Anda di halaman 1dari 32

PEMIKIRAN FIKIH MAZHAB MALIKI

BAB I

PENDAHULUAN

Munculnya madzhab dalam sejarah tidak terlepas dari adanya pemikiran fiqih dari

zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhab zfikih pada periode ini. Seperti

contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah

masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda

pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab

yang dianut.

Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup

sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,  di

antaranya:

1.      Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi

berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.

2.      Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan

pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-

Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian

usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.

3.      Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-

ulama madzhab ketika menghadapi masalah hokum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa

perlu menegakkan hokum islam dalam pemerintahannya.

4.      Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik

seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi

munculnya berbagai madzhab hukum islam.[1]

Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisinalisme telah melahirkan

madzhab-madzhab fikih Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa

fikih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai laposan masyarakat. Dalam sejarah
pengkajian hukum Islam dikenal beberapa mazhab fikih yang secara umum terbagi dua, yaitu

mazhab sunni dan mazhab syi’i. Di kalangan Sunni terdapat beberapa mazhab, yaitu Hanafi,

Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua mazhab fiqih, yaitu

Zaidiyah dan Ja’fariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Ja’fariah dan

Syi’ah Imamiyah.

Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan pemikiran fikih dari kalangan mazhab

Maliki. Mazhab ini, selain pendirinya merupakan seorang yang dari Madinah, sebagai tempat

pengamalan Sunnah, tetapi juga memiliki pemikiran-pemikiran fikih yang elastis, mudah,

dan waqi’iyyah. Pemikiran fikih mazhab ini, dapat dikatakan, kombibansi antara akal dan

wahyu, sangat terlihat. Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis mencoba untuk

menjelaskan pemikiran fikih dalam mazhab ini, di mulai dari sejarah pendirinya, kemudian

otoritas pemegang tasyri’, yang merupakan penjelasan secara metodologis manhaj fikih

mereka, berikut dijelaskan juga karakteristiknya, baik itu dilihat dari aspek metodologis,

maupun dari aspek substansi fikih.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sekilas Tentang Tokoh dan Periode/Fase

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al

Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al-Muwatta' (himpunan hadits) yang

diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, Khalifah mengutus orang memanggil Imam. Harus al-

Rasyid menunggunya di istananya, sementara Imam Malik menunggu di rumahnya. Karena

waktu semakin bertambah, dan yang ditunggu tidak datang juga, maka Harun al-Rasyid pun

kemudian memanggilnya, dan berkata: “Wahai Abdallah, seharian aku

menunggumu!”.Mendengar hal demikian, Imam Malik menyatakan:


‫ وإن ابن‬،‫وأنا أيضا يا أمري املؤمنني ألم أزل أنتظرك منذ اليوم؛ إن العلم يؤتى وال يأيت‬
‫ وإن وضعتموه‬،‫عمك صلى اهلل عليه وسلم هو الذي جاء بالعلم؛ فإن رفعتموه ارتفع‬
‫اتضع‬
“Aku juga menunggumu seharian wahai Amir al-Mu’minin; sesungguhnya ilmu itu

dicari, tidak datang sendiri, dan sesungguhnya anak pamanmu SAW.  yang dia datang

bersama ilmu, jika engkau meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan,

maka ia menjadi rendah.”[2]

Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi

Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di

Madinah pada tahun 717 M., Kakeknya bernama Amir, termasuk salah seorang Sahabat

Besar di Madinah. Malik belajar Hadits di bawah bimbingan al-Zuhri, yang merupakan

seorang ulama Hadits terbesar pada masanya, dan juga di bawah bimbingan Perawi Hadits,

Nafi’, seorang budah yang dimerdekakan oleh Abdullah ibn Umar. Perjalanan Malik keluar

dari Madinah hanya untuk berhaji, karenanya ia mencukupkan diri mempelajari ilmu yang

tersedia di Madinah. Dia pernah dipenjara pada tahun 764M. oleh pemerintah Madinah,

karena ia membuat ketetapan hokum yang menyatakan bahwa perceraian yang dipaksa tidak

sah. Ketetapan hukum ini bertentangan dengan ketetapan pemerintah, bahwa terdapat sumpah

setia yang dari kalangan istri, yang bila mereka melanggar sumpah tersebut, maka otomatis

dicerai. Malik kemudian dipenjara dan disiksa, sehingga terdapat cedera di lengannya;

apabila melaksanakan shalat, ia tidak mampu mengangkat tangannya ke dada. Karena itu,

menurut beberapa riwayat, Malik kemudian melaksanakan shalat dengan kedua tangan di

sisinya.[3]

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah.

Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu.

Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-

ulama besarnya.[4]
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran

hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-

ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin

Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah

Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar

Shadiq dan Rabi Rayi.

Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid

kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur

keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur

membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, Jangan

melengking bila sedang membahas hadits Nabi”.

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan

pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang

tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu

ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh

penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang

saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at

kepada khalifah yang mereka tak sukai.

Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti

tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan

pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun

memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi

berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far

seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi

kehendak sang penguasa.

Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu.

Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum

keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus
kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi

salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan

perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak

meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah

kecuali untuk berhaji.[5]

Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia

Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang

memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak

dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi

adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu.

Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat

duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.

B.     Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki

Mengenai al-Muwaththa’, Imam Syafi’i berkata:


‫ما على طهر األرض كتاب أصح بعد كتاب اهلل من كتاب مالك‬
“Tidak ada satu kitab pun di atas permukaan bumi ini yang lebih sahih setelah kitab

Allah dari ada kitab Malik.”[6]

Mengomentari pendapat Imam Syafi’i di atas, Ibnu Taimiyah menyatakan:


‫وهو كما قال الشافعي رضي اهلل تعاىل عنه‬
“Dan dia (Muwaththa’ Imam Malik) sebagaimana yang dinyatakan Syafi’i RA..”[7]

Al-Muwaththa’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri

mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan

pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak

keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang

diambil dari hadits dan fatwa sahabat.[8]


Al-Muwaththa’ merupakan kitab fikih yang berbeda dari kitab-kitab fikih lainnya,

karena mencakupun sunnah qawliyyah dan sunnah fi’lliyyah sebagai landasannya, dengan

mengikuti sunnah yang memiliki derajat mutawatir, dari masa ke masa.[9]

Abu Ameenah Bilal Philips mencatat mengenai al-Muwatta’:

“The early books of Fiqh were usually a mixture of legal rulings, Hadeeths, opinions

of the Sahaabah, and of students of the Sahaabah. Al-Muwatta’ of Imam Malik is a classical

example of this stage.”[10]

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya al-Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik

tidak “dipaksa” Khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad,

Khalifah al-Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya.

Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu, sehingga khalifah berkata:


،‫ وإين قد شغلتين اخلالفة‬،‫ إنه مل يبق على وجه األرض أعلم مين ومنك‬،‫يا أبا عبد اهلل‬
‫ ووطئه للناس توطئة‬،‫فضع أنت للناس كتابا ينتفعون به‬
“Ya Abu Abdillah, tidak ada orang yang lebih tahun selain aku dan engkau di atas

permukaan bumi ini. Aku disibukkan oleh urusan pemerintahan, maka buatlah sebuah karya

yang bermanfaat bagi manusia. Permudahlah manusia dengannya.”[11]

Berdasarkan ungkapan Khalifah di atas, maka dibuatlah sebuah karya dnegan


judul al-muwaththa’, yang berarti al-musahhil wa al-muyassir (yang memberikan

kemudahah).[12]

Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah

al-Muwatta'. Ditulis di masa Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa al-

Mahdi (775-785 M).

Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya.

Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih.

Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10

ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits.

Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan.
Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab al-Mudawwanah al-Kubra, yang

berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.[13]

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih

di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam

Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti al-Mudawwanah al-Kubra, Bidayatul Mujtahid

wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan al-Risalah fi al-Fiqh al-Maliki (karya

Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Ashl al-Madarik Syarh Irsyad al-Masalik fi Fiqh Imam

Malik(karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah al-Salik li Aqrab al-Masalik (karya

Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.[14]

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat

mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber

hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah al-Qur'an, Sunnah Rasulullah

SAW., amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi),

dan al-maslahah al-mursalah(kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil

tertentu).

