Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maqamat merupakan sarana spiritual seseorang dalam berkomunikasi
dengan Tuhan. Maqamat merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para
sufi melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar
kembali kepada cahaya Tuhan. Terdapat tingkatan-tingkatan maqamat dalam
tasawuf, salah satunya yaitu tingkatan Zuhud yang akan dibahas dalam
makalah ini.
Zuhud adalah lepasnya pandangan keduniaan dan usaha
memperolehnya dari diri orang yang sebenarnya mampu memperolehnya.
Sesuatu yang dilepaskan/ditinggalkan itu mestinya adalah sesuatu yang
dicintai. Barangsiapa meninggalkan sesuatu yang tidak dia sukai atau tidak
diinginkan oleh jiwanya, maka tidak disebut orang yang zuhud. Seperti orang
yang meninggalkan tanah, maka tidak disebut zuhud.
Dari sini, maka orang yang berpaling meninggalkan cinta dunia kepada
cinta akhirat disebut sebagai orang yang zuhud terhadap dunia. Karena pada
setiap jiwa manusia telah tertanamsecara naluri kecintaan kepada perkara-
perkara duniawi. Sedangkan akhirat, jauh lebih baik daridunia.
Zuhud tidak sama dengan kemiskinan, meskipun keduanya sama-sama
merupakan bentuk gambaran meninggalkan dunia. Dan masing-masing dari
zuhud ataupun kemiskinan memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri untuk
mencapai kebahagiaan dan keduanya bisa membantu seseorang untuk meraih
kemenangan dan keberhasilan. Terkadang seseorang yang meninggalkan
harta dianggap sebagai orang yang zuhud, padahal tidak demikian.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian zuhud?
2. Apa saja macam-macam zuhud dan tingkatannya?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi zuhud?
4. Apa tujuan dari zuhud?
5. Bagaimana contoh penerapan zuhud dalam kehidupan sehari-hari?
2

