Anda di halaman 1dari 3

Kitab Ar Risalah

Kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i di kota Makkah lebih dikenal dengan "ar-
Risalah al-Qadimah" atau disebut juga dengan "ar-Risalah al-Atiqah". Keistimewaan dari Imam
Syafi'i dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya, yaitu Imam Abu Hanifah yang terpusat di
Iraq dan Imam Malik yang terpusat di kota Madinah, adalah perjalanan keilmuannya yang sangat
kaya dan panjang. Dimulai dari kota Makkah yang sangat terkenal dengan ilmu tafsir dan
asbabun nuzul Al-Qur’an. Imam Syafi’i mulai menetap di kota Makkah sejak usia dua tahun.
Imam Syafi’i telah menyelesaikan hafalan Al-Qur'an sebelum usianya genap menginjak umur
tujuh tahun. Di kota Makkah, Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Syekh Muslim bin Khalid az-
Zanji. Kemudian, di usia 13 tahun Imam Syafi’i mulai mengembara ke kota Madinah yang
terkenal dengan gudangnya ulama ahli hadits. Di kota Madinah inilah Imam Syafi’i menimba
ilmu kepada Imam Malik bin Anas. Imam Syafi’i menetap di kota Madinah hingga tahun 179
H/795 M, tahun di mana Imam Malik bin Anas wafat.

Di kota Makkah dan Madinah inilah, Imam Syafi’i bertemu dengan pakar ahli hadits, ahli
tafsir dan ahli fiqh yang mumpuni di bidangnya. Imam Syafi’i mampu menyerap semua ilmu itu
dengan baik. Hingga di fase ini, Imam Syafi’i mendapatkan derajat mumpuni dalam bidang
fatwa, baik di bidang fiqh maupun bidang Hadits. Selain menimba ilmu agama, Imam Syafi’i
juga belajar gramatika bahasa Arab ke pelosok-pelosok pedalaman jazirah Arab.

Diriwayatkan Imam Syafi’i pernah menetap lama di perkampungan bani Hudzail. Di fase
inilah, Imam Syafi’i mendapatkan penguasaan gramatika bahasa Arab yang fashih dan baik,
yang di kemudian hari sangat menunjangnya dalam memahami tata bahasa Al-Qur’an dan
Hadits. Imam Syafi’i juga sempat menjadi pegawai pemerintahan di daerah Najran setelah
wafatnya Imam Malik. Kemudian, Imam Syafi’i menetap sekitar sembilan tahun di kota
Makkah. Kemungkinan besar dalam periode sekitar sembilan tahun menetap di kota Makkah
inilah Imam Syafi’i mengarang kitab ar-Risalah. Pengembaraan Imam Syafi’i berlanjut ke kota
Baghdad pada tahun 195 H/810 M. Di fase inilah, Imam Syafi’i menemukan banyak
penyesuaian. Imam Syafi’i mampu menyelaraskan dengan baik pemikiran ahlu naql (ulama yang
banyak bersandar pada teks agama, red) yang didapatkan di kota Madinah di bawah asuhan
Imam Malik dengan pemikiran ahlu ra'yi (ulama yang banyak bersandar pada akal, red) yang
didapatkan di bawah asuhan Imam Muhammad bin al Hasan, murid dari Imam Abu Hanifah di
kota Baghdad.