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir,

Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara

yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk

Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut

Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara

resmi menganut Mazhab Maliki.

Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua

kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undang-

undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar

mahkamah sejarah mesir.[15]

Di dalam perkembangan mazhab Maliki, bahwa perkembangan suatu mazhab fikih

tidak terlepas dari pembahasan mengenai pemikiran-pemikiran ushul dan

banyaknya mashadir yang dimilikinya, dan para penerus setelah Imam mereka, dan juga
banyaknya pemikiran hukum yang diijtihadkan. Menurut Abu Zahrah, seluruh hal tersebut

terdapat di dalam mazhab Maliki. Manhaj fikih mereka adalah yang paling banyak di antara

mazhab-mazhab fikih lainnya.[16]

Murid-murid Imam Malik telah memperluas pemikiran ushulnya. Di antara muridnya

itu ialah ada yang menghimpun antara pemikiran fikih, filsafat, dan hikmah, yaitu Ibnu Rusyd

al-Hafid, di mana orang-orang Eropa banyak belajar darinya mengenai filsafat Aristoteles. Ia

juga pernah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafuf al-Tahafut, merupakan sebuah karya

yang berisikan kritikan terhadap pemikiran Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali. Sebagai

seorang yang ahli (mumtaz) dalam fikih mazhab Maliki, ia juga ahli dalam bidang komparasi

(muqaranah), yang terlihat dalam karya monumentalnya Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah

al-Muqtashid, sebuah kajian komparatif dalam bidang fikih.[17]

Mazhab ini berkembang di berbagai daerah, dan yang paling banyak ialah di daerah

Hijaz. Di Madinah, mazhab ini pernah mengalami stagnasi, hingga

permasalahan qadha’ dipegang oleh Ibnu Farhoun, tahun 793 H., dan ia memunculkan

kembali mazhab ini. Bagaimanapun, dominasinya tidak sebagaimana di daerah Hijaz.[18]

Mazhab ini juga terlihat di Mesir bahkan ketika Imam Malik masih hidup.

Keberaannya mazhab ini di Mesir tidak terlepas dari peranan murid-muridnya, seperti

Abdurrahman ibn al-Qasim,[19] Utsman ibn al-Hakam, Abdurrahman ibn Khalid, dan Asyhab.

Di Mesir, mazhab Maliki paling dominant, sehingga kemudian hadir mazhab Syafi’i, dan

akhirnya, Sultan negeri ini menjadi dua mazhab ini sebagai mazhab yang dominant di Mesir.
[20]

Di daerah Tunisia juga berkembang mazhab ini, tetapi mazhab Hanafi lebih dominant.

Hal ini dikarenakan Sultan Asad ibn al-Farat, yang awalnya pengikut mazhab Maliki,

berpindah kepada mazhab Hanafi. Kemudian, setelah kedatangan al-Mu’idz ibn Badisy, ia

mengajak masyarakat Tunisia untuk mengikuti mazhab Maliki, demikian juga

pemerintahannya ikut terlibat di dalamnya, yaitu di daerah Maghrib (Moroko). Hingga

sekarang, mayoritas masyarakat Tunisia menganut mazhab ini.[21]


Di daerah Andalus, mazhab ini memiliki perkembangan yang cukup tajam, karena

juga didukung oleh Sultan. Awalnya mazhab yang dominant di daerah ini adalah mazhab al-

Awza’i, seorang ahli fikih dari Syam. Kemudian, Sultan tadi itu tidak memberikan wewenang

dalam pemerintahan ulama yang tidak fakih dalam mazhab Maliki.[22]

Berdasarkan penjelasan di atas, Ibnu Hafizh al-Andalusi sampai menyatakan, bahwa

terdapat dua mazhab yang awal perkembangannya didukung oleh Sultan dan pemerintah,

yaitu Mazhab Hanafi di Masyriq, dan mazhab Maliki di Andalus.[23]

Dengan demikian, mazhab Maliki ini berkembang pesat di daerah Islam sebelah

Barat, dan sedikit di Timur, seperti di daerah Iraq. Hal ini dikarenakan banyak muridnya yang

berada di Mesir dan Tunisia.[24]

C.    Pengendali kekuasaan (otoritas) tasyri’ dan Sumber Tasyri’

Pengendali tasyrik dalam Mazhab Maliki tidak bisa dipisahkan dari sumber-sumber

tasyrik yang dipegang teguh oleh komunitas mazhab ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan,

bahwa Imam Malik, di samping seorang Faqih, juga seorang Ahli Hadits, di mana dalam

meriwayatkan Hadits, Imam Malik menyandarkan periwayatan kepada orang yang

menyatakannya, yang merupakan periwayatan yang dhabith. Hal ini dapat dilihat dari kitab

al-Muwaththa’.[25]

Imam Malik memiliki manhaj tersendiri dalam istimbat hukum Islam, akan

tetapi manahij  tersebut belum tercatat. Kemudian, para muridnya mencatatmanahij tersebut,

dan kemudian dijadikan sebagai dasar (ushul) bagi bangunan pemikiran fikih Imam Malik

dan mazhabnya.[26] Qadhi ‘Iyadh di dalam Al-Madarik  menjelaskanmengenai dasar-dasar

umum yang menjadi manhaj Imam Malik dalam istimbat.[27]

Secara ringkas, manhaj yang ditempuh di dalam Mazhab Maliki ia mendasarkan

pendapat fiqhiyyah pada al-Qur’an; apabila tidak diperoleh informasi pasti dari al-Qur’an,

maka mereka menyandarkannya kepada Sunnah (yang termasuk sunnah di sini ialah Hadits

Nabi, Fatawa Sahabat dan keputusan hukum mereka, dan ‘amal penduduk Madinah);

kemudian bila masalah belum terlesaikan dengan berpegang kepada kedua di atas, maka

mereka menyandarkan pendapat kepada qiyas (yaitu mencari kesamaan illat antara hukum


yang sedang dicari pemecahan [furu’] dengan hukum yang dinashkan [ashl]); di sampng

qiyas, terdapat juga al-mashlahah, sadd al-dzara’i’, al-‘urf, dan al-‘adat. [28] Berikut

penjelasannya:

1.      Kitab Allah

Imam Malik menjadikan Kitab Allah (al-Qur’an) sebagai dasar bagi hujjah dan dalil

terhadap berbagai permasalahan hukum,[29]  dan sebagai sumber hukum primer yang

digunakan tanpa pra-syarat dalam berbagai implikasinya.[30]

Dia memahami nash secara sharih, tanpa ditakwil, kecuali ada dalil yang

mewajibkannya untuk ditakwil. Di dalam memahami nash, ia menggunakan mafhum al-

muwafaqah  dengan fahw al-khithab, seperti dalam firman-Nya berikut:[31]


‫إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إمنا بأكلون يف بطونه نارا وسيصلون سعريا‬
Larangan yang terdapat dalam nash dipahami secara fahw al-khithab, yaitu seperti

merusaknya, dari pada hanya memakannya.[32]

Tetapi juga Imam Malik menggunakan mafhum mukhalafah, seperti dalam Hadits:


‫يف السائمة زكاة‬
Lafaz al-saa’imah yang dimaksud di dalam Hadits di atas ialah gerombolan unta yang

digembalakan di padang rumput yang mubah, maka terdapat zakat di dalamnya. Mafhum al-

mukhalafah-nya ialah bahwa ternak yang dipelihara sendiri tidak terdapat zakat di dalamya.

