BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya madzhab dalam sejarah tidak terlepas dari adanya pemikiran fiqih dari
zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhab zfikih pada periode ini. Seperti
contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah
masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda
pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab
yang dianut.
Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup
sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong, di
antaranya:
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi
3. Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-
seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi
madzhab-madzhab fikih Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa
fikih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai laposan masyarakat. Dalam sejarah
pengkajian hukum Islam dikenal beberapa mazhab fikih yang secara umum terbagi dua, yaitu
mazhab sunni dan mazhab syi’i. Di kalangan Sunni terdapat beberapa mazhab, yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua mazhab fiqih, yaitu
Zaidiyah dan Ja’fariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Ja’fariah dan
Syi’ah Imamiyah.
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan pemikiran fikih dari kalangan mazhab
Maliki. Mazhab ini, selain pendirinya merupakan seorang yang dari Madinah, sebagai tempat
pengamalan Sunnah, tetapi juga memiliki pemikiran-pemikiran fikih yang elastis, mudah,
dan waqi’iyyah. Pemikiran fikih mazhab ini, dapat dikatakan, kombibansi antara akal dan
wahyu, sangat terlihat. Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis mencoba untuk
menjelaskan pemikiran fikih dalam mazhab ini, di mulai dari sejarah pendirinya, kemudian
otoritas pemegang tasyri’, yang merupakan penjelasan secara metodologis manhaj fikih
mereka, berikut dijelaskan juga karakteristiknya, baik itu dilihat dari aspek metodologis,
BAB II
PEMBAHASAN
Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al-Muwatta' (himpunan hadits) yang
diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, Khalifah mengutus orang memanggil Imam. Harus al-
waktu semakin bertambah, dan yang ditunggu tidak datang juga, maka Harun al-Rasyid pun
dicari, tidak datang sendiri, dan sesungguhnya anak pamanmu SAW. yang dia datang
bersama ilmu, jika engkau meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan,
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di
Madinah pada tahun 717 M., Kakeknya bernama Amir, termasuk salah seorang Sahabat
Besar di Madinah. Malik belajar Hadits di bawah bimbingan al-Zuhri, yang merupakan
seorang ulama Hadits terbesar pada masanya, dan juga di bawah bimbingan Perawi Hadits,
Nafi’, seorang budah yang dimerdekakan oleh Abdullah ibn Umar. Perjalanan Malik keluar
dari Madinah hanya untuk berhaji, karenanya ia mencukupkan diri mempelajari ilmu yang
tersedia di Madinah. Dia pernah dipenjara pada tahun 764M. oleh pemerintah Madinah,
karena ia membuat ketetapan hokum yang menyatakan bahwa perceraian yang dipaksa tidak
sah. Ketetapan hukum ini bertentangan dengan ketetapan pemerintah, bahwa terdapat sumpah
setia yang dari kalangan istri, yang bila mereka melanggar sumpah tersebut, maka otomatis
dicerai. Malik kemudian dipenjara dan disiksa, sehingga terdapat cedera di lengannya;
apabila melaksanakan shalat, ia tidak mampu mengangkat tangannya ke dada. Karena itu,
menurut beberapa riwayat, Malik kemudian melaksanakan shalat dengan kedua tangan di
sisinya.[3]
Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu.
Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-
ulama besarnya.[4]
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran
hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-
ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin
Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah
Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid
kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur
keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur
membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, Jangan
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan
pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang
tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu
ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh
penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang
saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti
tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan
pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun
memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi
berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far
seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu.
Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum
keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus
kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi
salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan
perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak
meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia
Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang
memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak
dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi
adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu.
Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat
mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan
pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak
keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang
“The early books of Fiqh were usually a mixture of legal rulings, Hadeeths, opinions
of the Sahaabah, and of students of the Sahaabah. Al-Muwatta’ of Imam Malik is a classical
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya al-Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik
tidak “dipaksa” Khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad,
permukaan bumi ini. Aku disibukkan oleh urusan pemerintahan, maka buatlah sebuah karya
kemudahah).[12]
Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah
al-Muwatta'. Ditulis di masa Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa al-
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya.
Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih.
Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10
ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits.
Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan.
Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab al-Mudawwanah al-Kubra, yang
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih
di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam
Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Ashl al-Madarik Syarh Irsyad al-Masalik fi Fiqh Imam
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat
hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah al-Qur'an, Sunnah Rasulullah
SAW., amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi),
tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir,
Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara
yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk
Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut
Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara
kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undang-
undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar
banyaknya mashadir yang dimilikinya, dan para penerus setelah Imam mereka, dan juga
banyaknya pemikiran hukum yang diijtihadkan. Menurut Abu Zahrah, seluruh hal tersebut
terdapat di dalam mazhab Maliki. Manhaj fikih mereka adalah yang paling banyak di antara
itu ialah ada yang menghimpun antara pemikiran fikih, filsafat, dan hikmah, yaitu Ibnu Rusyd
al-Hafid, di mana orang-orang Eropa banyak belajar darinya mengenai filsafat Aristoteles. Ia
juga pernah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafuf al-Tahafut, merupakan sebuah karya
seorang yang ahli (mumtaz) dalam fikih mazhab Maliki, ia juga ahli dalam bidang komparasi
Mazhab ini berkembang di berbagai daerah, dan yang paling banyak ialah di daerah
Mazhab ini juga terlihat di Mesir bahkan ketika Imam Malik masih hidup.
Keberaannya mazhab ini di Mesir tidak terlepas dari peranan murid-muridnya, seperti
Abdurrahman ibn al-Qasim,[19] Utsman ibn al-Hakam, Abdurrahman ibn Khalid, dan Asyhab.
Di Mesir, mazhab Maliki paling dominant, sehingga kemudian hadir mazhab Syafi’i, dan
akhirnya, Sultan negeri ini menjadi dua mazhab ini sebagai mazhab yang dominant di Mesir.
[20]
Di daerah Tunisia juga berkembang mazhab ini, tetapi mazhab Hanafi lebih dominant.
Hal ini dikarenakan Sultan Asad ibn al-Farat, yang awalnya pengikut mazhab Maliki,
berpindah kepada mazhab Hanafi. Kemudian, setelah kedatangan al-Mu’idz ibn Badisy, ia
juga didukung oleh Sultan. Awalnya mazhab yang dominant di daerah ini adalah mazhab al-
Awza’i, seorang ahli fikih dari Syam. Kemudian, Sultan tadi itu tidak memberikan wewenang
terdapat dua mazhab yang awal perkembangannya didukung oleh Sultan dan pemerintah,
Dengan demikian, mazhab Maliki ini berkembang pesat di daerah Islam sebelah
Barat, dan sedikit di Timur, seperti di daerah Iraq. Hal ini dikarenakan banyak muridnya yang
Pengendali tasyrik dalam Mazhab Maliki tidak bisa dipisahkan dari sumber-sumber
tasyrik yang dipegang teguh oleh komunitas mazhab ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan,
bahwa Imam Malik, di samping seorang Faqih, juga seorang Ahli Hadits, di mana dalam
menyatakannya, yang merupakan periwayatan yang dhabith. Hal ini dapat dilihat dari kitab
al-Muwaththa’.[25]
Imam Malik memiliki manhaj tersendiri dalam istimbat hukum Islam, akan
dan kemudian dijadikan sebagai dasar (ushul) bagi bangunan pemikiran fikih Imam Malik
maka mereka menyandarkannya kepada Sunnah (yang termasuk sunnah di sini ialah Hadits
kemudian bila masalah belum terlesaikan dengan berpegang kepada kedua di atas, maka
qiyas, terdapat juga al-mashlahah, sadd al-dzara’i’, al-‘urf, dan al-‘adat. [28] Berikut
penjelasannya:
1. Kitab Allah
Imam Malik menjadikan Kitab Allah (al-Qur’an) sebagai dasar bagi hujjah dan dalil
terhadap berbagai permasalahan hukum,[29] dan sebagai sumber hukum primer yang
Dia memahami nash secara sharih, tanpa ditakwil, kecuali ada dalil yang
digembalakan di padang rumput yang mubah, maka terdapat zakat di dalamnya. Mafhum al-
mukhalafah-nya ialah bahwa ternak yang dipelihara sendiri tidak terdapat zakat di dalamya.