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari zuhud.
2. Untuk mengetahui macam-macam zuhud dan tingkatannya.
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi zuhud.
4. Untuk mengetahui tujuan dari zuhud.
5. Untuk mengetahui contoh penerapan zuhud dalam kehidupan sehari-hari.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Zuhud
Kata zuhud berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar kata zahada –
yazhadu – zuhdan yang artinya meninggalkan, tidak menyukai dan
menjauhkan diri dari. Secara etimologis, zuhud berarti ragaban ‘ ansyai’in
watarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk
ibadah. Secara terminologis, zuhud adalah tidak mementingkan hal-hal yang
bersifat keduniawian atau meninggalkan gemerlap kehidupan yang bersifat
material dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Menurut ‘Abdul hakim hasan dalam bukunya Al-Tasawuf fi al-Syi’ri’
al-‘arabi mengatakan sebagai berikut:
َ ‫َو َأ َّما ال ُز ْه ُد فَِإ ْن َما َد ْتهُ فِى الُّل َغ ِة ْال َع َربِيَّ ِة تَدُلُّ َعلَى َأنَّهُ َع َد ُم‬
،‫ ِه‬9‫رْ غَبْ فِ ْي‬99َ‫ يَقَا ُل ُز ْه ُدفِى ال َش ْى ِءِإ َذالَ ْم ي‬،‫الر ْغبَ ِة‬
‫ ِدفِى‬9 ‫ا ِة ُز ْه‬99َ‫الحي‬
َ ‫ َذ اِئ َذ‬9 َ‫َاع بِل‬ ْ ‫ك‬
ِ ‫تِ ْمت‬9 ‫اإلس‬ َ ‫ ِل ِإ َذا ان‬9‫ا ُل لِل َّر ُج‬99َ‫ يُق‬،‫ ُد ْنيَا‬9 ‫وْ ُعهُ ال‬9 ‫ض‬
ِ ْ‫ر‬99َ‫ َوت‬،‫ا َد ِة‬99َ‫ َرفَ إلَى ال ِعب‬9 ‫َص‬ ُ ْ‫َو َمو‬
‫دًا فِى‬9‫د أوتى ُز ْه‬9َ‫ ُل ق‬9ُ‫ِإ َذا َرَأ ْيتُ ْم ال َّرج‬:‫لَّ َم‬9‫ ِه َو َس‬9ْ‫لَّى هللاُ َعلَي‬9‫ص‬
َ ‫ا َل النَبِى‬9َ‫<ق‬.‫ال ُد ْنيَا َوهَ َذا هُ َوال َم ْعنَى ال ِد ْينِى ِل ُز ْه ِد‬
‫وْ ا َعلَى‬999‫ ْب َحانَهُ لِ َك ْيالَ تَْأ ُس‬999‫ ِه ُس‬999ِ‫ ُد ِم ْن قَوْ ل‬999‫ ال ُز ْه‬:‫ َل‬999ْ‫ َوقِي‬...َ‫ ة‬999‫هُ فَِإنَّهُ ي ُْلقِنُ ال ِح ْك َم‬999‫ فَا ْقتَ َربُوْ ا ِم ْن‬،‫ ُد ْنيَا َومن ِطقًا‬999‫ال‬
: َ‫ان‬99‫ا َل َأبُوْ ع ُْث َم‬99َ‫ف َعلَى َم ْفقُوْ ِد ِم ْنهَا َوق‬99‫اوالَ يَتََأس‬ َ َ‫ ُد ْني‬9‫وْ ِد ِم ْن ال‬99‫ فَال ُز ْه ُدالَيَ ْف َر ُح بِ َموْ ُج‬.‫َمافَاتَ ُك ْم َوالَتَ ْف َرحُوْ بِ َما اّتَا ُك ْم‬
‫اف ع َْن‬ِ ‫ َر‬999‫ص‬ ِ ‫ ُدوْ ُر َحوْ َل اِإل ْن‬999َ‫انِى ت‬999‫ ِذ ِه ال َم َع‬999َ‫لُّ ه‬999‫ َذهَا> َو ُك‬999َ‫الِى بِ َم ْن َأخ‬999َ‫ ثُ َّم الَ تُب‬،‫ ُد ْنيَا‬999‫ َركَ ال‬999‫ ُد َأ ْنتَ ْت‬999‫ال ُز ْه‬
‫الز ْه ُدس ُْلبِى‬
ُّ َ‫ َو َع َد ُم ال ُر ُكوْ ِن ِإلَ ْيهَا ف‬،‫لَ َذاِئ َذال َحيَا ِة َو َمتَ ُعهَا‬
Adapun zuhud menurut bahasa arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan,
zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah
dunia. Dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri untuk tekun beribadah
dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah
zuhud pada dunia. Inilah makna agamis dari pada zuhud. Nabi bersabda:”Jika
kamu sekalian melihat seseorang d ianugerahi zuhud di dunia dan cerdas
nalarnya, maka kau dekatilah dia, bahwasannya dia adalah orang
bijaksana.....Dikatakan , zuhud adalah setengah dari firman Allah:”(Kami
jelaskan yang demikian itu) Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu., dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa
yang diberikan-Nya kepadamu “(Al-Qur’an, 57:23). Maka seorang Zahid
4

tidak bergembira dengan adanya dunia di tangannya, dan juga tidak bersedih
hati dengan hilangnya dunia dari tangannya. Abu Usman berkata:”Zuhud itu
kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak peduli siapa yang
mengambilnya”. Kesemua makna-makna di atas berkisar pada menghindari
kelezatan hidup duniawi dan kenikmatannya, dan ketiadaan kecenderungan
kepadanya. Maka Zuhud itu salbi (negatif) sifatnya.1