Dengan demikian, kewajiban mengeluarkan zakat ternak, di dalam mazhab ini, tidak

didasarkan pada hadits ini, tetapi didasarkan pada dalil lain.[33]

Mereka juga memperhatikan illat  hukum, seperti dalam firman-Nya berikut:


ِ ِ ِ ِ ِ
ً ‫قُ ْل اَل أَج ُد يِف َم ا أُوح َي إيَلَّ حُمََّر ًم ا َعلَى طَاع ٍم يَطْ َع ُم هُ إاَّل أَ ْن يَ ُك و َن َمْيتَ ةً أ َْو َد ًم ا َم ْس ُف‬
‫وحا‬
‫س أ َْو فِ ْس ًقا أ ُِه َّل لِغَرْيِ اللَّ ِه بِِه‬
ٌ ‫ج‬
ْ ِ ُ‫أ َْو حَلْم ِخْن ِزي ٍر فَِإنَّه‬
‫ر‬ َ
“Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah’.” (QS. Al-An’am/6: 145).

Illat  pengharaman yang terdapat di dalam ayat di atas ialah kotor (rijs); yang

diartikan sebagai yaitu makanan yang buruk dan sudah terserang wahab penyakit. Dengan

demikian, setiap makanan yang termasuk dalam kategori rijs adalah haram juga.[34]

2.      Sunnah

Sunnah di dalam mazhab Maliki – sebagaimana mazhab lainnya – dianggap sebagai

sumber terpenting kedua di dalam hukum Islam. Yang dimaksud sunnah di sini ialah yang

berderajat mutawatir, dan juga masyhur. Mazhab ini juga mengambil dari beberapa perkataan

beberapa sahabat yang aman dari dusta, atau riwayat sekelompok tabiin yang tidak mungkin

bersepakat dusta. Jelasnya, mazhab ini mengambil kemasyhuran sunnah dari masa tabi’in dan

tabi’ tabi’in. adapun setelah generasi ini tidak dianggap lagi, karena masa-masa tersebut tadi

mendekati derajat tawatur dari segi kekuatan istidlal.[35]

Mereka juga menggunakan Hadits Ahad, yaitu hadits yang tidak sampai derajat

mutawatir dan juga masyhur pada masa tabi’in, tidak pula pada masa tabi’in. dalam hal ini,

amal penduduk Madinah lebih didahulukan daripada Hadits Ahad, dan bahkan mereka
mendahulukan qiyas daripada Hadits Ahad.[36]

Diriwayatkan dari Qadhi ‘Iyadh dan Ibnu Rusyd di dalam al-Muqaddimat al-

Mumahhidat, bahwa Imam Malik mendahulukan qiyas daripada Hadits Ahad, sebagaimana

yang dilakukan Imam Malik, dan ia mendahulukan al-ra’y, sebagaimana di dalam Hadits

mengenai khiyar al-majlis, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:[37]


‫البيعان باخليار ما مل يتفرقا‬
Hadits di atas menyatakan bahwa dua orang pelaku kontrak dapat membatalkan

kontrak selama keduanya belum berpisah. Tetapi Hadits ini ditolak oleh Imam Malik dengan

perkataannya:
‫ليس عندنا حد معروف‬
“Kita tidak memiliki batasan yang diketahui.” Alasan yang diberikannya ialah bahwa majlis

tidak memiliki masa tertentu yang dimaklumi.[38]

Imam Malik juga meninggalkan Hadits Ahad dalam masalah puasa 6 hari di bulan

Syawwal yang dimulai pada hari berikutnya setelah hari raya, karena hal ini cenderung

menambah-nambah Ramadan.[39]

Contoh-contoh yang tersebut di atas banyak terdapat di dalam mazhab ini, terutama

Imam Malik, di mana dia menolak Hadits Ahad dan beralih kepada qiyas atau maslahah. Di

sini terlihat bahwa Imam Malik tidak hanya faqih Hadits, tetapi juga faqih al-ra’y.[40]

3.      Amal Penduduk Madinah

Imam Malik menganggap amal penduduk Madinah sebagai hujjah, apabila amal

tersebut dinaql dari Nabi SAW..[41] Dia menyebut perkataan gurunya, Rabi’ah ibn

Abdirrahman:
‫ألف عن ألف خري من واحد عن واحد‬
“Seribu dari seribu orang (perbuatan) lebih baik dairpada satu dari satu orang

(periwayatan).”[42]

Menurut Utsman Syausan, Imam Malik belum menyusun ushulnya yang dia jadikan

sebagai dasar pembinaan fiqhnya, dan dia juga tidak menjelaskan seluruhnya, hal demikian

telah berlangsung antara Imam Malik dengan Imam al-Laits bin Sa’ad dalam isyarat kepada

sebagian kaidah-kaidah ushuliyah yang dikeluarkan berdasarkan asas-asasnya, sebagai

rincian dari hukum-hukum furu’ sebagaimana tercatat dalam risalahnya “Apabila terjadi

suatu hal di Madinah secara dzahir maka diamalkan, dan aku tidak mendapatkan perselisihan

di dalamnya; bagi warisan yang terdapat pada mereka yang tidak boleh seorang pun

menjiplaknya dan mengakuinya”.[43]

Dengan demikian, Imam Malik mendahulukan amal penduduk Madinah – di mana

asanya adalah al-ra’y – daripada Hadits Ahad.[44]Hal ini bukan berarti amal pendudukan

Madinah berseberangan dengan Hadits Nabi, melainkan sebagai upaya kombinasi

antara ‘aql dan naql, tegasnya, antara Hadits Ahad dengan pemikiran ijtihad.[45]


Sandaran kepada amal penduduk Madinah ini, sebenarnya, telah ada di kalangan qadi

sebelum Imam Malik, seperti riwayat Qadhi Muhammad ibn Abi Bakar yang ditanya

mengenai keputusan yang diambilnya:


،‫ فما بالك ال تقض ي به؟‬:‫ فقي ل له‬،‫ بلى‬:‫ أمل ي أت يف هذا حديث كذا؟ فق ال‬:‫قيل ل ه‬
‫ فأين الناس عنه؟‬:‫فقال‬
“Dikatakan kepada Imam Malik: “Apakah tidak terdapa dalam masalah ini suatu Hadits yang
seperti ini?”, ia berkata: “Ya, ada!”. Maka ditanyakan lagi kepadanya: “Apa alasanmu tidak
memutuskan dengannya?”, maka dijawab oleh Imam Malik: “Mana orang-orang yang
mengamalkannya?”.[46]

Maksud kesepakatan di sini ialah apa yang disepakati oleh al-shulaha’  dari penduduk

Madinah. Di sini terlihat bahwa amal penduduk Madinah lebh kuat, dengan alasan bahwa

amal tersebut pun dinaql dari Nabi SAW.,[47] dan amal tersebut bersifat natural, dalam arti

adanya kombinasi antara naql dan ‘aql yang dilakukan oleh penduduk Madinah.


[48]
 Kesimpulan ini terlihat dari catatan Joseph Schacht sebagai “living tradition”, yakni

sunnah yang hidup.[49]

Penjelasan di atas merupakan bukti dari hujjahnya “amal penduduk Madinah”, yang

merupakan salah satu landasan ushulnya. Terdapat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang


menekankan pengertian ini, sebagaimana tampak jelas dalam istidlal-nya dalam sejumlah

hukum cabang, di antaranya:[50]

4.      Fatwa Sahabat

Imam Malik menganggap fatwa Sahabat di sini sebagai perkataan yang wajib

diamalkan. Karena itu terdapat riwayat yang mengenainya bahwa ia mengamalkan fatwa

sebagian sahabat dalam manasik haji, dan meninggalkan amalan yang disandarkan pada Nabi

SAW. dengan asumsi bahwa apa yang dilakukan sahabat itu tidak sebagaimana anjuran Nabi

SAW, dan juga, manasik itu tidak mungkin diketahui melainkan melalui jalan naql.[51]

Imam Malik mengambil perkataan sahabat dalam suatu perkara yang tidak diketahui

kecuali dengan jalan naql sebagai Hadits. Dengan demikian, apabila terdapat pertentangan
antara dua ashl, maka ia memiliki di antara keduanya mana yang paling kuat sanadnya dan

paling relevan dengan prinsip umum hukum Islam.[52]

5.      Qiyas, Maslahah Mursalah, dan Istihsan

Prinsip pemikiran fikih yang dikembangkan oleh Imam Malik ialah mempermudah,

dan tidak mempersusus, hal ini sesuai dengan karya monumentalnya Al-Muwaththa’, yang

berarti mempermudah.[53]

Imam Malik mengartikan qiyas sebagai:


‫القياس إحلاق أمر غري منصوص على حكمه بأمر منصوص على حكمه الشرتاكهما يف‬
‫وصف علة احلكم‬
“Qiyas ialah menghubungkan hukum suatu perkara yang tidak dinashkan dengan

hukum suatu perkara yang dinashkan karena kesamaannya dalam sifat illat hukum.”[54]
‫االستحسان ترجيح حكم املصلحة اجلزئية على حكم القياس‬
“Istihsan ialah mentarjih hukum maslahat yang partikular atau hukum (yang

dihasilkan) oleh qiyas.”[55]

Apabila qiyas memerlukan pertalian hukum yang tidak dinashkan dengan hukum

tertentu yang dinashkan, maka maslahat particular (al-mashlahah al-juz’iyyah)

mengharuskan selain itu, maka yang demikian inilah yang disebutkan dengan al-istihsan.