Dengan demikian, kewajiban mengeluarkan zakat ternak, di dalam mazhab ini, tidak
Illat pengharaman yang terdapat di dalam ayat di atas ialah kotor (rijs); yang
diartikan sebagai yaitu makanan yang buruk dan sudah terserang wahab penyakit. Dengan
2. Sunnah
sumber terpenting kedua di dalam hukum Islam. Yang dimaksud sunnah di sini ialah yang
berderajat mutawatir, dan juga masyhur. Mazhab ini juga mengambil dari beberapa perkataan
beberapa sahabat yang aman dari dusta, atau riwayat sekelompok tabiin yang tidak mungkin
bersepakat dusta. Jelasnya, mazhab ini mengambil kemasyhuran sunnah dari masa tabi’in dan
tabi’ tabi’in. adapun setelah generasi ini tidak dianggap lagi, karena masa-masa tersebut tadi
Mereka juga menggunakan Hadits Ahad, yaitu hadits yang tidak sampai derajat
mutawatir dan juga masyhur pada masa tabi’in, tidak pula pada masa tabi’in. dalam hal ini,
amal penduduk Madinah lebih didahulukan daripada Hadits Ahad, dan bahkan mereka
mendahulukan qiyas daripada Hadits Ahad.[36]
kontrak selama keduanya belum berpisah. Tetapi Hadits ini ditolak oleh Imam Malik dengan
perkataannya:
ليس عندنا حد معروف
“Kita tidak memiliki batasan yang diketahui.” Alasan yang diberikannya ialah bahwa majlis
Imam Malik juga meninggalkan Hadits Ahad dalam masalah puasa 6 hari di bulan
Syawwal yang dimulai pada hari berikutnya setelah hari raya, karena hal ini cenderung
menambah-nambah Ramadan.[39]
Contoh-contoh yang tersebut di atas banyak terdapat di dalam mazhab ini, terutama
Imam Malik, di mana dia menolak Hadits Ahad dan beralih kepada qiyas atau maslahah. Di
sini terlihat bahwa Imam Malik tidak hanya faqih Hadits, tetapi juga faqih al-ra’y.[40]
Imam Malik menganggap amal penduduk Madinah sebagai hujjah, apabila amal
tersebut dinaql dari Nabi SAW..[41] Dia menyebut perkataan gurunya, Rabi’ah ibn
Abdirrahman:
ألف عن ألف خري من واحد عن واحد
“Seribu dari seribu orang (perbuatan) lebih baik dairpada satu dari satu orang
(periwayatan).”[42]
Menurut Utsman Syausan, Imam Malik belum menyusun ushulnya yang dia jadikan
sebagai dasar pembinaan fiqhnya, dan dia juga tidak menjelaskan seluruhnya, hal demikian
telah berlangsung antara Imam Malik dengan Imam al-Laits bin Sa’ad dalam isyarat kepada
suatu hal di Madinah secara dzahir maka diamalkan, dan aku tidak mendapatkan perselisihan
di dalamnya; bagi warisan yang terdapat pada mereka yang tidak boleh seorang pun
asanya adalah al-ra’y – daripada Hadits Ahad.[44]Hal ini bukan berarti amal pendudukan
sebelum Imam Malik, seperti riwayat Qadhi Muhammad ibn Abi Bakar yang ditanya
Maksud kesepakatan di sini ialah apa yang disepakati oleh al-shulaha’ dari penduduk
Madinah. Di sini terlihat bahwa amal penduduk Madinah lebh kuat, dengan alasan bahwa
amal tersebut pun dinaql dari Nabi SAW.,[47] dan amal tersebut bersifat natural, dalam arti
Penjelasan di atas merupakan bukti dari hujjahnya “amal penduduk Madinah”, yang
4. Fatwa Sahabat
Imam Malik menganggap fatwa Sahabat di sini sebagai perkataan yang wajib
diamalkan. Karena itu terdapat riwayat yang mengenainya bahwa ia mengamalkan fatwa
sebagian sahabat dalam manasik haji, dan meninggalkan amalan yang disandarkan pada Nabi
SAW. dengan asumsi bahwa apa yang dilakukan sahabat itu tidak sebagaimana anjuran Nabi
SAW, dan juga, manasik itu tidak mungkin diketahui melainkan melalui jalan naql.[51]
Imam Malik mengambil perkataan sahabat dalam suatu perkara yang tidak diketahui
kecuali dengan jalan naql sebagai Hadits. Dengan demikian, apabila terdapat pertentangan
antara dua ashl, maka ia memiliki di antara keduanya mana yang paling kuat sanadnya dan
Prinsip pemikiran fikih yang dikembangkan oleh Imam Malik ialah mempermudah,
dan tidak mempersusus, hal ini sesuai dengan karya monumentalnya Al-Muwaththa’, yang
berarti mempermudah.[53]
hukum suatu perkara yang dinashkan karena kesamaannya dalam sifat illat hukum.”[54]
االستحسان ترجيح حكم املصلحة اجلزئية على حكم القياس
“Istihsan ialah mentarjih hukum maslahat yang partikular atau hukum (yang
Apabila qiyas memerlukan pertalian hukum yang tidak dinashkan dengan hukum
mengharuskan selain itu, maka yang demikian inilah yang disebutkan dengan al-istihsan.