Di kota Baghdad inilah, Imam Syafi’i memiliki beberapa murid. Murid-murid beliau di
kota Baghdad di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, az-Za'farani, dan al-Karabisi.
Setelah perjalanan keilmuannya yang panjang, tak pelak, Imam Syafi’i merasa memerlukan
banyak reformasi dalam kitab ar-Risalah yang telah ditulis dahulu di kota Makkah. Hingga di
fase akhir inilah, Imam Syafi’i menulis ulang kitab ar-Risalah di Fustath, salah satu bagian dari
kota Kairo di negeri Mesir saat itu. Maka lahirlah kitab ar-Risalah versi baru yang dianggap
para ulama setelahnya sebagai puncak pemikiran Imam Syafi'i. Di kemudian hari, karya yang
ditulis ulang ini lebih masyhur dengan sebutan “ar-Risalah al-Jadidah" atau dikenal juga dengan
"ar-Risalah al-Mishriyyah". Akan tetapi, meskipun telah mengalami masa menimba ilmu yang
sangat panjang Imam Syafi’i tetap berusaha untuk menyempurnakan kitab ar-Risalah. Hal ini,
sebagaimana catatan Imam al-Baihaqi dalam kitab Manaqib asy-Syafi'i yang bersumber dari
Rabi' bin Sulaiman, murid dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata, "Aku membaca kitab ar-
Risalah al-Mishriyyah di hadapan Imam Syafi’i lebih dari 30 kali, dan setiap aku membaca di
hadapannya, Imam Syafi’i selalu memberikan koreksi atas kitab ar-Risalah al-Mishriyyah,
kemudian pada akhirnya Imam Syafi’i berkata kepadaku, ‘Allah tidak menakdirkan sebuah kitab
lebih shahih (terhindar dari kesalahan) kecuali dalam kitab-Nya (Al-Qur'an)’." Di kemudian
hari, kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i dijabarkan lebih panjang (syarh) oleh Imam
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah ash-Shairafi, Imam Abu Walid Hassan bin Muhammad al
Umawi, Imam Muhammad bin Ali yang lebih masyhur dengan julukan al-Qaffal asy-Syasyi,
Imam Abu Muhammad al-Juwaini (ayah dari Imam Haramain al-Juwaini), dan Imam Abu Bakar
Muhammad bin Abdullah asy-Syaibani. Setelah lahirnya kitab ar-Risalah al-Jadidah Imam
Syafi’i merasa perlu untuk menyempurnakan lagi ilmu ushul fiqh yang beliau rintis dengan
menerbitkan kitab Jima'ul Ulum. Kitab ini banyak menceritakan tentang golongan yang menolak
dalil hadits Ahad serta bantahannya dan sejenisnya.

Disusul setelahnya, Imam Syafi’i menerbitkan kitab Ikhtilaful Hadits yang menjelaskan
perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi hadits yang beredar. Kitab ini disusun sesuai
dengan alur bab ilmu fiqh. Dan pada akhirnya Imam Syafi’i menutup karya-karyanya dalam ilmu
ushul fiqh dengan menerbitkan kitab Ibthalul Istihsan. Kitab ini banyak mengkritik ulama yang
terlalu berlebihan dalam memakai metode istihsan. Selain itu, Imam Syafi’i juga menulis kitab
Sifatu Nahyi Nabi yang menjelaskan makna larangan (nahyu) dalam hadits Nabi. Walhasil,
Imam Syafi’i meletakkan fondasi yang sangat kokoh sebagai awal dimulainya diskusi panjang
tiada akhir di bidang ilmu ushul fiqh. Di antara landasan pemikiran yang telah dibangun oleh
Imam Syafi’i adalah: Menjelaskan dalil-dalil yang diambil dalam menentukan hukum yaitu Al-
Qur’an, hadits, ijma', qiyas, serta mempertajam urutannya. Memperkokoh hujjah hadits secara
umum dan mengukuhkan hujjah hadits Ahad secara khusus serta menerangkan tentang tidak
adanya pertentangan secara nyata baik antara Al-Qur’an dan hadits maupun antara satu hadits
dengan hadits lainnya sebagai sumber dalil. Menjelaskan kewajiban mengikuti jalan orang-orang
beriman (ijma'). Memberikan batasan dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sebagai
patokan hukum serta memberikan syarat yang terperinci dalam menggunakan Qiyas.
Memberikan perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah yang terlalu ekstrem
dalam mentakwil sifat Allah. Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan
bahasa Arab serta di dalam Al-Qur’an ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam
pelafalan bahasa Arab. Menerangkan tentang amr (perintah) dan nahi (larangan). Menjelaskan
naskh dan mansukh (pembatalan hukum).

Setelah periode Imam Syafi’i, berbondong-bondonglah para ulama generasi selanjutnya


untuk menelisik lebih jauh di dalam masalah Al-Qur’an dan hadits. Di antara para ulama
tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal dengan karya kitab Risalatul Imam Ahmad fi Tha'atir
Rasul, disusul dengan Imam al-Bukhari dengan karya kitab Akhbarul Ahad dan karya kitab al-
I'tisham bil Kitab wa Sunnah, disusul dengan Imam Ibnu Qutaibah dengan karya kitab Takwil
Musykil al-Qur'an dan karya kitab Takwilu Mukhtalafil Hadits. Imam Syafi’i wafat pada
tanggal 30 Rajab tahun 204 H di kota Kairo.
Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/imam-syafi-i-dan-sejarah-pemikirannya-dalam-ushul-fiqh-
TQYa2

Anda mungkin juga menyukai