Dengan kata lain, istihsan ialah ketetapan maslahat karena tidak adanya nash (hukm al-

mashlahah haitsu la nash), sama saja apakah pokok permasalahan hukum itu bersumber dari

qiyas atau tidak.[56]

Termasuk juga al-mashlahah al-mursalah  yang tidak terdapat dalil khusus yang

menganggapnya atau menolaknya. Pengambilan ini disyaratkan dalam rangka menolak

kesulitan (li daf’ al-harj), dan maslahat itu dikatakan muktabar di dalam syariat Islam selama

tidak dalil khash yang mentakhsiskannya.[57]

Imam Malik menyebut pengambilan al-mashalih ini sebagai al-istihsan, sebagaimana

perkataannya:
‫االستحسان تسعة أعشار العلم‬
“Istihsan ini sembilan per sepuluh ilmu.”[58]

Berpegang teguh dengan qiyas tehadap hal-hal yang tidak ada dalilnya hanya

mempersempit pandangan Islam, sehingga Ibnu al-Wahb berkata:


‫املغرق يف القياس يكاد يفارق السنة‬
“Tenggelam dalam qiyas hampir dapat meninggalkan Sunnah.”[59]

Ringkasnya ialah bahwa Imam Malik menggunakan hukum maslahat bila tidak

terdapat nash al-Qur’an atau Sunah Nabi SAW. yang menjelaskan perkara yang dimaksud,

karena pada prinsipnya, keberadaan syariat Islam ialah demi kemasalahatan manusia. Seluruh

nash syarak, tidak diragukan lagi, berkenaan dengan maslahat. Oleh karena itu, bila tidak

terdapat nash mengenai suatu hal, maka hukum maslahat yang benar dan sesuai dengan

maksud-maksud syarak adalah syariat Allah juga.[60]

Imam al-Syathibi menyatakan:


‫فإنه اسرتسل فيه اسرتسال املدل العريق يف فهم املعاين املصلحية نعم مع مراعاة مقصود‬
‫الشارع أن ال خيرج عنه وال يناقض أصال من أصوله حىت لقد استشنع العلماء كثريا من‬
! ‫وجوه اسرتساله زاعمني أنه خلع الربقة وفتح باب التشريع وهيهات ما أبعده من ذلك‬
‫رمحه اهلل بل هو الذي رضي لنفسه يف فقهه باالتباع حبيث خييل لبعض أنه مقلد ملن قبله‬
‫بل هو صاحب البصرية يف دين اهلل‬

“Imam Malik telah menguraikan dalil-dalil ashl dalam pemahaman makna yang maslahat
dnegan tetap memelihara maksud Syari’, tidak lari darinya, dan tidak (pula) menentangi ashl
dari ushul-nya, sehingga banyak ulama memandang buruk pada aspek penguraiannya
(berkenaan dengan maslahat) dan mencurigai bahwa dia (Imam Malik) hanya melepaskan
kesulitan (dalam mengkaji dalil-dalil), dan kemudian membukan pintu tasyrik (yang baru).
Mustahil! Begitu terhindar beliau dari hal demikian, bahkan fikihnya yang disukai untuk
diikuti, di mana sebagian manusia menyangka bahwa dia bertaklid pada orang-orang
sebelumnya, bahkan dia adalah shahib al-bashirah di dalam agama Allah.”[61]

6.      Al-Dzara’i’
Masalah al-dzara’i’ ini terdapat banyak dalam masalah furu’iyyah, yang sasarannya

ialah bahwa sesuatu yang mengarah kepada yang haram maka menjadi haram, sesuatu yang

mengarah kepada yang halal maka menjadi halal. Demikian sesuatu yang mengarah pada

masalahat maka diajurkan dan dituntut, dan sesuatu yang mengarah kapada mafsadat adalah

haram.[62]

Keberadaan al-dzara’i’ ini merupakan suatu kemestian hukum, dikarenakan suatu

perbuatan memiliki implikasi yang berupa tujuan atau maksud tertentu, baik atau buruknya,

dapat mendatangkan maslahatan atau mafsadat. Perbuatan-perbuatan itu dapat

bersifat taklifi  (pembebanan), sebagaimana dalam al-ahkam al-khamsah.[63]

Al-dzara’i’ ini, dilihat dari tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, terbagi kepada

empat macam, yaitu:[64]

a.       Al-dzara’i’ yang dapat membawa kepada kerusakan secara pasti.

Dengan kata lain, apabila perbuatan al-dzara’i’ itu tidak dihindarkan, pasti akan

terjadi kerusakan (mafsadat). Contohnya ialah menggali lubang di tanah dekat pintu rumah

seseorang di waktu gelap, dan setiap orang yang keluar dri rumah itu pasti akan terjatuh ke

dalam lubang itu. Sebenarnya penggaliang lubang itu tidak ada masalah, akan tetapi, karena

dapat menimbulkan mafsadat bagi orang lain, maka hal demikian dilarang.[65]

b.      Al-dzara’i’ yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau al-

dzara’i’ itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan

dilakukannya perbuatan terlarang.

Contohnya ialah menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras, atau

menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya. Menjual anggur itu boleh-

boleh saja, akan tetapi, menurut kebiasaan, pabrik demikian akan memproduksi minuman

keras. Dengan demikian, menjual anggur dalam kondisi demikian menjadi terlarang.

Demikian juga dalam contoh kedua, di mana pisau yang dijual itu, dalam kondisi demikian,

kemungkinan besar digunakan untuk membunuh. Karena itu, menjual pisau dalam kondisi

demikian menjadi terlarang.[66]

c.       Al-dzara’i’ yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakannya.


Hal ini berarti bila al-dzara’i’ itu tidak dihindarkan, seringkali sesudah itu akan

mengakibatkan berlangsungnya perbuatan terlarang.  Umpamanya jual beli  kredit. Memang

tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakeknya sering

dijadikan sarana untuk melakukan riba.[67]

d.      Al-dzara’i’ yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam

hal ini, seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.

Umpamanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang. Menurut

kebiasaannya, tidak ada orang yang lewat di tempat itu yang nantinya dapat menyebabkannya

terjatuh ke dalam lubang itu. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar dan

terjatuh ke dalam lubang itu.[68]

Menurut Abu Zahrah, dari keempat hal di atas, Mazhab Maliki mengharamkan dua

yang pertama, karena kecenderungan mafsadar darinya lebih besar dan dominan, adapun dua

yang terakhir, tidak haram hukumnya.[69]

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dikatakan, bahwa mazhab

Malikiyah disebutkan sebagai mazhab yang subur yang mendasarkan fikihnya pada maslahat,

yakni menghubungkan dalil-dalil syarak dengan kemasalahatan manusia.

D.    Karakteristik Mazhab Maliki

Karakteristik mazhab Maliki dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek metodologi

fikih (ushul al-fiqh) dan aspek substansi fikih (al-fiqh).

1.      Aspek metodologi (ushul al-fiqh)

a.       Memiliki mashdar  yang banyak

Abu Ameenah menyebut sebanyak sembilan mashdar, yaitu al-Qur’an, Sunnah, amal

penduduk Madinah, Ijmak Sahabat, pemikiran individu sahabat, qiyas, adat istiadat penduduk

Madinah, istishlah, dan ‘urf.[70]


Abu Zahrah menyebut mashdar dari ushul mazhab Maliki sebanyak delapan, yaitu al-

Kitab, Sunnah, amal penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan,

dan al-dzara’i’[71]

Melihat banyaknya sumber-sumber yang digunakan mazhab maliki, maka tidak heran

bila ulama mazhab ini memiliki keluasan di dalam berijtihad, sehingga mereka mampu

melahirkan banyak sekali kaidah, baik dalam aspek metodologis (Ushul al-Firh) ataupun

asapek produk (Fiqh).

Dalam masalah amal penduduk Madinah, Imam Malik menjadikannya sebagai hujjah

daripada menggunakan hadits Ahad, karena itulah, amal penduduk Madinah merupakan salah

satu landasan ushulnya. Terdapat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang menekankan

pengertian ini, sebagaimana tampak jelas dalam istidlal-nya dalam sejumlah hukum cabang,

di antaranya: Perkataannya: “Perkara ini merupakan yang diketahui kebanyakan manusia

dan ahli ilmu di negeri kita……”; dan juga perkataannya” ”Perkara ini merupakan perkara

yang terdapat pada kita....”; demikian juga perkataannya: ”Dan hal yang demikian masih

terdapat pada ahli ilmu di negeri kita,”.[72]

b.      Keragaman uhsul dan mashdar

Hal ini menghubungkan antara al-naql al-tsabit dengan al-ra’y al-shahih yang

diperoleh pemahamannya dari syarak dan disandarkan padanya, seperti qiyas. Dengan adanya

keragaman usul dan masdar ini menyebabkan pemahaman terhadap naql dalam mazhab ini

tidak kaku, beku, dan statis. Hal inilah yang membedakan mazhab ini dengan mazhab ahl al-

Hadits dan ahl al-ra’y. Abu Zahrah menyatakan, bahwa Imam Malik tidak hanya faqih

Hadits, tetapi juga faqih al-ra’y.[73]  Ini merupakan rahasia wasathiyah mereka, yang terlihat

jelas di dalam kehidupan dan pendirian pendiri mazhab mereka.

c.       Keluasan dalam istidlal dan istimbath usul yang disepakati

Hal ini membantu para mujtahid di dalam upaya mengembangkan pemikiran ijtihadi

dan istimbat mereka. Karena di dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan Sunnah tidak

cukup dengan pemahaman nash dan zhahir saja, tetapi juga mesti dipahami dari


aspek mafhum mukhalafah dan muwafaqah, dan juga seperti dalalah al-iqtiran. Seperti dalam

firman-Nya:

ً‫واحلمري لرتكبوها وزينة‬


َ ‫والبغال‬
َ ‫واخليل‬
َ
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagaldan keledai, agar kamu menungganginya

dan (menjadikannya) perhiasan.” (QS. Al-Nahl/16: 8).

Ayat ini menyatakan ketidak-wajiban mengeluarkan zakat kuda (al-khail), karena ia

digandengkan (dalalah al-iqtiran) dengan keledai (al-hamir), di mana keledai tidak

dikeluarkan zakatnya. Hal ini dijelaskan secara lebih rinci di dalam pembahasan mengenai

analogi (qiyas).

Sebagian fuqaha ada yang membuat kriteria qiyas dan mempersempit bidang kajian

ini; mereka tidak menerima menqiyaskan sesuatu yang telah ditetapkan dengan qiyas, tidak

pula al-qiyas al-murakkab (‫ركب‬SSSSS‫اس الم‬SSSSS‫)القي‬, dan al-qiyas ‘ala makhshush (‫اس على‬SSSSS‫القي‬

‫)مخصوص‬,  dan  qiyas al-‘aks (‫قياس العكس‬ ); dan mereka melarang qiyas dalam masalah hudud (

‫)الحدود‬, kafarat (‫)الكفارات‬, rukhshah (‫)الرخص‬, sebab (‫)السباب‬, syarat (‫)الشروط‬, dan al-mawani’ (

‫)الموانع‬.[74]

d.      Kaidah mengenai Ta’shil dalam takhrij al-furu’ ‘ala al-Ushul

Terlihat jelas bahwa ulama Malikiyah memberikan perhatian dalam masalah al-

ta’shil (menerangkan asalnya) bagi takhrij dalam sejumlah pemikiran ijtihadi yang terlihat

dari usaha-usaha berikut:

1.      Melakukan istimbat dalam masalah kaidah-kaidah ushul, yang sebagiannya yang terdapat

dalam masalah furu’.

2.      Menjelaskan arahan (masyru’iyyah) takhrij.

3.      Menjelaskan martabah al-mukharrij dalam martabat fuqaha dan mujtahidin, kondisi-

kondisinya dan juga karakteristiknya.

4.      Menjelaskan kondisi-kondisi yang mesti dipelihara di dalam melakukan takhrij.

5.      Menjelaskan hukum yang disandarkan pada hukum-hukum yang ditakhrij kepada mazhab

atau kepada Imam mazhab.


6.      Menjelaskan tentang kaidah-kaidah takhrij di antara hukum-hukum yang ditakhrij, di

antaranya dan di antara yang lainnya, seperti hukum-hukum yang terdapat dalam mazhab

lain.

7.      Menjelaskan hukum memberikan fatwa dalam hukum-hukum yang ditakhrij, dan

pengamalannya.

8.      Menjelaskan karya-karya yang dihimpun oleh hukum-hukum yang ditakhrij dalam mazhab.

9.      Menjelaskan cara praktis dari takhrij.[75]

Hal-hal yang disebutkan di atas telah dijelaskan di dalam beberapa kitab, di antaranya

ialah:[76]

Pertama, Kitab al-Ushul, yang mencakup kaidah-kaidah ushuliyah dalam mazhab

yang ditakhrij atasnya, sebagaimana juga yang dicakup dalam pembahasan yang

berhubungan dengan mukharrij, yang di antaranya terdapat dalam bab-bab ijtihad dan taklid.
[77]

Kedua, kitab-kitab Al-Mathulat fi al-Fiqh, yang terkadang terdapat di dalam

mukadimahnya, terkadang terdapat dalam bab al-qadha, seperti dalam kitab Mahawahib al-

Jalil Syarh Mukhtashar Khalil karya al-Khthab; dan kitab Syarh al-Zarqani ’ala Mukhtashar

Khalil  karya al-Zarqani, dan kitab Syarh al-Kharsi ’ala Mukhtashar Khalil, karya al-Kharsi.
[78]

Ketiga, kitab-kitab mengenai etika qadha dan hukum-hukumnya, seperti

kitab Tabshirah al-Hukkam, karya Ibnu Farhun.[79]

Keempat, kitab-kitab al-mushthalahat al-fiqhiyyah, seperti kitab Kasyaf al-Niqab al-

Hajib min Mushthalah ibn al-Hajib, karya Ibnu Farhun.[80]

Kelima, sebagian kitab ulama kontemporer sekitar mazhab Maliki, seperti

kitab Malik, karya Abu Zahrah; al-Madzhab ’inda al-Malikiyyah,  karya Muhammad Ibrahim

Ahmad Ali.[81]

Sebab-sebab gerakan takhrij dalam mazhab Malikiyah, di antranya disebabkan

ketetapan Ushul mazhab dan kepentingan terhadapnya. Kedua, banyaknya ulama mujtahid
dalam mazhab. Kemudian, luasnya penyebaran mazhab di negeri yang bermacam-macam, di

mana qadha dilaksanakan atas dasar mazhab Maliki.[82]

Permasalahan tersebut di atas telah ditulis di dalam beberapa kitab mazhab, seperti

kitab-kitab fatwa dan hukum-hukum nawazil, di antaranya ialah al-I’lam bi Nawazil al-