Dengan kata lain, istihsan ialah ketetapan maslahat karena tidak adanya nash (hukm al-
mashlahah haitsu la nash), sama saja apakah pokok permasalahan hukum itu bersumber dari
kesulitan (li daf’ al-harj), dan maslahat itu dikatakan muktabar di dalam syariat Islam selama
perkataannya:
االستحسان تسعة أعشار العلم
“Istihsan ini sembilan per sepuluh ilmu.”[58]
Berpegang teguh dengan qiyas tehadap hal-hal yang tidak ada dalilnya hanya
Ringkasnya ialah bahwa Imam Malik menggunakan hukum maslahat bila tidak
terdapat nash al-Qur’an atau Sunah Nabi SAW. yang menjelaskan perkara yang dimaksud,
karena pada prinsipnya, keberadaan syariat Islam ialah demi kemasalahatan manusia. Seluruh
nash syarak, tidak diragukan lagi, berkenaan dengan maslahat. Oleh karena itu, bila tidak
terdapat nash mengenai suatu hal, maka hukum maslahat yang benar dan sesuai dengan
“Imam Malik telah menguraikan dalil-dalil ashl dalam pemahaman makna yang maslahat
dnegan tetap memelihara maksud Syari’, tidak lari darinya, dan tidak (pula) menentangi ashl
dari ushul-nya, sehingga banyak ulama memandang buruk pada aspek penguraiannya
(berkenaan dengan maslahat) dan mencurigai bahwa dia (Imam Malik) hanya melepaskan
kesulitan (dalam mengkaji dalil-dalil), dan kemudian membukan pintu tasyrik (yang baru).
Mustahil! Begitu terhindar beliau dari hal demikian, bahkan fikihnya yang disukai untuk
diikuti, di mana sebagian manusia menyangka bahwa dia bertaklid pada orang-orang
sebelumnya, bahkan dia adalah shahib al-bashirah di dalam agama Allah.”[61]
6. Al-Dzara’i’
Masalah al-dzara’i’ ini terdapat banyak dalam masalah furu’iyyah, yang sasarannya
ialah bahwa sesuatu yang mengarah kepada yang haram maka menjadi haram, sesuatu yang
mengarah kepada yang halal maka menjadi halal. Demikian sesuatu yang mengarah pada
masalahat maka diajurkan dan dituntut, dan sesuatu yang mengarah kapada mafsadat adalah
haram.[62]
perbuatan memiliki implikasi yang berupa tujuan atau maksud tertentu, baik atau buruknya,
terjadi kerusakan (mafsadat). Contohnya ialah menggali lubang di tanah dekat pintu rumah
seseorang di waktu gelap, dan setiap orang yang keluar dri rumah itu pasti akan terjatuh ke
dalam lubang itu. Sebenarnya penggaliang lubang itu tidak ada masalah, akan tetapi, karena
dapat menimbulkan mafsadat bagi orang lain, maka hal demikian dilarang.[65]
dzara’i’ itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan
Contohnya ialah menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras, atau
menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya. Menjual anggur itu boleh-
boleh saja, akan tetapi, menurut kebiasaan, pabrik demikian akan memproduksi minuman
keras. Dengan demikian, menjual anggur dalam kondisi demikian menjadi terlarang.
Demikian juga dalam contoh kedua, di mana pisau yang dijual itu, dalam kondisi demikian,
kemungkinan besar digunakan untuk membunuh. Karena itu, menjual pisau dalam kondisi
tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakeknya sering
d. Al-dzara’i’ yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam
hal ini, seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.
Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang. Menurut
kebiasaannya, tidak ada orang yang lewat di tempat itu yang nantinya dapat menyebabkannya
terjatuh ke dalam lubang itu. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar dan
Menurut Abu Zahrah, dari keempat hal di atas, Mazhab Maliki mengharamkan dua
yang pertama, karena kecenderungan mafsadar darinya lebih besar dan dominan, adapun dua
Malikiyah disebutkan sebagai mazhab yang subur yang mendasarkan fikihnya pada maslahat,
Karakteristik mazhab Maliki dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek metodologi
a. Memiliki mashdar yang banyak
penduduk Madinah, Ijmak Sahabat, pemikiran individu sahabat, qiyas, adat istiadat penduduk
Kitab, Sunnah, amal penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan,
dan al-dzara’i’[71]
Melihat banyaknya sumber-sumber yang digunakan mazhab maliki, maka tidak heran
bila ulama mazhab ini memiliki keluasan di dalam berijtihad, sehingga mereka mampu
melahirkan banyak sekali kaidah, baik dalam aspek metodologis (Ushul al-Firh) ataupun
Dalam masalah amal penduduk Madinah, Imam Malik menjadikannya sebagai hujjah
daripada menggunakan hadits Ahad, karena itulah, amal penduduk Madinah merupakan salah
pengertian ini, sebagaimana tampak jelas dalam istidlal-nya dalam sejumlah hukum cabang,
dan ahli ilmu di negeri kita……”; dan juga perkataannya” ”Perkara ini merupakan perkara
yang terdapat pada kita....”; demikian juga perkataannya: ”Dan hal yang demikian masih
b. Keragaman uhsul dan mashdar
diperoleh pemahamannya dari syarak dan disandarkan padanya, seperti qiyas. Dengan adanya
keragaman usul dan masdar ini menyebabkan pemahaman terhadap naql dalam mazhab ini
tidak kaku, beku, dan statis. Hal inilah yang membedakan mazhab ini dengan mazhab ahl al-
Hadits dan ahl al-ra’y. Abu Zahrah menyatakan, bahwa Imam Malik tidak hanya faqih
Hal ini membantu para mujtahid di dalam upaya mengembangkan pemikiran ijtihadi
dan istimbat mereka. Karena di dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan Sunnah tidak
firman-Nya:
dikeluarkan zakatnya. Hal ini dijelaskan secara lebih rinci di dalam pembahasan mengenai
analogi (qiyas).
Sebagian fuqaha ada yang membuat kriteria qiyas dan mempersempit bidang kajian
ini; mereka tidak menerima menqiyaskan sesuatu yang telah ditetapkan dengan qiyas, tidak
)مخصوص, dan qiyas al-‘aks (قياس العكس ); dan mereka melarang qiyas dalam masalah hudud (
)الحدود, kafarat ()الكفارات, rukhshah ()الرخص, sebab ()السباب, syarat ()الشروط, dan al-mawani’ (
)الموانع.[74]
ta’shil (menerangkan asalnya) bagi takhrij dalam sejumlah pemikiran ijtihadi yang terlihat
1. Melakukan istimbat dalam masalah kaidah-kaidah ushul, yang sebagiannya yang terdapat
dalam masalah furu’.
5. Menjelaskan hukum yang disandarkan pada hukum-hukum yang ditakhrij kepada mazhab
antaranya dan di antara yang lainnya, seperti hukum-hukum yang terdapat dalam mazhab
lain.
pengamalannya.
8. Menjelaskan karya-karya yang dihimpun oleh hukum-hukum yang ditakhrij dalam mazhab.
Hal-hal yang disebutkan di atas telah dijelaskan di dalam beberapa kitab, di antaranya
ialah:[76]
yang ditakhrij atasnya, sebagaimana juga yang dicakup dalam pembahasan yang
berhubungan dengan mukharrij, yang di antaranya terdapat dalam bab-bab ijtihad dan taklid.
[77]
Jalil Syarh Mukhtashar Khalil karya al-Khthab; dan kitab Syarh al-Zarqani ’ala Mukhtashar
Khalil karya al-Zarqani, dan kitab Syarh al-Kharsi ’ala Mukhtashar Khalil, karya al-Kharsi.
[78]
Ahmad Ali.[81]
ketetapan Ushul mazhab dan kepentingan terhadapnya. Kedua, banyaknya ulama mujtahid
dalam mazhab. Kemudian, luasnya penyebaran mazhab di negeri yang bermacam-macam, di
Permasalahan tersebut di atas telah ditulis di dalam beberapa kitab mazhab, seperti
Ishaq al-Syathibi, dan Kitab Jami’ Masa’il al-Ahkam lima Nazala min al-Qadhaya bi al-
Terdapat juga kitab-kitab Takhrid, di antaranya ialah Miftah al-Wushul ila Bina’ al-
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
2) Keboleh untuk mengikuti hal yang bertentangan di dalam masalah furu’, seperti
meninggalkan salah satu syarat dari syarat-syarat shalat, atau salah satu dari rukunnya, yaitu
apabila Imam menganggapnya sebagai sesuatu yang bukan syarat atau rukun shalat,
3) Menolak untuk mengkafirkan atau menjelekkan orang muslim lainnya dengan hawa nafsu
dan dosa. Imam Malik pernah ditanya mengenai Muktazilah apakah mereka Kafir, maka
dijawabnya:
من الكفر فروا
“Bila terdapat kekafiran di dalamnya, maka hindarilah”.