B. Macam-macam Zuhud dan Tingkatannya


Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata, “Zuhud ada beberapa macam:
Zuhud terhadap perkara yang haram, maka ini adalah kewajiban atas setiap
individu. Zuhud terhadap berbagai syubhat, maka ini sesuai dengan tingkatan
syubhat itu. Jika syubhat itu semakin kuat maka zuhud terhadapnya tergolong
perkara yang wajib, namun jika lemah maka zuhud terhadapnya tergolong
mustahab (sunah, disukai). Zuhud terhadap perkara mubah yang berlebihan.
Zuhud terhadap perkara yang tidak bermanfaat dari perkataan, penglihatan,
pertanyaan, pertemuan dan yang lainnya. Zuhud terhadap manusia. Zuhud
terhadap diri sendiri, dimana dia merasakan jiwanya menjadi remeh karena
Allah. Dan zuhud yang mencakup semua itu adalah zuhud terhadap segala
sesuatu selain Allah dan zuhud terhadap segala sesuatu yang menyibukkanmu
dari-Nya.
Ahmad ibnu Qudamah al-Maqdisi –rahimahullah– berkata:
Tingkatan pertama, Di antara manusia ada yang zuhud terhadap dunia
sedangkan dia menyenangi dan menginginkan dunia itu. Hanya saja dia
berusaha melawan jiwanya. Maka orang yang semacam ini disebut
mutazahhid (orang yang berusaha zuhud) atau disebut dengan pendahulu
zuhud.2
Tingkatan kedua, orang yang zuhud terhadap dunia secara sukarela. Jiwanya
tidak merasa berat untuk zuhud. Akan tetapi dia masih memandang dan
melirik kepada sikap zuhudnya. Hampir-hampir dia merasa takjub terhadap
dirinya. Dia memandang dirinya telah meninggalkan sesuatu yang bernilai
(dunia) untuk mencari sesuatu yang lebih besar nilainya (yakni akhirat).
1
Abu al-Hakim Hasan, Al-Tashawwuf fi al-Syi’ri al-‘Arabi, Mesir, 1954, hlm.24.
2
Ibnu Qayyim Al-jauziyah, Madarijus salikin, (Jakarta:pustaka Al-Kautsar,1998), hlm.30
5

Seperti orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan dua
dirham. Maka zuhud semacam ini masih ada kekurangan.
Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan tertinggi. Orang yang zuhud secara
sukarela, dan lebih dari itu dia juga zuhud terhadap sikap zuhudnya.
Maksudnya, dia tidak memandang bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu.
Karena dia mengetahui bahwa dunia bukanlah sesuatu yang bernilai. Maka
dia seperti orang yang meninggalkan selembar kain untuk mendapatkan
permata. Dia tidak menganggapnya sebagai pertukaran. Karena dunia
dibandingkan dengan kenikmatan akhirat, lebih baik daripada secarik kain
dibandingkan dengan permata. Maka inilah kesempurnaan dalam zuhud.
Adapun tingkatan yang lain yaitu:
1) Orang yang merasa berat untuk bersikap zuhud terhadap dunia. Ia berjuang
untuk meninggalkannya, padahal ia sangat mengiginkannya. Orang seperti ini
disebut mutazahhid (orang yang masih belajar untuk berzuhud), dan ini
adalah langkah awal untuk menuju zuhud.
2) Orang yang meninggalkan dunia (berzuhud) dengan suka rela karena ia
menggangapnya hina, namun ia masih punya hasrat terhadap dunia, Ia seperti
orang yang meninggalkan satu dirham demi mendapatkan dua dirham. Hal
seperti ini tidaklah berat baginya, namun ia tetap tidak terbebas dari sikap
memperhatikan sesuatu yang ditinggalkannya dan masih memperhatikan
kondisi dirinya. Sikap ini masuk kategori zuhud, namun masih belum
sempurna.3
3) Orang yang menganggap dunia tidak ada arti baginya. Ia menjadi seperti
seorang yang meninggalkan setumpuk kotoran untuk mengambil mutiara,
namun tidak menganggap hal demikian sebagai bentuk ganti rugi. Ia
berpandangan bahwa penjauhan diri terhadap dunia yang di hubungkan
dengan kenikmatan akhirat atau Allah adalah lebih hina dari pada
meninggalkan setumpuk kotoran yang dihubungkan dengan mutiara. Jadi
disini tidak ada hubungan antara satu sama lain yang didasarkan untuk
memperoleh ganti rugi (atau akhirat) karena meninggalkan dunia.