Ahkam, karya Abu al-Ashbugh, al-Ahkam, karya al-Maliqi, al-Nawazil, karya Ibnu

Basytaghir, al-Nawazil dan Fatawa Ibn Rusyd, karya Ibnu Rusydi, al-Fatawa, karya Abu

Ishaq al-Syathibi, dan Kitab Jami’ Masa’il al-Ahkam lima Nazala min al-Qadhaya bi al-

Mutftin wa al-Hukkam, karya Ahmad al-Barzali.[83]

Kemuudian, di samping kitab-kitab fatwa dan hukum nawazil, juga

kitab syarh kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik, yang terpenting di antaranya ialah

kitab al-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Mma’ani wa al-Asanid, karya Hafizh ibn Abd

al-Birr, dan Kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’, karya Abu al-Walid al-Baji.[84]

Terdapat juga kitab-kitab Takhrid, di antaranya ialah Miftah al-Wushul ila Bina’ al-

Furu’ ’ala al-Ushul, karya Abu Abdillah al-Tilmasani. Kemudian kitab al-khilaf,  di

antaranya Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, karya Ibnu Rusydi, dan kitab al-

furuq, di antaranya Anwar al-Buruq fi Anwa’ a-Furuq, yang lebih dikenal sebagai al-

Furuq, karya Syihab al-din al-Qurafi.[85]

2.      Aspek substansi fikih (al-fiqh)

a.       Elastisitas dan toleransi terhadap mazhab lainnya, dan syariat samawi sebelumnya, yang

terlihat dari hal berikut:

1)      Dalam pengambilan syariat sebelumnya, selama belum terdapat nasikh yang menghapusnya,

sebagaiman dalam hal ji’alah dan kifalah, yang merupakan syariat Nabi Yusuf AS.,

sebagaimana dalam firman-Nya:


‫ك َولِ َم ْن جاَءَ بِه مِح ْ ُل بَعِرْيٍ َوأَناَ بِه َز ِعْي ٌم‬
ِ ِ‫ع الْمل‬
َ َ َ‫صوا‬
ِ
ُ ‫قاَلُْوا َن ْفق ُد‬
“Penyeru-penyeru itu berkata: ‘Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat

mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku

menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf/12: 72).


Demikian juga kebolehan al-ijarah dan pernikahan atas dasar manfaat (pragmatis),
[86]
 sebagaimana perkataan Nabi Syu’arib kepadaMusa berikut:
‫ك إِ ْح َدى ْابنَيَتَّ هاََتنْي ِ َعلَى أَ ْن تَأْ ُجَريِن مَث اَيِن َ ِح َج ٍج‬
َ ‫قاَ َل إِيِّنْ أُِريْ ُد أَ ْن أُنْ ِك َح‬
“Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan

salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan

tahun.” (QS. Al-Qashash/28: 27).

2)      Keboleh untuk mengikuti hal yang bertentangan di dalam masalah furu’, seperti

meninggalkan salah satu syarat dari syarat-syarat shalat, atau salah satu dari rukunnya, yaitu

apabila Imam menganggapnya sebagai sesuatu yang bukan syarat atau rukun shalat,

sebagaimana dalam mazhab Hanafiyah.

3)      Menolak untuk mengkafirkan atau menjelekkan orang muslim lainnya dengan hawa nafsu

dan dosa. Imam Malik pernah ditanya mengenai Muktazilah apakah mereka Kafir, maka

dijawabnya:
‫من الكفر فروا‬
“Bila terdapat kekafiran di dalamnya, maka hindarilah”.

4)      Membenarkan hukum yang dikeluarkan oleh seorang hakim, dan tidak boleh untuk

menentangnya, walau bertentangan dengan mazhab yang masyhur atau pendapat terkuat
dalam mazhab Maliki. Berkaitan dengan hal inilah kaidah berikut:
‫حكم احلاكم يرفع اخلالف‬
“Keputusan seorang hakim menghilangkan perselisihan.”

5)      Ketetapan dalam masalah al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar, bahwa terhadap

permasalah yang diperselisihkan, al-amr bi al-ma’ruf wa a-nahy ‘an al-munkar tidak

diwajibkan. Ini merupakan kaidah terpenting dalam penegasan solidaritas antar mazhab dan

kelompok-kelompok yang berbeda, dan menjaganya dari perpecahan.

6)      Demikian juga ketetapan mazhab Maliki, bahwa bila tidak terdapat suatu nash dalam

mazhab, pada hukum-hukum yang belum terdapat dalilnya, maka boleh mengikuti pendapat

mazhab Syafi’i atau Hanafi, atau yang lainnya.


7)      Keberatan Imam Malik terhadap permintaan Khalifah Abbasiyah yang hendak menjadikan

mazhabnya sebagai mazhab negara dan mewajibkan seluruh ulama (imam-imam fikh) untuk

mengikutinya.

8)      Kebolehan untuk mengikuti mazhab lainnya dalam kondisi tertentu, karena kesulitan bila

tetap bertahan dengan fikih Maliki, atau karena suatu keperluan, atau sebab-sebab lainnya.

Hal ini terlihat dari riwayat berikut:


‫ فقال‬،‫روي عن مالك أنه دخل املسجد بعد صالة العصر وجلس ومل يصل حتية املسجد‬
‫ خشيت‬:‫ فقال‬،‫ فقيل له يف ذلك‬،‫ فقامل فصالمها‬،!‫ قم يا شيخ فاركع ركعتني‬:‫له صيب‬
."‫"وإِذاَ قِْي َل هَلُ ُم ْار َكعُ ْوا الَ َي ْر َكعُ ْو َن‬
َ :‫أن يصدق على قوله تعاىل‬

Diriwayatkan, bahwa Imam Malik memasuki masjid setelah shalat Ashar, kemudian duduk
dan tidak melaksanakan shalat tahiyyat al-Masjid, maka berkatalah seorang anak kecil:
“Berdirilah ya Syaikh, shalatlah dua rakaat!”. Kemudian beliau berdiri dan melaksanakan
shalat dua rakaat. Kemudian beliau ditanyakan mengenai masalah tersebut, beliau
menyatakan: “Aku khawatir akan kebenaran firman-Nya, “Dan bila dikatakan kepada
mereka: ‘Ruku’lah (shalatlah), mereka tidak ruku’ (shalat).”

Dari sini terlihat kelapangan fikih mazhab ini terhadap mazhab lainnya dan
kemaslahatannya, akan tetapi, walaupun demikian, tidak lantas menghilangkan karakteristik

mazhab ini.

b.      Penerimaannya terhadap permasalahan-permasahalah baru sebagai akibat perkembangan dan

pembaharuan

Penerimaan ini dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah, yaitu

melalui pemahaman terhadap al-‘adah al-hasanah (‫)العادة الحسنة‬, al-mashlahah al-mursalah (

‫)المصلحة المرسلة‬, sadd al-dzara’i’ (‫;)سد الذرائع‬ karena hal-hal tersebut selalu memiliki perbedaan

di setiap masa dan tempat.

Josepf Schacht menyatakan bahwa hampir seluruh pemikiran fikih Malikiyat

memperhatian aspek realitas, dengan kata lain, pemikiran hukum merupakan inspirasi dari
kejadian-kejadian yang terjadi dan kemudian dilihat kecenderungan keislaman yang besar

dilihat dari aspek maslahat.[87]

c.       Kelapangan dan Kemudian di dalam hukum-hukumnya dan pandangan-pandangan di dalam

memahami al-Qur’an dan Sunnah, dan istimbat mereka dari kaidah-kaidah ushuliyyah  dan

prinsip-prinsip dasar fikih (al-mabadi’ al-fiqhiyyah). Hal ini memiliki dasar yang tidak

sedikit, baik di dalam al-Qur’an ataupun di dalam  Sunnah. Seperti disebutkan berikut ini:
‫يريد اهلل بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesusahan bagimu.”

(QS. Al-Baqarah/2: 185).


‫ال بكلف اهلل نفسا إال وسعها‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS.