4) Membenarkan hukum yang dikeluarkan oleh seorang hakim, dan tidak boleh untuk
menentangnya, walau bertentangan dengan mazhab yang masyhur atau pendapat terkuat
dalam mazhab Maliki. Berkaitan dengan hal inilah kaidah berikut:
حكم احلاكم يرفع اخلالف
“Keputusan seorang hakim menghilangkan perselisihan.”
diwajibkan. Ini merupakan kaidah terpenting dalam penegasan solidaritas antar mazhab dan
6) Demikian juga ketetapan mazhab Maliki, bahwa bila tidak terdapat suatu nash dalam
mazhab, pada hukum-hukum yang belum terdapat dalilnya, maka boleh mengikuti pendapat
mazhabnya sebagai mazhab negara dan mewajibkan seluruh ulama (imam-imam fikh) untuk
mengikutinya.
8) Kebolehan untuk mengikuti mazhab lainnya dalam kondisi tertentu, karena kesulitan bila
tetap bertahan dengan fikih Maliki, atau karena suatu keperluan, atau sebab-sebab lainnya.
Diriwayatkan, bahwa Imam Malik memasuki masjid setelah shalat Ashar, kemudian duduk
dan tidak melaksanakan shalat tahiyyat al-Masjid, maka berkatalah seorang anak kecil:
“Berdirilah ya Syaikh, shalatlah dua rakaat!”. Kemudian beliau berdiri dan melaksanakan
shalat dua rakaat. Kemudian beliau ditanyakan mengenai masalah tersebut, beliau
menyatakan: “Aku khawatir akan kebenaran firman-Nya, “Dan bila dikatakan kepada
mereka: ‘Ruku’lah (shalatlah), mereka tidak ruku’ (shalat).”
Dari sini terlihat kelapangan fikih mazhab ini terhadap mazhab lainnya dan
kemaslahatannya, akan tetapi, walaupun demikian, tidak lantas menghilangkan karakteristik
mazhab ini.
pembaharuan
Penerimaan ini dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah, yaitu
)المصلحة المرسلة, sadd al-dzara’i’ (;)سد الذرائع karena hal-hal tersebut selalu memiliki perbedaan
memperhatian aspek realitas, dengan kata lain, pemikiran hukum merupakan inspirasi dari
kejadian-kejadian yang terjadi dan kemudian dilihat kecenderungan keislaman yang besar
memahami al-Qur’an dan Sunnah, dan istimbat mereka dari kaidah-kaidah ushuliyyah dan
prinsip-prinsip dasar fikih (al-mabadi’ al-fiqhiyyah). Hal ini memiliki dasar yang tidak
sedikit, baik di dalam al-Qur’an ataupun di dalam Sunnah. Seperti disebutkan berikut ini:
يريد اهلل بكم اليسر وال يريد بكم العسر
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesusahan bagimu.”
Al-Baqarah/2: 286).
وما جعل عليكم يف الدين من حرج
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan..” (QS.
Al-Hajj/22: 78).
keluarga, dan sebagainya, yang diliputi dengan berbagai kemudahan dan condong kepada
kepentingan-kepentingan manusia, dan tentu saja, selama tidak bertentangan dengan nash
kemasalahan umum manusia dan maksud-maksud yang terdapat di balik persyariatan suatu
hasanah sebagai landasan ushul mereka dan merupakan mashdar pentasyri’an yang dijadikan
Dengan demikian, di mana terdapat masalhat maka di sana juga terdapat hukum
Allah. Karena pada prinsipnya, hukum Islam itu berhubungan erat dengan kemaslahatan
agama dan dunia, sehingga terdapat dalil yang membatalkannya. Karena itu, bila terdapat
suatu adat istiadat di suatu negeri, dan tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip syarat,
bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.” (QS. Al-Mukminun/23: 71).
BAB I
KESIMPULAN
monumentalnya Al-Muwaththa’. Kitab ini merupakan kombinasi yang utuh antara naql dan
akal dan antara nash dengan praktek. Karena itu, mazhab ini lebih mendahulukan amal
Yang paling menonjol dari mazhab ini ialah karakteristiknya, baik dilihat dari sudut
ushul yang paling banyak, sehingga mereka memiliki pemikiran fikih yang sangat luas,
mudah, dan aktual. Secara substansial, mazhab ini sangat memperhatikan realitas, sehingga
terbentuk fikih yang seimbang antara pemikiran dan amalan. Realitas itu tetap tidak
besar terhadap aspek maqashid al-syari’ah, yang menjadi inspirasi bagi para ulama setelah
mashlahah al-mursalah. Dapat dikatakan, bahwa hamper seluruh aspek substansi fikih tidak
DAFTAR PUSTAKA
Al-Andalusi, Abu Umar Yusuf, Tajrid al-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-
Asanid aw al-Taqashshi li Hadits al-Muwaththa’ wa Syurukh al-Imam Malik (Mesir: Dar
al-Kutub al-Mishriyyah al-‘Amirah; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.).
