wilayah Khurasan. Nasa’i adalah nama yang
dinisbatkan kepada kota kelahirannya. Selain ahli Hadits, ia juga ahli fikih bermazhab
Syafi’i. Ahli ibadah dan berpegang teguh pada Sunnah dan memiliki wibawa besar. Di kota
Nasa’, ia tumbuh dan belajar ilmu agama, dari menghafal al-Qur’an dan disiplin ilmu lainnya.
Imam al-Nasa’i adalah murid ulama Hadits terkemuka, Abu Daud Sulaiman bin al-Sijistani,
atau dikenal dengan nama Abu Dawud.
Memasuki usia remaja, timbul keinginan al-Nasa’i untuk keluar dari kampung
halamannya, untuk belajar dan mencari Hadits. Ia mengembara ke berbagai daerah dari Hijaz,
Irak, Syam, Mesir dan beberapa jazirah Arab. Ia menuntut ilmu dari ulama-ulama yang ia
kunjungi. Dari kesungguhannya, ia pun menjadi salah satu ahli dan menguasai ilmu Hadits.
Setelah memeroleh pengalaman dalam menuntut ilmu dan mencari Hadits, al-Nasa’i pun
menetap di Mesir. Disana, ia mengajarkan ilmu Hadits kepada masyarakat. Di Mesir inilah
ia tinggal hingga menjelang wafat. Setahun sebelum wafat, ia pindah ke Damaskus. Ia wafat
pada bulan Shafar tahun 303 H (915 M) di Ramlah, Palestina.
Sebelumnya, di kota Damaskus, Imam al-Nasa’i menulis Kitab al-Khasais Ali bin Abi
Thalib (Keistimewaan Ali bin Abi Thalib). Kitab ini berisi penjelasan dari Hadits-Hadits
yang menjabarkan keistimewaan dan keutamaan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, penduduk
Damaskus banyak menjelek-jelekkan Ali bin Abi Thalib dan lebih mengagungkan
Mu’awiyah. Oleh karena kitab ini, al-Nasa’i dituduh lebih berpihak kepada golongan Ali. Ia
pun disiksa oleh golongan Bani Umayah. Kepayahan dan luka-luka akibat aniaya tersebut,
Imam al-Nasa’i dibawa di kota Ramlah, Palestina. Menurut beberapa versi lainnya, ia dibawa
ke Mekkah, meninggal di sana dalam usia 85 tahun, dan dikuburkan di antara Safa dan
Marwa.
Imam al-Nasa’i diakui oleh banyak generasi ulama setelahnya, misalnya Imam Dar
al-Qutni, sebagai ulama terdepan dalam ilmu Hadits di masanya. Ketika tinggal di Mesir,
Imam al-Nasa’i adalah ulama paling pintar dan paling mengetahui keilmuan Hadits. Menurut
al-Zahabi, ia bagaikan terkumpul lautan ilmu, disertai pemahaman dan kepintaran,
mempunyai hafalan yang banyak tentang Hadits, dan ulama paling mampu dalam
mengoreksi cacat-cacat rawi. Dari kedalaman ilmunya inilah, tak heran bila ia menghasilkan
banyak karya bermutu. Antara lain misalnya, al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab
ringkasan dari al-Sunan al-Kubra), Musnad Malik, Manasik al-Hajj, Kitab al-Jumu’ah,
Ighrab Syu’bah Ali Sufyan Ali Syu’bah, al-Khasais Ali bin Abi Thalib Allah Wajhah, dan
Amal al-Yaum wal Lailah.
Kritikus Hadits
Imam al-Nasa’i diakui banyak ulama serajat keilmuannya seperti Bukhari dan para
tokoh besar ulama Hadits lainnya. Keahliannya meliputi ilmu Jarh wa ta’dil, ilmu Hadits
yang berguna untuk menilai kualitas perawi, ditinjau dari segi keadilan dan kecacatan. Imam
al-Nasa’i dikenal sebagai kritikus Hadits yang tiada bandingannya. Banyak ulama
menggantungkan penilaian Hadits pada Imam al-Nasa’i. Ketika menilai sebuah Hadits, ia
sangat ketat memberikan syarat diterimanya seorang perawi.
Selain ilmu jarh wa ta’dil, ia juga mempunyai keahlian dalam ilmu ‘ilal Hadits.