Al-Baqarah/2: 286).
‫وما جعل عليكم يف الدين من حرج‬
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan..” (QS.

Al-Hajj/22: 78).

Demikian juga dinyatakan di dalam Sunnah:


‫يسروا وال تعسروا‬
“Permudah dan jangan persusah.”
‫إياكم والغلو يف الدين‬
“Hindarilah perbuatan ekstrim (berlebihan) di dalam (menjalankan) agama.”
ِ
‫السمحة‬ ِ
‫باحلنيفية‬ ‫بعثت‬
“Aku diutus dengan kelurusan ajaran yang bersifat toleran.”
‫ما خري بني أمرين إال اختار أيسرمها ما مل يكن إمثا‬
“Kebaikan yang terdapat di antara dua hal, kecuali (Rasulullah) memiliki yang

termudah dari keduanya, selama tidak mengandung dosa.”

Di dalam kaidah dijelaskan juga:


‫احلرج مرفوع‬
“Kesulitan dihilangkan.”
‫املشقة جتلب التيسري‬
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”[88]
‫الضرر يزال‬
“Kemadaratan dihilangkan.”[89]
‫الضرورات تبيح احملظورات‬
“Kondisi terpaksa membolehkan yang terlarang.”[90]
‫األصل يف األشياء اإلباحة‬
“Hukum asal segala sesuatu ialah kebolehan.”[91]

Demikian prinsip-prinsip dasar yang dijadikan pegangan di dalam mengeluarkan

istimbat hokum, baik itu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, al-munaza’ah, masalah

keluarga, dan sebagainya, yang diliputi dengan berbagai kemudahan dan condong kepada

kepentingan-kepentingan manusia, dan tentu saja, selama tidak bertentangan dengan nash

yang qath’i dan bukan merupakan perbuatan dosa.

d.      Keseimbangan dan keadilan di dalam hokum-hukumnya, dan keberadaannya di

dalam ushul dan furu’, ialah tidak berlebihan untuk memudahkan atau menyulitkan.

e.       Pemikiran yang sesuai dengan maksud-maksud syarak (al-bu’d al-maqashidi)

Mazhab Maliki dapat dikatakan sebagai mazhab yang sangat memperhatikan

kemasalahan umum manusia dan maksud-maksud yang terdapat di balik persyariatan suatu

hukum (maqashid al-syari’ah).[92]

f.       Aspek sosial dan maslahat

Hal ini dikarenakan mazhab ini menggunakan maslahah al-mursalah dan al-‘adat al-

hasanah sebagai landasan ushul mereka dan merupakan mashdar pentasyri’an yang dijadikan

sebagai bangunan pemikiran fikih mereka.

Dengan demikian, di mana terdapat masalhat maka di sana juga terdapat hukum

Allah. Karena pada prinsipnya, hukum Islam itu berhubungan erat dengan kemaslahatan
agama dan dunia, sehingga terdapat dalil yang membatalkannya. Karena itu, bila terdapat

suatu adat istiadat di suatu negeri, dan tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip syarat,

maka hal demikian termasuk dalam substansi fikih juga.

Kemudian, al-mashalih al-mursalah ini memiliki kepastian hubungan dengan al-

mashalih al-syar’iyyah.[93] Dengan demikian, kemasalahatan itu bukan didasarkan pada

kepentingan dan nafsu manusia, karena bertentangan dengan firman-Nya:


‫ض َو َم ْن فِي ِه َّن‬
ُ ‫ات َواأْل َْر‬
ُ ‫الس َم َو‬
َّ ‫ت‬ِ ‫ولَ ِو اتَّبع احْل ُّق أَهواءهم لََفس َد‬
َ ْ َُ َْ َ ََ َ
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan

bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.” (QS. Al-Mukminun/23: 71).

BAB I

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dismpulkan, bahwa ulama Hanafiyah


sangat bersandar kepada pemikiran fikih Imam Malik yang terdapat di dalam kitab

monumentalnya Al-Muwaththa’. Kitab ini merupakan kombinasi yang utuh antara naql dan

akal dan  antara nash dengan praktek. Karena itu, mazhab ini lebih mendahulukan amal

penduduk Madinah daripada berpegang kepada hadits Ahad.

Yang paling menonjol dari mazhab ini ialah karakteristiknya, baik dilihat dari sudut

metodologis maupun substansi fikih. Secara meotodolgis, mazhab ini memiliki mashdar

ushul  yang paling banyak, sehingga mereka memiliki pemikiran fikih yang sangat luas,

mudah, dan aktual. Secara substansial, mazhab ini sangat memperhatikan realitas, sehingga

terbentuk fikih yang seimbang antara pemikiran dan amalan. Realitas itu tetap tidak

bertentangan dangan nash yang qath’i yang tidak mukhtalaf.


Kelebihan lainnya yang paling menonjol dari mazhab ini ialah perhatian yang cukup

besar terhadap aspek maqashid al-syari’ah, yang menjadi inspirasi bagi para ulama setelah

Imam Malik khususnya. Dari metode ushuliyyah ini berkembang pesat aspek metodologis al-

mashlahah al-mursalah. Dapat dikatakan, bahwa hamper seluruh aspek substansi fikih tidak

terlepas dari masalah ini, terutama dalam bidang perdata (muamalah).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Andalusi, Abu Umar Yusuf, Tajrid al-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-
Asanid  aw al-Taqashshi li Hadits al-Muwaththa’  wa Syurukh al-Imam Malik (Mesir: Dar
al-Kutub al-Mishriyyah al-‘Amirah; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.).

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam  (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).

Dutton, Yasin, The Origin of Islamic Law: The Quran, tha Muwatta’, and Madinan ‘Amal, cet. 1
(Richmond Survey: Curzon Press, 1999).

Al-Jundi, Abdul Halim, Malik bin Anas: Imam Dar al-Hijrah, cet. 3 (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1119H.).

Khallaf, Abdul Wahhab, Khulashoh Tarikh tasyri’ Islam, (Solo : CV. Ramadhani, 1991).

Khuzairi, Thahir al-Azhar, al-Madkhal il al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, cet. 1 (Kuwait:


Wizarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah,
1429H./2008M.).

Mahjuddin, Ilmu Fiqih (Jember: P.T. GBI Pasuruan, 1991).

Al-Nadwa, Ali Muhammad, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha,


Dirasah Mu’alafaatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqathuha, cet. 3 (Damaskus: Dar al-
Qalam, 1414H./1994M.).

Philips, Abu Ameenah Bilal, The Evolution of FIqh: Islamic Law and The Madh-hab, cet. 2 (Kuala
Lumpur: A.S. Noordeen, 1411H./1990M.).

Al-Sayis, Muhammad Ali, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruh (Al-Azhar: Majma’ al-Buhuts


al-Islamiyyah, al-Kitab al-Tasi’, t.t.).
Schacht, Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University Press,
1959).

Al-Sibri, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Ittihad al-‘Arabi,


1395H./1975M.).

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, vol. 2, cet. 5 (Jakarta: Kencana, 2009).

Al-Syathibi, Al-I’tisham, vol. 1 (t.t.p.: t.p., t.t.).

Syausyan, Utsman bin Muhammad al-Akhdhar, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul: Dirasah


Tarikhiyyah wa Manhajiyyah wa Tathbiqiyyah, vol. 1, cet. 1 (Riyadh: Dar Thayyibah,
1419H./1998M.).

Al-Syuyikh, ‘Adil, Ta’lil al-Ahkam fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, cet. 1 (Thantha: Dar al-Basyir li al-


Tsaqafah wa al-‘Ulum, 1420h./2000M.).

Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqa’id wa


Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, cet. 1 (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.).