Dutton, Yasin, The Origin of Islamic Law: The Quran, tha Muwatta’, and Madinan ‘Amal, cet. 1
(Richmond Survey: Curzon Press, 1999).
Al-Jundi, Abdul Halim, Malik bin Anas: Imam Dar al-Hijrah, cet. 3 (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1119H.).
Philips, Abu Ameenah Bilal, The Evolution of FIqh: Islamic Law and The Madh-hab, cet. 2 (Kuala
Lumpur: A.S. Noordeen, 1411H./1990M.).
[1]
Mahjuddin, Ilmu Fiqih (Jember: P.T. GBI Pasuruan, 1991), hlm. 111; Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 09.
[2]
Thahir al-Azhar Khuzairi, al-Madkhal il al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, cet. 1 (Kuwait: Wizarah
al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah, 1429H./2008M.), hlm. 25-26.
[3]
Abu Ameenah Bilal Philips, The Evolution of FIqh: Islamic Law and The Madh-hab cet. 2 (Kuala
Lumpur: A.S. Noordeen, 1411H./1990M.), hlm. 69-70; Yasin Dutton, The Origin of Islamic Law: The Quran,
tha Muwatta’, and Madinan ‘Amal, cet. 1 (Richmond Survey: Curzon Press, 1999), hlm. 11; Thahir al-Azhar
Khuzairi, ibid., hlm. 19-20.
[4]
Yasin Dutton, ibid., hlm. 11-12.
[5]
Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 70. Menurutnya, Imam Malik mencukupkan diri dengan
pengetahuan yang terdapat di Madinah (… and thus he largely limited himself to the knowledge available in
Madeenah).
[6]
Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit., hlm. 6.
[7]
Ibid., hlm. 6.
[8]
Yasin Dutton, op.cit., hlm. 22.
[9]
Abdul Halim al-Jundi, Malik bin Anas: Imam Dar al-Hijrah, cet. 3 (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1119H.), hlm. 192.
[10]
Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 57.
[11]
Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit., hlm. 74-75.
[12]
Ibid., hlm. 75.
[13]
Yasin Dutton, op.cit., hlm. 31.
[14]
Abdul Wahhab Khollaf, Khulashoh Tarikh tasyri’ Islam (Solo: CV. Ramadhani, 1991), hal. 89; lih.
juga dalan Yasin Dutton, ibid., hlm. 31.
[15]
Abdul Wahhab Khollaf, ibid..
[16]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqa’id wa Tarikh al-
Madzahib al-Fiqhiyyah, cet. 1 (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 404.
[17]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 404.
[18]
Ibid., hlm. 405.
[19]
Abdurrahman ibn Qasim ini dilahirkan di Madinah, seorang yang ahli dalam bidang Hadits
dan qira’ah. Dia menulis sebuah kitab monumental dalam mazhab Maliki, yaitu Al-Mudawwanah. Lih. Abu
Ameenah Bilal Philips, op.cit.,, hlm. 73-74.
[20]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 405.
[21]
Ibid..
[22]
Ibid..
[23]
Ibid., hlm. 406.
[24]
Ibid..
[25]
Ibid., hlm. 396.
[26]
Ibid., hlm. 397.
[27]
Ibid..
[28]
Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruh (Al-Azhar: Majma’ al-Buhuts al-
Islamiyyah, al-Kitab al-Tasi’, t.t.), hlm. 96. Dia membedakan antara mashdar dan ushul, di
mana mashdar adalah al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan seperti Amal Penduduk Madinah, Istihsan, yang akan
dijelaskan berikutnya, sebagai ushul.
[29]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 397.
[30]
Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 71; Yasin Dutton, hlm. 61; Zakariya al-Sibri, Mashadir al-
Ahkam al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Ittihad al-‘Arabi, 1395H./1975M.), hlm. 16; Abu Umar Yusuf al-
Andalusi, Tajrid al-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid aw al-Taqashshi li Hadits al-
Muwaththa’ wa Syurukh al-Imam Malik (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah al-‘Amirah; Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 9, juga menyatakan bahwa Imam Malik adalah seorang yang paling kuat berpegang
teguh kepada kitab Allah SWT..
[31]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 397; Yasin Dutton, op.cit., hlm. 114-115.