Seperti ilmu jarh wa ta’dil, ‘ilal Hadits adalah ilmu Hadits yang digunakan mengetahui hal-
hal yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas Hadits. Seperti, misalnya, Hadits
tampaknya marfu’ (bersambung sampai Nabi), tetapi ternyata, setelah diteliti, hanya sampai
pada derajat mauquf (riwayat sampai Sahabat). Imam al-Nasa’i mempunyai keahlian dalam
bidang ini.
Sunan al-Nasa’i
Dari kitab masyhur Imam al-Nasa’i adalah buah karangannya yang berjudul as-Sunan
al-Kubra. Kitab Hadits yang disusu sesuai dengan kitab fikih. Mulai thaharah, shalat, puasa,
zakat, haji, dan lain-lain. Setelah menyelesaikan as-Sunan al-Kubra, ia menghadiahkannya
kepada Amir (pemimpin) Ramlah, sebagai tanda penghormatan. Amir tersebut menanyakan
tentang kualitas Hadits dalam kitab ini. Imam al-Nasa’i mengatakan bahwa dalam kitab
Hadits ini ada Hadits yang mengandung derajat shahih, hasan, maupun dha’if. Kemudian
Amir meminta kepada Imam al-Nasa’i untuk memisahkan derajat Hadits yang maqbul
(sesuai dengan syarat keshahihan Hadits) dengan Hadits yang mardud (tidak sesuai dengan
derajat keshahihan Hadits). Lantas, ia pun meringkas dan menyeleksi lagi menjadi as-Sunan
as-Sughra yang ia beri judul al-Mujtaba min al-Sunani. Oleh masyarakat luas dikenal dengan
Sunan al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i sangat ketat dalam menyeleksi kitab Hadits ini. Sedikit
sekali Hadits-Hadits dhaif dalam kitab ini.
Namun demikian, ada ulama sangat kritis melihat as-Sunan as-Sughra. Ibnu al-Jauzi
mengatakan bahwa masih ada banyak Hadits dhaif, bahkan maudhu’ (palsu). Akan tetapi,
pernyataan Ibnu al-Jauzi ini dibantah Jalaluddin a;-Suyuti. Menurutnya, memang masih ada
kualitas dhaif, tetapi tidak terdapat Hadits maudhu’, karena Imam al-Nasa’i sangat selektif
dalam menilai sebuah Hadits. Jalaluddin al-Suyuti kemudian menulis kitab Syarah
(penjelasan) terhadap as-Sunan as-Sughra: Syarah Sunan al-Nasa’i.
Menurut para ulama derajat Sunan al-Nasa’i ini secara kualitas masih di bawah
Shahih Bukhari dan Muslim, masih terdapat beberapa Hadits dha’if dalam kitab ini.
Walaupun masih di bawah standar kualitas Shahihain (Bukhari dan Muslim), para ulama
menggolongkan kitab Sunan al-Nasa’i dalam enam kitab Hadits Pokok (Kutub al-Sittah)
selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan
Ibnu Majjah. [islamaktual/sm/fauziishlah]
Para Perawi Hadits: Imam At-Tirmidzi, Ahli Hadits dan Fiqh
Nama lengkapnya adalah Imam Al-Hafidz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah
bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi. Dia adalah salah seorang ahli hadits
kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur. Tirmidzi lahir pada 279 H di kota
Tirmiz.
Semenjak kecilnya, Tirmidzi gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk
keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk
mendengar hadits yang kemudian dihapal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan, atau
ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa
menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah.
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah
Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam
Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin
Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin
Muni’, Muhammad bin Al-Musanna dan lain-lain.
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di
antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir,
‘Aid bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf
An-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab
Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain. Abu Isa At-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya
dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat
dipercaya, amanah dan sangat teliti.
Para ulama besar memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan
keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibnu Hibban, kritikus hadits, menggolangkan
Tirmidzi ke dalam kelompok “tsiqat” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh
hapalannya. "Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun
kitab, menghapal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama," kata Ibnu
Hibban.
Abu Ya’la Al-Khalili dalam kitabnya Ulumul Hadits menyatakan Muhammad bin Isa
At-Tirmidzi adalah seorang penghapal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para
ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wa At-ta’dil. Hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain.
"Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang
menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas
keagungan derajatnya, keluasan hapalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang
hadits yang sangat mendalam," papar Abu Ya'la. Di samping dikenal sebagai ahli dan
penghapal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam
Tirmidzi juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Kajian-
kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat
berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab, di antaranya Kitab Al-Jami’ (terkenal dengan
sebutan Sunan At-Tirmidzi), Kitab Al-‘Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama’il An-
Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma’ wa Al-Kuna. Di antara kitab-kitab
tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’ (Sunan Tirmidzi).