3
Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin (Jakarta: pustaka sahara, 2012) hlm. 150
6

Ada juga mengenal orang zabid (yang hidup zuhud), Al-Palimbani


menerangkan pula tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan
seorang salik dalam menempuh kehidupan zuhud itu:
a) Zuhud orang mubtadi (pemulaan) yaitu orang yang permulaan menjalani
akan jalan yang menyampaikan kepada makrifah akan Allah itu, yaitu
orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan cenderung kepada
keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya.4
b) Orang yang pertengahan jalan itu  yaitu orang yang telah mudah hatinya
meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi kasih akan dunia itu.
c) Orang yang muntabi, yakni orang-orang yang arif, yang bagi mereka
dunia itu seperti “tahi saja” tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati
mereka sudah menghadap ke akhirat.
Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang
meninggalkan daripada hatinya yang lain dari pada Allah, baik dunia maupun
akhirat.5
Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti ini adalah maqam dalam perjalanan
seorang salik Al-Palimbani mengikuti Al-Ghazali terdiri dari tiga perkara
yaitu ilmu, hal, dan amal.
Pada pendapat Al-Palimbani zuhud mempunyai tingkatan yang tertinggi
yaitu bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak mengiginkan sesuatu selain
Allah.
Ciri-ciri orang zuhud menurut Dia ada tiga perkara:

1. Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan


hilangnya sesuatu
2. Orang yang memujinya dan orang yang menghinanya dianggap sama
saja.
3. Ia merasa intim dengan tuhan dan merasa lezat dalam mentaati-Nya.

Maka ketahuilah tingkatan zuhud yang tertinggi adalah engkau meninggalkan


segala sesuatu selain Allah karena mencari ridhaNya. Semua dilakukan untuk

4
Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin (Jakarta: pustaka sahara, 2012), hlm.155
5
DR.M.CHATIB QUZWAIN, mengenal Allah, (Jakarta:P.T Bulan Bintang,1985), hlm.87
7

mengetahui kelezatan dan luhurnya sifat zuhud. Selagi masih mampu


mempertahankan diri dari semua itu, maka lakukanlah, dan itulah yang
dinamakan zuhud yang sebenarnya (hakiki).

C. Faktor yang Mempengaruhi Zuhud


Para peneliti, baik dari kalangan orientalis maupun islam sendiri saling
berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud.
Harun nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhud:
Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen.
Kedua, dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengharuskan meninggalkan
kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan
dunia dan pergi berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud
dan sufisme dalam islam.6
Ketiga, di pengaruhi oleh ajaran plotinus yang menyatakan bahwa dalam
rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan
harus meninggalkan dunia.
Keempat, pengaruh budha dengan faham-faham nirwananya, bahwa untuk
mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup
kontemplasi.
Kelima, pengaruh ajaran hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan
dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman
dengan Brahman.7
Abu ‘Ala ‘Afifi mencatat ada empat pendapat para peneliti tentang faktor
atau asal-usul zuhud:
Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia.
Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh asketisme Nasrani.
Ketiga, berasal dari atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-
beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran.
Keempat, berasal dari ajaran Islam.
Untuk faktor keempat ini Afifi merinci jadi tiga yaitu: pertama, faktor ajaran
Islam sebagaimana terkandung dalam dua sumbernya, Al-Quran dan al-

6
Prof.Dr. H.M. Amin Syukur, M.A zuhud di abad modern (pustaka pelajar), hlm. 4
7
Harun nasution, op cit.,hlm.58-9
8

sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk wara’ taqwa’dan zuhud. Selain
itu kedua sumber tersebut mendorong agar umatnya beribadah, bertingkah
laku baik, shalat tahajjud, berpuasa, dan sebagainya. Dalam berbagai ayat
banyak dijumpai sifat surga dan neraka, agar umat termotivasi mencari sorga
dan menjauhkan diri dari neraka.8
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan
ekonomi di kalangan islam sendiri, yaitu ketika islam mulai tersebar ke
berbagai Negara yang sudah barang tentu membawa konsekuensi-
konsekuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya
kemakmuran di satu pihak, dan terjadinya pertikaian politik intern umat islam
yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan
Muawiyah, yang bermulah dari Al-Fitnah Al-Kubra yang menimpa khalifah
ketiga.

