Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tasawuf sangat berkesan dalam mendidik jiwa manusia, memberikan


ketenangan hati dan mengisi kekosongan jiwa. Secara prinsip tiada seorang pun yang
dapat menafikan adanya konsep tasawwuf dalam tradisi Islam. Namun pada
kenyataannya tasawuf merupakan salah satu subjek yang sering disalahfahami oleh
banyak orang, baik di kalangan Muslim sendiri maupun orang bukan Islam. Hal ini
berlaku di antaranya adalah karena tasawuf telah melalui evolusi dan perkembangan
yang jauh. Di Abad modern ini, di mana kehidupan masyarakat didominasi oleh
worldview sekuler, tasawwuf menjadi sesuatu yang asing dan terpinggir. Malahan,
ada kalangan yang beranggapan bahwa orang-orang yang mengamalkan tasawwuf
adalah orang-orang yang kolot dan berfikir ke belakang.

Ketika dunia modern semakin hanyut dengan materialisme dan hedonisme,


peranan tasawwuf dirasakan amat signifikan dalam usaha mengatasi permasalahan
dan dilema yang dihadapi oleh masyarakat hari ini. Sikap manusia terhadap dunia
sebagaimana yang telah diharapkan oleh Al Qur’an dan Al Hadist mempunyai nilai
sangat positif dan merupakan senjata yang ampuh bagi manusia dalam menghadapi
kehidupan yang berubah-ubah, khususnya di abad modern ini yang sarat dengan
problema, baik psikis, ekonomis, dan etis. Tasawwuf sebagai salah satu disiplin ilmu
keislaman tidak bisa keluar dari kerangka itu. Ajaran tasawwuf klasik, khususnya
yang menyangkut konsep zuhud sebagai maqam, diartikan sebagai sikap menjauhi
dunia dan isolasi terhadap duniawi semata-mata ingin bertemu dan ma’rifat kepada
Allah SWT. Sehingga, zuhud dapat dijadikan sebagai benteng membangun diri dalam
menghadapi gemerlapnya materi.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu zuhud ?

2. Apa saja dalil – dalil naqli yang berkaitan dengan zuhud ?

3. Bagaimana zuhud di kalangan zaman kontemporer saat sekarang ?


1|Zuhud
PEMBAHASAN

A. Pengertian Zuhud

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya


tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Kesimpulannya, zuhud
secara literal bahasa berarti meninggalkan, tidak tertarik dan tidak menyukai. Kata
Zuhd (Z, H, dan D) sendiri, menurut Abu Bakr Muhammad Al-Warraq,
mengandung arti tiga hal yakni huruf Z berarti Zinah (perhiasan, kehormatan),
huruf H berarti Hawa (keinginan), dan huruf D menunjukkan kepada Dunya
(dunia materi)1.

Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap


hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah,
padahal terdapat kesempatan untuk memperolehnya. Namun menurut Abu Hasan
Al-Syadzili, menyatakan bahwa hal ihwal keduniaan tidak dapat dikesampingkan,
menurutnya orang Zuhud itu adalah orang yang menggunakan hal ihwal
keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya. Hajat hidup itu sendiri terbagi
dari beberapa hal, diantaranya berbentuk kebutuhan individual, keluarga,
masyarakat, bahkan dalam hal bernegara. Orang yang zuhud ialah orang yang
mampu menggunakan segala hal ihwal duniawi sesuai dengan ketentuan hukum
dan etika, bukan untuk berlebih-lebihan dan berfoya-foya. Penggunaan materi
yang demikian tidak dinilai bersifat keduniaan, karena segalanya untuk
kepentingan pendekatan diri kepada Allah.

Al-Harraz menerangkan tentang zuhud sebagai orang yang meniadakan


keinginan keduniaan dari hatinya secara sedikit demi sedikit, dan ia akan melihat
tujuan tujuan daripada zuhud itu yakni untuk mengingat-Nya dan hatinya hanya
untuk mengabdi kepada-Nya2.

1
Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, (Jakarta : Prenada Media, 2005), h.56 – 57.
2
Amir An-Najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, (Jakarta : Pustaka Azam, 2001), h.238.
2|Zuhud
Zuhud juga disebut sebagai Asketisisme, yang dideskripsikan sebagai
penarikan diri dari kenyamanan dan kemudahan dunia fana demi kebahagiaan
abadi di hari akhirat3.

Menurut para sufi, ada tiga tanda zahid (sebutan untuk orang yang melakukan
zuhud), diantaranya :

 Tidak merasa senang dengan hal – hal duniawi yang didapatnya, tidak
bersedih atas hilangnya hal – hal keduniawian dari dirinya.

 Tidak senang ketika dipuji, tidak kecewa atau marah ketika dikrtik atau
dihina.

 Lebih mendahulukan penghambatan kepada Allah dan mengutamakan


sahabat – sahabat-Nya ketimbang hal – hal lain.

B. Dalil Naqli yang terkait dengan Zuhud

I. Al – Qur’an

1. QS. Yusuf : 20

  ﴾۲۰﴿ ‫س َد َرا ِه َم َم ۡع ُد ۡو َد ٍ‌ة ۚ َو َكانُ ۡوا فِ ۡي ِه ِم َن ال ٰ ّز ِه ِد ۡي َن‬


ٍ ‫َو َش َر ۡوهُ بِثَ َم ۢ ٍن بَ ۡخ‬
Artinya : Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu
beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada
Yusuf.

2. QS. Ali Imran : 14

‫اط ۡي ِر ۡال ُمقَ ۡنطَ َر ِة ِم َن‬


ِ َ‫ت ِم َن النِّ َسٓا ِء َو ۡالبَـنِ ۡي َن َو ۡالقَن‬ ِ ‫اس حُبُّ ال َّشهَ ٰو‬ ِ َّ‫ُزي َِّن لِلن‬
‫ع ۡال َح ٰيو ِة‬
ُ ‫ك َمتَا‬ َ ِ‫ث‌ؕ ٰذ ل‬ ِ ‫ض ِة َو ۡال َخ ۡـي ِل ۡال ُم َس َّو َم ِـة َوااۡل َ ۡن َع ِام َو ۡال َح ۡـر‬
َّ ِ‫ب َو ۡالف‬ َّ
ِ َ‫الذه‬
3
Fathullah Gulen, Kunci – Kunci Rahasi Sufi, (Jakarta : Grafindo Persada, 2001), h.79.
3|Zuhud
‫هّٰللا‬
‫ال ُّد ۡنيَا ‌ۚ َو ُ ِع ۡن َد ٗه ح ُۡس ُن ۡال َم ٰا ِ‬
‫ب ﴿‪﴾۱۴‬‬
‫‪Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada‬‬
‫‪apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak‬‬
‫‪dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah‬‬
‫‪ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat‬‬
‫‪kembali yang baik (surga).‬‬

‫‪3. QS. AL-Hadid : 20 – 23‬‬

‫اِ ۡعلَ ُم ۡۤوا اَنَّ َما ۡال َح ٰيوةُـ ال ُّد ۡنيَا لَ ِعبٌ َّولَ ۡه ٌو َّو ِز ۡينَةٌ َّوتَفَا ُخ ۢ ٌر بَ ۡينَ ُكمۡ َوتَ َكاثُ ٌر فِى‬
‫ار نَبَاتُهٗ ثُ َّم يَ ِه ۡي ُج فَتَ ٰرٮهُ ُم ۡ‬
‫صفَ ًّرا‬ ‫ب ۡال ُكفَّ َ‬ ‫ث اَ ۡع َج َ‬ ‫ال َوااۡل َ ۡواَل ِد‌ؕ َك َمثَ ِل َغ ۡي ٍ‬ ‫ااۡل َمۡ َو ِ‬
‫ان‌ؕ َو َما‬ ‫ُط ًما‌ؕ َوفِى ااۡل ٰ ِخ َر ِة َع َذابٌ َش ِد ۡي ٌد ۙ َّو َم ۡغفِ َرةٌ ِّم َن هّٰللا ِ َو ِر ۡ‬
‫ض َو ٌ‬ ‫ثُ َّم يَ ُك ۡو ُن ح ٰ‬
‫ع ۡال ُغر ُۡو ِر ﴿‪﴾۲۰‬‬ ‫ۡال َح ٰيوةُ ال ُّد ۡنيَ ۤا اِاَّل َمتَا ُ‬

‫اۡل‬
‫ض ال َّس َمٓا ِء َو ا َ ۡهّٰللار ۙ ِ‬
‫ض‬ ‫َسابِقُ ۡۤوا اِ ٰلى َم ۡغفِ َر ٍة ِّم ۡن َّربِّ ُكمۡ َو َجنَّ ٍة َع ۡر ُ‬
‫ضهَاهّٰللا َك َع ۡر ِ‬
‫ض ُل ِ ي ُۡؤتِ ۡي ِه َم ۡن يَّ َشٓا ُء‌ؕ َو ُ ُذو‬ ‫ك فَ ۡ‬‫اُ ِع َّد ۡت لِلَّ ِذ ۡي َن ٰا َمنُ ۡوا بِاهّٰلل ِ َو ُر ُسلِ ٖه‌ؕ ٰذلِ َـ‬
‫ض ِل ۡال َع ِظ ۡي ِم ﴿‪﴾۲۱‬‬ ‫ۡالفَ ۡ‬

‫ض َواَل فِ ۡۤى اَ ۡنفُ ِس ُكمۡ اِاَّل فِ ۡى ِك ٰت ٍ‬


‫ب ِّم ۡن قَ ۡب ِل اَ ۡن‬ ‫ص ۡيبَ ٍة ِف اۡل‬
‫ى ا َ ۡر ِ‬ ‫اب ِم ۡن ُّم ِ‬ ‫ص َ‬ ‫َم ۤا اَ َ‬
‫ك َعلَى هّٰللا ِ يَ ِس ۡي ۚ ٌر  ۖ ﴿‪﴾۲۲‬‬‫ـراَهَا ؕ اِ َّن ٰذ لِ َ‬
‫نَّ ۡب َ‬
‫هّٰللا‬
‫لِّـ َك ۡياَل تَ ۡا َس ۡوا َع ٰلى َما فَاتَ ُكمۡ َواَل تَ ۡف َرح ُۡوا بِ َم ۤا ٰا ٰتٮ ُكمۡ‌ؕ َو ُ اَل ي ُِحبُّ ُك َّل ُم ۡختَ ٍ‬
‫ال‬
‫فَ ُخ ۡو ۙ ِر ﴿‪  ﴾۲۳‬‬

‫‪4|Zuhud‬‬
Artinya : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada
(mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

II. Hadits

Sahl bin Sa’ad As Sa’idy berkata, “Seseorang mendatangi Nabi bertanya,


“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatua amal, jika aku
mengerjakannya aku akan dicintai oleh Allah dan dicintai pula oleh sekalian
manusia!”

Rasulullah saw menjawab,

ِ َّ‫ازهَ ْد فِ ْي َما ِع ْن َد الن‬


ُ‫اس ي ُِحب َُّك النَّاس‬ ْ ‫اِ ْزهَ ْد فِي ال ُّد ْنيَا ي ُِحب َُّك هللاُ َو‬

5|Zuhud
Artinya: “Zuhudlah terhadap dunia niscaya kamu dicintai oleh Allah.
Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia niscaya kamu akan dicintai
oleh mereka. “(HR. Ibnu Majah)

Hadist ini memberitahukan bahwa Allah swt mencintai orang-orang yang


zuhud terhadap dunia. Adapun pengertian zuhud sendiri yaitu berpalingnya
keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya.

Rasulallah saw juga bersabda, yang artinya:

“Jika kalian melihat seseorang yang diberi kezuhudan di dunia dan diberi
akal, maka dekatilah ia karena ia akan mengajarkan hikmah.”(HR. Ibn
Majah dengan hadist yang serupa, dan didalamnya ada yang dha’if)

Orang yang zuhud sangat tidak senang dengan berlimpah ruahnya


harta dan tidak merasa susah dengan kehilangannya, karena apabila kita
mempunyai sifat zuhud, maka otomatis kita akan mengutamakan ibadah kita
kepada Allah dan tidak akan mempedulikan akan banyaknya harta dan tidak
akan merasa sedih apabila kehilangannya.

C. Zuhud Di Zaman Kontemporer

Kebanyakan masyarakat hari ini memahami zuhud sebagai cara hidup yang
meninggalkan dunia, berpakaian lusuh, makan dan minum ala kadarnya -tidak
berkhasiat, tidak memiliki harta benda dan rumah yang kurang baik,
menggunakan kendaraan yang buruk atau tidak berkendaraan langsung. Dengan
konsepsi zuhud seperti ini maka konsep zuhud disinonimkan dengan kemunduran
dan sikap konservatif. Jadi secara tidak langsung, orang yang menerima konsepsi
zuhud seperti ini telah menyifatkan Islam dengan kemunduran dan anti dunia.

Imam al-Ghazzali  mendefinisikan zuhud dengan: “tindakan seseorang yang


menolak sesuatu yang diinginkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih
berharga.” Al-Ghazzali sendiri sering menekankan perlunya dunia dan segala apa

6|Zuhud
yang terkandung digunakan sewajarnya, tidak berlebihan agar ia tidak jadi
penghalang kepada penghambaan diri kepada Allah Swt4.

Sebenarnya zuhud dekat dengan penolakan terhadap dunia, tetapi penolakan


tersebut tidak sama sekali bermaksud meninggalkan dunia. Yang ditolak adalah
kecintaan terhadap dunia (hubb al-dunya), seperti istilah yang pernah disebut sufi
terdahulu yakni “Letakkan dunia sebatas di telapak tangan, namun letakkan
akhirat dalam jiwa dan hati dari manusia”. Dunia dengan segala kesenangan dan
perhiasannya bersifat menggiurkan, manusia yang kurang imannya akan terpedaya
dan menjadikannya lengah lalu meninggalkan perintah Tuhannya. Kecintaan
terhadap dunia ini perlu dikawal dan ditundukkan karena jika tidak ia akan
menyesatkan seseorang. Rasulullah Saw. beberapa kali mengingatkan bahwa
hubb al-dunya merupakan faktor yang signifikan pada kelemahan umat Islam.

Oleh karena zuhud adalah lawan kepada hubb al-dunya, maka pada istilah
yang sesuai untuk memperkenalkan kembali zuhud dengan wajah yang segar
adalah bahwa ia adalah lawan kepada sifat materialistik. Seseorang yang zuhud
sebenarnya adalah seseorang yang tidak ada dalam dirinya sifat materialistik,
kecintaan terhadap dunia atau pun mementingkan keduniaan.Zuhud dalam arti
kata hilangnya hubb al-dunya dalam diri seorang Muslim bukan satu pilihan
melainkan satu kemestian. Zuhud yang selama ini dilihat sebagai suatu cara hidup
yang khas dimiliki oleh para sufi atau ‘golongan agama’ sebenarnya suatu cara
hidup yang diinginkan oleh Islam untuk diamalkan oleh setiap penganutnya.
Islam mengajarkan umatnya agar melihat dunia sebagai alat yang digunakan
untuk meraih keridhaan Allah Swt. di akhirat. Dunia dipandang sebagai alat dan
bukan tujuan.

Dalam sikap zuhud seringkali diungkapkan dengan kata mencintai Allah,


kesederhanaan, meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia dan hal

4
Hasyim Muhammad, Tasawwuf dan Psikologi,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002), h. 34.

7|Zuhud
yang berkaitan tetang duniawi (baik ilmu maupun harta), seperti kisah tokoh –
tokoh sufi yang kita kenal misalnya Uwais Al-Qoroniyy, Sufyan Ats-Tsauri,
Nasrudin, Rabi’ah Binti Ismail Al-Adawiyah dan masih banyak tokoh sufi
lainnya. Bahkan dalam suatu riwayat dari Imam Ibnu Majah,bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa yang artinya “Ya Allah !
Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan
miskin, dan kumpulkanlah aku dalam rombongan orang-orang miskin.” Lalu
bagamana seseorang harus bersikap dalam kehidupan modern saat ini dimana
kesejahteraan manusia semakin meningkat dan kekayaan merupakan salah satu
hal yang menjadi perhatian orang banyak?

Hakikat zuhud yang telah diungkap dalam Al-Qur’an dan hadits, salah satunya
tertulis dalam surat Al-Hadiid ayat 20-23. Dari ayat di atas sangatlah jelas akan
posisi dari dunia dan akhirat yaitu dunia adalah fana dan sementara akhirat adalah
benar dan abadi. Selain itu, juga mengajarkan untuk bersikap syukur, tawakal,
tawadhu’, qona’ah, faqir (merasa lemah dan sangat membutuhkan Alloh), khouf
(takut akan kemurkaan Alloh) dan roja’ (mengharap ridho Allah). Sikap-sikap
tersebut dapat memunculkan sikap zuhud yang merupakan sifat mulia orang-orang
beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya baik harta
maupun tahta. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia tetapi orang beriman
yang beramal shalih di dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk
kemaslahatan manusia, kemudian mereka meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas
dan kenikmatan yang halal di dunia. Pada saat yang sama, hati mereka tidak
tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan
akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman
beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan
kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di
akhirat5. 

Dalam mengamalkan sikap zuhud tokoh-tokoh Islam memang banyak yang


meninggalkan keduniawian untuk hanya beribadah kepada Alloh terutama tokoh
dari kalangan Sufi. Namun tidak semua tokoh Islam besikap demikian misalnya
5
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta : Fajar Interpratama Offset,
1996), h. 58.
8|Zuhud
Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memiliki harta melimpah yang banyak digunakan
untuk berjuang di jalan Alloh, Qathbu Al Din Ash Shirazi salah seorang tokoh sufi
yang diakui keilmuannya di bidang kedokteran, dan masih banyak tokoh Islam
lainnya.

Dari hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seakan timbul


pertanyaan : Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
umatnya menjadi miskin? Bukankah di dalam Islam ada hukum zakat yang justru
salah satu faedahnya ialah untuk memerangi kemiskinan? Dapatkah hukum zakat
itu terlaksana kalau kita semua menjadi miskin? Dapatkah kita berjuang dengan
harta-harta kita sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan kalau
kita hidup dalam kemiskinan ? Padahal yang benar miskin di dalam do’a Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini ialah : Orang yang Khusyu dan Mutawaadli’ .
Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Ulama-ulama dibawah ini :

 Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits mengatakan :


Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan Miskin, yang dikehendaki
dengannya ialah : Tawadlu’ dan Khusyu’, dan supaya tidak menjadi orang-
orang yang sombong dan takabur .
 Imam Baihaqi mengatakan : Menurutku bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi
beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (di
hadapan Allah.
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : Hidupkanlah aku dalam keadaan
Khusyu’ dan Tawadlu’ dan bukanlah yang dikehendaki dengan miskin tidak
mempunyai harta.

Sudah sangat jelaslah tentang makna zuhud yang sepatutnya kita amalkan
dalam kehidupan modern ini yaitu Islam mengharuskan umatnya agar
memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama
tidak tertipu oleh dunia. Dengan ulasan di atas bukan berarti kita menyalahkan
ataupun merendahkan dari beberapa tokoh yang mungkin berbeda pendapat

9|Zuhud
dengan kita dalam memaknai kata Zuhud. Karena sudah jelas bahwa perbedaan
adalah rahmat dari Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

10 | Z u h u d
PENUTUP

KESIMPULAN

Zuhud melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk


kepentingan mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan
mempunyai tanggungjawab pengawasan aktif sebagai pemanfaatan harta
dalam masyarakat. Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng dalam
diri untuk menghadapi gemerlapnya dunia. Dengan zuhud akan tampil sikap
positif lainnya, seperti sikap qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki),
tawakkul (pasrah diri kepada Allah SWT), wara’ (menjaga diri agar jangan
sampai makan barang yang meragukan (syubhat)), sabar (tabah menerima
keadaan dirinya), syukur (menerima nikmat dengan hati lapang dan
menggunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya). Sehingga tidak mungkin
tergoda dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, bisa menguasai diri,
dan mampu menyesuaikan diri di tengah-tengah deru modernisasi dan
industrialisasi.

Di sinilah letak puncak kebahagiaan seorang sufi yang sudah mencapai


tuma’ninah al qalb, yaitu ketenangan hati yang merupakan pangkal
kebahagiaan, baik bahagia di dunia maupun di akhirat.

11 | Z u h u d
DAFTAR KEPUSTAKAAN

An-Najar Amir , Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, Jakarta : Pustaka Azam, 2001.

Bahri Media Zainul, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, Jakarta : Prenada Media,


2005.

Fathullah Gulen, Kunci – Kunci Rahasi Sufi, Jakarta : Grafindo Persada, 2001.

Muhammad Hasyim, Tasawwuf dan Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset,


2002.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta : Fajar Interpratama


Offset, 1996.

12 | Z u h u d

Anda mungkin juga menyukai