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak
manfaatnya. Ia tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits)
dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi,
dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Sebagian
ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar As-Sahih kepadanya, sehingga mereka
menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan
terlalu gegabah. Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya
kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. "Setelah selesai
menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan
Khurasan. Dan mereka semua meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang
selalu berbicara," ungkapnya.
Di dalam Al-Jami’-nya, Imam Tirmidzi tidak hanya meriwayatkan hadits sahih
semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, dhaif, gharib dan mu’allal dengan
menerangkan kelemahannya. Ia juga tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-
hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini
merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits
yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih.
Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits. Ia
pernah berkata, "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh
karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah
hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat
Zuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab 'takut' dan 'dalam
perjalanan'.
Kedua, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka
bunuhlah dia." Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukkan demikian.
Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau
tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz)
hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini
adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu
Munzir.
Hadits-hadits dhaif dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya
menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu
dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi—meriwayatkan dan mengamalkan—
hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang
halal dan haram.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar
pikiran serta mengarang, pada akhir kehidupannya Tirmidzi mendapat musibah kebutaan.
Beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra, dan dalam keadaan seperti inilah
akhirnya Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun
279 H dalam usia 70 tahun.
IBNU RUSYD, FILOSOF BERKEMAJUAN DAN MENCERAHKAN
Ibnu Rusyd. Pemikir Muslim yang berkemajuan dalam pemikiran dan mencerahkan
dalam berislam. Ia adalah filosof yang berhasil memasukkan pikiran filsafat dalam diskursus
syariat. Ia menjembatani perdebatan tentang ijma’ dengan argumentasi filsafati yang
memberikan kemudahan dalam istinbath hukum Islam.
Jejak Hidup
Ibnu Rusyd lahir di Cordoba, Spanyol, pada tahun 520 H (1126 M) dengan nama
lengkap Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Saat
itu, Cordoba merupakan kota paling menonjol dan terkenal milieu keilmuannya di Andalusia
(Spanyol). Di Barat, ia dikenal dengan nama Averoes. Dia adalah seorang dokter, ahli
hukum, dan filosof paling populer pada periode perkembangan filsafat Islam (700-1200). Di
samping sebagai yang paling otoritatif sebagai komentator karya-karya Aristoteles, ia juga
seorang filosof Muslim paling menonjol dalam usahanya mencari persesuaian antara filsafat
dan syariat (al-ittishal bain al-hikmah wa al-syari’ah). Ia wafat di Maraquesh (Maroko) 9
Safar 595 H (10/12/1198 M).
Ibn Rusyd tumbuh di tengah keluarga terhormat dan memiliki tradisi keilmuan yang
kuat. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri pernah
menduduki beberapa jabatan antara lain sebagai qadli (hakim) di Sivilla dan sebagai qadli
al-qudlat (hakim agung) di Cordoba.
Sejak kecil, ia mempelajari al-Qur’an, tafsir, Hadits, fikih, dan sastra Arab. Setelah
dewasa orientasinya tertuju pada ilmu. Ia mendalami matematika, fisika, astronomi, logika,
filsafat, dan ilmu kedokteran. Wajar jika kemudian ia dikenal sebagai ahli dalam berbagai
cabang ilmu. Kebesaran dan kejeniusan Ibnu Rusyd tampak pada karya-karyanya.
Dalam berbagai karyanya, ia selalu membagi pembahasannya dalam tiga bentuk,
yaitu komentar, kritik, dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung.
Ulasannya yang terkenal adalah terhadap karya-karya Aristoteles. Ia tidak semata-mata
memberi komentar, tetapi juga menambahkan pandangannya sendiri. Suatu hal yang belum
pernah dilakukan filosof lain sebelumnya. Kritik dan komentarnya itulah yang
menjadikannya terkenal di Eropa. Ulasan-ulasannya terhadap filsafat Aristoteles
berpengaruh besar di kalangan ilmuwan Eropa. Selain itu, ia juga banyak mengomentari
karya-karya filosof Muslim pendahulunya: al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, dan al-Ghazali.
Popularitas Ibnu Rusyd memuncak pada masa Khalifah Abu Ya’qub Yusuf ibn Abdul
Mu’min. Kedudukannya begitu agung di sisi khalifah. Kedudukannya semakin meningkat
setelah Khalifah al-Mansur Abu Yusuf Ya’qub menggantikan ayahnya. Sayangnya, selang
tak begitu lama, timbul kecurigaan terhadap Ibnu Rusyd dan akidahnya. Ini merupakan awal
dari rentetan fitnah dan hukuman buang baginya. Ia dipenjara di kota Alisana/Lucana,
Spanyol, tempat pembuangan orang-orang yang akidah serta pemikirannya mengganggu
ketenteraman negara.
Hal yang tentunya menyakitkan hatinya adalah perintah untuk membakar semua
bukunya. Masyarakat dilarang mempelajari selain yang bersifat pengetahuan murni seperti
kedokteran, matematika, dan astronomi. Kemudian dia diasingkan ke Maraquesh. Ia
meninggal dan dimakamkan di situ. Tiga bulan kemudian jenazahnya dipindahkan ke
Cordova. Keranda dan sisa-sisa bukunya diangkut kiri kanan punggung seekor keledai.
Sepeninggal Ibnu Rusyd bagaimanapun tidak ada lagi muncul filosof Muslim di dunia
Sunni khususnya di bagian Barat (Andalusia). Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau
Spanyol, hilang pula kekuasaan dan kejayaan Islam di Barat.
Mencerahkan dan Berkemajuan
Ibnu Rusyd menulis tak kurang dari 50 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Di
antara karya-karyanya, ada yang hasil karyanya sendiri, ada juga yang berupa ulasan terhadap
karya Aristoteles. Karyanya yang sampai kepada kita antara lain Bidayatul-Mujtahid, Faslul-
Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-ittsal, Manahij al Asillah fi Aqaidi Ahl al-
Millah, Tahafut at-Tahafut. Di antara karya-karya tersebut, yang paling mencerahkan adalah
Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-ittsal. Dalam karya ini, ia
memunculkan teori tentang harmoni (perpaduan) agama dan fisafat. Ia menawarkan satu
pandangan baru yang sama sekali orisinil dan rasional.
Ia berusaha mengharmoniskan agama dan filsafat. Menurutnya, filsafat tidk
bertentangan dengan agama. Fungsi filsafat tidak lain hanyalah untuk memikirkan yang
maujud (lahiriah) agar membawa kepada ma’rifatullah.
Dalam konteks itu, Ibnu Rusyd mencetuskan teori tentang Ijma’. Dalam Bidayatul al-
Mujtahid, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa Ijma’ sebagai sumber hukum Islam yang tidak
dapat berdiri sendiri. Ijma’ dapat menjadi sumber hukum apabila ada sandaran dari salah satu
atau lebih sumber hukum Islam yang lain: al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad.
Menurut Ibnu Rusyd, Ijma’ memiliki dua jenis. Pertama, ijma’ yang terjadi karena
kebulatan suara para mujtahid dan masyarakat umum mengenai hal-hal yang fundamental
dalam Islam, seperti tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Kedua, ijma’ yang terjadi karena
konsensus para mujtahid sendiri. Dalam hal ini, masyarakat umum secara otomatis
menyetujui konsensus tersebut. Ijma’ jenis kedua ini berkenaan dengan hal-hal yang tidak
fundamental dalam Islam, tetapi hanya rincian-rincian dari hal-hal fundamental tersebut.
Atas dasar itu, Ibnu Rusyd menunjukkan adanya nash dalam syara’ di mana terjadi
ijma’ kaum Muslimin untuk berpegang kepada arti lahirnya. Ada nash yang lain di mana
mereka sepakat (ijma’) untuk menta’wilnya. Ada juga nash di mana mereka memutuskan
(ijma’) bahwa nash itu diperselisihkan antara perlu dita’wil atau tidak. Lebih lanjut, menurut
Ibnu Rusyd, ijma’ hanya dapat terjadi pada hal-hal praktis. Tidak pada hal-hal teoritis.
Gagasan-gagasan Ibnu Rusyd tersebut merupakan titik cerah dalam wacana hukum Islam. Ia
memberikan gagasan berkemajuan bagaimana meletakkan nash, akal, dan konteks
masyarakat. Ia memberi pencerahan terhadap sulitnya melakukan istinbath hukum pada saat
itu. [islamaktual/sm/ba]

Anda mungkin juga menyukai