[32]
Muhammad Abu Zahrah, ibid., hlm. 397.
[33]
Ibid., hlm. 397-398.
[34]
Ibid., hlm. 398.
[35]
Zakariya al-Sibri, op.cit., hlm. 36; Abu Umar Yusuf al-Andalusi, op.cit., hlm. 10.
[36]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.
[37]
Ibid..
[38]
Ibid..
[39]
Ibid..
[40]
Ibid..
[41]
Yasin Dutton, op.cit., hlm. 33.
[42]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.
[43]
Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul: Dirasah Tarikhiyyah
wa Manhajiyyah wa Tathbiqiyyah, vol. 1, cet. 1 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1419H./1998M.,), hlm. 138-139.
[44]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.
[45]
Yasin Dutton, op.cit., hlm. 41.
[46]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 400.
[47]
Ibid., hlm. 400.
[48]
Yasin Dutton, op.cit., hlm. 33.
[49]
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University Press,
1959), hlm. 311.
[50]
Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul: Dirasah Tarikhiyyah
wa Manhajiyyah wa Tathbiqiyyah, vol. 1, cet. 1 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1419H./1998M.), hlm. 139.
[51]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 400; Zakariya al-Sibri, op.cit., hlm. 82-83.
[52]
Ibid..
[53]
Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit., hlm. 75. Al-muwaththa’, yang berarti al-musahhil wa al-
muyassir (yang memberikan kemudahah). Lih. juga Abdul Halim al-Jundi, op.cit., hlm. 200.
[54]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 401.
[55]
‘Adil al-Syuyikh, Ta’lil al-Ahkam fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, cet. 1 (Thantha: Dar al-Basyir li al-
Tsaqafah wa al-‘Ulum, 1420H./2000M.), hlm. 223.
[56]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 401.
[57]
Ibid.; ‘Adil al-Syuyikh, op.cit., 225.
[58]
Ibid..
[59]
Ibid..
[60]
Muhammad Ali al-Sayis, op.cit., hlm. 97; ‘Adil al-Syuyikh, op.cit., hlm. 226.
[61]
Al-Syathibi, Al-I’tisham, vol. 1, t.t.p.: t.p., t.t., hlm. 387.
[62]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 402.
[63]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 2, cet. 5 (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 421-422.
[64]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 402; Amir Syarifuddin, ibid., hlm. 428-429.
[65]
Ibid.; Ibid., hlm. 428.
[66]
Ibid.; Ibid..
[67]
Ibid.; Ibid..
[68]
Ibid.; Ibid..
[69]
Ibid..
[70]
Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 71-73.
[71]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 397-402.
[72]
Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, op.cit., , hlm. 139.
[73]
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.
[74]
Abdul Halim al-Jundi, op.cit., hlm. 202-203.
[75]
Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, op.cit., , hlm. 215-216.
[76]
Ibid., hlm. 216.
[77]
Ibid..
[78]
Ibid., hlm. 216-217.
[79]
Ibid., hlm. 217.
[80]
Ibid..
[81]
Ibid., hlm. 218.
[82]
Ibid..
[83]
Ibid., hlm. 218-220.
[84]
Ibid., hlm. 220.
[85]
Ibid., hlm. 221.
[86]
Syihabuddin Ahmad al-Qurafi, Al-Dzakhirah, vol. 5, cet. 1 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami,
1994), hlm. 371; Ahmad al-Durdir, Aqrab al-Masalik li Madzhab al-Imam Mali, cet. 1 (Kanu Nigeria:
Maktabah Ayyub, 1420H./2000M.), hlm. 120-121; Abu Muhammad Abdilwahhab, Al-Talqin fi al-Fiqh al-
maliki (Riyadh: Maktabah Nizar Musthafa al-Baz, t.t.), hlm. 398; Shadiq Abdurrahman al-
Ghiryani, Mudawwanah al-Fiqh al-Maliki wa Adillatuh, vol. 3, cet. 1 (Beirut: Mu’assasah al-Rayyan,
1423H./2002M.), hlm. 490.
[87]
Joseph Schacht, op.cit., hlm. 312.
[88]
Ali Muhammad al-Nadwa, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha,
Dirasah Mu’alafaatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqathuha, cet. 3 (Damaskus: Dar al-Qalam,
1414H./1994M.), hlm. 302.
[89]
Ibid., hlm. 27.
[90]
Ibid., hlm. 102.
[91]
Ibid., hlm. 122.
[92]
Abdul Halim al-Jundi, hlm. 208.
[93]
Zakariya al-Sibri, op.cit., hlm. 124-128.