[1]
 Mahjuddin, Ilmu Fiqih (Jember: P.T. GBI Pasuruan, 1991), hlm. 111; Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 09.
[2]
 Thahir al-Azhar Khuzairi, al-Madkhal il al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, cet. 1 (Kuwait: Wizarah
al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah, 1429H./2008M.), hlm. 25-26.
[3]
 Abu Ameenah Bilal Philips, The Evolution of FIqh: Islamic Law and The Madh-hab cet. 2 (Kuala
Lumpur: A.S. Noordeen, 1411H./1990M.), hlm. 69-70; Yasin Dutton, The Origin of Islamic Law: The Quran,
tha Muwatta’, and Madinan ‘Amal, cet. 1 (Richmond Survey: Curzon Press, 1999), hlm. 11; Thahir al-Azhar
Khuzairi, ibid., hlm. 19-20.
[4]
 Yasin Dutton, ibid., hlm. 11-12.
[5]
 Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 70. Menurutnya, Imam Malik mencukupkan diri dengan
pengetahuan yang terdapat di Madinah (… and thus he largely limited himself to the knowledge available in
Madeenah).
[6]
 Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit., hlm. 6.
[7]
 Ibid., hlm. 6.
[8]
 Yasin Dutton, op.cit., hlm. 22.
[9]
 Abdul Halim al-Jundi, Malik bin Anas: Imam Dar al-Hijrah, cet. 3 (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1119H.), hlm. 192.
[10]
 Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 57.
[11]
 Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit., hlm. 74-75.
[12]
 Ibid., hlm. 75.
[13]
 Yasin Dutton, op.cit., hlm. 31.
[14]
 Abdul Wahhab  Khollaf, Khulashoh Tarikh tasyri’ Islam (Solo: CV. Ramadhani, 1991), hal. 89; lih.
juga dalan Yasin Dutton, ibid., hlm. 31.
[15]
 Abdul Wahhab  Khollaf, ibid..
[16]
 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqa’id wa Tarikh al-
Madzahib al-Fiqhiyyah, cet. 1 (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), hlm. 404.
[17]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 404.
[18]
 Ibid., hlm. 405.
[19]
 Abdurrahman ibn Qasim ini dilahirkan di Madinah, seorang yang ahli dalam bidang Hadits
dan qira’ah. Dia menulis sebuah kitab monumental dalam mazhab Maliki, yaitu Al-Mudawwanah. Lih. Abu
Ameenah Bilal Philips, op.cit.,, hlm.  73-74.
[20]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 405.
[21]
 Ibid..
[22]
 Ibid..
[23]
 Ibid., hlm. 406.
[24]
 Ibid..
[25]
 Ibid., hlm. 396.
[26]
 Ibid., hlm. 397.
[27]
 Ibid..
[28]
 Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruh (Al-Azhar: Majma’ al-Buhuts al-
Islamiyyah, al-Kitab al-Tasi’, t.t.), hlm. 96. Dia membedakan antara mashdar dan ushul, di
mana mashdar adalah al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan seperti Amal Penduduk Madinah, Istihsan, yang akan
dijelaskan berikutnya, sebagai ushul.
[29]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 397.
[30]
 Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 71; Yasin Dutton, hlm. 61; Zakariya al-Sibri, Mashadir al-
Ahkam al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Ittihad al-‘Arabi, 1395H./1975M.), hlm. 16; Abu Umar Yusuf al-
Andalusi, Tajrid al-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid  aw al-Taqashshi li Hadits al-
Muwaththa’  wa Syurukh al-Imam Malik (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah al-‘Amirah; Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 9, juga menyatakan bahwa Imam Malik adalah seorang yang paling kuat berpegang
teguh kepada kitab Allah SWT..
[31]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 397; Yasin Dutton, op.cit., hlm. 114-115.
[32]
 Muhammad Abu Zahrah, ibid., hlm. 397.
[33]
 Ibid., hlm. 397-398.
[34]
 Ibid., hlm. 398.
[35]
 Zakariya al-Sibri, op.cit., hlm. 36; Abu Umar Yusuf al-Andalusi, op.cit., hlm. 10.
[36]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.
[37]
 Ibid..
[38]
 Ibid..
[39]
 Ibid..
[40]
 Ibid..
[41]
 Yasin Dutton, op.cit., hlm. 33.
[42]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.
[43]
 Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul: Dirasah Tarikhiyyah
wa Manhajiyyah wa Tathbiqiyyah, vol. 1, cet. 1 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1419H./1998M.,), hlm. 138-139.
[44]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.
[45]
 Yasin Dutton, op.cit., hlm. 41.
[46]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 400.
[47]
 Ibid.,  hlm. 400.
[48]
 Yasin Dutton, op.cit., hlm. 33.
[49]
 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University Press,
1959), hlm. 311.
[50]
 Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul: Dirasah Tarikhiyyah
wa Manhajiyyah wa Tathbiqiyyah, vol. 1, cet. 1 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1419H./1998M.), hlm. 139.
[51]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 400; Zakariya al-Sibri, op.cit., hlm. 82-83.
[52]
 Ibid..
[53]
 Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit.,  hlm. 75. Al-muwaththa’, yang berarti al-musahhil wa al-
muyassir (yang memberikan kemudahah). Lih. juga Abdul Halim al-Jundi, op.cit., hlm. 200.
[54]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 401.
[55]
 ‘Adil al-Syuyikh, Ta’lil al-Ahkam fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, cet. 1 (Thantha: Dar al-Basyir li al-
Tsaqafah wa al-‘Ulum, 1420H./2000M.), hlm. 223.
[56]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 401.
[57]
 Ibid.; ‘Adil al-Syuyikh, op.cit., 225.
[58]
 Ibid..
[59]
 Ibid..
[60]
 Muhammad Ali al-Sayis, op.cit., hlm. 97; ‘Adil al-Syuyikh, op.cit., hlm. 226.
[61]
 Al-Syathibi, Al-I’tisham, vol. 1, t.t.p.: t.p., t.t., hlm. 387.
[62]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 402.
[63]
 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 2, cet. 5 (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 421-422.
[64]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 402; Amir Syarifuddin, ibid., hlm. 428-429.
[65]
 Ibid.; Ibid., hlm. 428.
[66]
 Ibid.; Ibid..
[67]
 Ibid.; Ibid..
[68]
 Ibid.; Ibid..
[69]
 Ibid..
[70]
 Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 71-73.
[71]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 397-402.
[72]
 Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, op.cit., , hlm. 139.
[73]
 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.
[74]
 Abdul Halim al-Jundi, op.cit., hlm. 202-203.
[75]
 Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, op.cit., , hlm. 215-216.
[76]
 Ibid., hlm. 216.
[77]
 Ibid..
[78]
 Ibid., hlm. 216-217.
[79]
 Ibid., hlm. 217.
[80]
 Ibid..
[81]
 Ibid., hlm. 218.
[82]
 Ibid..
[83]
 Ibid., hlm. 218-220.
[84]
 Ibid., hlm. 220.
[85]
 Ibid., hlm. 221.
[86]
 Syihabuddin Ahmad al-Qurafi, Al-Dzakhirah, vol. 5, cet. 1 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami,
1994), hlm. 371; Ahmad al-Durdir, Aqrab al-Masalik li Madzhab al-Imam Mali, cet. 1 (Kanu Nigeria:
Maktabah Ayyub, 1420H./2000M.), hlm. 120-121; Abu Muhammad Abdilwahhab, Al-Talqin fi al-Fiqh al-
maliki (Riyadh: Maktabah Nizar Musthafa al-Baz, t.t.), hlm. 398; Shadiq Abdurrahman al-
Ghiryani, Mudawwanah al-Fiqh al-Maliki wa Adillatuh, vol. 3, cet. 1 (Beirut: Mu’assasah al-Rayyan,
1423H./2002M.), hlm. 490.
[87]
 Joseph Schacht, op.cit., hlm. 312.
[88]
 Ali Muhammad al-Nadwa, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha,
Dirasah Mu’alafaatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqathuha, cet. 3 (Damaskus: Dar al-Qalam,
1414H./1994M.), hlm. 302.
[89]
 Ibid., hlm. 27.
[90]
 Ibid., hlm. 102.
[91]
 Ibid., hlm. 122.
[92]
 Abdul Halim al-Jundi, hlm. 208.
[93]
 Zakariya al-Sibri, op.cit., hlm. 124-128.

Anda mungkin juga menyukai