D. Tujuan Zuhud
Berangkat dari pemahaman zuhud yang mengatakan bahwa zuhud adalah
sikap yang tidak tergantung pada apa yang dimilikinya, maka muncul sikap
yang bertujuan dari zuhud yaitu:
1. Selamat dari neraka
Orang yang zuhud dia akan jauh dari saat neraka lepas, karena dia selalu
menahan diri dari sikap yang tidak terpuji seperti mengadu, hasud, iri,
cemburu, keserakahan dan lain sebagainya. Karena orang-orang yang
zuhud dia akan selalu berusaha untuk membersihkan dirinya dari sikap
tidak diberkati dengan tujuan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan
selalu menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang berguna untuknya dan
itu akan menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang merugikannya.
2. Jauh dari Kemarahan Allah
Seorang Zahid juga jauh dari murka Allah karena dia selalu menjaga
dirinya dari sifat-sifat tercela. Dia akan menyibukkan diri dengan
penyembahan kepada Tuhan dan tidak ada waktu baginya untuk

8
Prof.Dr. H.M. Amin Syukur, M.A zuhud di abad modern (pustaka pelajar), hlm. 5
9

melakukan hal-hal yang tidak berguna. Baginya Tuhan ada di mana dia
berlindung dan meminta bantuan.
3. Ma'rifatullah
Ma'rifatullah berasal dari kata ma'rifah dan Allah. Ma'rifah ingin tahu.
Mengenal Tuhan tidak melalui oleh substansi Tuhan tetapi untuk
mengenal-Nya melalui tanda-tanda-Nya (ayat-ayat-Nya). Beberapa yang
tahu Tuhan pasti tahu tujuan hidupnya dan tidak tertipu oleh dunia.9
Ketika kami berbicara tentang Makrifatullah, itu berarti kami berbicara
tentang Rabb, Malik, dan Ilah kami. Rabb apa yang kami pahami dari istilah Al-
Quran adalah Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Maksudnya adalah
dalam surat An-Nas (144): 1-3:
“Katakan: Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Raja manusia, Tuhan
manusia ...”

E. Penerapan Zuhud dalam Kehidupan


1. Selalu mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT meskipun sedikit;
2. Senantiasa merasa cukup dengan harta yang dimilikinya, walaupun hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan primer saja;
3. Menggunakan harta yang dimilikinya sebagai penunjang kesempurnaan
beribadah kepada Allah;
4. Hidup dengan berpenampilan sederhana;
5. Lebih mengutamkan cintanya kepada Allah SWT dibandingkan cintanya
kepada dunia.

9
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf modern, (Jakarta: pustaka panjimas) h.121
10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Zuhud adalah tidak mementingkan hal-hal yang bersifat keduniawian
atau meninggalkan gemerlap kehidupan yang bersifat material dalam
mengabdikan diri kepada Allah SWT.
2. Tingkatan zuhud :
 Tingkatan orang yang meninggalkan sesuatu keadaan untuk
mendapatkan hal yang lebih baik
 Tingkatan orang yang meninggalkan keduniaan karena
mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan
 Tingkatan orang yang meninggalkan segala sesuatu selain Allah
karena mencintaiNya.
3. Terdapat banyak perbedaan pendapat tentang faktor yang mempengaruhi
zuhud.
4. Tujuan zuhud:
 Selamat dari neraka
 Jauh dari kemarahan Allah
 Ma’rifatullah
6. Salah satu contoh penerapan zuhud dalam kehidupan sehari-hari adalah
senantiasa merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang dimilikinya.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan
arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan
makalah berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai